Professional Documents
Culture Documents
Firdaus Putra A.
Disclaim
Seluruh tulisan sudah dimuat
di http://www.firdausputra.co.cc
Tidak untuk diperjualbelikan
Seperti sebagian kos cowok lainnya, sirkulasi compac disk (CD) film biru di kosku
juga lumayan marak. Mungkin di kos lah setiap cowok seperti aku menemukan
keleluasaan untuk menjelma sebagai bad boy. Tidak seperti di rumah, yang aku
kira relatif ketat. Pernah suatu malam di rumah, aku memutar film American Pie
5, kebetulan sampai pada adegan naked miles-nya. Kebetulan juga keponakanku
lewat—karena posisi televisi berada di ruang tengah—kontan membuatku kaget,
dan kupercepat adegan itu. Namun, tetap saja malu.
Sedangkan di kos, aku bisa seleluasa mungkin, dengan komputer bututku yang
kadang ngadat satu film aku putar. Black Bibble, aku dapatkan dari teman kos ku
yang rajin meng-up date perkembangan perbiruan film. Menurutku Black Bibble
adalah klimaks dari imajinasi seseorang tentang kesempurnaan telanjangnya
tubuh manusia. Tidak ada yang kurang, payudara besar, kuning bahkan semu
putih, pubis yang putih kekuning-kuningan, otot kemaluan yang menonjol, tidak
ada warna hitam di tubuh selain pada rambut alis dan kepala. Benar-benar
sempurna. Berbeda dengan blue film konvensional, payudara besar menonjol
yang kentara memakai silikon, kulit yang kadang bercak di sana-sini—mungkin
karena herpes, dan warna hitam di beberapa titik tubuh. Black Bibble
menyempurnakan apa-apa yang kurang di film konvensional.
Di negara asalnya, Black Bibble ditayangkan secara bebas sebagai film televisi,
entah televisi kabel atau televisi swasta seperti di Indonesia. Yang jelas beberapa
kali aku mendapatkan tulisan “to be continued”, tahun produksi, sutradara,
spesial efek dan sebagainya. Tentu jauh berbeda dengan di Indonesia, film
sekelas Virgin, Buruan Cium Gue dan sebagainya saja sudah dianggap tabu,
dicaci maki dan sebagainya. Alasannya, Indonesia adalah negeri yang berbudaya
Timur dan menskralkan seksualitas. Meskipun Timur, aku kira cukup ironis ketika
Moammar MK menemukan Jakarta Undercover yang begitu heboh dan melampaui
ketimuran.
Black Bibble diputar dalam bahasa Jepang dengan subtitle terjemah bahasa
Inggris. Meski sama-sama Timur, nampaknya Jepang mempunyai politik
seksualitas tersendiri. Pernah aku baca sebuah buku yang berisi catatan
perjalanan seorang jurnalis, bahwa di Jepang, film-film biru—bukan semi—diputar
bebas di bioskop. Namun, peminatnya sedikit. Mungkin orang malu untuk
menontonnya. Atau karena sebab lain? Ternyata, penyebab utamanya bukan
karena malu, namun karena masyarakat Jepang mempunyai sedikit waktu luang.
Mereka dikenal sebagai work holic. Sampai-sampai untuk ngeseks pun (dalam
rangka reproduksi) mereka tidak sempat; kelelahan, stres dan sebagainya.
Dalam teori demografi atau kependudukan, pertumbuhan penduduk di Jepang
termasuk dalam kategori piramida terbalik. Dimana angka kelahiran bayi
minimal, usia muda relatif tetap, dan tua relatif tetap juga dan dengan peluang
harapan hidup tinggi.
Jika benar demikian, dapat dipahami kalau Black Bibble diputar secara massal,
pun film-film biru lainnya. Mungkin pemerintah Jepang ingin merangsang
penduduknya untuk ngeseks agar warga negaranya bertambah.
Menonton film ini bagiku adalah sebuah pengalaman dengan sensasi baru
tentunya. Selain sebuah film biru yang artifisial, ke-ngeri-an cerita membuatku
tidak bosan. Yang jelas, semenjak si wanita mempunyai vagina dan penis
sekaligus, adegan seks selalu muncul, dengan gaya dan imajinasi yang
melampaui film biru biasa. Dan sekali lagi, yang jelas, film ini tidak cocok untuk
anak kecil, meskipun film ini merupakan film kartun.[]
Aku menjadi ingat masa-masa kelulusan. Sama dengan apa yang sekarang ada.
Corat-coret pakaian putih-abu. Rasanya puas sekali. Benar-benar bebas. Seakan-
akan pada saat itu aku menjadi sepenuhnya manusia. Bebas. Dan tak ada orang
melarang. Orang tua pun tidak. Hanya polisi-polisi yang usil mengganggu
kesenangan pendek kami.
Aku berpikir, kenapa polisi-polisi itu harus menghentikan konvoi? Kenapa harus
ditangkap, dan dipulangrumahkan? Apakah mereka tak mempunyai anak yang
juga ingin berkata, “Jangan halangi kami!’. Coba seandainya konvoi itu tidak
dihentikan polisi, justru, aku pikir polisi semestinya mengamankan jalannya
konvoi. Mendampingi kami yang sedang menikmati berkendara dengan warna-
warni di baju. Harusnya mereka mengawal kami, mengawal konvoi seperti saat
partai sedang kampanye.
Aku pikir kalau seperti itu, semuanya akan senang. Kami yang baru lulus, benar-
benar merasakan orgasme kebebasan itu. Masyarakat tak perlu takut, khawatir
pada konvoi kami. Dan polisi, tak perlu menghardik kami. Semuanya menang.
Sebenarnya aku tak pernah tahu darimana tradisi corat-coret ini. Apakah dari
Jakarta, Surabaya, atau luar Jawa? Yang jelas, sebelum aku lulus, kakak kelasku,
kakak kelas sebelumnya, dan sebelumnya lagi, juga sudah mengenal corat-coret.
Jadi aku tak pernah tahu siapa meniru apa.
Tapi ada juga sebagian temanku yang tidak ikut corat-coret atau konvoi. Kata
mereka, corat-coret dan konvoi adalah perbuatan yang tidak bermanfaat.
Katanya, mending baju putih itu kita kumpulkan, sumbangin ke yayasan yatim-
piatu. Lebih akan bermanfaat dari pada dicorat-coret; dengan tanda tangan,
piloks, spidol, tulisan apapun itu, dan sebagainya.
Karena bajuku sudah dicorat-coret, mau tak mau aku harus menggantinya. Ku
taruh bajuku di hanger. Aku anggap baju itu sebagai kenangan, memori, atau
apapun itu, yang sangat bermakna. Lantas, aku berganti dengan “baju” yang
lain.
Sebagai sosiolog, aku tidak kekurangan referensi tentang Amerika berikut cerita
hitam yang melingkupinya. Mulai dari infansi Amerika ke Irak yang menurutku
melanggar cita-cita perdamaian dunia, isu terorisme yang sengaja dihembuskan
sebagai bentuk religiofication insecurity dunia, negara adidaya yang interventif
terhadap kebijakan dalam negeri negara lain, atau kepongahan yang rapuh ketika
WTC ternyata dapat ditabrak oleh pesawat secara sengaja. Dan seringkali aku
mengkritik Amerika terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
Yang aneh, pernah suatu ketika seorang teman bertanya, “Menurutmu negara
mana yang paling hebat?” Jawabku, “Amerika, terlepas dari segala
kekurangannya”. Sistem jaminan sosial yang mencukupi, lihat saja di film-film
Hollywood, jika kita merasa terusik dengan tingkah tetangga sebelah, kita cukup
men-dial 911—anehnya saya lebih hafal 911 daripada 110—beberapa menit
kemudian, LAPD, NYPD, atau kepolisian negara bagian setempat akan datang.
Lihat juga begitu canggih sistem pemerintahan di sana. Tentunya juga, begitu
cerdas masyarakat sipil di sana yang tahu hak-haknya sebagai warga negara.
Setiap warga negara berhak menggunakan kebebasannya (terbatas) untuk
mengoptimalkan seluruh potensi yang dimilikinya. Tidak heran kalau patung
Liberty sampai sekarang masih kokoh berdiri.
Suatu tempo kadang aku muak dengan Amerika, dengan Bush, dan CIA.
Meskipun aku sendiri belum pernah ke Amerika, bertemu Presiden Bush, atau
diciduk dan diinterogasi oleh CIA. Tapi, kalau melihat tingkah polahnya,
membuatku gregetan! Bayangkan, sudah ratusan ribu nyawa direnggut di operasi
militer di Irak, e... ternyata senjata pemusnah massal yang dituduhkan tidak
Gregetan pula setelah aku nonton film Fahrenheit 9/11, sebuah dokumenter
setelah Bush menjabat presiden dan beberapa bulan kemudian tragedi WTC
terjadi. Di film itu, ada satu dokumen rahasia militer yang menunjukan bahwa
Bush memiliki hubungan dengan Osama. Tidak heran jika Pentagon yang par
exelence dalam hal ‘mengintip’ tidak tahu dimana persembunyian Osama. Ada
jejaring yang mengamankan Osama, karena bin Laden (atau keluarga besar
Laden dari Arab Saudi) adalah relasi bisnis besar Amerika (Bush and Jr. Bush).
Sepertinya aku mengalami sindrom mendua, satu sisi aku terpesona dengan
Amerika, sisi yang lain aku muak! Semuak-muaknya, aku pernah berimajinasi,
sepertinya lebih menarik hidup di sana. Dari pada di Indonesia, anomali,
kekacauan, bencana alam, politikus yang rakus, polisi yang preman, pengadilan
yang mafia, penipuan di mana-mana, penjambretan, pendidikan kurang
berkualitas, korupsi tingkat empat se-Asia dengan ratting 2.2, norma-nilai yang
represif namun hipokrit, dan seterusnya.
