You are on page 1of 48

LAPORAN KASUS PEMBESARAN KELENJAR PROSTAT (BPH) Pembimbing : dr. Budi Yuwono, Sp.

Disusun oleh : IDA WULANDARI J 500050028

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2011

LAPORAN KASUS PEMBESARAN KELENJAR PROSTAT (BPH)

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan pendidikan profesi dokter

Disusun oleh : Ida Wulandari J 500050028

Disetujui

Juli 2011 ( dr. Budi Yuwono,Sp.B) Juli 2011 ( dr. Budi Yuwono, Sp.B) Juli 2011 (dr. Yuni Prasetyo, M.Kes)

(...) (...) (..)

Dipresentasikan : Disahkan :

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struk-tur buli-buli maupun ginjal sehingga menye-babkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi selsel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktorfaktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi selsel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth

factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal sebagai factor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat. Bukti histologis adanya benign prostatic hyperplasia (BPH) dapat diketemukan pada sebagian besar pria, bila mereka dapat hidup cukup lama. Namun demikian, tidak semua pasien BPH berkembang menjadi BPH yang bergejala (symptomatic BPH). Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di dua rumah sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumber waras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat 1040 kasus ( Akbar, 2001).

BAB II LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn.K

Jenis Kelamin : Laki-laki Umur Alamat Agama Pekerjaan No RM : 66 th : Waru, sukoharjo : Islam : Petani : 162669 : 13 Juli 2011

Tanggal Masuk RS

Tanggal Pemeriksaan : 14 Juli 2011

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama Susah buang air kecil 2. Riwayat Penyakit Sekarang 10 bulan yang lalu pasien mengeluh tiba-tiba tidak bisa BAK. Kemudian pasien periksa ke bidan didekat rumahnya, oleh bidan pasien dipasang selang untuk kencing selama 3 hari. Setelah itu, pasien mengaku dapat BAK dengan lancar kembali. 3 minggu SMRS pasien mengeluh susah BAK. Pancaran melemah dan terkadang harus disertai dengan mengedan. Pasien mengaku setelah selesai BAK pasien merasa belum puas karena seperti masih ada yang tersisa. Pasien juga mengaku susah untuk menahan BAK, sehingga sebelum sampai dikamar mandi seringkali pasien sudah BAK dicelana. Pasien juga mengaku lebih sering BAK, dalam sehari pasien BAK lebih dari 8 kali tapi jumlah air kencing yang keluar sedikit-sedikit.. Kemudian pasien datang ke poli bedah RSUD sukoharjo untuk periksa, dan disarankan oleh dokter untuk operasi. Pasien tidak mual, tidak muntah, demam (-), nyeri saat BAK (), makan/minum(+) mau, BAB (+) lancar.
5

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat susah BAK: diakui yakni 10 bulan yll Riwayat BAK disertai batu : disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa seperti pasien disangkal

4. Anamnesa Sistem Sistem serebrospinal Sistem respirasi : Nyeri kepala (-), pusing (-), demam (-) : Batuk (-), pilek (-), sesak nafas(-)

Sistem kardiovaskuler : Tidak nyeri dada, sianosis (-) Sistem GIT Sistem urogenital : tidak mual, tidak muntah, makan/minum (+) mau, BAB(N) : BAK sulit, pancaran lemah, susah menahan BAK.

Sistem muskuloskeletal : tidak ada hambatan dalam bergerak Sistem integumentum Sistem Genitalia pus (-), nyeri tekan (-). : suhu raba hangat : Panas saat BAK (-), Kemerahan pada ujung alat genital (-),

C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Vital sign TD N RR S : 120/70 mmHg : 88 x/menit : 20 x/menit : 36,4 C

