You are on page 1of 26

TUGAS MAKALAH PSIKIATRI

REAKSI STRES AKUT, GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA, DAN GANGGUAN PENYESUAIAN

Disusun Oleh: Farida Nur Kusumawati G99122042

Pembimbing: dr. Yusvick M Hadin, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS JIWA DAERAH SURAKARTA SURAKARTA 2013

REAKSI STRES AKUT

A.

PENDAHULUAN Reaksi stres akut (juga disebut gangguan stres akut, shock psikologis, mental shock, atau sekedar shock) adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang mengerikan. "Respons stres akut" pertama kali dideskripsikan oleh Walter Cannon pada tahun 1920 sebagai sebuah teori bahwa hewan-hewan bereaksi terhadap ancaman dengan pembuangan umum dari sistem saraf simpatik. Respons ini kemudian dikenal sebagai tahap pertama dari sindrom adaptasi umum yang mengatur tanggapan stres di antara vertebrata dan organisme lain. Gangguan stres akut ditandai dengan perkembangan kecemasan yang parah, disosiatif, dan gejala lain yang terjadi dalam waktu satu bulan setelah terkena stresor traumatis yang ekstrem (misalnya, menyaksikan kematian atau kecelakaan serius). Sebagai tanggapan terhadap peristiwa traumatik, individu mengembangkan gejala disosiatif. Individu dengan gangguan stres akut mempunyai penurunan respon emosional, seringkali sulit atau tidak mungkin untuk mengalami kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan

menyenangkan sebelumnya, dan sering merasa bersalah karena mengejar tugas-tugas kehidupan biasa. Seseorang dengan gangguan stress akut dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh mereka, pengalaman dunia sebagai tidak nyata atau mimpi, atau mengalami

kenaikan kesulitan mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (amnesia disosiatif) (Kaplan, Sadock,& Grebb, 2007) B. DEFINISI Reaksi Stres Akut (Acute Stress Disorder/ASD) adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan terhadap peristiwa yang mengerikan, hasil dari sebuah peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami atau saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi untuk mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan kadang-kadang rasa sakit) dan yang melibatkan atau mengancam serius, dirasakan cedera serius (biasanya kepada orang lain), atau kematian. Reaksi 1

stres akut adalah variasi dari Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan adalah pikiran dan tubuh terhadap perasaan (baik yang dirasakan dan nyata) yang intens ketidakberdayaan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007). C. EPIDEMIOLOGI Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress akut sebesar 8% sementara 5-15% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang pernah mengalami trauma sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi (10-12%) dibandingkan pria (5-6%) pada kelompok usia dewasa muda. D. ETIOLOGI Stresor atau peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami atau saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban/saksi untuk mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan kadang-kadang rasa sakit) dan yang melibatkan atau mengancam, cedera serius, atau kematian. Walaupun stresor diperlukan, namun stresor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang, yaitu : 1. 2. Adanya trauma masa anak-anak Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial 3. 4. 5. 6. 7. Sistem pendukung yang tidak adekuat Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi Persepsi lokus kontrol eksternal Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai taraf ketergantungan Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi penghentian perkembangan emosional, sedangkan jika terjadi pada masa

dewasa akan terjadi regresi emosional (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007; Ingram, 1995). E. MANIFESTASI KLINIS Gejala menunjukkan variasi yang besar, tetapi biasanya mereka menyertakan sebuah keadaan awal dari "linglung", dengan beberapa penyempitan bidang kesadaran dan penyempitan perhatian,

ketidakmampuan untuk memahami rangsangan, dan disorientasi. Keadaan ini dapat diikuti baik oleh penarikan lebih lanjut dari situasi sekitarnya, atau dengan agitasi dan overeaktifitas. Tanda-tanda panik otonom kecemasan (takikardia, berkeringat, kemerahan) yang umumnya hadir. Gejala biasanya muncul dalam beberapa menit dari dampak dari stres rangsangan atau aktivitas, dan menghilang dalam waktu 2-3 hari (seringkali dalam beberapa jam). Amnesia sebagian atau lengkap untuk episode mungkin ada. Seseorang dengan Gangguan Stress akut dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi, merasa terlepas dari tubuh mereka, pengalaman dunia sebagai tidak nyata atau mimpi, atau mengalami kenaikan kesulitan mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (amnesia disosiatif). Peristiwa traumatik yang dialami kembali terus-menerus dalam setidaknya salah satu dari cara berikut: berulang, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik, atau rasa menghidupkan kembali pengalaman atau penderitaan pemaparan pada pengingat dari peristiwa traumatik (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007). F. DIAGNOSIS Kriteria diagnostik untuk reaksi stress akut menurut PPDGJ III adalah sebagai berikut : 1. Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman stresor luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari gejala, biasanya setelah beberapa menit atau segera setelah kejadian. 2. Selain itu ditemukan gejala-gejala : a. Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah; selain gejala permulaan berupa keadaan terpaku (daze), semua hal

