You are on page 1of 8

PERANAN PERIFITON SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS PERAIRAN LOTIK DI SUNGAI BENGAWAN SOLO

Disusun oleh: Prabasthoro Fendy K NIM. M0410047

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sungai merupakan perairan berarus sebagai salah satu sumber perairan yang sangat diperlukan bagi seluruh makhluk hidup yang memerlukan air sebagai cairan di dalam tubuhnya. Manusia membutuhkan air yang sudah diolah maupun dari mata air langsung dengan kandungan baku tertentu, sedangkan hewan dan tumbuhan membutuhkan air langsung dari sungai ataupun air sungai yang sudah diolah dengan filtrasi. Air sungai yang bersih akan memberikan dampak baik bagi pertumbuan dan perkembangan tubuh makhluk hidup di sekitar sungai seperti pohon, ikan, burung, pengerat, dan lain-lain. Sedangkan jika air tercemar oleh bahan pencemar akan menyebabkan kerusakan sel dan mengganggu pertumbuhan makhluk tersebut dan bisa menyebabkan kematian. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengecekan kualitas air sungai, agar diketahui penyebab dan tingkat pencemarannya.

B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari perifiton ? 2. Mengapa perifiton bisa menjadi bioindikator pencearan sungai ?

C. Tujuan 1. Dapat mengetahui pengertian dari perifiton 2. Mengetahui perifiton sebagai bioindikator pencemaran sungai

BAB II KAJIAN TEORI

A. Ekosistem Sungai Sungai merupakan suatu ekosistem perairan tawar yang dikenal secara umum selain waduk, danau maupun situ. Ekosistem sungai merupakan perairan mengalir (lotik) yang memiliki karakteristik aliran air yang cukup kuat dan memiliki pola pencampuran massa air yang lebih bersifat menyeluruh sehingga perairan sungai biasanya lebih keruh akibatnya proses penetrasi cahaya ke dasar sungai menjadi terhambat (Goldman & Horne 1983).

Kondisi ekosistem perairan sungai berbeda dengan perairan tergenang (lentik) seperti danau, maupun waduk yang memiliki stratifikasi kolom air sehingga proses pencampurannya relatif kecil dan bersifat spasial. Karakteristik arus yang kuat pada ekosistem sungai biasanya dipengaruhi oleh iklim dan musim, dimana pada musim kemarau arus yang terjadi lambat sedangkan pada musim hujan arus yang mengalir sangat kuat sehingga mengakibatkan pengikisan tanah dan batuan (erosi) yang akhirnya menimbulkansedimentasi. Berdasarkan pola arus yang terjadi, ekosistem perairan sungai dapat dibagi menjadi dua yaitu ekosistem perairan sungai berarus cepat dan lambat. Pada ekosistem sungai berarus cepat biasanya dicirikan oleh tipe substrat berbatu dan berkerikil serta segmen sungai berada pada gradien tinggi, sedangkan ekosistem sungai berarus lambat biasanya tipe substratnya berpasir dan berlumpur, ciri lainnya biasanya dalam, lebar, dan berlokasi di dataran rendah. Menurut Clapham (1983) pola arus merupakan faktor utama (pembatas) terhadap keberadaan jumlah dan tipe organisme autotrop sehingga pola arus ini merupakan faktor pengontrol produktivitas dari ekosistem perairan sungai. Menurut Thornton et al. (1990) produsen primer di sungai, danau, dan waduk terdiri dari fitoplankton, bakteri, alga bentik (perifiton), dan makrofita. Pada kondisi perairan berarus perifiton lebih berperan sebagai produsen primer, sedangkan fitoplankton cenderung lebih dominan peranannya pada sungai yang dalam dan besar (Welch 1980).

