You are on page 1of 6

PENGENDALIAN HAMA TERPADU PADA TANAMAN PADI

Posted: April 5, 2011 in Pests and Diseases

0
1. PENDAHULUAN Dalam pengembangan produksi pangan khususnya padi, petani dihadapkan kepada beberapa kendala baik yang bersifat fisik, sosio-ekonomi maupun kendala yang bersifat biologi (biological constraint). Salah satu kendala biologi adalah gangguan spesies organisme yang menyebabkan penurunan baik kuantitas maupun kualitas produk bahkan sampai menggagalkan panen. Sebelum swasembada pangan, kebijaksanaan pemerintah dalam pengendalian hama sangat mengandalkan pada penggunaan pestisida. Waktu itu, penyemprotan pestisida pada tanaman dilakukan secara terjadwal (scheduled) baik ada maupun tidak ada serangan hama. Penggunaan pestisida terjadwal dimasukan sebagai salah satu paket teknologi produksi padi dan petani bebas menggunakan berbagai jenis pestisida termasuk pestisida presisten (undegradable). Setelah swasembada pangan tercapai tahun 1984, metoda pengendalian hama mengalami perubahan mendasar karena diketahui bahwa penggunaan pestisida yang tidak bijaksana adalah sangat keliru. Subiyakto (1992) menyatakan bahwa, sejak pestisida digunakan secara besar-besaran, masalah hama bukan semakin ringan tetapi semakin rumit, beberapa spesies hama kurang penting berubah status menjadi sangat penting dan yang lebih menghawatirkan adalah kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan oleh residu pestisida yang mengancam kehidupan termasuk manusia. Mengingat dampak negatif dari penggunaan pestisida yang tidak terkendali, pemerintah mengintroduksikan suatu paket teknologi pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan disebut teknologi Pengendalian Hama Terpadu(integreted pest management). Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada dasarnya terdiri atas dua kegiatan pengendalian yaitu usahausaha pencegahan (preventive controls) dan penggunaan pestisida (pesticide controls).Penggunaan pestisida boleh dilakukan apabila cara pertama sudah digunakan tetapi belum memberikan hasil optimal. Introduksi teknologi PHT bertujuan agar petani menjadi tahu dan mampu merubah perilaku dalam pengendalian hama tanaman dari cara lama (sistem kalender) ke cara baru (konsep PHT). Disamping itu, jenis pesisida yang boleh digunakan untuk tanaman padi juga dibatasi, hanya boleh menggunakan jenis pestisida yang mudah terurai(degradable) dan berspektrum sempit (narrow spectrum). Dalam pelaksananya, ditetapkan melalui Inpres No.3 tahun 1986 mengenai berbagai jenis pestisida yang dilarang penggunaanya untuk tanaman padi (Dirjentan, 1987). 2. POKOK BAHASAN 1. Pengertian PHT Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, PHT tidak lagi dipandang sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu konsep dalam penyelesaian masalah lapangan (Kenmore 1996). Waage (1996) menggolongkan konsep PHT ke dalam dua kelompok, yaitu konsep PHT teknologi dan PHT ekologi. Konsep PHT teknologi merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep awal yang dicetuskan oleh Stern et al. (1959), yang kemudian dikembangkan oleh para ahli melalui agenda Earth Summit ke-21 di Rio de Janeiro pada tahun 1992 dan FAO. Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk membatasi penggunaan insektisida sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang ekonomi sebagai dasar penetapan pengendalian hama. Pendekatan ini mendorong penggantian pestisida kimia dengan teknologi pengendalian alternatif, yang lebih banyak memanfaatkan bahan dan metode hayati, termasuk musuh alami, pestisida hayati, dan feromon. Dengan cara ini,

dampak negatif penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat dikurangi (Untung 2000). Konsep PHT ekologi berangkat dari perkembangan dan penerapan PHT dalam sistem pertanian di tempat tertentu. Dalam hal ini, pengendalian hama didasarkan pada pengetahuan dan informasi tentang dinamika populasi hama dan musuh alami serta keseimbangan ekosistem. Berbeda dengan konsep PHT teknologi yang masih menerima teknik pengendalian hama secara kimiawi berdasarkan ambang ekonomi, konsep PHT ekologi cenderung menolak pengendalian hama dengan cara kimiawi. Dalam menyikapi dua konsep PHT ini, kita harus pandai memadukannya karena masing-masing konsep mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal ini disebabkan bila dua konsep tersebut diterapkan tidak dapat berlaku umum.