berikut dapat terlihat : depresi, ansietas, kemarahan, kecewa, overaktif, dan penarikan diri. Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran klinisnya untuk waktu yang lama. b. Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stresornya, gejala dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal di mana stres menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-gejala biasanya baru mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hampir menghilang setelah 3 hari. 3. Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuhan mendadak dari gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukkan gangguan psikiatrik lainnya. 4. Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut. Kriteria diagnostik untuk gangguan stress akut menurut DSM IV adalah sebagai berikut: 1. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini ditemukan: a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri atau orang lain. b. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor. 2. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut : a. perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi b. penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan tidak sadar) c. derealisasi d. depersonalisasi 4

e. amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma) 3. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut: bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengna pengingat kejadian traumatik. 4. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang). 5. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan, dan kegelisahan motorik). 6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman traumatic. 7. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatik 8. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publikasi yang luas dan telah diterima, istilah gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga

mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.

G.

DIAGNOSIS BANDING 1. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada PTSD, pasien harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang bersifat traumatik bagi setiap orang. Peristiwa trauma tersebut termasuk trauma peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius. PTSD terdiri dari pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (waking through), penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang persisten. Menurut DSM-IV perbedaan antara gangguan stress akut dengan PTSD adalah lamanya gejala berlangsung yaitu pada gangguan stress akut berlangsung 2 hari hingga 1 bulan sedangkan pada PTSD berlangsung lebih dari 1 bulan. 2. Gangguan Panik Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan tidak diperkirakan. Gangguan panik ini sering disertai dengan adanya agoraphobia yaitu ketakutan berada sendirian di tempat-tempat publik. Pasien ini dibawa berobat ke rumah sakit dengan keluhan berteriak-teriak ketakutan serta berguling-guling di lantai tempat kerjanya sehingga hal ini mendukung adanya suatu serangan panic yang spontan. Selain itu, pasien juga menghindari tempat-tempat umum atau transportasi umum.

H.

PENATALAKSANAAN Gangguan ini dapat diatasi sendiri dengan waktu atau mungkin berkembang menjadi gangguan yang lebih berat seperti PTSD. Namun hasil Creamer, O'Donnell dan Pattison's (2004) penelitian terhadap 363 pasien menunjukkan bahwa diagnosa Gangguan Stres akut hanya memiliki validitas prediktif terbatas untuk PTSD. Namun tidak menemukan bahwa pengalaman kembali peristiwa traumatik dan gairah lebih baik prediktor PTSD. Obat dapat digunakan untuk jangka waktu yang sangat singkat (sampai empat minggu) 6

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menilai efektivitas konseling dan psikoterapi bagi orang-orang dengan ASD. Terapi perilaku kognitif yang mencakup eksposur dan restrukturisasi kognitif ternyata efektif dalam mencegah PTSD pada pasien yang didiagnosis dengan klinis ASD dengan hasil yang signifikan pada 6 bulan follow-up. Kombinasi relaksasi, restrukturisasi kognitif, imaginal eksposur dan vivo eksposur lebih unggul untuk mendukung konseling I. PROGNOSIS Prognosis untuk gangguan ini sangat baik. Jika berkembang ke gangguan lain (biasanya PTSD), tingkat keberhasilan dapat bervariasi sesuai dengan spesifikasi yang terjadi pada gangguan.

GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA (POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER/PTSD)

A.

