You are on page 1of 3

Perempuan Nelangsa dalam Cerpen Happy Salma

Asep Sambodja
Universitas Indonesia

Judul buku: Pulang


Penulis: Happy Salma
Penerbit: Koekoesan
Tahun terbit: 2006
Tebal: 120 halaman

Pada mulanya adalah kecurigaan. Kita dapat saja curiga kenapa Happy Salma menulis
karya sastra. Kenapa Happy Salma menulis cerpen dan sudah pula diterbitkan dalam kumpulan
cerpen Pulang (Depok: Koekoesan, 2006)? Kalau kita mengutip Ignas Kleden, setidaknya ada
tiga kegelisahan yang menyebabkan seseorang menulis, yakni kegelisahan eksistensial, kegelisahan
politik, dan kegelisahan metafisik. Yang menjadi persoalan kemudian adalah kegelisahan macam
apa yang melatarbelakangi Happy Salma ketika menulis cerpen?
Sebagai seorang artis sinetron dan bintang iklan, Happy Salma tidak perlu lagi
mencemaskan persoalan eksistensial karena ia sudah eksis di bidangnya. Namun, sebagaimana
Rieke Diah Pitaloka—artis yang juga menghasilkan karya sastra berupa puisi dan berpolitik
praktis—Happy Salma tampaknya merasa tidak cukup puas dengan gemerlapan di dunia selebritis.
Ia ingin lebih dari sekadar terkenal sebagai artis dan bintang iklan, ingin lebih dari sekadar meraih
uang dalam jumlah besar, dengan menulis karya sastra, dalam hal ini cerpen.
Karena apa? Kita tahu bahwa sastra sebagai karya seni berpotensi menyimpan sekaligus
merekam pikiran dan perasaan kita lebih lama dan “abadi”. Dengan menuangkan gagasannya
melalui karya sastra, kita sebagai pembaca tidak saja menikmati cerita Happy Salma, tetapi juga
menangkap pesan yang hendak disampaikannya. Bisa jadi melalui media sastra ini, Happy Salma
lebih leluasa menyampaikan dan mengekspresikan gagasannya.
Kumpulan cerpen Pulang karya Happy Salma ini sebagian besar berbicara tentang pulang;
yang berarti kembali ke rumah, kembali ke kampung halaman, kembali ke orangtua, kembali ke
alam baka, atau yang dikenal sebagai sangkan paraning dumadi, manusia berakal yang mencoba
mencari asal-muasalnya dan pencarian tujuan bagi segala yang diciptakan di muka bumi. Dalam
cerpen-cerpen Happy Salma, Pulang juga bisa berarti meninggalkan tindakan buruk (“Pada
Sebuah Pementasan”), kematian (“Adik”), atau juga firasat buruk yang dirasakan ibu terhadap
anaknya yang tak pernah memberi kabar meskipun terus mengirim uang dari perantauan
(“Pertemuan”).
Ada tiga cerpen dalam kumpulan buku ini yang memperlihatkan Happy Salma serius
menghasilkan karya sastra, yakni cerpen “Pulang”, “Pertemuan”, dan “Ibu dan Anak
Perempuannya”. Saya katakan serius karena Happy Salma tidak sekadar menghibur, tapi juga
bersuara, yakni menyuarakan jeritan perempuan yang nelangsa, perempuan yang sengsara. Dengan
demikian, cerpen Happy Salma memenuhi fungsi karya sastra yang disebut Horatius sebagai dulce
et utile (menghibur dan bermanfaat).
Dalam cerpen “Pulang”, Happy Salma memperlihatkan seorang perempuan yang
memberontak terhadap kekangan budaya patriarki. Semakin keras kekangan itu atau semakin
besar represi yang dilakukan oleh orangtua, semakin besar pula resistensi yang dilakukan seorang
anak terhadap orangtua. Dalam cerpen tersebut, sang bapak melarang anaknya berhubungan
dengan lelaki yang berbeda agama atau keyakinan. “Nar, kita orang Sunda, orang Sunda tidak
ada yang memiliki dua keyakinan dalam satu rumah, apa pun alasannya,” suara Bapak berubah
parau (halaman 94).
Sang Bapak sangat yakin anaknya dapat mengerti dan memahami pernyataannya. Namun,
tanpa sepengetahuan sang bapak, sang anak sebenarnya sangat membencinya, karena
hubungannya dengan lelaki beda agama itu sudah demikian jauh, karena ia sudah tidak perawan
lagi. Tapi, bukan soal tidak perawan itu yang menggelisahkannya, melainkan kepergian sang
