You are on page 1of 4

Lebaran Ini, Saya Harus Pulang Cerpen Umar Kayam

MALAM itu, Nem merencanakan untuk, sekali lagi, mengemukakan rencananya, secara terus terang, kepada majikannya. Sekali lagi dan secara terus terang, karena sesungguhnya rencananya itu sudah beberapa kali dikemukakannya kepada majikannya. Tetapi, setiap kali Nem mengemukakan rencananya itu, majikannya selalu membelokkan persoalan ke hal-hal lain, hingga akhirnya pembicaraan antara pembantu dan majikan itu berakhir dengan diskusi perkara tetek-bengek lainnya.

Malam itu Nem bertekad akan mengemukakan rencananya secara tegas dan lugas, langsung kepada persoalannya, sehingga majikannya tidak akan sempat membelokkan inti persoalannya. Maka Nem memilih waktu untuk berbicara itu pada malam hari, pada waktu suami-istri majikannya serta anak mereka satu-satunya duduk menghadap layar teve, menikmati acara tayangan musik, atau acara ringan lainnya. Begitu saatnya yang diperkirakan Nem datang, Nem pun segera menggelesot duduk di dekat kaki majikan perempuannya. Kaki majikan perempuannya itu langsung dipegang dan terus dipijitnya.

Majikannya yang memang punya kesukaan dipijit pembantunya langsung menyerahkan kaki kiri yang sudah mulai dipijit pembantunya.

"Eh, kok tumben, tidak dipanggil dan diminta, kok jam masih sore begini mijit kaki saya." Nem tersenyum, merasa siasatnya berhasil.

"Begini lho, Bu, Pak, dan Mbak. Lebaran ini saya mau pulang mudik."

"Oh, ada maunya to, tidak diminta, sore-sore datang mijit kaki saya!"

Nem tidak melayani perkataan majikan perempuannya itu. Sebaliknya Nem menyambutnya dengan bercerita panjang tentang dirinya.

Kalau dihitung-hitung dan dipikir-pikir, saya ini 'kan sudah dua puluh tahunan ikut Bapak dan Ibu di sini. Wong waktu bapaknya genduk-genduk itu meninggal karena dimakan tipus, sudah berapa lama itu? O alah, Pak'e, kok ya kamu itu begitu saja mati. Lha, saya itu sampai dua tahun sepeninggal kamu bingung sendirian di desa, ditinggal genduk-genduk, anak-anakmu yang pada kawin sama orang-orang yang pada mau mencari kerjaan di seberang. Enggak tahu di mana anak-anak itu. Entah di tanah Arab, entah di tanah Melayu. Eh, kok ya tega-teganya anak-anak itu meninggalkan emboknya sendirian di desa. Untung

masih ada kemenakan-kemenakan, si Djan dan si Min, yang sudah pada mapan punya keluarga yang mau mengurus saya. Ya, meskipun keluarga kemenakan-kemenakan itu baik-baik mengurus saya, tapi wong mereka sendiri keluarganya besar, mana cuma tinggal di satu rumah warisan bapak mereka, saya ya lama-lama tidak kerasan juga. Rikuh saya. Ya, waktu ada teman si Djan itu datang dari Jakarta mencari tenaga pembantu rumah di Jakarta, saya ya nekad mau berangkat mencoba peruntungan jadi babu di Jakarta. Eh, kok ya terus kerasan ikut Bapak dan Ibu di sini. Sudah berapa tahun itu Pak, Bu, Mbak? Sedikitnya 'kan sudah dua puluh tahun, to?

Nem masih terus memijit kaki majikan perempuannya. Malah majikannya itu memejamkan matanya, tampak menikmati pijitan Nem.

"Lha, kamu senang tidak tinggal bersama kami, Nem?"

"Lho, ya senang dan krasan to, Pak. Sedikitnya tinggal, ikut Bapak dan Ibu selama lima belas tahun, 'kan ya lama, nggih?" Majikan perempuan Nem tiba-tiba membuka matanya, kemudian duduk tegak, memandang Nem.

"Heisy, tadi katanya dua puluh tahun. Sekarang kok turun jadi lima belas tahun?"

"Lha, iya, lima belas tahun, dua puluh tahun, 'kan sama saja. Lama semua to, Bu, Pak, Mbak."

"Terus, terus, Yu?"

"Lho, kok terus-terus to, Mbak. Ya, saya Lebaran mesti pulang. Mesti, harus, Mbak. Sudah lamaa sekali Yu Nem tidak pulang ke desa, lho, Mbak."

"Hayah, dua tahun yang lalu kamu 'kan pulang, to?"

"Dua tahun? Dua tahun yang lalu, Bu?"

"Hualah, iya! Malah kamu dijemput kemenakanmu Djan dan cucumu Giman begitu, lho!"