PHT dalam Konteks Produksi Padi Luas panen padi pada tahun 2003 tercatat 11,48 juta hektar dan produksi padi pada tahun tersebut mencapai 52,08 juta ton, meningkat 1,14% dibanding tahun 2002 (51,49 juta ton). Kenaikan produksi merupakan dampak dari peningkatan produktivitas padi, dari 4,47 t/ha pada tahun 2002 menjadi 4,52 t/ha pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi, termasuk pengendalian hama dan penyakit, memegang peranan penting. Dengan asumsi tidak ada terobosan teknologi maka produksi padi pada tahun 2020 diproyeksikan 57,4 juta ton. Sementara itu jumlah penduduk Indonesia pada tahun yang sama diperkirakan 262 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,27%/ tahun. Apabila konsumsi beras per kapita masih tetap 134 kg/tahun maka kebutuhan beras pada tahun 2020 mencapai 35,1 juta ton atau setara dengan 65,9 juta ton gabah kering giling (GKG). Kalau produksi padi tidak meningkat berarti pada tahun 2020 terjadi kekurangan beras 4,5 juta ton atau setara dengan 8,5 juta ton GKG (Budianto 2002). Untuk mengatasi kekurangan pangan perlu adanya terobosan peningkatan produksi padi. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa produktivitas padi masih dapat ditingkatkan melalui implementasi program PHT. Dalam praktek PHT, hasil padi petani di Karawang pada MK 1995 masih meningkat hingga 37% dengan penanaman varietas tahan hama wereng dan meningkat 46,3% untuk varietas tidak tahan (Baehaki et al. 1996).

PHT Mendukung Pertanian Praktek Pertanian yang Baik Aspek keselamatan, kesehatan, dan lingkungan pada keseluruhan proses produksi sampai pemasaran dinilai denganInternational Standardization Organization (ISO) yang dikenal dengan pendekatan sistem mutu dan keamanan pangan, termasuk di dalamnya Sistem Manajemen ISO 9000 tentang Manajemen Mutu, ISO 14000 tentang Manajemen Lingkungan, dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) tentang Sistem Manajemen Keamanan Pangan. Produk yang berkualitas harus memiliki empat kriteria yaitu: (1) Memenuhi sifat keindraan (sensory properties) yang meliputi rasa, penampilan, bau, dan warna; (2) Memenuhi nilai nutrisi (nutritional value) yang menyangkut isi nutrisi, vitamin, dan tidak terdapat hal yang tidak diinginkan seperti zat yang menimbulkan alergi; (3) Menenuhi kualitas kesehatan (hygienic quality) yang menyangkut kebersihan, kesegaran, tidak ada serangga, tidak menjijikkan; dan (4) Memenuhi aspek keamanan pangan (food safety) yang menyangkut tidak adanya mikroorganisme penyebab penyakit, tidak berisi zat toksik seperti pestisida, logam berat, mikotoksin, dan tidak ada tipuan (Frost 2001). GAP (Good Agricultural Practices) dapat diaplikasikan dalam rentang waktu dan daerah yang luas terhadap sistem pertanian dengan skala yang berbeda. GAP digunakan dalam sistem pertanian berkelanjutan yang mencakup PHT, pengelolaan hara terpadu, pengelolaan gulma terpadu, pengelolaan irigasi terpadu, dan pemeliharaan (conservation) lahan pertanian. Penerapan PHT diperlukan dalam sistem produksi pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu, GAP harus memiliki empat prinsip utama: 1. Penghematan dan ketepatan produksi untuk ketahanan pangan (food security), keamanan pangan (food safety), dan pangan bergizi (food quality). 2. Berkelanjutan dan bersifat menambah (enhance) sumber daya alam.