2. Status Generalis Keadaan umum : Cukup Gizi Kesadaran : kesan cukup : compos mentis

a) Kepala Bentuk Rambut Mata o Palpebra : edema -/6

: normocephal : hitam, distribusi merata, tidak mudah rontok

o Konjungtiva o Sklera o Pupil

: anemis -/: ikterik -/: bulat, isokor

o Refleks cahaya : (+/+) normal Mulut : sianosis (-)

b) Leher KGB Kelenjar thyroid : tidak ada pembesaran : tidak ada pembesaran

c) Thoraks Paru o Inspeksi o Palpasi o Perkusi : simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-) : fremitus taktil paru kanan dan kiri sama : sonor di seluruh lapangan paru

o Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-), wheezing (-) Jantung o Inspeksi o Palpasi o Perkusi : iktus kordis tidak terlihat : iktus kordis tidak teraba : batas jantung dalam batas normal

o Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-) d) Abdomen Inspeksi : lebih rendah dari dada, simetris

Auskultasi : bising usus (+) normal Palpasi Perkusi : Supel, massa (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) : timpani

e) Ekstremitas Akral Sianosis : hangat : (-), edema (-)

3. Pemeriksaan Rectal Toucher sphincter ani menjepit kuat mukosa recti licin ampula rectum tidak kolaps
7

teraba pembesaran prostat ukuran 3-4 cm, konsistensi kenyal, kanan dan kiri simetris, nyeri tekan (-), sulcus medianus tidak teraba, tidak berbenjol-benjol. Handscoen terdapat feses warna kuning

D. PEMERIKSAAN TAMBAHAN a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Hb Eritrosit Hematokrit Indeks Eritrosit MCV MCH MCHC Lekosit Trombosit Gol darah Hitung jenis leukosit Neutrofil segmen Limfosit Monosit HbSAg 53,9 40,2 5,9 Negative % % % 50 70 20 40 28 Negative 86,9 28,6 32,9 12,3 408 B Pf Pg % 103 uL 103 uL 82 92 27 31 32 36 5,0 10,0 150 400 Hasil 13,8 4,82 41,9 Satuan Gr/dl 106 uL % Nilai Normal 12,0 14,0

Tanggal 7 Juli 2011


4,0 5,0 37- 43

Gula darah sewaktu Ureum Creatinin

110,10

Mg/dl

70 120

25,34 0,88

Mg/dl Mg/dl

10-50 0,6-1,1

b. Pemeriksaan Radiologi Foto thoraks PA: Cor : Tidak membesar

Pulmo: - Corakan bronkovaskuler meningkat - Apex kedua pulmo tenang - Tampak bayangan bula-bula multiple dinding tipis pada kedua paracardial. - Diafragma kanan dan kiri letak rendah - Kedua sinus baik Kesan : Gbr. Bronchiectasis Gbr. Thorax Emphysematous USG urology : Ukuran prostat 72,7 X 58,8 X 53,1 mm. Kesan : Gbr. Pembesaran prostat E. DIAGNOSIS Pembesaran prostat jinak ( BPH ) F. DIAGNOSIS BANDING Karsinoma prostat G. PENATALAKSANAAN Terapi operatif : rencana akan dilakukan prostatektomi

H. FOLLOW UP Tgl 14/7/2011 o S : BAK (+) tersendat-sendat,pancaran lemah, keluhan lain (-), Puasa (+), tidur (+), BAB (+) lancar o O : KU : Baik, CM
9

K : CA -/-, SI -/Thorax : - Cor : BJ 1 2, Intensitas Reguler, Bising (-)

- Pulmo : SDV +/+, Rhonki -/-, Whezing -/Abdomen : Supel, peristaltik (+), NT (-) Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-) o Planning : dilakukan prostatektomi hari ini. o Jam 10.15 : telah selesai dilakukan operasi prostatektomi terbuka.Berat prostat setelah ditimbang yaitu 60 gram. Direndam dalam formalin 10% untuk dilakukan pemeriksaan PA