B. Profil Sungai Bengawan Solo Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo merupakan DAS terbesar di Pulau Jawa, terletak di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah 1.594.716,22 Ha. Lokasi DAS Bengawan Solo pada posisi 110o18 BT sampai 112o45 BT dan 6o49LS sampai 8o08 LS. DAS Bengawan Solo dibagi ke dalam tiga SubDAS, yang meliputi; SubDAS Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan Solo Hilir. Luas Sub DAS Bengawan Solo Hulu 6.072 km2, luas Sub DAS Kali Madiun 3.755 km2, sedangkan luas Sub DAS Bengawan Solo Hilir 6.273 km2. SubDAS Bengawan Solo Hulu dan Kali Madiun mengalirkan air dari lereng gunung berbentuk kerucut yakni Gunung Merapi ( 2.914 m), Gunung Merbabu ( 3.142 m) dan Gunung Lawu ( 3.265 m). Secara administratif DAS Bengawan Solo mencakup 17 (tujuh belas) kabupaten dan 3 (tiga) kota, yaitu:

Kabupaten: Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Blora, Rembang, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik dan Pacitan.

Kota: Surakarta, Madiun dan Surabaya. Berikut ini ditampilkan peta DAS Bengawan Solo Ada 20 Kabupaten/Kota yang berada di wilayah DAS Bengawan Solo. Dari

seluruh kabupaten atau kota yang berada di DAS Solo tersebut, wilayah Kabupaten Bojonegoro merupakan wilayah yang terluas, sedangkan Kota Madiun merupakan wilayah terkecil, yang daerahnya masuk di dalam batas wilayah DAS Bengawan Solo. Secara lebih rinci proporsi luas wilayah masing-masing daerah yang masuk di dalam DAS Solo adalah sebagaimana tabel berikut. Jumlah stasiun hujan yang terdapat di DAS Bengawan Solo sangat banyak, namun sebagian besar stasiun hujan tidak memiliki data yang lengkap dan kontinyu. Dari beberapa stasiun hujan yang memiliki data yang lengkap dan kontinu (dalam hal ini digunakan data tahun 1976 2010), terpilih 16 stasiun hujan yang tersebar di DAS Bengawan Solo. Stasiun hujan terpilih tersebut yang akan digunakan sebagai dasar dalam perhitungan analisis hidrologi selanjutnya. Data klimatologi yang digunakan berasal dari 3 (tiga) stasiun klimatologi berikut: Stasiun Surakarta, terdapat pada Sub DAS Bengawan Solo Hulu Stasiun Padangan, terdapat pada Sub DAS Bengawan Solo Hilir Stasiun Madiun, terdapat pada Sub DAS Madiun Daerah Aliran DAS Bengawan Solo berada dalam daerah yang beriklim tropis dengan suhu udara, kelembaban dan curah hujan yang cukup tinggi dan relatif seragam selama musim hujan. DAS Bengawan Solo memiliki dua musim, yaitu musim kemarau (Mei sampai Oktober) dan musim hujan (November sampai April), dengan kelembaban rata-rata 80%, suhu bulanan rata-rata 26,7C. Suhu minimum 26,1C terjadi pada bulan Juli, sedangkan suhu maksimum 27,2C terjadi pada bulan oktober, lama penyinaran rata-rata bulanan 6,3 jam. Kelembaban rata-rata bulanan pada DAS Bengawan Solo adalah sekitar 80%, dimana kelembaban rata-rata bulanan minimum terjadi pada bulan September sebesar 77,4% dan kelembaban rata-rata bulanan maksimum terjadi pada bulan januari dan pebruari sebesar 82,3%. Lama penyinaran rata-rata bulanan yang terjadi pada DAS Bengawan Solo adalah sekitar 6,3 jam perhari. Penyinaran rata-rata bulanan minimum terjadi pada bulan desember yaitu 4,2 jam per hari, sedangkan