PENDAHULUAN Gangguan stress pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Gejala-gejala umum tersebut antara lain kenangan yang muncul kembali dalam ingatan dan berulang-ulang, sangat mendalam dan mengganggu akibat peristiwa tersebut, berusaha menghindari keadaankeadaan yang mengingatkan pada peristiwa tersebut, menjadi mati rasa secara emosional dan suka menyendiri, sulit tidur dan konsentrasi, ketakutan atas keselamatan pribadi. Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana seseorang terlibat di dalamnya, dan seberapa hebatnya dia bereaksi. Sementara itu penyebab sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Seseorang beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma jika mempunyai riwayat keluarga yang mengalami depresi. Kemungkinan lain adalah dilepaskannya hormon-hormon tertentu oleh otak (misalnya kortisol) dan zat-zat kimia lainnya sebagai respons terhadap rasa takut. Hormon-hormon dan zat-zat kimia ini juga akan membangkitkan kenangankenangan tersebut. Orang-orang dengan ketidakseimbangan zat kimia tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya gangguan stres pasca trauma akan meningkat.

B.

DEFINISI Gangguan stress pasca trauma adalah reaksi kuat, memanjang dan tertunda terhadap suatu peristiwa yang luar biasa sehingga seseorang menderita stress atau kehilangan yang berat (Hibbert, Godwin & Dear, 2009). PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomik, 8

ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007). National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Anonim, 2005c). Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD adalah, pertama, pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan. Kedua, penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. Ketiga, sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu (Anonim, 2005a; Anonim, 2005b). C. ETIOLOGI 1. Stresor Stresor adalah penyebab utama terjadinya PTSD. Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, dipenjara Namun tidak semua orang yang mengalami stressor yang berat mengalami PTSD. Trauma sendiri tidak cukup untuk menyebabkan PTSD. Respon pasien terhadap trauma haruslah takut yang sangat kuat bahkan horor. Dokter harus menilai faktor biologis dan psikososial yang

ada pada orang yang telah mengalami trauma (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007). 2. Faktor resiko a. Biologis: Kerentanan genetik. Kepribadian borderline, paranoid, dependent atau antisosial. Perempuan

b. Psikososial Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-anak). Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi. Sistem pendukung yang tidak adekuat (Dukungan keluarga atau kelompok yang kurang). D. Konsumsi alkohol yang berlebihan.

MANIFESTASI KLINIS Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respon maladaptif terhadap stres berat atau stres berkelanjutan dimana mekanisme penyesuaian tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam fungsi sosialnya.Gangguan ini terjadi berminggu-minggu/berbulan-bulan setelah kejadian, awitan biasanya dalam 6 bulan. Tiga kelompok utama gejala (tidak ada sebelum pajanan) : 1. Hyperarousal (rangsangan yang berlebihan) a. Ansietas yang menetap b. Kewaspadaan yang berlebihan c. Konsentrasi buruk d. Insomnia 2. Intrusions (pengacauan) a. Kilasan balik b. Mimpi buruk c. Ingatan yang hidup 3. Avoidance (penghindaran) a. Menghindari hal-hal yang mengingatkan b. Ketidakmampuan mengingat beberapa bagian dari kejadian 10

c. Minat yang rendah terhadap kehidupan sehari-hari E. DIAGNOSIS Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan pabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan onset melebihi waktu lebih dari 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak didapatkan alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan ini. Sebagai tambahan, bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai peristiwa tersebut secara berulang-ulang. Seringkali terjadi penarikan diri secara emosional, penumpulan persaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin akan mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk diagnosis. Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan perilaku semuanya, mempengaruhi diagnosis tapi bukan merupakan hal yang terlalu penting. Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III: 1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak terdapat alternatif kategori gangguan lainnya. 2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulangulang krmbali (flashbacks). 3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. 4. Suatu sequelae manahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma,

diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa). 11

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stress Pascatraumatik (Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, ed 4) : 1. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic di mana kedua dari berikut ini terdapat : a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain. b. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor. 2. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut: a. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk bayangan,pikiran,atau persepsi. b. c. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali. d. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. e. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. 3. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma),seperti yang ditunjukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini: a. usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. b. usaha untuk menghindari aktivitas,tempat,atau orang yang

menyadarkan rekoleksi dengan trauma. c. tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma

12

d.

hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.

e. f. g. 4.

perasaan terlepas atau asing dari orang lain. rentang aspek yang terbatas. perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.

Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma),seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut: a. kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur. b. iritabilitas atau ledakan kemarahan. c. sulit berkonsentrasi. d. kewaspadaan berlebihan. e. respon kejut yang berlebihan.

5. 6.

Lama gangguan (gejala dalam kriteria 2,3,4 ) lebih dari satu bulan. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan,atau fungsi penting lain. (Kaplan,Sadock,& Grebb, 2007)

F.

