You are on page 1of 6

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Gangguan refraksi masih merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan, terdapat 45 juta orang yang menjadi buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision. Diperkirakan gangguan refraksi menyebabkan sekitar 8 juta orang (18% dari penyebab kebutaan global) mengalami kebutaan. Angka kebutaan anak di dunia masih belum jelas, namun diperkirakan ada sekitar 1,4 juta kasus kebutaan pada anak, dan 500.000 kasus baru terjadi tiap tahunnya. Sebagian besar anak-anak ini meninggal beberapa bulan setelah mengalami kebutaan. Penyebab kebutaan pada anak sangat bervariasi pada tiap negara. Diperkirakan setiap satu menit terdapat satu anak menjadi buta dan hampir setengahnya berada di Asia Tenggara CEHJ (2007). Angka kebutaan di Afrika dan Asia diperkirakan sekitar 15/10.000 anak. Angka ini sangat besar bila dibandingkan angka kebutaan anak di Eropa dan Amerika Utara yang hanya 3/10.000 anak. Di Eropa yang merupakan negara maju, angka kebutaan pada anak sekitar 3:10.000 (CEHJ (2007). Angka kebutaan di Indonesia menempati urutan ketiga di dunia. Bahkan kondisi kebutaan di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia dan ASEAN. Hingga saat ini, sekitar 3,1 juta (1,5%) penduduk Indonesia

mengalami kebutaan. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan negaranegara miskin, seperti Bangladesh, Maladewa, Bhutan, Nepal, dan Myanmar. Angka kebutaan negara lain di kawasan Asia yang cukup tinggi antara lain Bangladesh (1,0%), India (0,7%), dan Thailand (0,3%). Depkes RI (1983) Berdasarkan hasil survei Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-1996 yang dilakukan di delapan provinsi menunjukkan prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5 persen dengan penyebabnya katarak 0,78%, glaukoma 0,20%, kelainan refraksi 0,14%, kelainan retina 0,13%, kelainan kornea 0,10%, dan oleh penyebab lain 0,15%. Kebutaan pada anak di Indonesia sebesar 0,6 per 1000 anak. Depkes RI (1998) Menurut Sirlan F dkk (2009) di Jawa Barat, hasil survei menunjukkan prevalensi kebutaan sebesar 3,6%; dengan angka kelainan refraksi sebesar 2,8%, namun tidak ditemukan data untuk anak usia 3-6 tahun. Di Lampung, angka kebutaan dan kelainan mata pada anak belum pernah dilaporkan sebelumnya. Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) di Indonesia (2007) menunjukkan angka kebutaan sebesar 0,9%. Dengan angka tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan (2,6%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur (0,3%). Mengingat besarnya masalah kebutaan di dunia, WHO pada tanggal 30 September 1999, mencanangkan komitmen global Vision 2020: The Right to Sight untuk mendorong penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan tertentu yang sebenarnya dapat dicegah atau direhabilitasi. Vision 2020, the right to sight merupakan gagasan dari

seluruh dunia berupa upaya kesehatan untuk menanggulangi masalah gangguan penglihatan dan kebutaan yang dapat dicegah atau direhabilitasi dengan dasar keterpaduan upaya dan bertujuan untuk menurunkan jumlah kebutaan pada tahun 2020 (Thulasiraj D dkk., 2001; Collin C dkk., 2005; Limburg H dkk., 1990). Terdapat empat prinsip utama dalam program Vision 2020 ini, yaitu eye health promotion, prevention of eye diseases, curative intervention, dan rehabilitation. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut diperlukan usaha dari tiap wilayah dan kerja sama tim, dimana kegiatan skrining diperlukan sebagai langkah awal dalam penuntasan masalah kebutaan secara global (Thulasiraj D dkk., 2001; Collin C dkk., 2005; Limburg H dkk., 1990). Ciner dkk tahun 1998 menyatakan, kelainan refraksi berada di urutan ke empat kelainan terbanyak pada anak, dan merupakan penyebab utama kecacatan pada anak. Pada anak usia 3-6 tahun, ambliopia, dan faktor resiko ambliopia seperti strabismus, dan kelainan refraksi yang signifikan merupakan kelainan penglihatan dengan prevalensi terbanyak (Ciner dkk.,1998; Abolfotouh dkk., 1993; American Optometric Association Consensus Panel n Pediatric Eye and Vision Examination, 2002; Moore, 2006). Di Indonesia, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalensi sebesar 22,1% juga menjadi masalah yang cukup serius. Sementara 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih sangat rendah, yaitu 12,5% dari prevalensi. Apabila keadaan ini

tidak ditangani secara menyeluruh, akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya, yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas, dan produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkirakan berjumlah 95 juta orang sesuai data BPS tahun 2000. Pada gilirannya nanti akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional yang kini dititikberatkan pada

pengembangan dan penguatan usaha kecil menengah (UKM) untuk mengentaskan golongan ekonomi lemah dari kemiskinan (KMKRI, 2005). Pemeriksaan refraksi merupakan pemeriksaan dasar, tetapi sangat menentukan langkah selanjutnya dalam diagnostik dan terapi. Menurut Hartmann EE, dkk, pemeriksaan refraksi pada anak pra sekolah paling tepat dilakukan mulai usia 3 tahun, oleh karena pada usia tersebut

diperkirakan anak sudah dapat diajak untuk kooperatif. Pemeriksaan yang tepat dan akurat pada pasien dengan gangguan refraksi dapat dicapai melalui tahapan sebagai berikut, yaitu: 1) pemeriksaan refraksi subjektif, 2) pemeriksaan refraksi objektif, 3) cross cylinder test, dan binocular balancing. Namun pada anak masih sulit untuk dilakukan pemeriksaan subjektif, cross cylinder test dan binocular balancing karena pemeriksaan ini membutuhkan kerja sama yang baik antara pasien dan pemeriksanya. (Benjamin, 2006) Berdasarkan hal tersebut, melalui tulisan ini akan dilakukan penelitian mengenai Gambaran kesehatan mata pada siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar Lampung.

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dan latar belakang permasalahan diatas, dapat dirumuskan bagaimana gambaran kesehatan mata pada siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar Lampung?

1.3.

Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1.3.1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesehatan mata pada siswa Lampung. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui penderita strabismus pada siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar Lampung. 2. Mengetahui penderita buta warna pada siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar Lampung. 3. Mengetahui dan mendeskripsikan kelainan visus siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar Lampung. Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar

1.4.

Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini yaitu : 1.4.1 Bagi Penulis Menambah wawasan tentang kesehatan mata pada siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar Lampung

1.4.3 Bagi Universitas Malahayati Semoga dengan adanya karya tulis ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan juga bagi pengunjung perpustakaan yang

membacanya

dapat

menambah

perbendaharaan

perpustakaan Universitas Malahayati Bandar Lampung. 1.4.4 Bagi Peneliti lain Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat dilanjutkan untuk bahan penelitian selanjutnya yang sejenis atau penelitian lain yang memakai penelitian ini sabagai bahan acuannya. 1.5 Ruang Lingkup 1. Lingkup judul Judul pada penelitian ini adalah Gambaran kesehatan mata pada siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar Lampung. 2. Lingkup waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan November- Desember 2013. 3. Lingkup Tempat Penelitian ini mengambil lokasi Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar Lampung. 4. Lingkup Masalah Permasalahan dibatasi pada deskripsi gambaran kesehatan mata pada siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar Lampung. 5. Lingkup sasaran Sasaran penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Raja Basa Kota Bandar Lampung.

You might also like