- Terapi post OP : Infus RL 20 tpm Inj. ceftriaxone 1 gr/12 jam Inj.Ketorolac 30 mg/8 jam Inj.asam traneksamat 500 mg/8 jam Cek ulang HB Irigasi guyur o Jam 15:09 : HB = 10,0 gr/dl AL = 11.700 o Jam 18:45 : DC warna merah segar Lapor dr.Budi Y, Sp.B,Advise : inj.Asam traneksamat 500 mg ekstra,spul2 hingga jernih,alirkan, traksi ditarik lagi. o Jam 20.05 : DC masih merah, sudah di spul2 1500 cc. Lapor dr.Budi Y, Sp.B, advise: cek HB cito,observasi,terapi lanjut.
10

Tgl 15/7/2011 o S : Nyeri bekas luka OP (+), keluhan lain (-), tidur (+), mual(-),muntah(-),Kentut (+) o O : KU : Baik, CM o TD :130/80mmHg o RR :18x/menit Nadi : 76 x/menit Suhu : 36,90 C o Drain (+) minimal, irigasi kemerahan. K : CA +/+, SI -/Thorax : - Cor : BJ 1 2, Intensitas Reguler, Bising (-)

- Pulmo : SDV +/+, Rhonki -/-, Whezing -/Abdomen : Supel, peristaltik (+), Luka operasi baik, rembes darah (-) Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-) o Assesment : Post OP.prostatektomi terbuka H.I o HB : 8,4 o TX : Terapi lanjut - Tranfusi WBC 2 kolf - Motivasi banyak minum

I. PEMBAHASAN KASUS Pasien laki-laki usia 66 tahun datang dengan keluhan susah BAK sejak 3 minggu yll. Dari anamnesis didapatkan gejala berupa : frequency, urgency,hesistancy, weak stream, dan sensation of incomplete bladder emptying. Kemudian dari pemeriksaan rectal toucher didapatkan pembesaran prostat dengan ukuran 3-4 cm, konsistensi kenyal, kanan dan kiri simetris, nyeri tekan (-), sulcus medianus tidak teraba, tidak berbenjol-benjol. Dan dari pemeriksaan penunjang berupa USG didapatkan kesan Gbr.Pembesaran prostat. Sehingga Pasien didiagnosa mengalami pembesaran kelenjar prostat jinak (BPH). Sehingga terapi yang terbaik untuk pasien ini adalah tindakan operatif berupa operasi prostatektomi.
11

BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Prostat

Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih di dalam pinggul dan mengelilingi bagian Biasanya walnut tengah dari uretra. sebesar membesar

ukurannya dan akan

sejalan dengan pertambahan usia. Prostat mengeluarkan sekret

cairan yang bercampur sekret dari testis, perbesaran prostate akan membendung uretra dan menyebabkan Kelenjar retensi urin.

prostat,

merupakan

suatu kelenjar yang terdiri dari


12

30-50 kelenjar yang terbagi atas 4 lobus yaitu: Lobus posterior Lobus lateral Lobus anterior Lobus media Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm. Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal. Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari : 1. Kapsul anatomis Sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang membungkus kelenjar prostat. 2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler 3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian: a) Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya yang menghasilkan bahan baku sekret. b) Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatous zone

13

c) Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang merupakan bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau mengalami hipertrofi pada usia lanjut. Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis : 1. kapsul anatomis 2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul 3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat. BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar. Secara histologis, prostat terdiri atas kelenjar-kelenjar yang dilapisi epitel thoraks selapis dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid, sehingga keseluruhan epitel tampak menyerupai epitel berlapis. Vaskularisasi Prostat Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis inferior (cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi menjadi 2 kelompok , yaitu: a. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar periurethral. b. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar paraurethral). Aliran Limfe