Ee ... la dha lah, beberapa bulan yang lalu di yahoo.com ada iklan Green Card
Lottery (GCL). Sepertinya Tuhan tahu apa isi hatiku. Tanpa berpikir panjang aku
register dan mengisi sejumlah aplikasi. Yang jelas aku tidak mengaplikasi
agama/religion, karena memang tidak ada kolomnya. Beda dengan di Indonesia,
form aplikasi di bank saja masih ada kolom agama. Pikirku, memangnya bank
ngurusi agama kita? Tidak kan! Justru hal seperti ini hanya akan melahirkan
potensi diskriminasi berdasar agama. Anehnya pula, sampai sekarang ID Card
(KTP) kita masih menyisakan kolom untuk agama. Seumpama suatu tempo kita
jalan-jalan ke Kalimantan, khususnya daerah konflik, ada pemeriksaan oleh
pemuda-pemuda setempat dengan alasan keamanan, lantas KTP kita tunjukan.
Beberapa menit kemudian kita diseret dan dianiaya tanpa alasan yang jelas.
Setelah selesai, dengan nafas yang tersengal-sengal, kita bertanya, “Apa
salahku?”. Dengan innocent mereka menjawab, “Lihat KTP-mu, kamu Kristen
kan!”. Untungnya ketika membuat e-mail, friendster, blog, juga aplikasi GCL aku
tidak ditanya tentang agama.
Aplikasi terakhir dari GCL, aku diminta memilih negara bagian mana yang ingin
aku singgahi. Aku pilih New York. Menurutku di sanalah jantung Amerika terletak.
Sampai sekarang, USAFIS—lembaga pemerintah yang mengelola GCL—masih
rutin mengirimiku sejumlah informasi. Ketika ditanya untuk apa aku hidup di
Amerika, aku memilih poin opsional; pendidikan dan kerja.
Informasi GCL, dulu aku dapatkan ketika ngobrol santai dengan Hikmat
Budiman—penulis buku Lubang Hitam Kebudayaan—saat di Yogyakarta. Ia
menceritakan seorang temannya yang tinggal di Jakarta secara iseng mengikuti
GCL, dan ia termasuk yang beruntung. Paska peledakan WTC, bulan September–
Oktober, tiba-tiba pintu rumahnya di ketuk oleh beberapa orang dengan stelan
jas hitam—aku pernah menyaksikan sendiri performa body guard Kedubes
Amerika ketika main ke Utan Kayu Jakarta Timur, saat Duta Besar Amerika
menyambangi Goenawan Mohammad dan kawan-kawan KUK, protokol
pengamanannya benar-benar seperti yang kita lihat di film-film Hollywood.
Intinya, mereka menawarkan pada keluarga teman H. Budiman, untuk diboyong
ke Amerika karena kondisi dunia sedang mencekam. Tidak heran, karena setelah
menang GCL, ia tercatat sebagai warga negara Amerika. Mungkin GCL adalah
politik pemerintah Amerika untuk mengembangkan kuasanya melalui penyebaran
warga negaranya di banyak negara lain, tak terkecuali di Indonesia.[]
Apa hebatnya tulisan? Pertanyaan itu keluar tiba-tiba dari mulut Tata, saat di
lapak buku-buku bekas. Toh tulisan hanya sekedar rangkaian kata, kalimat,
paragraf yang diujung cerita diberi judul dan nama penulisnya. Tidak ada yang
istimewa dari tulisan. coba bandingkan dengan musik, ia mengalun dengan indah.
Ribuan penonton mengiringi seakan musik mengeluarkan pheromon yang
merangsang mereka.
Aku masih membolak-balikkan beberapa buku yang sudah lusuh. Beberapa buku
yang terlihat menarik aku buka halaman demi halaman. Sekedar untuk tahu
isinya. Belum aku ladeni lontaran Tata yang bersungut-sungut kesal karena
seharian berkeliling di lapak buku.
Aku tinggalkan dia. Berjalan ke lapak buku yang lain. Tak terlalu jauh dari
tempatnya duduk. Sepuluh atau lima belas meter.
Kutemukan sebuah buku yang cukup menarik, “Menata Negeri dari Kehancuran”.
Ditulis oleh Vaclav Havel, seorang Ceko. Sampul buku itu mulai lusuh. Aku lihat di
halaman identitas buku, ternyata terbitan tahun 1995. Berapa pak? Sambil
menunjukan buku yang aku pegang. Tiga puluh ribu mas. Kalau lima belas ribu?,
tawarku. Ya belum bisa lah mas. Lihat saja tebel segitu kok lima belas. Tambah
lagi. Dua puluh, aku ambil. Sembari aku rogoh kantong untuk mengambil
selembar dua puluh ribu, sedikit menggertak. Ya udah, sini tak sampulin dulu.
Selesai transaksi, aku hampiri Tata yang masih asyik membaca. Ta udah yuk.
Bentar, tanggung neh! Gumamnya sewot. Kamu beli aja buku itu. Bu, buku yang
itu berapa ya? Ku coba menanyakan harga buku yang sedang ia baca. Enam
puluh ribu mas. Kurangilah sedikit bu. Udah bekas kok. Ya ... masnya nawar
berapa. Empat lima saja ya bu. Belum bisa mas. Tambah lima ribu lagi lah. Ya
udah, lima pulu ya bu. Ya. Aku bayar buku itu.
Ayo Ta, jalan. Lha ini bukunya? Udah, gak sah belagak telmi gitu. Dah aku bayar.
Pura-pura gak denger lagi. Hehehe ... makasih ya. Ucapnya dengan sedikit
tertawa. Kita mau kemana? Jalan lagi ya? Nggak, nggak pake jalan. Kita naik
angkot saja dari sini. Ke warung minuman dulu. Aku haus.
Beberapa menit kemudian angkot yang kami tunggu datang. Sedikit luang. Tidak
seperti biasanya yang penuh tak ketulungan. Sekali penuh, penumpang bisa
duduk di jengkok kecil. Tambah menyesakkan, kalau penumpang membawa
barang banyak. Benar-benar tidak nyaman. Dan artinya, uang dua ribu rupiah
menjadi tak seimbang dengan fasilitas angkutan yang tidak manusiawi. Kadang
juga harus dimaklumi, para sopir harus memburu penumpang untuk ngejar
setoran. Kadang juga membuat kesal. Sudah tahu penuh, masih tetap ditambah.
Siang itu warung begitu ramai. Terik matahari yang panas nampaknya membuat
sebagian orang berusaha mencari kesejukan. Seperti di pemberitaan media
massa, pengaruh pemanasan global membuat cuaca tak menentu. Kadang panas
dengan kelembaban yang tinggi. Kalau sudah sepert itu, sore atau malam harinya
pasti hujan. Seperti siang ini, panas, tapi udara begitu lembab. Ekskresi keringat
menjadi tak nyaman rasanya. Tubuh lembab, seakan keringat tak menguap.
Dit, kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi. Apa hebatnya tulisan? Tiba-tiba
suara Tata membuyarkan pandanganku ke meja-meja pengunjung. Oh ... yang
tadi. Lha kamu tadi kan sudah berpendapat, kalau tulisan hanya itu-itu saja. Kata
kamu hebat musik. Iya, itukan pendapatku. Kalau menurutmu gimana?
Selidiknya seakan tidak puas sebelum mendengarku memberi komentar.
Ta, kamu tahu beberapa hari yang lalu salah satu ormas melakukan demonstrasi
di Bundaran HI? Jumlah mereka lebih dari lima ratus orang. Bertahan di bawah
sengatan matahari untuk beberapa jam mendengarkan orasi dari beberapa teman
mereka. Entah itu dibayar atau tidak. Tapi andaikan mereka bukan orang
bayaran. Mereka memang menuntut atas kemauan sendiri. Menurutmu mengapa
orang-orang seperti itu rela membuang waktunya untuk meneriakan yel-yel dan
mendengarkan orasi? Sengaja aku tidak memberi jawaban langsung. Aku berikan
kesempatan untuknya agar dia juga masuk dalam alam imajinasi pergerakan
sosial.
Ya, karena mereka merasa dirugikan kebijakan negara. Kemarin kan demonstrasi
tentang kenaikan BBM dan TDL kan? Ia berusaha memastikan.
Iya, betul. Lantas mengapa mereka tahu kalau kebijakan itu merugikan diri
mereka? Tahu dari mana mereka.
Ya taulah. Aku aja tahu. Yang jelas kenaikan BBM dan TDL kan berakibat naiknya
harga-harga yang lain, sebut sembako. Bagi kalangan menengah ke bawah
kenaikan beberapa harga yang bersamaan sangat memberatkan. Apalagi kalau
dalam usaha mereka menggantungkan sama minyak, bensin, listrik. Ya merugi,
bisa-bisa ditinggal pembeli karena menaikan harga jual produknya.
Lalu apa hubungannya dengan pertanyaanku yang tadi? Kamu tuh ditanya A
malah jawab B. Gimana sih! Tata mulai tidak sabar untuk mengetahui
komentarku tentang apa hebatnya tulisan.
Apa ya ... kalau gak salah mereka menawarkan solusi agar umat Islam di
Indonesia menerapkan syariah Islam. Atau pemerintahan Islam. Kata mereka,
sistem Islam tidak akan menghasilkan kebijakan yang pro-kapitalis semacam itu.
Begitu kan? Benar gak?
Iya benar. Itu tawaran solusi mereka. Menurutmu mengapa dan dari mana
mereka mengetahui kalau tawaran solusi itu bisa menyelesaikan masalah
bangsa?