DIAGNOSIS BANDING Gejala PTSD dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik dan Gangguan Cemas Menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Kunci untuk

membedakan PTSD adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala, dan terngiang-ngiang akan trauma yang tidak terjadi pada dua kelainan lainnya. Depresi mayor juga sering terjadi bersamaan dengan PTSD. Hal ini perlu dicatat karena akan mempengaruhi terapi PTSD. G. PROGNOSIS Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40% terus menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tidak berubah atau memburuk. Umumnya orang yang sangat muda atau sangat tua lebih mengalami kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi PTSD muncul dalam waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang baik, dukungan sosial yang baik dan tidak adanya kondisi komorbid atau penyalahgunaan zat. 13

H.

PENATALAKSANAAN 1. Skrining gangguan psikiatrik yang timbul bersamaan dan lakukan penilaian resiko (bunuh diri/pengabaian diri). 2. Rujukan kepada kelompok-kelompok pendukung misalnya yayasan medis untuk korban penyiksaan. 3. Psikoterapi Ada beberapa psikoterapi yang dapat digunakan. Yang pertama adalah terapi paparan (exposure therapy). Pasien dihadapkan pada keadaan traumatis secara perlahan-lahan dan bergradasi untuk mencapai desensitisasi. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai

penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi (Anonim, 2005b; Tomb, 2004). Yang kedua manajemen stress (anxiety management). Tipe yang kedua ini adalah mengajari pasien cara menangani stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan

merelaksasikan kelompok otot -otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa -gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilang-kan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran 14

positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor), 4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b; Tomb, 2004). Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b). Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b). Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban-korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000). Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita 15

PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan ke -jiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b). Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam terapi dan pengobatan yang cocok untuk PTSD. Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD dalam waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah mengenali gejala dan permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya (Anonim, 2005b). Di lain pihak, sampai saat ini masih didapatkan pula beberapa tipe psikoterapi yang lain. Misalnya, eye movement desensitization

reprocessing (EMDR), hypnotherapy dan psikodinamik psikoterapi, yang seringkali digunakan untuk terapi PTSD dan kadang sangat membantu bagi sebagian penderita (Anonim, 2005b). Data menunjukkan bahwa manajemen stress lebih cepat mengatasi PTSD namun hasil dari terapi paparan berlangsung lebih lama. Dalam beberapa kasus, katarsis dapat berguna, namun hal ini dapat menjadi sangat tidak nyaman bagi pasien. Selain terapi individu, terapi kelompok dan terapi keluarga juga efektif pada kasus PTSD. Terapi kelompok sangat baik untuk pasien sehingga mereka dapat membagi pengalaman mereka satu sama lain. Terapi keluarga penting terutama untuk mempertahankan pernikahan saat gejala sedang timbul. Bila gejala 16

menjadi sangat parah dapat pula dipertimbangkan untuk melakukan rawat inap (Tomb, 2004). 4. Farmakoterapi Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), seperti sertralin dan paroxetin merupakan terapi garis pertama untuk PTSD. Karena obat ini cukup efektif, tolerable dan aman. SSRIs mengurangi semua gejala pada PTSD tidak hanya gejala yang menyerupai kecemasan atau depresi. Buspirone juga dapat digunakan, beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa imipramin dan amitriptilin dapat bermanfaat. Dosis yang digunakan sama seperti pada pasien depresi. Obat-obatan lain yang berguna untuk PTSD adalah monoamine oxidase inhibitors (MAOIs), trazodone dan antikonvulsan. Haloperidol dapat digunakan pada kondisi agitasi atau psikotik akut (Kaplan, Sadock, &Grebb, 2007).

17

GANGGUAN PENYESUAIAN

A.

PENDAHULUAN Gangguan penyesuaian adalah reaksi maladaptif jangka pendek terhadap apa yang disebut orang awam sebagai nasib malang pribadi atau apa yang disebut dokter psikiatrik sebagai stresor psikososial (Mansjoer, 2008). Keadaan-keadaan stres yang subjektif dan gangguan emosional yang biasanya mengganggu kinerja dan fungsi sosial, dan yang timbul pada periode adaptasi terhadap suatu perubahan dalam hidup yang bermakna atau terhadap akibat dari peristiwa kehidupan yang penuh stres (termasuk adanya atau kemungkinan adanya suatu penyakit fisik berat). Stresor tersebut mungkin sudah berpengaruh terhadap integritas dari hubungan sosial individu atau terhadap sistem dukungan dan nilai-nilai sosial yang lebih luas (migrasi atau status sebagai pengungsi). Stresor mungkin hanya