14

Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe iliaca interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral. Persarafan Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis. Fungsi Prostat: mensekresi cairan alkali yang encer, seperti susu, yang mengandung asam sitrat, kalsium, dan beberapa zat lain, yang berguna untuk menlindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terapat pada uretra dan vagina. Selama pemancaran kapsula kelenjar prostate berkontraksi serentak dengan kontraksi vas deferens dan vesika seminalis sehingga cairan kelenjar prostate yang encer, seperti susu menambah massa semen. Sifat alkali cairan prostate mungkin sangat penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam karena adanya hasil akhir metabolisme sperma dan akibatnya menghambat fertilitas dan motilitas sperma. Sekret vagina pada wanita juga asam (pH 3,5 sampai 4,0). Sperma tidak dapat bergerak optimum sampai pH cairan sekitarnya meningkat sekitar 6 sampai 6,5. Akibatnya, mungkin bahwa cairan prostate menetralkan keasaman cairan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilisasi sperma. Di bawah kelenjar ini terdapat Kelenjar Bulbo Uretralis yang memilki panjang 2-5 cm. fungsinya hampir sama dengan kelenjar prostat ( Anonim, 1997).

B. Definisi Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya

15

dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994) Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000) Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005) Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999) BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002) Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. Prostatektomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.

C. Etiologi BPH adalah tumor jinak pada pria yang paling sering ditemukan. Pria berumur lebih dari 50 tahun, kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%. Ketika berusia 8085 tahun, kemungkinan itu meningkat menjadi 90%. BPH sangat sering terjadi. Separuh laki-laki lebih dari 50 tahun mengalami gejala BPH, tetapi hanya 10% yang memerlukan intervensi medis atau pembedahan. Penyebab yang pasti dari terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Prostat Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut. Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benigne Prostat Hyperplasia antara lain :

16

1.

Teori DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5- reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat. Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi hormone receptor complex. Kemudian hormone receptor complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat. 2. Teori Reawakening. Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme glandular budding kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan glandular morphogenesis yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya reawakening yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic induction potential of prostatic stroma during adult hood. Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya.

17

3.

Teori stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal. Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.

4.

Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor-2 (TGF-2), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.

5.

Teori Hormonal Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan
18

mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen (Anonim, 2010). D. Pathofisiologi Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian bulibuli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal ( Purnomo, 2000). Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha
19

adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik ( Rahardjo, 1993 ).

20

E. Manifestasi klinis Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah : 1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency) 2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream) 3. Miksi terputus (Intermittency) 4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling) 5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying). Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu :
21

1. Volume kelenjar periuretral 2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat 3. Kekuatan kontraksi otot detrusor Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur : a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi. b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.

22

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur. Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah : 1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency) 2. Nokturia 3. Miksi sulit ditahan (Urgency) 4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi : Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin > 150 ml Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila
23

vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis. Keluhan-keluhan diatas biasanya disusun dalam bentuk skor symptom. Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit, diantaranya adalah skor internasional gejala-gajala prostat WHO (International Prostate Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen. Tabel 1. Skor Madsen Iversen dalam bahasa Indonesia Pertanyaan Pancaran 1 Normal 2 Berubah-ubah 3 4 Lemah 5 Menetes

Mengedan pada Tidak saat berkemih Harus menunggu Tidak pada saat akan kencing

Ya Ya

24

Buang air kecil Tidak terputus-putus Kencing tidak lampias Inkontinensia Kencing sulit ditunda Kencing malam hari Kencing siang hari Tidak ada 0-1 Ringan 2 Tidak tahu Berubah-ubah Tidak lampias Ya Sedang 3-4

Ya 1 kali >1 kali retensi retensi Berat >4

>3 jam Setiap 2-3 jam Setiap 1-2 <1 jam sekali sekali jam sekali sekali

Tabel 2. Skor internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate Symptom Score, IPSS)
Pertanyaan Keluhan pada terakhir

bulan

Adakah anda merasa buli-buli tidak kosong setelah buang air kecil Berapa kali anda hendak buang air kecil lagi dalam waktu 2 jam setelah buang air kecil Berapa kali terjadi air kencing berhenti sewaktu buang air kecil Berapa kali anda tidak dapat menahan keinginan buang air kecil Berapa kali arus air seni lemah sekali sewaktu buang kecil Berapa kali terjadi anda mengalami kesulitan memulai buang air kecil (harus mengejan) Berapa kali anda bangun untuk buang air kacil di waktu malam Andaikata hal yang anda alami sekarang akan tetap berlangsung seumur hidup, bagaimana perasaan anda

