You are on page 1of 11

PENDAHULUAN

Fenomena korupsi sekarang bukanlah fenomena yang luar biasa, hampir setiap hari kita melihat atau mendengar berita korupsi dari media massa. Korupsi seperti sebuah tradisi yang dilakukan turun temurun dari pejabat periode sebelumnya, hingga sekarang. Kasus korupsi seperti tidak pernah ada habisnya, hampir setiap lini di pemerintahan melakukan korupsi. Para pejabat juga seperti merasa tidak berdosa kepada rakyat setelah mengkhianati dan menyalahgunakan kepercayaan rakyat. Tindakan korupsi tentunya merugikan negara dan rakyatnya, namun para pejabat lebih memilih melakukan hal itu untuk memperkaya diri sendiri. Inilah ketika ideologi negara terlupakan ketika melihat harta yang akan membuat dirinya kaya, dalam hal ini pejabat. Lebih ironisnya, koruptor koruptor di Indonesia seperti tidak takut berhadapan dengan hukum dan mereka tetap tentram saja hidup di Indonesia. Hukum yang ditegakkan kini lebih memihak koruptor sedangkan rakyat kecil harus dihukum seberat mungkin untuk kesalahan kecil yang ia perbuat. Korupsi telah mengesampingkan nilai nilai yang tertera dalam Pancasila. Gerakan untuk memberantas korupsi pun digalakkan pemerintah melalui Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) meskipun terlihat koruptor banyak yang ditangkap tetapi tidak menjamin bahwa korupsi akan menghilang dari Indonesia.

PEMBAHASAN Istilah korupsi berasal dari bahsa latin corruption dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Di Indonesia sendiri korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan dan mengkhianati kepercayaan publik yang telah dikuasakan kepada mereka untuk meraih keuntungan sebesar besarnya bagi kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: Perbuatan melawan hukum, Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan dalam jabatan, Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). Semua jenis tindakan korupsi di atas telah banyak dipraktekkan oleh pejabat di Indonesia. Hal ini merupakan sebuah ironi dari negara yang besar, bersejarah dan bermartabat di mata dunia tetapi merupakan negara terkorup ke-5 di dunia berdasarkan survey Transparansi Internasional yang sumbernya adalah dari rakyat. Bahkan Indonesia harus mengakui bahwa negara tetangga, Singapura dan Malaysia lebih bagus dalam hal pemberantasan korupsi di negaranya. Sayangnya, korupsi di Indonesia telah menjadi semacam budaya yang tidak akan hilang. Bagaimana tidak,
2

korupsi sudah menjadi rahasia umum yang telah diketahui rakyatnya. Sekarang rakyat telah menganggap atau berpersepsi bahwa semua pejabat melakukan korupsi. Kenyataannya memang begitu, hampir setiap departemen ataupun kedinasan telah kecolongan oleh tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabatnya. Sungguh ironis sekali, negara kita tercinta ini mengklaim diri sebagai negara hukum tetapi untuk mengusut kasus korupsi harus dilakukan penyidikan berkali kali dan sidang yang berbelit belit dan hasil akhirnya, koruptor dihukum dengan hukuman penjara yang ringan. Berikut ini adalah kondisi yang memungkinkan munculnya korupsi : Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama". Lemahnya ketertiban hukum. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye". Kondisi kondisi yang telah disebutkan di atas memang merupakan faktor pemicu tindakan korupsi. Dari pejabat di tingkat desa hingga tingkat pusat melakukannya. Pengalaman di daerah saya di desa Mojosarirejo, Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik diadakan pemilihan kepala desa yang baru, para calon berlomba untuk mendapatkan simpati rakyat. Cara yang ditempuh untuk mendapatkan simpati rakyat yaitu dengan teknik door to door, para calon mendatangi