Apa iya, hanya sekedar analisis kondisi material? Kalau iya, kenapa tawarannya
bukan perbaikan sistem demokrasi? Kenapa tawarannya konsep yang sama sekali
berbeda dengan demokrasi?
Mungkin dari buku yang mereka baca kali. Atau kalau pemerintahan Islam,
mungkin mereka baca Al-Quran, terus menemukan konsep itu.
Nah itu dia Ta, kamu sudah menjawab pertanyaanmu sendiri kan. Itu dia
kehebatan tulisan. Kamu jangan lupa, tulisan itu hanya sekedar wujud kasat
mata dari ide-ide yang kita keluarkan. Mungkin, bagi kamu medianya lewat
musik. Tapi esensinya sama, tulisan atau musik hanyalah media. Yang
menggerakkan orangnya adalah ide di dalamnya. Kehebatan tulisan tentunya
akan tergantung pada kehebatan ide yang disampaikan oleh penulis di dalamnya.
Novel Pram, buku Das Kapital karangan Marx, atau One Dimensional Man
karangan Marcuse, sampai hari ini masih layak untuk dibaca. Tidak hanya layak,
bahkan sampai hari ini masih banyak orang yang mengikuti ide-idenya untuk
diperjuangkan. Gimana paham?
Iya. Aku mulai paham. Tadi aku baca satu judul di buku ini (Catatan Pinggir). The
Death of Sukardal. Dan setelah aku baca, aku jadi ngrasa beda. Kayaknya selama
ini aku terlalu enjoy dengan kehidupanku. Ya ... dengan rutinitasku setiap hari.
Kalau tidak ke studio buat rekaman atau liat kontrak, pasti ke luar kota buat
konser. Seneng sih. Tapi, setelah mbaca, oh iya ya, ternyata di luar sana ada
orang yang bernama Sukardal, tukang becak dan hidupnya sangat sulit. Sampai
terpaksa bunuh diri karena becaknya diamankan oleh tramtib. Padahal berita-
berita kayak si Sukardal sering aku tonton di TV atau baca di koran. Tapi kok
beda rasanya dengan mbaca tulisan Goenawan Mohammad. Lebih hidup rasanya.
Nah, kalau yang kamu maksud adalah gaya tulisan. Itu sudah lain persoalannya.
Idenya mungkin sama. Seorang tukang becak yang bernama Sukardal meninggal
dunia karena bunuh diri. Tapi menjadi berasa lain, bagi para pembacanya, ketika
disajikan dengan gaya penulisan yang berbeda, taruhlah esei a la Catatan Pinggir.
Tentunya akan berbeda ketika kamu baca kolom straight news koran atau
majalah lain.
Jadi, menulis itu ibarat memasak ya Dit? Bahan bakunya sama. Bumbunya sama.
Pengolahannya saja yang mungkin berbeda. Dan hasilnya bisa berbeda.
Dit, kalau kamu tahu, menjadi Gita Gutawa, rasanya itu tidak enak. Terikat
kontrak dengan berbagai pihak. Udah kayak gitu, manajer selalu ngawasi
aktivitasku. Gak bisa aku setiap hari minum dan ngobrol dengan teman kayak
sekarang ini ma kamu. Padahal aku jenuh dengan rutinitas yang padet itu.
Untung ayah seringkali nyuport.
Terserah ... Dit, btw (by the way), dari tadi kita masuk ke warung ini kok rasanya
gak ada yang kenal ma aku ya? Gak ada yang minta tanda tangan atau minta
foto ya. He he he ...
Narsis lu ya ... Keenakan hidup jadi artis. Ha ha ha ... Mungkin mereka jarang liat
wajahmu. Taunya suaranya tok. Apa tuh, sempurnaaa .... Sembari kutirukan
syair salah satu lagunya yang sedang pop.
Ngledek lu ya ... biarin. Gini-gini kan fans-nya banyak. Gak kayak kamu.
Biarin juga. Gini-gini bisa nikmatin hidup. Gak kayak kamu yang diburu kontrak.
Tanpa diminta Tata berdiri dan berjalan ke arah kasir. Ia membayar pesanan
kami. Tak diduga-duga, beberapa cewek mendekatinya. Mbak Gita kan? Mbak
minta tanda tangannya dong. Sekalian foto ya.
Aku hanya diam. Duduk menunggunya menyelesaikan salah satu ritual sebagai
artis. Aku ambil Catatan Pinggir di tasnya. Aku tulis di halaman depan, “Untuk
Gita, semoga tetap menunduk seperti padi. Meski lantunan suaramu terus
melengking naik. Proficiat!” Aku bubuhkan tanda tangan dan inisial namaku, el-
ferda.
Tak lebih dari setengah jam ritual jumpa fans itu selesai. Udah Ta. Gimana puas
... hehehe.
Jam menunjukan pukul empat lebih tiga puluh menit. Biasanya jam-jam sore
seperti ini angkot yang menuju hotel kami menginap sudah jarang. Akhirnya Tata
mengambil inisiatif dengan menelpon operator taksi. Sepuluh menit kami tunggu.
Taksi pun datang.
Dua puluh menit kemudian taksi yang kami tumpangi sudah sampai di parkiran
hotel. Setelah membayarnya, kami lekas-lekas masuk ke hotel dan menuju lift.
Khawatir kalau ada orang yang mengenali wajah Gita. Sudah kecapaian katanya.
Kami tekan tombol nomor lima. Selang tiga menit kami sampai di lantai lima.
Kami masuk ke kamar masing-masing. Sebelah menyebelah. Nomor 215 dan
216.
Dit nanti keluar jam tujuh aja ya. Aku pingin berendam dulu. Capek sekali
badanku.
Waktu itu kami berendam air hangat bersama. Di tempat yang berbeda. []
Usianya tak terpaut jauh dariku, 21 tahun. Jangan tertawa atau mencibir dulu.
Sebenarnya Wahyu sudah bisa mengendarai motor. Dulu, ketika SMA, ia pernah
mengalami kecelakaan. Bukan sekedar luka ringan, bahkan ia harus rawat inap di
rumah sakit. Selebihnya, beberapa anggota tubuhnya harus dijahit. Peristiwa
itulah yang sampai sekarang membuatnya trauma untuk mengendarai motor.
Malam ini (08/05), aku mengajak Wahyu berkeliling GOR Purwokerto. Benar-
benar “berkeliling”, dalam makna harfiahnya. Dari ujung, kembali ke ujung lagi.
Belok kiri, dan berlatih membelok ke kanan. Khusus belok kanan, sulit katanya.
Sesekali tubuh pun ikut miring ke kanan atau ke kiri.
Berbeda di GOR, jalan beraspal. Lapang, seluas bahkan lebih luas lapangan sepak
bola. Dan yang menarik, ada garis putih seperti marka jalan yang bisa kami
gunakan sebagai garis pemandu. Paling sulit, menjaga Wahyu tetap berada di
jalur garis itu. Tangan atau tubuhnya cenderung meliuk. Sesaat kawat gas
tertarik, tubuhnya akan sedikit menghentak pertanda kaget.
Potret Wahyu malam ini tidak berbeda jauh denganku di masa SMP. Ayah
mengajariku dengan motor Honda. Sama, awalnya aku hanya berkeliling di
lapangan sepak bola. Lambat laun, aku mulai berlatih di jalan desa. Tidak ada
keramaian, juga tidak ada lampu lalu lintas. Yang jelas, tidak ada yang
mengangguku untuk belajar.
Mungkin perasaan seperti itu juga yang dirasakan ayahku saat berada di
belakangku. Ia harus membimbingku. Cara menambah dan menurunkan dari satu
gigi ke yang lain. Saat aku harus melepas dan menarik kawat gas. Saat aku
harus sepenuh hati merasakan dorongan yang dihasilkan dari tarikan kawat gas.
Benar-benar hangat.
Selang berapa lama, aku mulai tak merasakan hentakan atau liukan tubuhnya.
Mungkin tangan dan tubuhnya sudah mulai terbiasa dengan laju roda, kecepatan
dan dorongan mesin. Meski aku pun tetap yakin, nanti malam pasti otot
pergelangan tangannya akan sakit. Juga telapak tangannya pasti akan memerah.
Yang jelas, aku berharap Wahyu tidak kapok. Tetap mau belajar, agar suatu
ketika bisa bertukar peran denganku. Aku sebagai pembonceng, dan dia sebagai
pengemudi. Menurutku pertukaran peran ini merupakan ekspresi kecil dari
sebuah kesetaraan gender. Sebuah pertukaran peran yang mampu melibas sekat
perbedaan jenis kelamin. []
Pagi ini aku terbangun di rumah, Pekalongan. Tidak ada yang banyak berubah.
Berikut juga keluhanku ketika di rumah. Nyamuk menemaniku dengan
kegaduhan yang menyakitkan. Sampai-sampai, aku lupa antara tidur dan terjaga.
Mungkin memang sudah kaprahnya daerah panas. Nyamuk bersarang di mana-
mana.
Pagi itu jalanan mulai ramai. Karyawan kantor, mengantor. Anak sekolah,
bersekolah. Semua aktivitas terjadi di jalan dan waktu yang sama. Bising.
Beberapa kali juga aku sempat kaget, ketika motor-motor besar lewat depan
rumah. Atau ketika truk pengangkut material bangunan lewat. Mengangguku.
Entah karena sudah terbiasa dengan sepi, aku tak nyaman berada di rumah.
Tidak ada jeda untuk merehatkan otak. Energi otakku cukup boros. Menerima
rangsangan suara. Mendefinisikannya, dan membuatnya nampak terdengar.
Belum lagi ketika karyawan, atau penjahit mulai berdatangan di rumah. Suara
mesin menyalak-nyalak. Tak cukup, suara radio senantiasa mengiringi sampai
mereka laut di sore hari.