Tidak sama sekali 0

<1 sampai 5 kali

>5 sampai 15 kali

15 kali

> 15 kali

Hampir selalu

Sangat senang

Cukup senag

Biasa saja

Agak tidak senang

Tidak menyenangkan

Sangat tidak menyenangkan

25

Jumlah nilai : 0 = baik sekali 1 = baik 2 = kurang baik 3 = kurang 4 = buruk 5 = buruk sekali

F. Diagnosis Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui : 1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif 2. Pemeriksaan fisik
26

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan : a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal) b. Adakah asimetris c. Adakah nodul pada prostate d. Apakah batas atas dapat diraba e. Sulcus medianus prostate f. Adakah krepitasi Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi. Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.

27

3. Pemeriksaan laboratorium a. Darah : - Ureum dan Kreatinin - Elektrolit - Blood urea nitrogen - Prostate Specific Antigen (PSA) - Gula darah b. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test - Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik - Sedimen 4. Pemeriksaan pencitraan a. Foto polos abdomen (BNO)

28

Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat. b. Pielografi Intravena (IVP) - pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). - mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli buli. - foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin c. Sistogram retrograd Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi. d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS) - deteksi pembesaran prostat - mengukur volume residu urin e. MRI atau CT jarang dilakukan Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam macam potongan. 4. Pemeriksaan lain a. Uroflowmetri Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :
29

- daya kontraksi otot detrusor - tekanan intravesica - resistensi uretra Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies) Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.
30

c. Pemeriksaan Volume Residu Urin Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG (Sjamsuhidayat, 1997). G. Kriteria Pembesaran Prostat Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah : 1. Rektal grading Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum : - derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum - derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum - derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum - derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum 2. Berdasarkan jumlah residual urine - derajat 1 : < 50 ml - derajat 2 : 50-100 ml - derajat 3 : >100 ml - derajat 4 : retensi urin total 3. Intra vesikal grading - derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
31

- derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter - derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter - derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter 4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi : - derajat 1 : kissing 1 cm - derajat 2 : kissing 2 cm - derajat 3 : kissing 3 cm - derajat 4 : kissing >3 cm 5. Secara klinik derajat berat BPH dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu : Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan protatismus, pada DRE (colok dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50 ml. Penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum prostat menonjol pada bladder inlet. Pada derajat ini belum memerlukan tindakan operatif, dapat diberikan pengobatan secara konservatif , misal alfa bloker, prazozin, terazozin 1-5 mg per hari. Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum, prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter. Batas atas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Pada derajat ini sudah ada indikasi untuk intervensi operatif. Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urine 100 ml. penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum. Prostat menonjol sampai

lebih dari

muara ureter. TURP masih dapat dilakukan akan tetapi bila diperkirakan reseksi tidak selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total. Penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

prostat menonjol melewati muara ureter.

32

H. Penatalaksanaan Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml, sedangkan derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi ( Sjamsuhidayat,1997). Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi terbuka.
33

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk : 1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat 2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat 3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu : 1. Observasi (Watchful waiting) 2. Medikamentosa a. Penghambat adrenergik b. Fitoterapi c. Hormonal 3. Operatif a. Prostatektomi terbuka - Retropubic infravesika (Terence millin) - Suprapubic transvesica/TVP (Freyer) - Transperineal