Nem diam. Dia lalu ingat Djan dan cucunya Giman memang datang untuk pulang mudik Lebaran. Nem kemudian ingat bagaimana susah dan repotnya perjalanan pulang ke desa itu. Kereta api padat berjubel dengan penumpang. Disambung oplet, kemudian untuk sampai ke desanya harus dibonceng ojek tiga sepeda motor. Dan semua ongkos pulang untuk tiga orang itu harus dia yang membayar.

Di desa dia melihat istri Djan mengandung anaknya yang kelima. Sedang istri Min, istri kemenakannya yang lain, mengandung anaknya yang kelima juga. Rumah itu segera menjadi rumah yang ramai sekali. Nem, sore-sore diajak dua kemenakannya dan anak-anaknya berjalan-jalan, pertama, mengitari halaman yang lumayan luas itu, kemudian singgah di kandang kerbau dan kemudian ke sawah dan keliling desa yang tidak berapa besar itu. Waktu mereka berhenti di depan kandang kerbau Nem melihat ada empat ekor kerbau dengan dua ekor anak-anaknya. Djan dan Min menjelaskan kepada Nem bahwa itu semua kerbau Nem. Sesungguhnya lebih dari itu, tetapi seekor sudah dipotong waktu selamatan seribu hari suami Nem, yang seekor dijual waktu desa kena pageblug demam berdarah. Dua anak di rumah itu kena, tetapi untunglah sembuh. Tetapi, ongkos pengobatannya banyak juga. Dan juga dibutuhkan ongkos untuk selamatan-selamatan untuk lebih dapat melindungi seluruh rumah dari demam berdarah yang lebih hebat lagi. Nem mendengarkan laporan kemenakan-kemenakannya itu dengan penuh haru sekaligus ikhlas.

"Ikhlas ya, Mbokde?"

"Ya ikhlas to, Le."

Di tepi sawah Nem melihat sawah peninggalan suaminya, yang memang hanya beberapa kedok itu, kelihatan menciut. Sawah itu memang menciut karena banyak dimakan wereng dan terpaksa separuh dari seluruh sawah Nem itu dijual murah kepada petani yang lebih kaya. Juga itu Nem ikhlas.

"Jadi sudah, Nem, kamu Le-baran ini ikhlas betul meninggalkan kami?"

"Lha, bagaimana lagi Bu, Pak, dan Mbak. Saya ini 'kan sudah semakin tua dan terus terang semakin capek, Lebaran ini, pokoknya saya harus pulang untuk seterusnya."

"Terus di desa kamu mau kerja apa, Nem?"

"Ya, belum tahu, Pak. Mungkin cuma momong cucu-cucu, anak-anak Djan dan Min."

"Lho, apa mereka cucumu?"

"Ya cucu-cucu saya to, Bu. Wong Djan dan Min itu kemenakan-kemenakan saya. Anak-anaknya ya cucu saya."

"Lha, anak-anaknya sendiri apa kabarnya, Nem?"

"Wah, ya tidak tahu, Bu. Sudah hilang dibawa suami mereka."

"Ya sudah, Nem, kalau kemauanmu sudah keras begitu. Tapi sebelum pergi, paling tidak kamu harus berbakti kepada kami, masak keahlianmu rawon iga-sapi dan sop-buntut kacang merah."

"Jadi, Bu! Dados!" ***

PADA malam harinya, di kamar Nem yang kecil di bagian belakang rumah majikannya, di tempat tidur yang sempit itu, Nem merasa lega tetapi sekaligus juga gelisah dan kepanasan. Lega, karena sudah dapat melaporkan keinginannya untuk pamit pulang seterusnya ke desa. Tetapi juga gelisah membayangkan bagaimana di desa itu. Waktu dalam kunjungannya yang terakhir di desanya, dia menyaksikan kerbaunya dan sawahnya sebagian dijuali kemenakan-kemenakannya. Memang itu untuk keperluan yang mendesak, karena itu Nem ikhlas saja. Tetapi, cerita-cerita yang dia dengar dari kiri dan kanan, desa-desa semakin rusuh dan melarat keadaannya. Kerbaunya, sawahnya, rumah kemenakankemenakannya, bagaimana? Jangan-jangan kerbau dan sawahnya sudah habis dijual untuk biaya makan sehari-hari dan rumah tempat tinggal kemenakannya sudah disewakan separuh kepada tengkulak tembakau untuk dijadikan gudang. Nem tidak berani membayangkan lagi. Kaki-kakinya yang sudah sering encok, terasa sakit lagi malam itu. Nem pun menarik kainnya yang sudah usang buat selimut untuk melindungi kaki-kakinya dari gigitan nyamuk dan angin malam.

Dalam tidur itu, ajaib, mulut Nem masih kelihatan menyungging senyum

You might also like