3. Pemeliharaan kelangsungan usaha pertanian (farming enterprise) dan mendukung kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihoods). 4. Kelayakan dengan budaya dan kebutuhan suatu masyarakat (social demands). Aspek yang akan disentuh oleh elemen GAP di bidang perhamaan adalah proteksi tanaman. Hal ini membutuhkan strategi pengelolaan risiko, yang mencakup penggunaan tanaman tahan hama dan penyakit, rotasi tanaman pangan dengan pakan ternak, ledakan penyakit pada tanaman peka, dan penggunaan bahan kimia seminimal mungkin untuk mengendalikan gulma, hama, dan penyakit dengan mengikuti konsep PHT. GAP akan menjangkau beberapa aktivitas yang berkaitan dengan pengendalian hama sebagai berikut: 1. Penggunaan varietas tahan dalam proses pelepasan beruntun (sequencetial), asosiasi, dan kultur teknis untuk mencegah perkembangan hama dan penyakit. 2. Pemeliharaan keseimbangan biologi antara hama dan penyakit dengan musuh alami. 3. Adopsi praktek pengendalian menggunakan bahan organik bila memungkinkan. 4. Penggunaan teknik pendugaan hama dan penyakit bila telah tersedia. 5. Pengkajian semua metode yang memungkinkan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, terhadap sistem produksi dan implikasinya terhadap lingkungan guna meminimalkan pemakaian bahan kimia pertanian, khususnya dalam meningkatkan adopsi teknologi PHT. 6. Penyimpanan dan penggunaan bahan kimia yang sesuai dan teregistrasi untuk individu tanaman serta waktu, dan interval penggunaan sebelum panen. 7. Pengamanan penyimpanan bahan kimia dan hanya digunakan oleh personel yang sudah terlatih dan memiliki pengetahuan (knowledgeable persons). 8. Pengamanan peralatan yang digunakan untuk mengatasi bahan kimia dengan meningkatkan keamanan dan pemeliharaan standar. 9. Pemeliharaan catatan secara akurat terhadap insektisida yang dipakai.

Alternatif Kebijakan Implementasi PHT dalam Praktek Pertanian yang Baik Menuju Pertanian Berkelanjutan. 1. Pemilihan Varietas Tahan dan Hemat Energi Keberlanjutan pertanian antara lain ditentukan oleh penggunaan varietas tahan hama penyakit dan hemat energi. Usaha untuk menghasilkan varietas yang hemat energi di antaranya adalah dengan mengubah tipe tanaman C3 menjadi C4, atau mengubah arsitektur tanaman menjadi lebih produktif, misalnya padi tipe baru dengan anakan sedikit dan bentuk daun yang memiliki kemampuan lebih tinggi untuk berfotosintesis sehingga dapat berproduksi lebih tinggi (Cantrell 2004). Dalam memilih varietas yang akan ditanam, nilai tambah produksi dan pemasaran juga perlu diperhitungkan. Hal ini penting artinya karena setiap varietas mempunyai karakter yang berbeda; ada yang cocok untuk dibuat bihun, beras kristal, nasi goreng, dan sebagainya. Dalam praktek pertanian yang baik, petani perlu dibimbing dalam memilih varietas yang tidak rakus hara, hemat air, tahan hama dan penyakit, dan berproduksi normal di mana pun

ditanam. Ini penting artinya agar mereka tidak menggunakan input secara berlebihan, baik pupuk, air maupun pestisida, sebagaimana yang dikehendaki oleh kaidah praktek pertanian yang baik menuju keberlanjutan sistem produksi. Dalam kesempatan ini dianjurkan kepada para pemulia tanaman untuk menyusun program perakitan varietas padi yang hemat energi, tahan hama dan penyakit, dan berproduksi normal di mana pun ditanam. Paradigma baru pemuliaan tanaman ini seyogianya dapat dijabarkan ke dalam rencana strategis penelitian padi nasional. Pembentukan varietas padi tahan hama penyakit dan hemat energi sesuai dengan dinamika paradigma pembentukan varietas unggul baru dari zaman ke zaman. 2. Teknologi Pengendalian Hama secara Hayati Pengendalian hayati secara inundasi adalah memasukkan musuh alami dari luar dengan sengaja ke pertanaman untuk mengendalikan hama. Inundasi yang dapat dilakukan adalah penggunaan cendawan Beauveria bassiana danMetarhizium anisopliae sebagai agens hayati. Efektivitas biakan B. bassiana terhadap wereng coklat mencapai 40% (Baehaki et al. 2001). Cendawan ini selain dapat mengendalikan wereng coklat, juga dapat digunakan untuk mengendalikan walang sangit (Tohidin et al. 1993), Darna catenata (Daud dan Saranga 1993), dan lembing batu (Caraycaray 2003). Formulasi cendawan M. anisopliae dapat menurunkan populasi hama sampai 90%. 1. Pergiliran Varietas antarmusim Hama tanaman padi tidak akan meledak sepanjang musim dan peningkatan populasinya hanya terjadi pada musim hujan. Pada musim kemarau, populasi hama, misalnya wereng, cenderung rendah, kecuali pada musim kemarau yang banyak hujan atau di daerah cekungan. Pergiliran varietas berdasarkan gen ketahanan yang terkandung pada tanaman padi untuk menghadapi tingkat biotipe wereng coklat. Pada daerah wereng coklat biotipe 1, pertanaman padi diatur dengan menanam varietas yang mempunyai gen tahan Bph1, bph2 dan Bph3 pada musim hujan. Pada musim kemarau dapat ditanam varietas padi yang tidak mempunyai gen tahan. Pergiliran varietas pada daerah wereng coklat biotipe 2 dilakukan dengan menanam varietas yang mempunyai gen tahan bph2 dan Bph3 pada musim hujan. Pada musim kemarau ditanam varietas yang mempunyai gen Bph1. Pergiliran varietas pada daerah wereng coklat biotipe 3 dilakukan dengan menanam varietas yang mempunyai gen tahan Bph1+ dan Bph3 pada musim hujan. Pada musim kemarau ditanam varietas dengan gen tahan Bph1 dan bph2. Pengaturan pertanaman di dalam musim juga diperlukan untuk menangkal serangan wereng coklat dan penggerek batang padi, yaitu pada awal musim hujan menanam varietas tahan yang berumur pendek dan pada pertengahan musim sampai akhir musim hujan menanam varietas yang tidak tahan ataupun tahan wereng coklat dan berumur panjang. 3. Teknologi Pengendalian Hama Padi dengan Sistem Integrasi Palawija pada Pertanaman Padi Para ahli agroekologi sedang mengenalkan intercropping, agroforestry, dan metode diversifikasi lainnya yang menyerupai proses ekologi alami (Alteri 2002). Hal ini penting artinya bagi keberlanjutan kompleks agroekosistem. Pengelolaan agroekologi harus berada di garis depan untuk mengoptimalkan daur ulang nutrisi dan pengembalian bahan organik, alir energi tertutup, konservasi air dan tanah, serta keseimbangan populasi hama dan musuh alami. Hama dan penyakit tanaman padi juga dapat dikendalikan berdasarkan agroekologi, antara lain dengan sistem integrasi palawija pada pertanaman padi (SIPALAPA). Sistem ini berupa pertanaman polikultur, yaitu menanam palawija di pematang pada saat ada tanaman padi. SIPALAPA dapat menekan perkembangan populasi hama wereng coklat dan