34

b. Endourologi - Trans urethral resection (TUR) - Trans urethral incision of prostate (TUIP) - Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy) Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP) Trans urethral evaporation of prostate (TUEP) Teknik koagulasi 4. Invasif minimal - Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT) - Trans urethral ballon dilatation (TUBD) - Trans urethral needle ablation (TUNA) - Stent urethra dengan prostacath Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif. Mengenai penatalaksanaan konservatif non operatif akan dibahas pada bab tersendiri, pada bab ini hanya akan dibahas tentang penatalaksanaan secara operatif saja yang terbagi dalam prostatektomi terbuka dan prostatektomi endourologi. 1. Prostatektomi terbuka a. Retropubic infravesica (Terence Millin) Keuntungan : - Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal
35

- Mortaliti rate rendah - Langsung melihat fossa prostat - Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli - Perdarahan lebih mudah dirawat - Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila membuka vesika Kerugian : - Dapat memotong pleksus santorini - Mudah berdarah - Dapat terjadi osteitis pubis - Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal - Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari dalam vesika Komplikasi : - Perdarahan - Infeksi - Osteitis pubis - Trombosis b. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer) Keuntungan :
36

- Baik untuk kelenjar besar - Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat - Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit : 1. Batu buli 2. Batu ureter distal 3. Divertikel 4. Uretrokel 5. Adanya sistsostomi 6. Retropubik sulit karena kelainan os pubis - Kerusakan spingter eksterna minimal Kerugian : - Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica sembuh - Sulit pada orang gemuk - Sulit untuk kontrol perdarahan - Merusak mukosa kulit - Mortality rate 1 -5 % Komplikasi : - Striktura post operasi (uretra anterior 2 5 %, bladder neck stenosis 4%) - Inkontinensia (<1%)
37

- Perdarahan - Epididimo orchitis - Recurent (10 20%) - Carcinoma - Ejakulasi retrograde - Impotensi - Fimosis - Deep venous trombosis c. Transperineal Keuntungan : - Dapat langssung pada fossa prostat - Pembuluh darah tampak lebih jelas - Mudah untuk pinggul sempit - Langsung biopsi untuk karsinoma Kerugian : - Impotensi - Inkontinensia - Bisa terkena rektum - Perdarahan hebat
38

- Merusak diagframa urogenital 2. Prostatektomi Endourologi a. Trans urethral resection (TUR)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TUR meningkat dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra dengan

mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat

39

operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin , membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat. Keuntungan : - Luka incisi tidak ada - Lama perawatan lebih pendek - Morbiditas dan mortalitas rendah - Prostat fibrous mudah diangkat - Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol Kerugian : - Tehnik sulit - Resiko merusak uretra
40

- Intoksikasi cairan - Trauma spingter eksterna dan trigonum - Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar - Alat mahal - Ketrampilan khusus b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP) Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat. Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR. c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy) Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan. Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh Sander (1984). Untuk mengobati ca prostat yang masih lokal dengan memakai Nd YAG (Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) Solid state Nd YAG ini pertamakali diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi untuk
41

mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). Pc Phee menulis mengenai penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi segmental pada mukosa buli. YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan prostat oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula laser untuk prostat ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR P pada ca prostat, yang biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg 1985, Mc Nicholas 1990). Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser prostat pada penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila dilakukan TUR. Roth dan Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser Transuretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP), yang dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat menembak prostat yang disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor) sinar laser dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar prostat yang membesar. Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini tidak banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi tetapi masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd YAG ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan mempunyai efek laser maksimal pada kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek termal dapat mencapai 100C sehingga pada kekuatan 40 60 watts akan menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil yang disebut pop corn effect. Nd YAG ini aman untuk pengobatan prostat oleh karena pembuluh darah yang agak besar dan pembuluh darah pada kapsul prostat akan menjadi penahan panas (heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran panas keluar dari prostat. Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser tersebut dapat dibelokkan 90 dengan menggunakan pembelok dari emas yang ditempelkan diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat diarahkan ke jaringan
42

prostat dari dalam uretra. Dengan alat pembelok ini 92% dari energi laser masih dapat mencapai jaringan preostat. Costello (1992) mempelopori penggunaan laser ini utnuk ablasi pembesaran prostat jinak menggunakan laser yang dibelokkan 90 melalui sistoskopi. Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang kan menyebabkan laser nekrosis lebih dalam setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR. Keuntungan bedah laser ialah : 1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi 2. Teknik lebih sederhana 3. Waktu operasi lebih cepat 4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat 5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan 6. Resiko impotensi tidak ada 7. Resiko ejakulasi retrograd minimal Kerugian : Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional) ( Akbar, 2001).