berpengaruh terhadap individu atau pun juga terhadap kelompoknya dalam masyarakat (PPDGJ III, 1993). Gangguan penyesuaian dengan mood depresi terjadi pada individu yang sebelumnya berfungsi baik, segera setelah mengalami stres yang dapat diidentifikasi, mengakibatkan gangguan fungsi, dan sembuh setelah stres hilang (Tomb, 2004). B. DEFINISI Gangguan penyesuaian (adjustment disorder/maladjusment)

merupakan suatu reaksi maladaptif terhadap suatu stresor yang dikenali dan berkembang beberapa bulan sejak munculnya stresor, yang ditandai dengan adanya hendaya fungsi atau tanda-tanda distres emosional yang lebih dari biasa (Nevid, dkk, 2005). Gangguan ini termasuk kelompok gangguan yang paling ringan yang dapat terjadi pada semua usia. Orang awam menyebutnya sebagai nasib malang pribadi, sedangkan ahli psikiatrik menyebut gangguan ini sebagai stresor psikososial (Mansjoer, 2008). Hendaya yang muncul dari reaksi maladaptif ini adalah hendaya yang bermakna (signifikan) dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau akademis. 18

Diagnosis gangguan penyesuaian bisa ditegakkan bila reaksi terhadap stres tersebut tidak memenuhi kriteria diagnostik sindrom klinis yang lain seperti gangguan mood atau gangguan kecemasan (Nevid, dkk, 2005). Reaksi maladaptif dalam bentuk gangguan penyesuaian ini mungkin teratasi bila stresor dipindahkan atau individu belajar mengatasi stresor. Bila reaksi maladaptif ini masih berlangsung lebih dari enam bulan setelah stresor dialihkan, diagnosis gangguan penyesuaian perlu diubah (Nevid, dkk, 2005). C. ETIOLOGI Gangguan penyesuaian dicetuskan oleh satu atau lebih stresor. Beratnya stresor tidak selalu meramalkan keparahan gangguan. Stresor pada masalah penyesuaian atau keadaan stres ini dapat bersumber pada frustasi, konflik, tekanan, atau krisis (Maramis, 2005). Frustasi timbul bila ada aral melintang antara kita dan maksud (tujuan) kita, misalnya bila kita mau berpiknik lantas mendadak hujan turun atau mobil kita mogok. Frustasi dapat datang dari luar atau pun dari dalam. Contoh frustasi yang datangnya dari luar antara lain, bencana alam, kecelakaan, kematian seorang yang tercinta, peperangan, norma-norma, adat-istiadat, kegoncangan ekonomi, diskriminasi rasial atau agama, pengangguran dan ketidakpastian sosial. Sedangkan frustasi yang datang dari dalam dapatberupa cacat badaniah, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga penilaian diri sendiri menjadi sangat tidak enak dan merupakan frustasi yangberhubungan dengan kebutuhan rasa harga diri. Konflik terjadi bila kita tidak dapat memilih antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan. Memilih yang satu berarti frustasi terhadap yang lain. Umpamanya seorang pemuda ingin menjadi dokter, tetapi sekaligus takut akan tanggung jawab kelak bila sudah jadi dokter. Atau jika kita harus memilih antara sekolah terus atau menikah (mengurus rumah tangga). Contoh lain lagi berupa konflik yang terjadi bila kita harus memilih antara beberapa hal yang semuanya tidak kita ingini, misalnya pekerjaan yang tidak menarik atau menganggur.