setiap rumah warga dan memberi uang sebesar Rp 100.000,00 sebagai imbalan telah memilih dia di pemilihan kepala desa nanti. Jumlah itu masih bertambah ketika pemilih sudah datang di TPS, lalu ada tim sukses dari calon masing masing. Jika pemilih memilih calon dari tim sukses tersebut maka pemilih mendapatkan imbalan lagi sebesar Rp 50.000,00. Fenomena ini sudah biasa terjadi. Namun, darimana calon se-level kepala desa mendapatkan uang sebanyak itu ? tentunya dengan dana hasil korupsi yang diperoleh dari partainya. Kita perhatikan saja geliat partai politik saat berkampanye besar besaran agar kita memilih calon dari partai politik tersebut. Untuk jaman seperti ini, kita dituntut untuk sensitif terhadap gejolak gejolak politik yang terjadi di negara kita ini. Dana kampanye pasti bersumber dari suntikan dana ilegal yang ada di pemerintahan. Korupsi terjadi juga karena ada celah yang bisa dimasuki dalam hukum di Indonesia. Artinya, hukum yang ditegakkan di Indonesia kurang menghukum para koruptor. Buktinya, masih banyak koruptor yang berkeliaran di Indonesia bahkan ketika dia sudah tertangkap dan harus mendekam di penjara, tersangka korupsi masih bisa pelesiran tengok saja Gayus Tambunan. Selain itu, para koruptor malah dimanjakan di dalam penjara dengan fasilitas super mewah seperti di hotel. Bila benar begini hukuman bagi para koruptor, maka tidak akan memberikan efek jera pada pelaku koruptor yang ada korupsi akan semakin merajalela. Usaha pemerintah untuh memberantas korupsi akan sia sia karena praktek korupsi telah terjadi hampir di setiap departemen, sulit untuk menemukan departemen atau pemerintahan yang benar benar bersih dari korupsi. Pemerintahan kita masih jauh dari konsep good governance atau bahkan clean governance. Dilihat dari segi manapun, korupsi tetaplah haram dilakukan. Karena secara tidak sadar, budaya korupsi ini mendidik generasi bangsa untuk hidup dengan cara yang kotor. Korupsi telah mengkhianati Pancasila yang merupakan dasar negara kita hingga saat ini. Korupsi telah melanggar sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sini tersirat makna bahwa maksudnya yaitu seluruh rakyat Indonesia bisa hidup dengan sejahtera dan makmur. Kenyataannya, korupsi telah

merusak mimpi itu dan membiarkan rakyat terus hidup sengsara. Korupsi telah memakan uang negara yang nilainya tidak sedikit, padahal uang tersebut adalah anggaran untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Para pejabat lebih mementingkan untuk memperkaya dirinya sendiri ketimbang menyejahterakan rakyat. Tentunya ini sangat tidak adil, dimana pejabat negara semakin kaya sedangkan rakyat tetap menderita. Yang lebih parah, kemiskinan rakyatnya itu dikapitalisasi dan digunakan alas \an untuk mendapatkan dana. Padahal, dana itu untuk dirinya sendiri. Praktek tersebut sering terjadi di daerah daerah yang penduduknya mayoritas rakyatnya miskin. Dari segi sosial, yang terjadi adalah kesenjangan hidup antara pejabat yang semakin kaya dan rakyat miskin yang tak kunjung sejahtera. Padahal, jika pemerintah bisa jujur rakyatnya akan bisa hidup dengan sejahtera dan makmur. Dari segi hukum, sanksi yang diberikan oleh aparat penegak hukum juga tidak terlalu memberatkan koruptor sehingga dalam jangka beberapa tahun mereka bisa menghirup udara segar lagi di luar tahanan. Sungguh sangat berbanding terbalik jika rakyat biasa yang melakukan tindak melanggar hukum. Orang tersebut akan dihukum seberat beratnya, kadang di luar nalar kita semisal kasus pencurian semangka oleh kakek kakek, akhirnya kakek tersebut harus dihukum 2 tahun. Padahal itu hanya tiga buah semangka, bandingkan dengan koruptor yang telah mencuri uang negara hingga trilyunan tetapi mereka hanya divonis 4 tahunan atau lebih sedikit bahkan ada yang kasusnya ditutup seperti mantan Presiden Soeharto ataupun seperti kasus Bank Century yang belum jelas arahnya. Korupsi juga telah mengesampingkan nilai kemanusiaan yang tertera pada Pancasila sila ke -2 yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Tindakan korupsi sungguh tak manusiawi, apalagi harta yang dikorupsi adalah untuk kepentingan bersama atau kepentingan rakyat. Betapa tidak ada belas kasihnya para pejabat itu melihat rakyatnya masih membutuhkan sesuap nasi untuk tetap bertahan hidup. Di dalam kehidupan tentunya ada nilai nilai kemanusiaan yang harusnya, para pejabat mempunyai itu. Tingkah mereka sudah hampir mirip dengan tingkah laku hewan yang lebih memikirkan perutya sendiri. Pejabat sekarang tidak memiliki simpati

kepada rakyatnya, mereka lebih memprioritaskan kepentingan golongannya. Di samping itu, korupsi juga telah melanggar perjanjiannya dengan Tuhannya. Sila ke-1 Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dilanggarnya dengan melakukan korupsi. Di dalam ajaran agama pun diajarkan bahwa korupsi adalah perbuatan dosa yang akan dihukum oleh Tuhan nanti di akhirat. Pejabat seperti tidak takut pada dosa dan telah melupakan adanya Tuhan. Mereka menggadaikan keimanan mereka demi harta duniawi. Sungguh, harta telah menggelapkan mata para pejabat. Oleh karena itu, untuk memberantas korupsi atau memusnahkannya pemerintah berusaha keras untuk menemukan solusi yang akan kita lakukan untuk memberantas korupsi. Di dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi periode jangka panjang (2012-2025) adalah: terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang berintegritas. Adapun untuk jangka menengah (2012-2014) bervisi terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas. Visi jangka panjang dan menengah itu akan diwujudkan di segenap ranah, baik di pemerintahan dalam arti luas, masyarakat sipil, hingga dunia usaha. Untuk mencapai visi tersebut di atas, maka dirancang 6 langkah untuk melenyapkan korupsi yaitu: Pencegahan. Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera

terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya, pendekatan represif ini masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis-massif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur

berdasarkan peningkatan nilai Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik. Penegakan Hukum. Masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas, padahal animo dan ekspektasi masyarakat sudah tersedot sedemikian rupa hingga menanti-nanti adanya penyelesaian secara adil dan transparan. Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap berseberangan dengan hukum. Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri, keadaaan bisa makin runyam. Absennya kepercayaan di tengah-tengah masyarakat, tak ayal, menumbuhkan rasa tidak puas dan tidak adil terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya. Pada suatu tempo, manakala ada upaya-upaya perbaikan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, maka hal seperti ini akan menjadi hambatan tersendiri. Untuk itu, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat mutlak perlu dipercepat. Tingkat keberhasilan strategi penegakan hukum ini diukur berdasarkan Indeks Penegakan Hukum Tipikor yang diperoleh dari persentase penyelesaian setiap tahapan dalam proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga

penyelesaian eksekusi putusan Tipikor. Semakin tinggi angka Indeks

Penegakan Hukum Tipikor, maka diyakini strategi Penegakan Hukum berjalan semakin baik. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Meratifikasi UNCAC, adalah bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya, klausul-klausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru, sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi Indonesia dengan klausul UNCAC. Semakin mendekati seratus persen, maka peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin lengkap dan sesuai dengan common practice yang terdapat pada negara-negara lain. Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor. Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian aset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundangundangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan (perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction). Penyelamatan aset perlu didukung oleh pengelolaan aset negara yang dilembagakan secara profesional agar kekayaan negara dari aset hasil tipikor dapat dikembalikan kepada negara secara optimal. Keberhasilan strategi ini diukur dari persentase pengembalian aset hasil tipikor ke kas negara berdasarkan putusan pengadilan dan persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerjasama internasional terkait pelaksanaan permintaan dan penerimaan permintaan Mutual Legal Assistance (MLA) dan Ekstradisi. Semakin tinggi pengembalian aset ke kas negara dan

keberhasilan kerjasama internasional, khususnya dibidang tipikor, maka strategi ini diyakini berjalan dengan baik. Pendidikan dan Budaya Antikorupsi. Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikad kolaboratif dari Pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya, bisa berupa upaya menanamkan nilai budaya integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan sistematis, baik melalui aktivitas pendidikan anti korupsi dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan publik maupun swasta. Dengan kesamaan cara pandang pada setiap individu di seluruh Indonesia bahwa korupsi itu jahat, dan pada akhirnya para individu tersebut berperilaku aktif mendorong terwujudnya tatakepemerintahan yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan prakarsaprakarsa positif bagi upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan tatakepemerintahan pada umumnya. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku Antikorupsi yang ada dikalangan tatakepemerintahan maupun individu di seluruh Indonesia. Semakin tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai budaya anti korupsi semakin terinternalisasi dan mewujud dalam perilaku nyata setiap individu untuk memerangi tipikor. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi. Strategi yang mengedepankan penguatan mekanisme di internal Kementerian/Lembaga,

swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar aliran data/informasi terkait progres pelaksanaan ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan publikasi Informasi di berbagai media, baik elektronik maupun cetak, termasuk webportal PPK, akan mempermudah pengaksesan dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan dan pengukuran kinerja PPK. Keberhasilannya diukur berdasarkan indeks tingkat kepuasan pemangku kepentingan terhadap laporan PPK. Semakin tinggi tingkat kepuasan pemangku kepentingan, maka harapannya, semua kebutuhan informasi dan pelaporan terkait proses penyusunan kebijakan dan penilaian progres PPK dapat semakin terpenuhi sehingga upaya PPK dapat dikawal secara berkesinambungan dan tepat sasaran.

KESIMPULAN Indonesia merupakan negara yang sangat korup dengan kasus korupsi yang semakin banyak dan merata di semua lini pemerintahan. Korupsi telah melanggar Pancasila yaitu sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa, sila ke-2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan sila ke-5 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Korupsi benar benar mengkhianati Pancasila dan pejabat telah menyalahgunakan kepercayaan publik. Untuk itu, pemerintah mencanangkan langkah langkah khusus untuk upaya pemberantasan korupsi diantaranya yaitu : 1. Pencegaham 2. Penegakan hukum 3. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan 4. Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor 5. Pendidikan dan Budaya Antikorupsi 6. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi Kita dukung upaya pemerintah untuk memberantas korupsi demi terwujudnya kehidupan seluruh warga negara yang adil, makmur, dan sejahtera.

10

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 1984 Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Muzadi, H. 2004. MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Malang, Bayumedia Publishing. Rijadi, Prasetijo, 2010, Prawacana Hukum, Keadilan dan Pancasila dalam MafiaHukum, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher Website : id.wikipedia.org wiki Korupsi

11

You might also like