Aku heran, mengapa keluargaku bisa hidup dalam kebisingan seperti ini. Apa
lantaran terbiasa? Kebisingan yang tidak menenangkan. Bahkan, salah satu
budeku harus menginap ke rumah lain lantaran bising. Ia sakit. Dan ia butuh
ketenangan.
Aku mulai berpikir, seumpama Purwokerto City Walk (PCW) jadi dibangun,
mungkin kebisingan akan mengangguku. Memang berbeda antara kebutuhan
Mungkin kapan waktu kamu perlu mengurangi gerak. Kapan waktu cobalah untuk
diam. Aku yakin, pikiranmu akan lebih bebas melesat ke cakrawala idea. Tubuh
ini, terlalu mengkerangkeng kita. Tubuh ini, terlalu manja dan selalu meminta
dilayani otak. Dalam kecepatan gerak, energi otak kita hanya habis sebagai
pelayan si wadag yang statis.
Bagaimana cerita PCW? Sayangnya industri dan tempat belajar sedemikian dekat.
Hanya berjarak 100-300 meter dari kampus. Ia menuntut kecepatan gerak fisik.
Angkot-angkot yang berseliweran. Kendaran bermotor saling beradu suara.
Obrolan pengunjung menjadi hingar-bingar. Musik pengiring sebagai back sound
stand belanja. Belum lagi, desingan mesin pendingin ruangan. Suara mesin
pembangkit listrik. Banyak suara, bunyi, bersatu padu. Lahirlah keriuhan,
keramaian, kebisingan.
Sebaliknya, otak kita menjadi lambat. Belajar menjadi lambat. Iklim pendidikan
pun menjadi lesu. Otak menjadi kian tumpul. Otak mengalami over load
rangsangan. Konsentrasi menjadi buyar.
Itu hanya khayalanku semata. Belum tentu benar. Acuhkan saja. Hanya dengan
ketaknyamananku di rumah, tentunya aku tidak bisa meng-gebyah uyah
semuanya. Atau memang benar. Sekurang-kurangnya, bahwa kerja otak
berbanding terbalik dengan tubuh. Otak cepat, tubuh lambat. Tubuh cepat, otak
lambat. []
Entah perasaan apa itu, tiba-tiba mataku berlinangan air ketika membaca
paragraf demi paragraf temuan M. Guntur Romli di Padang, Sumatera Barat
(www.guntur.name). Ada rasa sesak, dongkol, dan muak. Meski aku memang
Muslim, tapi aku tidak tega ketika seorang ibu Kristen berujar;
“Lalu saya katakan padanya bahwa ini peraturan jadi putri saya harus
mengikutinya dan saya pun menjelaskan bahwa pakaian hanyalah simbol
sehingga tidak mewajibkan dia harus mempelajari Islam karena iman seseorang
itu tidak digambarkan dari jilbab dan iman seseorang itu tidak digambarkan dari
Salib tetapi iman seseorang itu berada pada hati nurani.
Sehingga saya katakan pada putri saya agar ia jangan kalah, ia harus bisa
menunjukkan bahwa walaupun ia memakai jilbab, imannya masih teguh
mempertahankan agama Kristen. Putri saya itu dididik untuk hidp berdampingan
dengan umat agama lain, sehingga ia dapat memahaminya. Sebetulnya jauh di
lubuk hati saya, hal ini sangat menyiksa. Putri saya sendiri merasa tersiksa
Mungkin perasaan seperti itu yang terbenam di sanubari Kristiani Padang. Seperti
ketika seorang anak mengeluh karena dongkol, “Kita tuh cerita-cerita kalau kesel
banget pake jilbab ini. Masa kita harus pake jilbab, kita kan non-muslim. Ya
pengennya tuh kita apain itu Pemda, ya kayak gitu-gitu lah! Ya kesel-kesel gitu,
ya cuma di hati aja. Apa yang bisa kita lakuin sebagai siswa, gitu kan?”. Sebuah
rasa yang nyaris tak terkatakan. Speech less!
Sejujurnya aku heran dengan orang seumatku, mereka suka sekali menunjukan
simbol-simbol agama. Seolah-olah mereka akan terlihat hebat dan suci ketika
mengenakan simbol-simbol itu. Padahal keimanan adalah ihwal bathiniyyah dan
fi’liyah, bukan penampakan luarnya (appearance).
Melalui forum maya itu juga, kurang-lebih aku timpali seperti ini, “Eh kalian itu
aneh ya. Perda Injil di Manokwari itu kan cuma reaksi. Nah kita, dari kemarin
enak-enakan bikin Perda Syariat di banyak kota. Baru satu kota mereaksi saja
sudah kebakaran jenggot. Makanya, tidak perlulah kita bikin Perda-perda
Syariat”. Kader itu tidak memberi komentar.
Aku berpikir, kalau cara keberagamaan seperti ini masih tetap dipertahankan,
berapa orang lagi akan tersakiti oleh “Islam”. Perlu lah kita berendah hati. Tidak
Coba kita renungkan pernyataan Pdt. John Robert Pardede, GMI (Gereja Metodis
Indonesia), Padang, “Kami tidak bisa melawan. Kami sadar inilah resiko menjadi
kelompok minoritas. Kami hanya terus introspeksi. Kami melihat tidak ada jalan
lain kecuali dengan mematuhi aturan ini. Mau gimana lagi? Ketika saya sering
mendapat keluhan dari jemaat, saya hanya bisa membesarkan hati mereka
dengan perkataan, tidak apa-apa tutup kepala kalian dengan jilbab, tapi tutup
hati kalian dengan iman kepada Allah”. Lantas apakah umat Islam akan terus
menjadi teror bagi pemeluk agama lain, golongan minoritas, dan seterusnya?
Kalau Anda menjawab, iya, patutlah saya kecewa. Dan patutlah saya menangis
untuk kesekiankalinya. Semoga tidak! []
Hari ini siapa yang tidak mengenal friendster atau biasa disingkat dengan fs.
Mungkin hari ini juga fs sudah menjadi gaya hidup, khususnya bagi muda-mudi,
tidak hanya di Eropa, Amerika atau negara maju lainnya, tetapi juga sebagian
muda-mudi Indonesia.
Pernah saya secara sengaja masuk ke fs teman, dan saya lanjutkan masuk ke fs
temannya teman saya, kemudian ke temannya temanya teman saya, sampai ada
tujuh orang lebih saya masuki tanpa pernah kenal. Saya kagum terhadap
jaringan interaksi yang dibangun oleh fs. Benar-benar tanpa batas. Jika kita fs
sebagai perumahan, saya secara bebas masuk ke satu pintu rumah. Kemudian
dari pintu belakang saya keluar. Di pintu belakang, ada pintu depan dari rumah
orang lain. Saya masuk. Dan seterusnya sampai tidak terbatas.
Kelimpah-ruahan kontak personal dalam fs ini yang dapat kita baca secara
berbeda. Beberapa orang, saya lihat di profile-nya, ingin mendapatkan teman
ketika mereka bergabung. Padahal, menurut saya, fs tidak bisa memberikan hal
semacam itu. Kelimpah-ruahan kontak personal bisa jadi kurang baik. Kita hanya
akan menemukan atau mendapatkan sedikit makna dari banyaknya orang yang
berlalu-lalang, singgah-pergi pada fs traffic kita. Kita pun tidak akan pernah bisa
mendalaminya satu persatu. Jean P. Baudrillard pernah melontarkan bahwa
adagium yang berlaku di dunia maya adalah, “Semakin banyak informasi,
semakin sedikit makna”.
Lantas sebenarnya apa yang orang cari ketika bergabung dalam jaringan maya
fs? Apakah benar sebuah keinginan untuk berinteraksi, memperoleh teman atau
semacamnya? Mungkin motif-motif semacam itu ada. Tetapi, saya lebih
melihatnya pada motif yang lain. Yakni motif untuk menunjukan diri.
Selain itu, kelimpah-ruahan kontak personal yang ada akan membuat satu
pemilik fs tidak fokus untuk melakukan interaksi atau komunikasi. Yang mereka
lakukan justru bagaimana mempercantik tampilan fs-nya masing-masing dengan
berbagai template atau icon-icon tertentu.
Sehingga jika saya menerima e-mail, bahwa fs saya diundang (invinited atau
add) oleh teman atau yang lain, saya membacanya sebagai ajakan untuk melihat
sebuah album foto atau sebuah profil diri yang biasanya narsis. Jika seorang
teman mengatakan bahwa, “Saya baru saja meng-up date fs”, maka saya maknai
bahwa teman tersebut baru saja menambah koleksi fotonya, dan seringkali
benar.
Pada posisi out-sider saya sendiri suka memasuki satu fs ke fs yang lain. Hasrat
semacam ini sebenarnya hampir sama dengan voyurisme, sebuah tindakan
mengintip atau melihat-lihat gambar-gambar porno. Meskipun dalam fs sendiri,
foto-foto yang ada tidaklah porno. Tetapi pada dasarnya, hasrat tersebut hampir
sama, yakni keinginan untuk mengetahui kehidupan orang lain dengan berbagai
sisi privatnya.
Sedangkan para pengguna fs, saya baca hasrat yang ada hampir sama dengan
eksibisionisme, yakni keinginan untuk mempertontonkan atau memperlihatkan
bagian tubuhnya. Pada dasarnya hasrat tersebut hampir sama, suatu keinginan
untuk mempertontonkan atau memperlihatkan kehidupan privatnya pada orang
lain atau publik.[]
Kematian bukanlah sebuah tragika. Bukan pula peristiwa dramatis yang luar
biasa. Kematian adalah salah satu episode siklus hidup manusia. Ia tak perlu
disesali. Ia tak perlu diisak-tangisi. Seperti kehidupan, kematian adalah
anugerah.