43

I. Komplikasi Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut : 1. Inkontinensia Paradoks 2. Batu Kandung Kemih 3. Hematuria 4. Sistitis 5. Pielonefritis 6. Retensi Urin Akut Atau Kronik 7. Refluks Vesiko-Ureter 8. Hidroureter 9. Hidronefrosis 10. Gagal Ginjal J. Diagnosis Banding 1. Kelemahan detrusor kandung kemih a. kelainan medula spinalis b. neuropatia diabetes mellitus c. pasca bedah radikal di pelvis d. farmakologik

44

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh : a. kelainan neurologik b. neuropati perifer c. diabetes mellitus d. alkoholisme e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik) 3. Obstruksi fungsional : a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter b. ketidakstabilan detrusor 4. Kekakuan leher kandung kemih : a. fibrosis 5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh : a. hiperplasia prostat jinak atau ganas b. kelainan yang menyumbatkan uretra c. uretrholitiasis d. uretritis akut atau kronik e. striktur uretra 6. Prostatitis akut atau kronis

45

BAB IV PENUTUP 1. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. 2. Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. 3. Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, beberapa teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT dan karena proses aging (menjadi tua). 4. Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi dan iritasi saluran kemih. 7. Guna menentukan derajat pembesaran prostat dapat dilakukan dengan beberapa cara , seperti rektal grading, berdasarkan jumlah residual urin, intra vesikal grading dan berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi. 8. Derajat berat gejala klinik hiperplasia prostat dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada pemeriksaan colok dubur dan sisa volume urin yang digunakan untuk menentukan cara penanganan atau penatalaksanaannya. 9. Klasifikasi lain untuk menentukan berat gangguan miksi yaitu dengan menggunakan skor WHO PSS, dimana skor dibawah 15 dianjurkan untuk terapi non bedah atau terapi konservatif, sedangkan skor 25 lebih atau bila timbul obstruksi dianjurkan terapi bedah. 10. Penatalaksanaan terapi pada hiperplasia prostat dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu : a. b. c. d. Observasi (Watchful waiting) Medikamentosa Operatif Invasif minimal
46

11. Tindakan bedah baik itu prostatektomi terbuka maupun prostatektomi endourologi masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (>90%) meskipun akhir-akhir ini dikembangkan beberapa terapi non-bedah yang kurang invasif. 12. Trans Urethral Resection (TUR) masih merupakan prosrdur bedah yang lebih disukai untuk penanganan hiperplasia prostat. 13. Yang termasuk di dalam terapi konservatif non operatif yaitu : a. Observasi (Watchful waiting) b. Medikamentosa - Penghambat adrenergik alpha - Fitoterapi - Hormonal a. Invasif minimal - Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT) - Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD) - Trans Urethral Needle Ablation (TUNA) - Stent Urethra 14. Selain pada kelompok hiperplasia prostat derajat 1 dan mungkin juga pada derajat 2, tindakan terapi konservatif non bedah ini dapat dilakukan jika keadaan umum penderita tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi. 15. Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli.

47

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.1997. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina Anonim, 2010. Pemeriksa diagnostik,penunjang dan penatalaksanaan

BPH.www.scribd.com. Download tanggal 1 juli 2011 Akbar,M. 2001. Benigna prostat hyperplasia.www.scribd.com. Download tanggal 1 juli 2011 Corwin, Elizabeth. J. 2000. Buku Saku Phatofisiologi. Jakarta ; EGC Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC, 1994. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.

48

You might also like