You are on page 1of 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.

DEFINISI Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam plexus hemoroidalis yang tidak merupakan keadaan patologik (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi dalam kanal anal. Hemoroid sangat umum terjadi. Pada usia 50-an, 50% individu mengalami berbagai tipe hemoroid berdasarkan luasnya vena yang terkena (Smeltzer dan Bare, 2002). Hemoroid adalah kumpulan dari pelebaran satu segmen atau lebih vena hemoroidalis di daerah anorektal. Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena hemoroidalis, tetapi bersifat lebih kompleks yakni melibatkan beberapa unsur berupa pembuluh darah, jaringan lunak dan otot di sekitar anorektal.

2. ANATOMI Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar dari pada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturutturut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, dan hal ini merupakan alasan anatomis mengapa emosisikan penderita ke sisi kiri saat pemberian enema. Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang ditemukan pada bagian anus lain. Namun demikian, ada beberapa gambaran yang khas terdapat pada usus besar saja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut sebagai taenia koli . Taenia bersatu pada sigmoid distal, sehingga rectum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek dari pada usus, sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra. Apendises apiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripte Lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet dibandingkan dengan usus halus. Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior mendarahi belahan kanan (sekum, kolon asendens, dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesenterika

inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum) (Price dan Wilson, 2006).

Gambar 2.3 menjelaskan fisiologi anatomi usus halus.

Gambar 2.3 Fisiologi anatomi usus halus Sumber : www. Gambar anatomi rektum.com

Bagian utama usus besar yang terakhir disebut sebagai rectumdan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci). Suplai darah tambahan ke rectum berasal dari arteri hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis(Price dan Wilson, 2006).

Gambar 2.4 Anatomi rektum Sumber : www. Gambar anatomi rektum.com

Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superior, vena mesentrika inferior, dan vena hemoroidalis superior (bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik.Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media, dan inferior, sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid. Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan ortikorenalis, kemudian serabut pascaganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan (Price dan Wilson, 2006).

3. ETIOLOGI Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dan Mansjoer (2008), etiologi dari hemoroid adalah : 1. Faktor predisposisi : a. Herediter atau keturunan Dalam hal ini yang menurun dalah kelemahan dinding pembuluh darah, dan bukan hemoroidnya. b. Anatomi

Vena di daerah masentrorium tidak mempunyai katup. Sehingga darah mudah kembali menyebabkan bertambahnya tekanan di pleksus hemoroidalis. c. Makanan misalnya, kurang makan-makanan berserat d. Pekerjaan seperti mengangkat beban terlalu berat e. Psikis 2. Faktor presipitasi : a. Faktor mekanis (kelainan sirkulasi parsial dan peningkatan tekanan intraabdominal) misalnya, mengedan pada waktu defekasi. b. Fisiologis c. Radang d. Konstipasi menahun e. Kehamilan f. Usia tua g. Diare kronik h. Pembesaran prostat i. Fibroid uteri j. Penyakit hati kronis yang disertai hipertensi portal

4. KLASIFIKASI Hemoroid dapat diklasifikasikan atas hemoroid eksterna dan interna. Hemoroid interna adalah pleksus vena hemoroidalis superior diatas garis mukokutan dan ditutupi oleh mukosa (Sjamsuhidajat dan Jong,2005). Sedangkan menurut Sudoyo (2006), hemoroid interna dibagiberdasarkan gambaran klinis yaitu derajat 1-4 : 1. Derajat 1: Bila terjadi pembesaran hemoroid yang tidak prolaps ke luar kanal anus. Hanya dapat dilihat dengan anorektoskop. 2. Derajat 2: Pembesaran hemoroid yang prolaps dan menghilang atau masuk sendiri ke dalam anus secara spontan. 3. Derajat 3: Pembesaran hemoroid yang prolaps dapat masuk lagi ke dalam anus dengan bantuan dorongan jari. 4. Derajat 4: Prolaps hemoroid yang permanen. Rentan dan cenderung untuk mengalami trombosis dan infark. Lebih jelas gambar 2.1 mengenai hemoroid interna derajat 1-4.