penyinaran rata-rata bulanan maksimum terjadi pada bulan agustus yaitu 8,1 jam per hari. Kecepatan angin rata-rata bulanan untuk DAS Bengawan Solo adalah 1,2 m/det. Nilai kecepatan minimum adalah 1, m/det sedangkan nilai kecepatan maksimum adalah 1,6 m/det. Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo merupakan DAS terbesar di Pulau Jawa, terletak di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah 1.594.716,22 Ha. Lokasi DAS Bengawan Solo pada posisi 110o18 BT sampai 112o45 BT dan 6o49LS sampai 8o08 LS. DAS Bengawan Solo dibagi ke dalam tiga SubDAS, yang meliputi; SubDAS Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan Solo Hilir. Luas Sub DAS Bengawan Solo Hulu 6.072 km2, luas Sub DAS Kali Madiun 3.755 km2, sedangkan luas Sub DAS Bengawan Solo Hilir 6.273 km2. Evaporasi rata-rata bulanan yang terjadi pada DAS Bengawan Solo adalah 3,9 mm dimana nilai evaporasi terjadi pada bulan Juni Oktober saat musim kemarau, sedangkan saat musim hujan antara bulan Desember Mei relatif lebih rendah. Kondisi angin bertiup dari arah barat daya kearah barat laut pada bulan Nopember sampai April dengan kecepatan angin rata-rata bulanan 1,2 m/det, yang mengakibatkan terjadinya musim hujan dalam Wilayah Sungai Bengawan Solo. Sedangkan pada periode bulan Juli sampai Oktober, berlangsung musim kemarau dimana angin bertiup dari arah Selatan dan Tenggara. DAS Bengawan Solo merupakan sebuah sumber air yang potensial bagi usaha-usaha pengelolaan dan pengembangan sumber daya air (SDA), untuk memenuhi berbagai keperluan dan kebutuhan, antara lain untuk kebutuhan domestik, air baku air minum dan industri, irigasi dan lain-lain. Pada saat musim kemarau, DAS Bengawan Solo sering mengalami kekeringan dan masalah intrusi air laut, sebaliknya pada musim hujan di beberapa kabupaten sering mengalami bencana banjir yang mengakibatkan kerugian harta benda dan jiwa manusia yang tidak sedikit. DAS Bengawan Solo memiliki kondisi topografi yang relatif datar, sebagian besar daerahnya berada di dataran rendah terutama sub DAS Bengawan Solo Hilir. Kemiringan dasar DAS Bengawan Solo juga bervariasi mulai landai sampai curam. DAS Bengawan Solo yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa, mengalir dari pegunungan Sewu di selatan Surakarta, ke Laut Jawa di utara Surabaya melalui alur sepanjang 600 km. Anak-anak sungai pada sub DAS Bengawan Solo Hulu dan Kali Madiun yang mengalirkan air dari lereng Gunung Merapi, Merbabu dan

Lawu, banyak membawa material sedimen dari hasil erosi pada lereng-lereng tersebut, sehingga mengakibatkan sedimentasi yang tinggi di Sungai Bengawan Solo. Sub DAS Bengawan Solo Hilir, dengan panjang alur sungai 300 km dan luas 6.273 km2 membentuk alur sungai yang lebar dengan kemiringan landai, melalui dataran aluvial dan menjadi daerah yang sering digenangi banjir. Di dekat muara, wilayahnya berawa dan luas yang disebut Rawa Jabung dan Bengawan Jero.

C. Definisi Perifiton Perifiton merupakan gabungan beberapa ganggang, cyanobacteria, mikroba heterotrofik, dan detritus yang melekat pada permukaan batuan, kayu dan tanaman serta hewan air yang terendam pada ekosistem perairan (Odum 1971). Perifiton di perairan mengalir pada umumnya terdiri dari diatom (Bacillariophyceae), alga hijau berfilamen (Chlorophyceae), bakteri atau jamur berfilamen, protozoa, dan rotifera (tidak banyak pada perairan tidak tercemar), serta beberapa jenis benthos (Welch 1952). Komunitas pembentukan perifiton yang ada pada substrat dalam perairan seperti ditunjukkan pada gambar. a. Bakteri b. Navicula menisculus var.upsaliensis - prostrate, mucilage coat. c. Gomphonema parvulum short stalks, d. Gomphonema olivaceum long stalks, e. Fragilaria vaucheriae rosette, mucilage pads, f. Synedra acus large rosette, mucilage pads, g. Nitzschia sp.- rosette, mucilage pads, h. Stigeocionium sp.