19

Tekanan juga dapat menimbulkan masalah penyesuaian. Tekanan sehari-hari biarpun kecil, tetapi bila bertumpuk-tumpuk dapat menjadi stres yang hebat. Tekanan, seperti juga frustasi dapat berasal dari dalam ataupun dari luar. Tekanan dari dalam datang dari cita-cita atau norma-norma kita yang kita gantungkan terlalu tinggi dan kita mengejarnya tanpa ampun, sehingga kita terus menerus berada di bawah tekanan. Contoh tekanan dari luar misalnya orangtua yang menuntut dari anak angka rapor yang tinggi, istri tiap hari mengeluh kepada suaminya bahwa uang belanja tidak cukup, keputusan yang perlu diambil, sedangkan waktu sering mendesak. Krisis ialah suatu keadaan yang mendadak menimbulkan stres pada seorang individu ataupun suatu kelompok, umpamanya kematian, kecelakaan, penyakit yang memerlukan operasi, masuk sekolah untuk pertama kali. D. MANIFESTASI KLINIS Sampai tiga bulan mungkin ditemukan stresor dan perkembangan gejala. Gejala tidak selalu menghilang segera setelah stresor menghilang dan jika stresor berlanjut, gangguan mungkin akan menjadi kronik. Gejalanya sangat bervariasi, dengan depresi, kecemasan dan gangguan campuran adalah yang paling sering pada orang dewasa. Manifestasi juga termasuk perilaku menyerang dan kebut-kebutan, minum berlebihan, melarikan diri dari tanggung jawab hukum, dan menarik diri. Presentasi klinis dapat sangat bervariasi berupa kecemasan, depresi, gangguan tingkah laku, campuran gangguan emosi dan konduksi, serta campuran kecemasan dan depresi (Mansjoer, 2008). Pada remaja, gangguan tingkah laku (misalnya perilaku agresif atau dissosial) dapat merupakan ciri yang menyertai gangguan ini. Tidak ada satupun dari gejala tersebut yang cukup parah atau menonjol, sehingga dapat membenarkan diagnosis yang lebih spesifik. Pada anak-anak, fenomena regresif seperti kembali ngompol, bicara kekanak-kanakan, atau menghisap jempol sering kali merupakan bagian dari pola gejalanya (PPDGJ III, 1993). Bila sesuatu yang buruk terjadi pada hidup kita, maka wajar bila kita merasa sedih. Bila ada krisis dalam pekerjaan, saat dituduh melakukan 20

kejahatan, mengalami kebanjiran, gempa atau badai, bisa dimengerti bila kita mengalami kecemasan atau depresi. Sebaliknya, justru apabila kita tidak bereaksi maladaptif, (misalnya cemas), paling tidak secara

temporer, karenaterjadinya peristiwa-peristiwa tersebut dapat menunjukkan ada yang tidak wajar pada diri kita. Namun, bila reaksi emosional kita berlebihan, atau kemampuan kita untuk berfungsi mengalami penurunan atau hendaya, (misalnya menghindari interaksi sosial, sulit bangun tidur, tertinggal dalam pelajaran sekolah) maka kondisi ini bisa didiagnosis sebagai gangguan penyesuaian. Berikut tabel yang menunjukkan beberapa subtipe gangguan penyesuaian yang reaksi maladaptifnya bervariasi. Tabel Subtipe Gangguan Penyesuaian Gangguan Gangguan Penyesuaian dengan mood depresi Gangguan Penyesuaian dengan Kecemasan Ciri-ciri Utama Kesedihan, menangis, merasa tidak punya harapan Khawatir, gelisah, dan gugup (atau pada anak takut berpisah dari figur kelekatan utama) Gangguan penyesuaian dengan Gejala Campuran antara Kecemasan dan mood depresi Gangguan Penyesuaian dengan Gangguan Tingkah Laku Melanggar hak orang lain atau melanggar norma sosial yang sesuai usianya. Contoh: membolos, berkelahi, mengebut, dan melalaikan kewajiban hukum (misal menghentikan pembayaran tunjangan) Gangguan Penyesuaian Dengan Gejala Campuran antara Gangguan Emosi dan Tingkah Laku Gangguan Penyesuaian Tak Tergolongkan Gabungan dari gangguan emosi, seperti depresi atau kecemasan, dan gangguan tingkah laku. Kategori residual yang dapat diterapkan pada kasus-kasus yang tidak dapat digolongkan Kombinasi dari kecemasan dan depresi

21

dalam salah satu dari subtipe lainnya.

Sumber: Psikologi Abnormal Edisi 5 (Adaptasi dari DSM-IV-TR)

E.