Gambar 2.1 derajat hemoroid interna Sumber : Sjamsuhidajat dan Jong (2005)

Secara anoskopi hemoroid dapat dibagi atas hemoroid eksterna (diluar/dibawah linea dentata ) dan hemoroid interna (didalam/diatas linea dentata). Untuk melihat risiko perdarahan hemoroid dapat dideteksi oleh adanya stigmata perdarahan berupa bekuan darah yang masih menempel, erosi, kemerahan diatas hemoroid. Hemoroid eksterna yang merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroid inferior terdapat disebelah distal garis mukokutan di dalam jaringan di bawah epitel anus (Sjamsuhidajat dan Jong,2005)

Gambar 2.2 Letak hemoroid Sumber : MedicineNet.com

5. MANIFESTASI KLINIS Hemoroid menyebabkan rasa gatal dan nyeri, dan sering menyebabkan perdarahan berwarna merah terang pada saat defekasi. Hemoroid eksternal dihubungkan dengan nyeri hebat akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh trombosis. Trombosis adalah pembekuan darah dalam hemoroid. Ini dapat menimbulkan iskemia pada area tersebut dan nekrosis. Hemoroid internal tidak selalu menimbulkan nyeri sampai hemoroid ini membesar dan menimbulkan perdarahan atau prolaps (Smeltzer dan Bare, 2002). Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau wasir tanpa ada hubungannya dengan gejala rectum atau anus yang khusus. Nyeri yang hebat jarang sekali ada hubungannya dengan hemoroid intern dan hanya timbul pada hemoroid ekstern yang mengalami thrombosis. Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama hemoroid intern akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak tercampur dengan feses, dapat hanya berupa garis pada feses atau kertas pembersih sampai pada perdarahan yang terlihat menetes atau mewarnai air toilet menjadi merah. Walaupun berasal dari vena, darah yang keluar berwarna merah segar karena kaya zat asam. Perdarahan luas dan intensif di pleksus hemoroidalis menyebabkan darah di vena tetap merupakan darah arteri. Kadang perdarahan hemoroid yang berulang dapat berakibat timbulnya anemia berat. Hemoroid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awalnya penonjolan ini hanya terjadi pada waktu defekasi dan disusul oleh reduksi spontan sesudah selesai defekasi (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005) . Pasien harus memasukkan sendiri setelah defekasi. Pada tahap lanjut, akhirnya sampai pada suatu keadaan dimana tidak dapat dimasukkan. Kotoran di pakaian dalam menjadi tanda hemoroid yang mengalami prolaps permanen. Kulit di daerah perianal akan mengalami iritasi. Nyeri akan terjadi bila timbul trombosis luas dengan edema dan peradangan. Anamnesis harus dikaitkan dengan faktor obstipasi, defekasi yang keras, yang membutuhkan tekanan intraabdominal tinggi (mengejan), juga sering pasien harus duduk berjam-jam di WC, dan dapat disertai rasa nyeri yang merupakan gejala radang (Mansjoer, 2008). Hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi, apalagi bila telah terjadi trombosis. Bila hemoroid interna mengalami prolaps, maka tonjolan yang ditutupi epitel penghasil musin akan dapat dilihat pada satu atau beberapa kuadran. Selanjutnya secara sistematik dilakukan pemeriksaan dalam rectal secara digital dan dengan anoskopi. Pada pemeriksaan rektal secara digital mungkin tidak ditemukan apa-apa bila masih dalam stadium awal. Pemeriksaan anoskopi dilakukan untuk melihat hemoroid interna yang tidak mengalami penonjolan. Pada pemeriksaan kita tidak boleh mengabaikan pemeriksaan umum karena keadaan ini dapat disebabkan oleh penyakit lain seperti

sindrom hipertensi portal (Mansjoer, 2008).