wereng punggung putih. Hal ini disebabkan adanya predator Lycosa pseudoannulata, laba-laba lain, Paederus fuscifes, Coccinella, Ophionea nigrofasciata, dan Cyrtorhinus lividipennis yang mengendalikan wereng coklat dan wereng punggung putih. Demikian juga parasitasi telur wereng oleh parasitoid Oligosita dan Anagrus pada pertanaman SIPALAPA lebih tinggi daripada pertanaman padi monokultur. Penerapan teknologi SIPALAPA dapat meningkatkan keanekaragaman sumber daya hayati fauna dan flora (biodiversitas). Penanaman kedelai atau jagung pada pematang sawah terbukti dapat memperkaya musuh alami, mempertinggi dinamika dan dialektika musuh alami secara dua arah antara tanaman palawija dan padi. Dalam praktek pertanian yang baik, pada pasal 13.b disebutkan bahwa keberhasilan usaha tani terkait dengan upaya peningkatan keanekaragaman hayati melalui konservasi lahan (EUREP 2001). Hal ini dapat diaktualisasikan melalui aktivitas kelompok tani dengan menghindari kerusakan dan deteriorasi habitat, memperbaiki habitat, dan meningkatkan keanekaragaman hayati pada lahan usaha tani. 4. Pengendalian berdasarkan Manipulasi Musuh Alami Pengendalian hama berdasarkan manipulasi musuh alami dimaksudkan untuk memberikan peranan yang lebih besar kepada musuh alami, sebelum memakai insektisida. Pada prinsipnya musuh alami akan selalu berkembang mengikuti perkembangan hama. Selama musuh alami dapat menekan hama maka pengendalian dengan bahan kimia tidak diperlukan karena keseimbangan biologi sudah tercapai. Namun bila perkembangan musuh alami sudah tidak mampu mengikuti perkembangan hama, artinya keseimbangan biologi tidak tercapai, maka diperlukan taktik pengendalian yang lain, termasuk penggunaan bahan kimia. Teknologi pengendalian wereng coklat menggunakan ambang kendali berdasarkan manipulasi musuh alami dapat mengurangi pemakaian insektisida dan meningkatkan pendapatan (Baehaki et al. 1996). Teknologi ini diawali dengan pemantauan pada pertanaman untuk menentukan ambang ekonomi wereng terkoreksi musuh alami dengan menggunakan formula Baehaki (1996). Insektisida yang direkomendasikan dapat digunakan untuk pengendalian hama jika ambang ekonomi terkoreksi yang ditentukan telah terlampaui. Pengendalian hama berdasarkan manipulasi musuh alami menghemat penggunaan insektisida 33-75%, meskipun pada musim hujan dengan kelimpahan hama wereng cukup tinggi. Dengan cara ini, hasil padi di tingkat petani meningkat 36% dengan peningkatan keuntungan 53,7%. Ambang ekonomi bukan harga yang tetap, tetapi berfluktuasi bergantung pada harga gabah dan pestisida. Bila harga gabah meningkat maka ambang ekonomi akan turun dan sebaliknya, tetapi bila harga insektisida naik maka amba 5. Teknologi Pengendalian Hama berdasarkan Ambang Ekonomi Tidak semua hama dapat diformulasikan teknologi pengendaliannya berdasarkan musuh alami karena terbatasnya pengetahuan tentang korelasi perkembangan musuh alami dengan perkembangan suatu hama. Bagi hama yang belum ada teknologi pengendaliannya berdasarkan perkembangan Musuh alami, dapat digunakan teknologi berdasarkan ambang ekonomi tunggal atau ambang ekonomi ganda. Di lapangan, adakalanya pertanaman padi diserang oleh lebih dari satu macam hama sehingga diperlukan teknologi yang mampu mengendalikan lebih dari satu jenis hama. Untuk itu, pengendalian dapat berpatokan pada ambang ekonomi hama ganda. Formula pengendalian hama berdasarkan ambang ekonomi ganda pada fase vegetatif untuk wereng coklat-wereng punggung putih mengikuti pola 9-014, sedangkan pada fase reproduktif mengikuti pola 18-0-21. Ambang ekonomi ganda sundep-ulat grayak pada fase reproduktif mengikuti pola 9-0-15, sundep-hydrellia pada fase vegetatif mengikuti pola 6-0-19, dan sundep-pelipat daun pada fase vegetatif mengikuti pola 9-0-13 (Baehaki dan Baskoro 2000).