Setiap manusia hidup, bakal mati. Mereka berlomba-lomba mati dengan cara
tertentu. Bagi Muslim, khusnul khotimah adalah dambaan ideal. Cara mati inilah
yang membuat kematian menjadi luar biasa. Ada yang mati melalui kecelakaan
tragis. Ada yang sakit terlebih dulu. Ada juga yang halusnya tak terkira. Atau,
yang tak kuasa hidup, mati dengan cara ngendat atau gantung diri.
Pilihan cara mati inilah yang akan menjadi cerita di masyarakat. Apakah wajar
atau tidak. Apakah biasa atau luar biasa. Dan ujung-ujungnya, apakah khusnul
atau su’ul khotimah.
Jumat (25/4) yang lalu, seorang anak Adam, Ayah dari M. Natiq A., telah
berpulang ke Tuhan. Innalillahi wa innailaihi roji’un. Kami datang dan kembali
kepada-Mu. Hidup-mati datang dan kembali pada Tuhan. Atau kearifan orang
Jawa menyebut, “Urip-mati kagungan Gusti”. Sepantasnya demikian, tidak ada
yang luar biasa.
Ayah itu meninggal satu minggu (17/4), setelah pernikahan putrinya, Natiq.
Beberapa minggu setelah putrinya diwisuda menjadi seorang sarjana. Mungkin
sudah purnalah tugas almarhum sebagai seorang Ayah. Ia sudah melihat dua
kebahagiaan, kelulusan dan pernikahan.
Ayah itu meninggal dengan cara tersenyum. Senyum yang mengembang tatkala
melihat si putri bahagia. Boleh jadi, ia sudah merasa cukup dengan dua
kebahagiaan yang datang beruntun itu. Ia sudah ikhlas bilamana Sang Khalik
memintanya pulang.
Bagi Natiq mungkin kematian ini tragika yang amat dalam. Ketika ia sedang
bahagia, hanya seminggu saja Ayahnya bisa melihat dan merasakan. Natiq
seperti kapas yang jatuh dari lantai gedung. Terombang-ambing dalam euforia
pun histeria. Dalam suka pun duka.
Memang Tuhan Maha Adil, diberikanlah kegembiraan; di lain hari kesedihan juga
diberikan. Diberikan satu anggota keluarga baru (Suami), diambillah anggota
yang lain (Ayah). Ada Yin, ada Yang. Ada permulaan hidup (pernikahan), ada
akhir dari ujung kehidupan (kematian). Dua-duanya saling mengisi, imbang.
Inilah cerita panjang tentang “when”. Kilas balik tentang wisuda di pertengahan
Maret, seminggu setelah pernikahan, berujung pada hari-H penjemputan.
Rentetan waktu, kronologis peristiwa merupakan tanda berjalannya Roh Absolut.
Ia menyejarah, dalam arti membuat sejarah.
Satu dongeng tidak akan menjadi panjang tanpa “how”. Alkisah, beberapa menit
sebelum meninggal, si Ayah menelpon Natiq. Menanyakan kabar dan sedang
bersama siapa. Natiq baik-baik saja, sedang bersama Mas Wachid, singkatnya.
Mungkin Natiq tidak pernah menyangka itulah kalimat terakhir Ayahnya.
Saat itu si Ayah sedang ngobrol santai di ruang tamu, ditemani istri dan seorang
lainnya. Sampai titik waktu tertentu, tiba-tiba kepala si Ayah tersungkur. Istri
dan yang lainnya, tahunya si Ayah sedang mengantuk. Saat itulah sebenarnya si
Ayah sedang sakaratul maut.
Sepuluh menit sebelum dokter datang, si Ayah sudah dijemput malaikat Izrail.
Hembusan nafas terakhir dengan cara tenang-halus. Tidak ada yang menyangka
bahwa si Ayah meninggal, tanpa sakit, serangan jantung atau lainnya.
Dongeng ini sekedar menjadi pengingat, tentang kematian anak Adam yang tak
perlu diratapi. Dongeng tentang si Ayah yang tersenyum dan si Anak yang lambat
laun mengembangkan senyumnya.
Dalam jalinan peristiwa, hikmah akan muncul bagaikan matahari pagi yang penuh
keoptimisan. Mengikuti roda sejarah, Sang Himah, pasti akan membuka diri. Dan
saat itu datang, maka tersenyumlah si Anak, tersenyumlah keluarga.
Terakhir, mari kita do’akan agar Tuhan menerima si Ayah di sisi-Nya. Dan kedua,
semoga secepatanya Sang Hikmah membawakan obor keoptimisan bagi
keluarga dan khususnya Natiq. Dalam nama Tuhan, semuanya akan berpulang.
Amien. []
Konser Musik
Suatu malam saya menonton televisi. Saat itu disuguhkan tayangan konser musik
di luar negeri. Entah saya lupa tayangan (program) apa yang saya tonton. Di lain
kesempatan, melalui televisi saya juga menyaksikan konser musik serupa, di
Indonesia. Dan ternyata ada perbedaan antara dua konser musik itu.
Memang bukan perbedaan bahasa yang akan saya bincangkan. Melainkan, kalau
kita perhatikan secara seksama, penonton konser musik di luar negeri sangat
heterogen. Baik laki-laki pun perempuan, semuanya bercampur dan merata. Ada
yang tepat di depan panggung, ada yang di tengah, dan di paling belakang.
Lantas apa menariknya? Bagi agamawan melihat perbedaan itu mungkin ia akan
mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Idonesia tahu sopan-santun.
Yakni, tidak baik antara laki-laki dan perempuan campur dan berhimpitan dalam
satu keramaian. Mereka mungkin akan mengatakan bahwa itu adalah pertanda
baik, artinya perempuan-perempuan Indonesia sadar akan kodratnya.
Saya punya pandangan lain. Alih-alih hal itu merupakan tanda kedewasaan
masyarakat, justru hal tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa ruang publik
di Indonesia sangat patriarkhis. Buktinya, perempuan takut untuk bercampur
dalam keramaian mengingat kesadaran akan keamanan dan ketertiban penonton
di Indonesia terbilang masih rendah.
Bila saya menonton konser musik, saya cukup was-was ketika tiba-tiba saja
terjadi keributan di tengah sesaknya penonton. Saya akan khawatir, misal,
bagaimana cara untuk melarikan diri dari kekacauan itu. Mungkin hal inilah yang
melatari mengapa penonton perempuan cukup sedikit sebagai penonton konser
musik. Di lain pihak, bila kita berpikir secara sederhana, bahwa jumlah penduduk
antara laki-laki dan perempuan, lebih banyak perempuan, maka seharusnya
jumlah penonton perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki.
Juga saya amati, jumlah penonton perempuan menjadi banyak ketika konser
musik tersebut dilaksanakan di dalam gedung (in door). Sehingga, sebenarnya
Bila saya perempuan, saya akan cemburu dengan kondisi ini. Pasalnya, sebagai
manusia, dirinya tidak mampu menikmati setiap fasilitas (misal, ruang publik)
dan berbagai macam privellege yang bisa dengan mudah dinikmati laki-laki.
Sayangnya, para anggota fans club jarang menuntut hal ini, misal; keamanan
serta kenyamanan konser musik di tingkatkan dan sebagainya. Atau bisa jadi,
karena fans club lebih banyak beranggotakan laki-laki daripada perempuan,
misal, Orang Indonesia (OI), Slankers, Baladewa, dan seterusnya. []
Memang keinginan itu sudah lama ia sampaikan. Artinya harapan itu benar-benar
sebuah harapan ibu pada anaknya, Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan nada
becanda aku menanggapi, sebenarnya aku sama sekalu tidak tertarik dengan
PNS. Kerja PNS (misal Pemda) terlalu sederhana. Banyak waktu luang di kantor.
Sama sekali kurang menantang dan lain sebagainya. Aku sampaikan, seumpama
aku menjadi PNS, bisa jadi otakku tambah tumpul. Sama sekali tidak terasah.
Bagaimana terasah kalau setiap hari PNS hanya memenuhi rutinitas yang
semestinya di kantor. Bagaimana mungkin tertantang kalau PNS hanya sendiko
dawuh pada atasannya. Aku tidak bisa membayangkan begitu membosankannya
kerja itu. Aku rasa, aku tidak akan bisa menikmatinya.
Saat KKN aku ke kantor Pemda Banjarnegara untuk mengurus sesuatu. Meski
jam kerja, kalau tidak salah jam sebelasan, beberapa pegawai aku lihat hanya
bermain game, Bounce. Ada juga yang bermain Zuma, Solitaire, dan sebagainya.
Sekali lagi, saat jam kerja. Pemandangan seperti ini juga dibenarkan temanku
KKN desa lain saat berkunjung ke Pemda Banjarnegara.
Masih bersama bapak, lantas ibuku bertanya, sebenarnya aku ingin kerja seperti
apa? Dengan sedikit becanda aku sampaikan kalau aku ingin, selama aku bisa,
mengabdikan hidupku pada kemanusiaan. Aku tak tahu apakah ibuku paham apa
yang aku katakan. Akhirnya aku timpali, kalau tidak di penelitian, aku ingin di
pemberdayaan (LSM).
Ibuku menimpali, “Kemanusiaan, lha nanti ibu dapat apa?”. Sebuah lontaran
yang sulit, karena aku rasa lontaran ini bersifat emosional, ibu dengan anak.
Masih dengan nada becanda aku jawab, “Kalau sekarang kan ibu dan bapak
masih cukup sejahtera. Masih bisa mencari nafkah sendiri”. Aku tak tahu apakah
jawabanku menyinggung perasaannya atau tidak. Tapi memang pertanyaan itu
sangat pelik, problematis. Sekurang-kurang membenturkan aku pada beberapa
pokok masalah; keinginanku untuk memperoleh kerja yang bisa aku nikmati,
kepedulianku pada kemanusiaan-kemasyarakatan, dan keinginan ibuku untuk
bisa mensejahterakannya.