PERJALANAN PENYAKIT DAN DIAGNOSIS Onset biasanya terjadi dalam satu bulan setelah terjadinya peristiwa yang merupakan stresor atau perubahan dalam hidup, dan lamanya gejalagejala biasanya tidak melebihi 6 bulan, kecuali dalam kasus reaksi depresif berkepanjangan. Apabila gejala-gejala tersebut bertahan melampaui periode ini, maka diagnosis harus disesuaikan dengan gambaran klinis yang masih ada (PPDGJ III, 1993). Kriteria diagnostik menurut PPDGJ III : 1. Diagnosis tergantung pada suatu evaluasi yang teliti terhadap hubungan antara: a. Bentuk, isi, dan keparahan gejala b. Riwayat dan kepribadian sebelumnya, dan c. Kejadian atau situasi yang penuh stres atau krisis kehidupan 2. Adanya ketiga faktor ini harus ditetapkan dengan jelas dan harus mempunyai bukti yang kuat bahwa gangguan tersebut tidak akan terjadi bila tidak mengalami gangguan tersebut. 3. Manifestasi dari gangguan bervariasi, dan mencakup afek depresif, ansietas, campuran anxietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai adanya disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satupun dari gejala tersebut yang spesifik untuk mendukung diagnosis. 4. Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang stresfull dan gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan, kecuali dalam hal reaksi depresif berkepanjangan (F43.21)

F.

PROGNOSIS Gangguan penyesuaian termasuk kelompok gangguan yang paling ringan sehingga prognosisnya baik dengan pengobatan yang sesuai. Sebagian besar pasien kembali ke tingkat fungsi sebelumnya dalam tiga

22

bulan. Akan tetapi, remaja biasanya memerlukan waktu pulih lebih lama dibandingkan orang dewasa (Mansjoer, 2008). G. PENATALAKSANAAN Psikoterapi merupakan pengobatan terpilih untuk gangguan penyesuaian. Salah satu yang efektif adalah dengan terapi kelompok. Terapi ini ditujukan untuk membantu orang dengan gangguan penyesuaian memecahkan situasi dengan cepat dengan teknik suportif, sugesti, penentraman, modifikasi lingkungan, dan bahkan perawatan di rumah sakit. Adanya fleksibilitas sangat penting dalam pendekatan ini. Selain psikoterapi, pasien mungkin berespon terhadap obat antiansietas atau antidepresan, tergantung jenis gangguannya. Bila cemas berat mungkin dapat digunakan dosis kecil medikasi antipsikotik. Pasien dengan manifestasi menarik diri mungkin dapat diberikan medikasi psikostimulan singkat (Mansjoer, 2008).

23

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV). 4th ed. Washington,DC:American Psychiatric Association Anonim, 2005a, Disaster Rescue and Response Workers,

http://www.ncptsd.va.gov/facts/disasters/fs_rescue_workers. html, diakses 04 Mei. Anonim, 2005b, Expert Consensus Treatment Guidelines for Post Traumatic Stress Disorder: A Guide for Patients and Families, http://www. psychguides. Com Anonim, 2005c, Apa itu Gangguan Tekanan Lepas Kejadian Traumatik (PTSD)? http://www.cgh.com.sg/health_public/pamphlet/Malay/PTSD/PTSD_main1 _new.html Boyce, P., & J. Condon, 2000. Traumatic Childbirth and the Role of Debriefing. B Raphael & J.P.Wilson (ed.), Psychological Debriefing: Theory, Practice and Evidence (New York: Cambridge University Press, 2000). Departemen Kesehatan R.I. 1993.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI : Jakarta Hibbert A,Godwin A & Dear F. 2009. Rujukan Cepat Psikiatri. Alih Bahasa:Rini Cendika. EGC:Jakarta Ingram IM. 1995. Catatan Kuliah Psikiatri. 6th ed. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran. Kaplan H,Sadock B & Grebb J. 2007. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2.Alih Bahasa:Widjaja Kusuma.Binarupa Aksara: Tangerang Mansjoer, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius : Jakarta Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga University Press : Surabaya Maslim Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Atmajaya. 24

Nevid, J.S, Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal Jilid I. Edisi 5. Penerbit Erlangga : Jakarta Rose, S, J. Bisson & S. Wessely. 2002. Psychological Debriefing for Preventing Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): Review, dalam Cochrane Database of Systematic Reviews, Issue 2, Art No.CD000560. Small, R., J. Lumley, L. Donohue, A. Potter & U. Waldenstrom. 2000. Randomized Controlled Trial of Midwife Led Debriefing to Reduce Maternal Depression after Operative Childbirth, British Medical Journal, 321: 1043-1047. Swalm, D. 2005. Tabs-Childbirth and Emotional Trauma: Why its Important to Talk Talk Talk. Associate Head of Dept of Psychological Medicine for Women, King Edward Memorial Hospital, Subiaco 6008, Western Australia, www.trauma-center.org Tomb, D. A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta

25

You might also like