6. PATOFISIOLOGI Menurut Price dan Wilson (2006), serta Sudoyo (2006) patofisiologi hemoroid adalah akibat dari kongesti vena yang disebabkan oleh gangguan venous rektum dan vena hemoroidalis. Hemoroid timbul karena dilatasi, pembengkakan atau inflamasi vena hemoroidalis yang disebabkan oleh faktor-faktor risiko/ pencetus dan gangguan aliran balik dari vena hemoroidalis. Faktor risiko hemoroid antara lain factor mengedan pada buang air besar yang sulit, pola buang air besar yang salah (lebih banyak memakai jamban duduk, terlalu lama duduk di jamban sambil membaca, merokok), peningkatan tekanan intra abdomen karena tumor (tumor usus, tumor abdomen), kehamilan (disebabkan tekanan janin pada abdomen dan perubahan hormonal), usia tua, konstipasi kronik,diare kronik atau diare akut yang berlebihan, hubungan seks peranal, kurang minum air, kurang makan makanan berserat (sayur dan buah), kurang olahraga/imobilisasi. Telah diajukan beberapa faktor etiologi yaitu konstipasi, diare, sering mengejan, kongesti pelvis pada kehamilan, pembesaran prostat, fibroid uteri, dan tumor rectum. Penyakit hati kronis yang disertai hipertensi portal sering mengakibatkan hemoroid, karena vena hemoroidalis superior mengalirkan darah kedalam sistem portal. Selain itu sistem portal tidak memiliki katup, sehingga mudah terjadi aliran balik. Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superior, vena mesentrika inferior, dan vena hemoroidalis superior (bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media, dan inferior, sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid (Price dan Wilson, 2006).

Gambar 2.5 patofisiologi hemoroid Sumber : www.faqs.org

7.

Diagnosis Hemoroid

Diagnosis hemoroid dapat dilakukan dengan melakukan:

a.

Anamnesis. Pada anamnesis biasanya didapati bahwa pasien menemukan adanya darah segar pada saat buang air besar. Selain itu pasien juga akan mengeluhkan adanya gatalgatal pada daerah anus. Pada derajat II hemoroid internal pasien akan merasakan adanya masa pada anus dan hal ini membuatnya tak nyaman. Pasien akan mengeluhkan nyeri pada hemoroid derajat IV yang telah mengalami trombosis (Canan, 2002). perdarahan yang disertai dengan nyeri dapat mengindikasikan adanya trombosis hemoroid eksternal, dengan ulserasi thrombus pada kulit. Hemoroid internal biasanya timbul gejala hanya ketika mengalami prolapsus sehingga terjadi ulserasi, perdarahan, atau trombosis. Hemoroid eksternal bisa jadi tanpa gejala atau dapat ditandai dengan rasa tak nyaman, nyeri akut, atau perdarahan akibat ulserasi dan trombosis ( Wexner, Person, dan Kaidar-person, 2006) b. Pemeriksaan fisik.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembengkakan vena yang mengindikasikan hemoroid eksternal atau hemoroid internal yang mengalami prolaps. Hemoroid internal derajat I dan II biasanya tidak dapat terlihat dari luar dan cukup sulit membedakannya dengan lipatan mukosa melalui pemeriksaan rektal kecuali hemoroid tersebut telah mengalami trombosis (Canan, 2002). Daerah perianal juga diinspeksi untuk melihat ada atau tidaknya fisura, fistula, polip, atau tumor. Selain itu ukuran, perdarahan, dan tingkat keparahan inflamasi juga harus dinilai (Nisar dan Scholefield, 2003).

Gambar 2.2. menunjukkan hemoroid yang mengalami trombosis (Schubert, Schade, dan wexner, 2009).

c.

Pemeriksaan penunjang.