Di antara orang-orang itu, hanya bapak dan kakakku yang kedua saja yang
mungkin bisa memahami keinginan dan alasanku. Sekurang-kurangnya dalam
sebuah obrolan ringan, Azza pernah sedikit memasuki diskusi tentang idealisme.
Aku paham maksudnya. Dan aku rasa ia juga memahami kedirianku.
Sampai sekarang pertanyaan, “Mau kerja apa?” adalah salah satu faktor yang
membuatku kurang nyaman di rumah, yang lain, “Kapan lulus?”. Selebihnya
alasan teknis, aku tidak mempunyai kamar sendiri, sehingga setiap kali pulang
dalam kondisi apapun aku tidur di ruang tamu di atas sofa. Udara Pekalongan
terlalu panas, membuat aku tidak nyaman. Malam harinya, banyak nyamuk yang
menemani tidurku dengan cupangan merah di sekujur tangan dan badan.
Rumahku terlalu ramai, berisik lantaran suara mesin jahit 10 -12 mesin, mulai
jam sembilan pagi sampai jam empat sore. Belum lagi malamnya kalau sedang
lembur, dari ba’da maghrib sampai jam 21.30 WIB. Dan satu alasan pendukung,
pacarku asli orang Purwokerto. []
Tulisan ini muncul ketika saya banyak berdiskusi dengan kawan-kawan aktivis
mahasiswa di kampus. Sebenarnya diskusi tersebut tidak secara langsung
membahas perspektif-perspektif dalam mendekati sosial. Melainkan diskusi
tersebut berangkat dari latar masalah konkret. Seperti gerakan mahasiswa dan
agenda-agendanya.
Perspektif dalam judul atau tulisan ini saya artikan sebagai pilihan sudut pandang
yang kemudian secara teknis pilihan pisau analisis yang digunakan seseorang
dalam menyingkap suatu permasalahan. Dalam ilmu sosial perspektif yang saya
maksud bisa disamakan dengan pengertian metodologi. Sehingga tulisan ini, jika
dalam tradisi ilmu sosial, maka akan masuk dalam rumpun methodenstreit atau
perdebatan metodologi.
Dan tidak sedikit saya jumpai bahwa aktivis mahasiswa terjebak pada
determinisme perspektif atau sudut pandang. Seperti yang akan saya ilustrasikan
di bagian ini. delapan atau sepuluh tahun yang lalu Indonesia pernah mengalami
konflik yang berbau SARA (kasus Poso, Sampit, dll.). Untuk menyelesaikan
masalah tersebut para ilmuwan sosial diterjunkan. Melalui analisis tertentu, ada
yang berpendapat bahwa masalah tersebut disebabkan oleh faktor kesenjangan
sosial. Ada juga yang melihatnya sebagai masalah agama, ada juga politik.
Masing-masing mempunyai argumentasi yang sama-sama meyakinkan. Mana
yang benar?
Beragam analisis juga muncul pada kasus pemboman gedung WTC 11 September
beberapa tahun yang silam. Masih sama, ada yang memberikan analisis bahwa
hal tersebut merupakan reaksi terhadap kapitalisme global. Ada juga yang
menyatakan bahwa masalah tersebut murni agama yang akhirnya menyudutkan
agama tertentu, yakni Islam. Ada juga yang membacanya sebagai benturan antar
peradaban seperti ramalan Huntington dalam The Clash of Civilization. Lalu mana
yang benar?
Secara logis ada tiga kemungkinan, pertama bahwa hanya faktor kemiskinan saja
yang menyebabkan kasus-kasus tersebut. Kedua, hanya faktor agama. Dan
ketiga dua-duanya muncul dalam satu kasus secara tumpang-tindih.
Sebelum memasuki diskusi lebih jauh, ada baiknya sejenak kita ikuti perdebatan
antara kaum Positivis dengan kaum Humanis/Naturalis dalam tradisi ilmu sosial
dan humaniora. Satu sisi secara metodologi di wakili oleh pendekatan kuantitatif.
Dan sisi yang lain pendekatan kualitatif. Kaum Positivis menganggap bahwa
pendekatan yang paling benar manakala secara teoritis-teknis masalah yang ada
dapat dikalkulasikan, dihitung, dirumuskan dan diprediksikan seterusnya. Oleh
karena itu, pendekatan seperti ini biasanya dan bermula dari tradisi ilmu-ilmu
alam (eksakta). Dampaknya, klaim kebenaran metodologi tersebut berujung pada
keharusan ilmu sosial untuk melakukan pendekatan yang serupa; kuantitatif.
Di awal perkembangannya, ilmuwan sosial memang cenderung menggunakan
pendekatan kuantitatif. Secara politis, hal ini agar pengetahuan mereka
mendapatkan basis legitimasi dari masyarakat ilmuwan lainnya dan diakui
obyektif. Dampaknya, kehidupan sosial diasumsikan sama dengan gejala materi
dalam lingkungan alam/benda-benda.
Melalui proses yang panjang, akhirnya para pemikir sosial menemukan kesalahan
asumsi yang berakibat fatal. Kesalahan tersebut yakni pada asumsi samanya
antara kehidupan sosial dengan gejala materi/lingkungan fisik. Dampaknya,
kehidupan sosial yang berisi manusia justru jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Dampak dari pendekatan semacam ini, menurut Heru Nugroho terekam kuat
dalam kebijakan Orde Baru (Pelita, PJP, dll.).
Salah satu kritik juga lahir dari Madzhab Frankfurt Jerman yang diwakili oleh
Adorno dan Horkheimer. Mereka menemukan bahwa pendekatan positivitik sudah
mengideologis dan berakhir dengan kebekuan cara pandang. Hasilnya, kehidupan
manusia juga semakin tidak manusiawi. Kasus yang ia lontarkan adalah kamp-
kamp konsentrasi di zaman Nazi. Kasus itu merupakan implikasi negatif dari cara
pandang yang murni positivistik. Secara bagian ia rasional, namun secara
keseluruhan ia irrasional karena ribuan nyawa dan harkat-martabat manusia
harus dikorbankan.
Seringkali saya jumpai beberapa aktivis terjebak pada basis ideologinya dan
akhirnya menutup diri pada pandangan atau perspektif-perspektif lain. Seperti
katak dalam tempurung, sebenarnya mereka menyusun semacam proporsisi
tertutup. Kelemahan dari adanya masalah ideologi ini bawah masalah yang ada
tidak terbaca secara tuntas.
Gagasan yang saya ingin sampaikan bukan dalam artian kita harus
menggabungkan berbagai perspektif yang ada, seperti yang kita temukan dalam
kecenderungan interdisipliner, melainkan, sekurang-kurangnya jika kita memakai
perspketif tertentu jangan sampai kita terjebak pada “kaca mata kuda”.Yakni
dengan mengklaim hanya perspektifnya saja yang paling benar. Dalam bahasa
yang bagus Marcuse menggambarkan kondisi semacam ini sebagai “one man
dimensional” atau manusia satu dimensi.
Trend kajian multi disiplin atau interdisiplin mengisyaratkan pada kita bahwa
masalah yang ada semakin kompleks, dan hendaknya setiap perspektif tidak
Satu hal yang tertolak dari kerangka pikir di atas adalah menjadikan ilmu
pengetahuan atau perspektif tertentu sebagai ideologi. Karena sekali ia menjadi
ideologi, maka ia akan menjadi beku dan jumud. Sedangkan masalah yang ada
justru semakin beragam dan kompleks. Demikian pendapat saya. []
Menulis Sehari-hari;
Belajar Menulis dalam Tradisi Cultural Studies*
Avant propos
Menulis itu mudah. Semudah menceritakan pengalaman Anda pada orang lain.
Meskipun, dalam kaidah bahasa Indonesia, kita kenal adanya ragam bahasa tulis
dan ragam bahasa lisan. Menulis, tentunya berada di kaidah yang pertama.
Sayangnya, ragam bahasa tulis seringkali membuat sebagian orang merasa
kesulitan.
Ragam bahasa tulis membuat otak kita dipenuhi oleh berbagai aturan Ejaan yang
Disempurnakan (EYD). Yang paling mudah kita kenali melalui gaya penulisan
artikel, karya ilmiah dan sebagainya.
Berbeda dengan itu, ragam bahasa lisan memungkinkan kita untuk bercerita
secara mengalir, tidak kaku dan menarik. Ragam bahasa lisan tidak terlalu
terpaku pada aturan EYD.
Dalam kajian bahasa dan simbol, kita kenal istilah langue dan parole. Langue
merupakan ragam bahasa tulis yang baku. Dan parole merupakan ragam bahasa
lisan yang muncul di keseharian.
Di dalam blog, banyak orang lebih menggunakan ragam bahasa lisan atau parole.
Gaya penulisannya lebih sering menggunakan model bertutur atau bercerita.
Anda, atau pembaca biasanya akan merasa seperti membaca dongeng,
pengalaman hidup, atau catatan harian seseorang.
Dengan cara seperti itulah kebanyakan orang menulis di dalam blog. Menulis
dalam tradisi yang kemudian hari kita kenal—secara sederhananya—sebagai
tradisi cultural studies.
Menulis sehari-hari
Karena kita menulis dalam tradisi cultural studies, maka apa yang kita tulis
merupakan praktik, pengalaman, kisah, cerita yang kita alami di keseharian.
Memang orang lain tidak bisa menyalahkan ketika kita menulis sesuatu yang
besar (narasi besar). Semuanya sah.