Pengendalian dengan insektisida dilakukan setelah populasi hama atau kerusakan tanaman mencapai ambang ekonomi ganda yang telah ditentukan. 6. Minimalisasi Residu Pestisida Penggunaan insektisida merupakan taktik dinamis yang dilaksanakan dalam kurun waktu pertumbuhan tanaman bila teknik budi daya dan pengendalian hayati gagal menekan populasi hama di bawah ambang ekonomi. Penentuan ambang ekonomi sangat penting sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian. Bhat (2004) menyebutkan bahwa ambang ekonomi merupakan komponen yang sangat penting dalam PHT. Pengendalian hama berdasarkan ambang ekonomi juga bertujuan untuk mengatasi penggunaan bahan kimia secara berlebihan yang berdampak terhadap tingginya residu pestisida pada produk pertanian dan pencemaran lingkungan. 3. KESIMPULAN PHT merupakan pengelolaan hama secara ekologis, teknologis, dan multidisiplin dengan memanfaatkan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam satu kesatuan koordinasi sistem pengelolaan pertanian berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Implementasi PHT memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk petani, peneliti, pemerhati lingkungan, penentu kebijakan, dan bahkan politisi. Implementasi PHT dapat mendukung keberlanjutan pengembangan pedesaan dengan mengamankan suplai air dan menyediakan makanan sehat melalui praktek pertanian yang baik. PHT mengakomodasikan teknologi ramah lingkungan dengan pendekatan hayati, tanaman inang tahan, hemat energi, budi daya, dan aplikasi pestisida berdasarkan ambang ekonomi. Bahan kimia yang digunakan harus sesuai dengan persyaratan pengelolaan yang diatur dengan undangundang. PHT harus mengembangkan diversitas agroekosistem yang menguntungkan dari pengaruh integrasi antartanaman sehingga terjadi interaksi dan sinergisme, serta optimalisasi fungsi dan proses ekosistem, seperti pengaturan biotik yang merusak tanaman, daur ulang nutrisi, produksi dan akumulasi biomassa. Hasil akhir dari pola agroekologi adalah meningkatnya ekonomi dan keberlanjutan agroekologi dari suatu agroekosistem. Pendekatan pertanian berkelanjutan untuk pengelolaan hama, yang meliputi kombinasi pengendalian hayati, kultur teknis, dan pemakaian bahan kimia secara bijaksana, merupakan alat dalam merintis pertanian ekonomis, pelestarian lingkungan, dan menekan risiko kesehatan. PHT, GAP, dan pertanian berkelanjutan mengarah kepada keselarasan lingkungan, secara ekonomi memungkinkan dipraktekkan, serta memperhatikan keadilan masyarakat (socially equitable).

You might also like