Anal canal dan rektum diperiksa dengan menggunakan anoskopi dan sigmoidoskopi. Anoskopi dilakukan untuk menilai mukosa rektal dan mengevaluasi tingkat pembesaran hemoroid (Halverson, 2007). Side-viewing pada anoskopi merupakan instrumen yang

optimal dan tepat untuk mengevaluasi hemoroid. Allonso-Coello dan Castillejo (2003) dalam Kaidar-Person, Person, dan Wexner (2007) menyatakan bahwa ketika dibandingkan dengan sigmodoskopi fleksibel, anoskopi mendeteksi dengan presentasi lebih tinggi terhadap lesi di daerah anorektal. Gejala hemoroid biasanya bersamaan dengan inflamasi pada anal canal dengan derajat berbeda. Dengan menggunakan sigmoidoskopi, anus dan rektum dapat dievaluasi untuk kondisi lain sebagai diagnosa banding untuk perdarahan rektal dan rasa tak nyaman seperti pada fisura anal dan fistula, kolitis, polip rektal, dan kanker. Pemeriksaan dengan menggunakan barium enema X-ray atau kolonoskopi harus dilakukan pada pasien dengan umur di atas 50 tahun dan pada pasien dengan perdarahan menetap setelah dilakukan pengobatan terhadap hemoroid (Canan, 2002).

8.

DIAGNOSIS BANDING

Menurut Kaidar-Person dkk (2007) selama evaluasi awal pasien, kemungkinan penyebab lain dari gejala-gejala seperti perdarahan rektal, gatal pada anus, rasa tak nyaman, massa serta nyeri dapat disingkirkan. Kanker kolorektal dan anal, dan melanoma anorektal merupakan contoh penyebab gejala tersebut. Dibawah ini adalah diagnosa banding untuk gejala-gejala diatas:

a. Nyeri 1. Fisura anal 2. Herpes anal 3. Proktitis ulseratif 4. Proctalgia fugax

b. Massa 1. Karsinoma anal 2. Perianal warts 3. Skin tags

c. Nyeri dan massa 1. Hematom perianal 2. Abses 3. Pilonidal sinus

d. Nyeri dan perdarahan

1. Fisura anal 2. proktitis

e. Nyeri, massa, dan perdarahan Hematom perianal ulseratif f. Massa dan perdarahan Karsinoma anal g. Perdarahan 1. Polips kolorektal 2. Karsinoma kolorektal 3. Karsinoma anal

9. PENATALAKSANAAN Menurut Acheson dan Scholefield (2006), penatalaksanaan hemoroid dapat dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan jenis dan derajat daripada hemoroid. Penatalaksanaan Konservatif Sebagian besar kasus hemoroid derajat I dapat ditatalaksana dengan pengobatan konservatif. Tatalaksana tersebut antara lain koreksi konstipasi jika ada, meningkatkan konsumsi serat, laksatif, dan menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan kostipasi seperti kodein (Daniel, 2010) Penelitian meta-analisis akhir-akhir ini membuktikan bahwa suplemen serat dapat memperbaiki gejala dan perdarahan serta dapat direkomendasikan pada derajat awal hemoroid (Zhou dkk, 2006). Perubahan gaya hidup lainnya seperti meningkatkan konsumsi cairan, menghindari konstipasi dan mengurangi mengejan saat buang air besar dilakukan pada penatalaksanaan awal dan dapat membantu pengobatan serta pencegahan hemoroid, meski belum banyak penelitian yang mendukung hal tersebut. Kombinasi antara anestesi lokal, kortikosteroid, dan antiseptik dapat mengurangi gejala gatal-gatal dan rasa tak nyaman pada hemoroid. Penggunaan steroid yang berlama-lama harus dihindari untuk mengurangi efek samping. Selain itu suplemen flavonoid dapat membantu mengurangi tonus vena, mengurangi hiperpermeabilitas serta efek antiinflamasi meskipun belum diketahui bagaimana mekanismenya (Acheson dan Scholrfield, 2008). Pembedahan Acheson dan Scholfield (2008) menyatakan apabila hemoroid internal derajat I yang tidak membaik dengan penatalaksanaan konservatif maka dapat dilakukan tindakan pembedahan.