Mari kita imajinasikan blog sebagai rumah atau halaman rumah kita. Di desa
maya (internet), jutaan rumah beserta halamannya tersedia. Nah, Anda menjadi
salah satu orang yang akan membuat rumah itu. Pertanyaannya, rumah
semacam apa yang akan Anda buat?
Unik, khas diri Anda, berbeda dengan rumah orang lain, dan sebagainya. Mungkin
jawaban itu yang paling rasional. Alasannya, agar rumah Anda bisa dengan
mudah dikenali orang dan akhirnya membuat orang lain berkunjung. Keunikan,
Melalui serpihan pengalaman sehari-hari, Anda, atau para pengunjung blog Anda
bisa belajar tentang sesuatu. Contoh nyata yang saya alami, ketika main ke
kantor Lafadl di Yogyakarta, saat ke kamar mandi, saya melihat pengumuman
atau peringatan, “Kencinglah di lubang kloset. Jangan di dinding atau di lantai”.
Saat itu saya terhenyak, dan kemudian hari, peringatan semacam itu saya tempel
juga di kamar mandi kos saya.
Poinnya, saya ingin mengatakan, saat itu saya tersadar tentang pentingnya
menjaga kebersihan kamar mandi, bukan berangkat dari ajaran di masa kecil
kita, “Kebersihan pangkal kesehatan”. Atau juga hasil penelitian, survei dan
sebagainya. Saya menemukan itu dalam perjumpaan yang tidak disengaja,
spontan. Sesuatu yang tidak membutuhkan kerja keras otak, atau sekelumit
analisis yang njlimet.
Nah, saya optimis, dari tulisan sehari-hari yang mengangkat pengalaman hidup,
aktivitas sehari-hari, atau curhat-an Anda, ada orang di belahan bumi yang lain,
membacanya dan akhirnya menemukan kesadaran atau pengetahuan baru. Tidak
perlu Anda selalu berteriak-teriak di atas mimbar, atau khotbah di masjid, Anda
tinggal menuliskan pengalaman Anda sehari-hari, dan ternyata, itu sangat
bermakna!
C. Sensitivitas. Sering kita lihat ada sebagian orang yang bisa menulis topik
tertentu, yang bagi kita topik tersebut sama sekali tidak atau belum
pernah terpikirkan. Entah topik tersebut memang benar-benar baru, atau
hanya perspektifnya saja yang baru. Kuncinya, agar kita mempunyai
F. Tulislah apapun yang Anda senangi. Jangan membatasi diri pada satu
topik saja. Selain membuat Anda senantiasa dapat menulis (tidak
kehabisan ide), menulis tentang segala sesuatu akan membuat cara
berpikir, perspektif Anda, semakin terasah dan konsisten. Secara khusus,
dengan menulis lintas disiplin, blog Anda semakin berpeluang untuk
dikunjungi banyak orang. Yang akhirnya, traffict pengunjung semakin
cepat dan banyak.
Catatan akhir
Hati-hati! Banyak orang yang berpendapat nge-blog membuat orang kecanduan.
Saya juga sudah merasakan. Dian Sastro (kunjungi blog-nya), juga
mengakuinya. Ada daya magnetis tersendiri ketika kita nge-blog.
Jika Anda sudah siap, maka silahkan coba. Saya jamin, Anda pasti akan
kecanduan. Jika tidak, silahkan koreksi pernyataan di atas! []
___________
* Telah dipresentasikan pada hari Senin, 18 Mei 2008 di Pelatihan Blog yang
diselenggarakan oleh Ruang Baca Jojoba Kelana Purwokerto.
SMS Mistis-Eskatologis
Pagi buta (21:06:2008/04:38) saya terima sebuah pesan singkat dari nomor
asing (belum terdaftar di buku telepon), “Kemenangan Turki atas Kroasia
membuktikan kemenangan Islam terhadap (bekas) Komunis. Allahu Akbar!”,
demikian bunyi pesan itu. Saya tidak tahu apakah salah kirim atau sengaja,
lantas saya balas, “Sampeyan kok berfikir sederhana dan ng-asal sekali. Saya
heran. Cobalah berfikir lebih jernih. Sebenarnya saya nggak pingin komentar, lha
tapi kok aneh rasanya. Nuwun”. Si empunya nomor membalas dan menjelaskan
bahwa SMS itu ia dapatkan dari kader ormas mahasiswa tertentu. Saya mulai
paham duduk masalahnya.
Saya sarankan agar dia membalas bahwa cara berfikirnya (si kader) sangat
mistis dan eskatologis. Mistik dalam arti, secara rasional apakah ada
Eskatalogis, saya memahami kalau pesan singkat itu merupakan ekspresi dari
pengharapan atas sebuah kondisi, yakni kemenangan atau kejayaan Islam.
Eskatalogis secara sederhana bisa kita maknai sebagai “hari yang dijanjikan”.
Biasanya eskatologis hanya digunakan untuk menunjuk pada hari kiamat,
pembalasan, penghitungan dan seterusnya. Term ini saya gunakan karena
mengingat adanya teks (hadist, kalau tidak salah ingat) yang menjanjikan bahwa
Islam akan mengalami kejayaan per 700 tahun.
Secara psikologis tentu saja kita dapat menangkap harapan yang besar dalam diri
si kader. Sebuah harapan tentang bangkitnya Islam, jayannya Islam, atau lebih
vulgar lagi—meminjam headtittle dalam blog seorang teman, Islam will be
dominte the world! Islam akan mendominasi (menguasai) dunia. Tentu saja
pernyataan semacam ini akan mempertebal prasangka hubungan antaragama.
Lebih jauh saya membaca bahwa ekspresi semacam itu lahir dari suasana
psikososial yang menempatkan Islam sebagai looser, pihak yang kalah. Di sisi
lain, Eropa atau Barat sebagai winner, peradaban yang menang dan saat ini
berjaya. Cara berfikir seperti ini tentu saja setia dengan benturan
antarperadaban. Bahwa kita mengada hanya untuk saling menguasai, menang
atau kalah. Tidak ada pihak yang sama-sama menang (win-win solution).
Anehnya, orang-orang seperti ini sangat kritis terhadap teori konflik Marx.
Padahal, cara berfikirnya tidak jauh dari gagasan konflik antarkelas Marx.
Meminjam bahasa Emanuel Subangun, cara berfikirnya masih dalam satu garis
dialektika yang saling menegasikan keberadaan satu sama lain.
Di sisi lain, Hanna, seorang Katolik Koptik mengkampanyekan ide Qabulul Akhar
atau menyongsong yang lain. Ide besar itu ia torehkan dari pengkajian serius
terhadap buku The Clash of Civilization Sammuel P. Huntington. Menurutnya,
tidak ada masa depan atau hari esok yang cerah ketika satu dengan yang lain
justru mengupayakan untuk saling berbenturan.
Dan tentu saja, saya yakin Turki hari ini berbeda jauh dengan cara berfikir si
kader ormas itu. Jika sama, maka boleh jadi si kader adalah seorang liberal-
fundamental yang ingin menyemai gagasan liberalnya melalui kekhilafahan Islam
sedunia. Maybe Yes, Maybe No! []
Sebagai orang Jawa kedua nomor itu (9 dan 13) kita percayai (bagi yang
percaya) sebagai angka yang keramat. No. 9 dianggap keramat dan pembawa
keberuntungan. Sedangkan nomor 13, dianggap angka keramat yang membawa
kesialan. Sampai-sampai, sedikit hotel yang menyedikan nomor kamar 13.
Terlepas dari benar-tidaknya, secara psikologis kekeramatan itu bisa muncul dari
proses sugesti. Ada istilah the self fullfilling prophecy, yakni sebuah ramalan yang
akan terjadi dengan sendirinya, lantaran yang bersangkutan tersugesti, sehingga
sadar atau tidak mengusahakan proses ke arah itu.
Nampaknya kekeramatan angka ini juga diidap dan diperhatikan oleh para
politikus. Di Seputar Indonesia (9/7) Muhaimin Iskandar, Ketua PKB versi Ancol,
berharap agar memperoleh nomor urut sembilan. Terlepas dari rumor keramat,
menurutnya, dengan nomor urut sembilan, maka PKB akan mudah dalam
melakukan sosialisasi. Bagi yang percaya nomor itu keramat, tentunya konstituen
akan memilih secara irasional.
Harapan mendapat nomor urut sembilan juga datang dari Partai Demokrat.
Namun, nampaknya baik PKB pun PD harus merelakan dengan hasil undian.
Nomor sembilan justru didapat oleh Partai Amanat Nasional (PAN), yang
sebelumnya tak punya pretensi untuk bermain "keramat-keramatan".
Bagaimana dengan PKB? Seperti angka yang bertuah, PKB justru memperoleh
nomor undian 13. Bila Muhaimin percaya akan kekeramatan dan keberkahan
nomor sembilan, maka seharusnya ia juga percaya terhadap kekeramatan dan
kesialan nomor 13. Bagi yang berpikir mistik, tanda itu sudah mulai muncul, di
awal pengundian nomor urut, keributan terjadi antara Muhaimin Iskandar dengan
Yenni Wahid. Kedua pucuk pimpinan PKB yang berbeda itu saling tarik-menarik
kertas undian.
Dalam sebuah liputan malam Anteve (10/7), Yenni mengatakan kecewa terhadap
KPU mengapa mengundang Muhaimin untuk datang dalam pengambilan nomor
urut. Sedangkan Muhaimin, seperti sikap sebelumnya, sesuai dengan keputusan
Menteri Kehakiman, bahwa PKB yang sah adalah PKB yang dipimpinnya, versi
Ancol. Bukan PKB versi Gus Dur.
Sebagai warga Nahdliyyin saya cukup miris melihat kemelut dan perpecahan
internal di tubuh partai yang mayoritas NU itu. Meski saya yakin, saya tidak akan
mencoblos PKB di Pilpres 2009. Namun, mengapa partai yang paling banyak
kyainya, kok tidak arif lagi bijak.