kekasih setelah tidak mendapat restu dari orangtua. Meskipun demikian, perlawanan yang
dilakukan sang anak hanyalah perlawanan dalam kepatuhan. Hal ini dapat terbaca di akhir cerita.
Aku masuk ke dalam rumah, kutatap wajah Bapak yang sedang duduk bersila di hamparan
sajadah menanti maghrib tiba. Semakin tua, semakin sering dia berdoa. Kelu kucium tangannya.
Tanpa kata aku pergi, tanpa ingin kembali ke rumah ini, sampai aku tahu apa yang kumau. Tak
apalah aku dibilang egois, sekali-kali (halaman 97). Ia membenci bapaknya, tapi ia masih
menghormatinya.
Perempuan yang nelangsa juga tergambar dalam cerpen Happy Salma yang lain, “Ibu dan
Anak Perempuannya”. Dalam cerpen ini, Happy Salma menggunakan metafor yang menarik,
“Waduh, halaman rumah harus dirapikan. Walaupun tanaman tropis berwajah hijau dan segar, tapi
kalau tidak ditata, ternyata bisa menyesakkan juga. Jadi, penghuni rumah yang sedang sakit pun
tercermin.” (halaman 29). Kalimat simbolik itu merujuk pada sang ibu yang memang benar-benar
sakit parah dan hanya tergolek lemah di ranjang, karena mengidap sakit gula, sekaligus merujuk
seorang anak perempuan, Arum, yang “sakit” karena harus melayani laki-laki hidung belang setiap
hari.
Perempuan nelangsa di sini adalah sang ibu yang ditinggal pergi suami dan anaknya
sekaligus. Suaminya menikah dengan gadis seusia anaknya dan tega meninggalkan istrinya
nelangsa. Sementara anak perempuannya, Arum, kawin lari dengan laki-laki yang sudah beristri,
namun kemudian ditelantarkan. Sejak itu dan karena itu pulalah Arum hidup dari satu laki-laki ke
laki-laki lain karena hanya dengan cara dan jalan seperti itulah Arum dapat menjaga ibunya untuk
terus berobat guna menghadapi penyakit gula yang mematikan dan membutuhkan biaya selangit
itu.
Dalam cerpen “Pertemuan”, Happy Salma berhasil bertutur dengan halus sehingga
pembaca dikejutkan di akhir cerita. Cantik, perempuan itu, diperintahkan ibunya untuk mencari
kakaknya yang tidak pernah berkabar lagi. Dengan perasaan terpaksa, Cantik mencari kakaknya,
Bang Jul, yang diketahui tinggal di Depok. Ternyata, pertemuan itu sangat mengejutkan karena
kakaknya yang dulu pernah bekerja sebagai office boy di sebuah supermarket, kini menjelma
menjadi waria atau banci yang cantik. Yang lebih mengejutkan lagi, dari kamar kakaknya itu
keluar seorang laki-laki bule berbadan tegap. Cantik lemas, Cantik terluka, tak mampu berkata
apa-apa selain menyampaikan pesan dari ibunya agar kakaknya segera pulang meskipun ia sendiri
tak berharap kakaknya yang telah berganti kelamin itu pulang.
Ibu, perempuan, yang muncul dalam cerpen Happy Salma adalah sosok perempuan yang
nelangsa. Perempuan yang sakit. Sakit karena suaminya kawin lagi. Sakit karena anaknya kawin
lari dengan laki-laki beristri dan kemudian menjadi pelacur. Sakit karena anak laki-lakinya
menjelma banci yang cantik dan menjual diri. Sakit karena dilarang kawin dengan laki-laki
pilihannya sendiri meskipun berbeda agama. Sakit karena tak dapat menghilangkan pusaka dari
dirinya sehingga harus bersetubuh dengan siluman (“Umi”).
Happy Salma berhasil menyuguhkan sebuah karya sastra yang tidak saja memikat, tapi
juga mencerahkan. Bahwa masih ada persoalan perempuan yang perlu disuarakan secara
terus-menerus dari hati yang paling dalam, dan masih banyak pula permasalahan yang perlu
diperbaiki. Karena, “Aku sadar, aku pun bukan aku yang dulu. Waktu telah mengubahnya, ia
telah mengubah segalanya.” (halaman 92). Cerpen-cerpen yang terhimpun dalam Pulang menjadi
alasan kuat kenapa kita harus menyambutnya dalam khazanah sastra Indonesia. ***

You might also like