HIST (Hemorrhoid Institute of South Texas) menetapkan indikasi tatalaksana pembedahan hemoroid antara lain:

a. Hemoroid internal derajat II berulang. b. Hemoroid derajat III dan IV dengan gejala. c. Mukosa rektum menonjol keluar anus. d. Hemoroid derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fisura. e. Kegagalan penatalaksanaan konservatif. f. Permintaan pasien.

Pembedahan yang sering dilakukan yaitu:

1. Skleroterapi. Teknik ini dilakukan menginjeksikan 5 mL oil phenol 5 %, vegetable oil , quinine, dan urea hydrochlorate atau hypertonic salt solution. Lokasi injeksi adalah submukosa hemoroid. Efek injeksi sklerosan tersebut adalah edema, reaksi inflamasi dengan proliferasi fibroblast, dan trombosis intravaskular. Reaksi ini akan menyebabkan fibrosis pada sumukosa hemoroid. Hal ini akan mencegah atau mengurangi prolapsus jaringan hemoroid (Kaidar-Person dkk, 2007). Senapati (1988) dalam Acheson dan Scholfield (2009) menyatakan teknik ini murah dan mudah dilakukan, tetapi jarang dilaksanakan karena tingkat kegagalan yang tinggi.

2. Rubber band ligation. Ligasi jaringan hemoroid dengan rubber band menyebabkan nekrosis iskemia, ulserasi dan scarring yang akan menghsilkan fiksasi jaringan ikat ke dinding rektum. Komplikasi prosedur ini adalah nyeri dan perdarahan.

3. Infrared thermocoagulation. Sinar infra merah masuk ke jaringan dan berubah menjadi panas. Manipulasi instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengatur banyaknya jumlah kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan koagulasi, oklusi, dan sklerosis jaringan hemoroid. Teknik ini singkat dan dengan komplikasi yang minimal.

4. Bipolar Diathermy. Menggunakan energi listrik untuk mengkoagulasi jaringan hemoroid dan pembuluh darah yang memperdarahinya. Biasanya digunakan pada hemoroid internal derajat rendah.

5. Laser haemorrhoidectomy.

6. Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation. Teknik ini dilakukan dengan

menggunakan proktoskop yang dilengkapi dengan doppler probe yang dapat melokalisasi arteri. Kemudian arteri yang memperdarahi jaringan hemoroid tersebut diligasi menggunakan absorbable suture. Pemotongan aliran darah ini diperkirakan akan mengurangi ukuran hemoroid.

7. Cryotherapy. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperatur yang sangat rendah untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal yang terbentuk di dalam sel, menghancurkan membran sel dan jaringan. Namun prosedur ini menghabiskan banyak waktu dan hasil yang cukup mengecewakan. Cryotherapy adalah teknik yang paling jarang dilakukan untuk hemoroid (American Gastroenterological Association, 2004).

8. Stappled Hemorrhoidopexy. Teknik dilakukan dengan mengeksisi jaringan hemoroid pada bagian proksimal dentate line. Keuntungan pada stappled hemorrhoidopexy adalah berkurangnya rasa nyeri paska operasi selain itu teknik ini juga aman dan efektif sebagai standar hemorrhoidectomy (Halverson, 2007).

10. PENCEGAHAN

Menurut Nagie (2007), pencegahan hemoroid dapat dilakukan dengan:

1. Konsumsi serat 25-30 gram sehari. Makanan tinggi serat seperti buah-buahan, sayurmayur, dan kacang-kacangan menyebabkan feses menyerap air di kolon. Hal ini membuat feses lebih lembek dan besar, sehingga mengurangi proses mengedan dan tekanan pada vena anus. 2. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari 3. Mengubah kebiasaan buang air besar. Segera ke kamar mandi saat merasa akan buang air besar, jangan ditahan karena akan memperkeras feses. Hindari mengedan.

You might also like