Perifiton meskipun tidak banyak digunakan, tetapi cocok untuk penilaian kualitas perairan sungai (Patrick 1973; Stevenson & Lowe 1986; Rott 1991;Round 1991; Stevenson & Pan 1999). Berdasarkan tipe substrat tempat menempelnya, perifiton dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Epilithic, perifiton yang menempel pada batu. b. Epidendritic, perifiton yang menempel pada kayu. c. Epiphytic, perifiton yang menempel atau hidup pada permukaan daun maupun batang tumbuhan. d. Epizoic, perifiton yang menempel pada permukaan tubuh hewan. e. Epipelic, perifiton yang menempel pada permukaan sedimen. f. Epipsamic, perifiton yang menempel pada permukaan pasir. Perifiton dalam ekosistem perairan berfungsi sebagai sumber makanan penting bagi organisme dengan tingkat trofik yang lebih tinggi, seperti: avertebrata, larva, dan beberapa ikan. Perifiton juga dapat menyerap bahan pencemar yang ada di perairan, sehingga dapat membatasi penyebarannya di lingkungan khususnya perairan. Komunitas perifiton biasa digunakan dalam sistem produksi akuakultur yaitu sebagai sumber makanan bagi ikan. Proses perkembangan perifiton merupakan bentuk proses akumulasi yaituterjadinya peningkatan biomassa seiring dengan bertambahnya waktu. Akumulasi tersebut merupakan hasil kolonisasi dan

komposisinya, dimana keberadaannya sangat dipengaruhi oleh kemampuan perifiton dan media penempelnya. Kemampuan perifiton dalam menempel pada substratnya menentukan eksistensinya terhadap pencucian arus sehingga keberadaan

komunitasnya tetap mantap. Perifiton yang menempel pada substrat mati seperti batuan keberadaannya akan lebih mantap, tidak mengalami perubahan, rusak maupun mati, meskipun terbentuknya komunitas berjalan lambat (Ruttner 1974). Komposisi alga yang biasa ditemukan pada perairan sungai dan menempel pada batuan (Epilithic) dan tanaman air (Epiphytic) dari hasil penelitian yang dilakukan Bishop (1973) terdiri atas Cyanophyta, Rhodophyta, Cryptophyta, Bacillariophyta, Chrysophyta, Euglenophyta, dan Chlorophyta. Sedangkan menurut Hynes (1972) bentik alga yang sering ditemukan pada perairan dalam jumlah besar antara lain: Synedra, Nitzschia, Navicula, Diatoma, dan Surirella. Diatom dari kelompok pennales merupakan alga bentik yang mendominasi pada perairan berarus kuat dan seiring dengan menurunnya arus, maka keanekaragaman alga dalam

perairan akan meningkat selain diatom juga tumbuh alga bentik dari kelompok Chlorophyta dan Myxophyta (Whitton 1975). Kelompok diatom jenis pennales pada perairan berarus cenderung mendominasi karena berkaitan dengan bentuk sel (frustul) yang simetris bilateral dan sistem aliran air yang melewati sitoplasma sehingga mampu bergerak meluncur melawan arus. Selain itu, pada frustule yang berupa sobekan sobekan sel (raphe), terdapat sitoplasma yang di dalamnya mengandung mucopolysaccharides yang mampu mengeluarkan helaian cairan perekat sehingga mampu menempel di substrat dan memungkinkan untuk membantu bergerak (Sze 1993; Basmi 1999). Perkembangan perifiton di perairan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain kecerahan, kekeruhan, tipe substrat, kedalaman, pergerakan air, arus, pH, alkalinitas, kesadahan, dan nutrien. Populasi perifiton akan menurun pada perairan yang kurang mendapatkan cahaya cukup. Faktor kekeruhan pada perairan baik yang diakibatkan oleh lumpur maupun plankton juga mengakibatkan penurunan populasi perifiton khususnya yang hidup di dasar dan tergantung pada cahaya yang masuk ke perairan untuk perkembangannya (Wetzel 1979).

You might also like