Hanya saja, saya tidak bisa membayangkan cara apa yang akan ditempuh
Muhaimin (mungkin juga Yenni) untuk meyakinkan masyarakat bahwa nomor 13
tidak ada artinya (tidak sial) dalam dunia politik. Bisa jadi proses undian ini akan
menjadi titik tolak pendidikan politik yang rasional. Sekurang-kurangnya mereka
akan mengatakan ke basis konstituen, "Politik adalah masalah akal, bukan
masalah sesaji, restu kyai, dan angka 13."
Jadi, baik angka 13 atau sembilan, saya yakin potensi mistifikasi politik di tubuh
PKB sampai kapan pun akan ada. Hanya saja, saat ini mereka sial. Mau tidak mau
ruwatan harus digelar. Itupun kalau Muhaimin atau Yenni percaya tentang
kesialan di balik angka 13. Anda percaya dua angka itu keramat? Saya tidak! []
Hari Kamis (19/06) saat berada di dalam bus melintasi Kab. Purbalingga di
samping kiri dan kanan jalan saya baca poster iklan, “Spontan! Besar dan
Panjangkan Alat Vital 081807007559”. Poster iklan itu tertulis di atas kertas,
mungkin, F4 dengan dilatarbelakangi potongan kardus. Yang menarik, poster itu
tidak hanya satu atau dua, melainkan banyak dan terpasang dengan jarak per
100 atau 200 meter di batang pohon.
Sepintas lalu saya yakin membaca iklan jasa semacam itu kita akan dibuat geli.
Apalagi membacanya bersama kekasih kita, mungkin akan lahir candaan-candaan
kecil yang tentunya tidak jauh dari selangkangan. Untungnya saat itu saya
sendiri, sehingga bisa menikmati iklan jasa itu dalam sebuah lintasan
permenungan.
Namun bisa saja seks hari ini tidak melulu sebagai sarana reproduksi, justru
sarana rekreasi atau prokreasi menempati urutan teratas. Jika konteksnya
demikian, sensasionalitas menjadi kunci pemacu adrenalin, baik laki-laki pun
perempuan. Ia akan senang merasakan sesuatu yang berbeda, dari pendek
menjadi panjang. Dari kecil menjadi besar. Ada rasa yang berubah. Tentunya,
ada kepuasaan yang turut berubah.
Dalam tradisi Hindu Jawa, penis disimbolkan dengan Lingga. Merupakan metafora
dari keperkasaan, kejantanan, dan kekuatan. Sederhananya ia simbol agresifitas,
menyerang, dan membobol. Lihat saja dari bentuknya, mengacung, memanjang,
dan tegak berdiri. Bandingkan dengan vagina yang disimbolkan dengan Yoni, ia
metafora dari kesuburan, kesukarelaan, dan kelembutan. Kita konversi menjadi
simbol kepasifan, menerima, dan obyek terbobol. Simbol itu mewujud dalam
sebuah rongga, nampak menggunduk, dan tentu saja berlubang sebagai tempat
bersemayamnya si penis. Penafsiran semacam ini kita peroleh dari konsep gender
yang didekati dengan dua jalan, nature dan nurture. Sedangkan yang kita
gunakan yakni pendekatan nature (alamiah).
Tak berhenti di situ, mulai jam 11 atau 12 malam iklan kesehatan “On Clinic”
menghampiri ruang visual kita. Mereka laksana bengkel yang akan menyervis
kerusakan sparepart laki-laki. Yang kalah dengan tantangan si Sarah, juga bisa
melapor ke sana. Selain stres karena kerja, laki-laki juga mengalami stres karena
berbagai “teror seks”. Kecillah, pendeklah, terlalu cepatlah, terlalu lembeklah,
dan seterusnya.
Sedangkan yang sudah siap tempur, masih saja ada perkakas yang perlu laki-laki
bawa, tengoklah “Bluemoon”. Kapsul kejantanan yang diiklankan lewat tengah
malam. “Agar istri puas, dan keluarga bahagia”, begitu komentar salah seorang
penggunanya.
Sudah siap tancap, tubuh prima, dan tegak bediri, masih saja ada perlengkapan
yang perlu kita bawa. Sutra, Fiesta, Durex, dan berbagai macam merk kondom.
Masing-masing mengklaim akan memberikan kenyamanan dari tipisnya lateks.
Juga ada yang memberikan kenikmatan dari rasa yang disajikan, jeruk, pisang,
coklat, bahkan mint. Ada-ada saja!
Dari Mak Erot, Bluemoon, sampai berbagai macam lateks sejatinya memposisikan
laki-laki sebagai obyek seksual. Ia tidak lagi mengagresi, menentukan, dan
memerintah, justru melalui persuasi ia tengah ditaklukan, diarahkan,
dikonstruksikan, dan dituntut untuk A, B, C, dan seterusnya. Di hadapan industri
(baik kesehatan, kenikmatan, jasa, citra diri, dan sebagainya) baik laki-laki pun
perempuan sama-sama menjadi obyek. Obyek dari tubuh sosial yang senantiasa
masuk dalam kerangkeng besi konstruksi sosial, media, dan tentunya iklan. []
Sinetron itu …
Seorang Kyai (yang diperankan oleh Primus Yustisio) meletakan tangannya di
kening seorang perempuan yang tengah kesurupan. Lantas sang Kyai membaca
wirid tertentu, dan akhirnya perempuan itu meronta-ronta, sembari berteriak
“panas, panas, lepaskan aku …”. Drama ‘perdukunan’ pun rampung, si
perempuan lemas lunglai dan sadarkan diri. Selanjutnya, si sahabat perempuan
berucap terimakasih. Dan sang Kyai kembali menyitir teks-teks suci tentang
hidup di dunia ini yang harus diimbangi dengan amalan untuk akhirat. Tak lupa ia
selalu berucap astaghfirullah, alhamdulillah dan bla … bla … bla ….
Di scene lain, ada orang yang terhimpit beban kehidupan, lantas ia dibantu oleh
seorang peri. Peri yang selalu dicitrakan oleh perempuan cantik – ibu peri, yang
dapat memberinya kekuatan supernatural, keajaiban, dan semacamnya. Berkat
pertolongan sang ibu peri, ia keluar dari keterhimpitannya. Drama supernatural
pun usai. Ia pun tersenyum lega.
Itulah sedikit cuplikan dari tampilan sinetron yang akhir-akhir ini menjamur di
beberapa stasiun televisi kita. Sedikitnya sepuluh judul yang berisi hal serupa
Ironisnya, sentuhan mistik tidak hanya kita temukan pada sinetron yang jelas-
jelas beraromakan ‘agama’. Ia juga mulai merambah pada sinetron remaja yang
sebenarnya jauh dari sentuhan mistik a la Insyaflah, Astaghfirullah, Hikmah dan
seterusnya. Nampaknya Production House di Indonesia mencium lahan basah di
tengah-tengah masyarakat kita, mistik-religius-klenik. Khusus hal ini, kesan
mistik-klenik nampak sekali dipaksakan untuk adanya (raison d’etre). Pemaksaan
yang hanya mengikuti trend, rating dan apa pula jika bukan keuntungan
ekonomi?
Nyaman. Bagaimana ketika bangsa ini sedang dilanda banyak masalah, dari
Tsunami, Avian Influenza, BBM, hingga yang paling akhir adalah bom Bali seri
kedua, masyarakat tidak lagi memandang masalah nyata itu sebagai masalah. Ia
sudah tertutupi oleh banyaknya tayangan yang lebih santun, nyaman,
mendamaikan dan seterusnya.
Pada titik inilah sinetron telah mati dalam menangkap spirit realitas (baca:
Ramadhan) dan menampilkannya secara tak lengkap. Tidak salah jika akhirnya
Ramadhan alih-alih rahmat Tuhan yang dinanti-nanti umatnya, berubah menjadi
sebuah bencana kemanusiaan.
Semacam penutup
Deklarasi matinya keberpihakan sinetron di Indonesia menemukan bukti kuatnya
pada bulan yang konon katanya limpahan rahmat Tuhan bercucuran. Matinya
keberpihakan sinetron yang nyawanya telah direnggut oleh ‘malaikat’; pasar,
trend, rating, keuntungan ekonomi yang semuanya bermuara pada titah suci
sang kapitalis perlu kita khawatirkan.
Untuk kali pertamanya aku dengar penyanyi muda dengan bakat yang luar biasa.
Terlepas dari Erwin Gutawa, Gita punya peluang untuk menjadi diva musik
Indonesia pada generasinya. Ia berbeda dengan penyanyi pop muda lainnya.
Suaranya begitu khas. Dengan oktaf yang tinggi. Melengking, membuncahkan
kesunyian.
Dan kali pertama aku secara sengaja mencari lagu tertentu. Biasanya stok lagu di
komputerku hasil pemberian teman-teman. Atau juga pacar. Maklum aku tidak
terlalu mengikuti berbagai macam perkembangan musik Indonesia atau luar.
Meskipun aku penikmat musik. Bisa dibilang aku orang kolot dalam masalah ini.
Isi folder musikku hanya itu-itu saja. Tidak banyak berubah.
Aku dengar pertama kali Gita dengan Sempurna-nya ketika dalam perjalanan
pulang Pemalang – Purwokerto. Waktu itu dengan beberapa teman di satu mobil.
Mungkin saat itu ketertarikanku didukung oleh audio system mobil yang halus.
Namun, benar, memang suaranya tetap halus meskipun diputar melalui Winamp
5.1 dengan speaker standar, Simbadda 1800. Alhasil, perjalanan Pemalang –
Purwokerto yang berlika-liku menjadi semakin menarik, lebih hidup dengan
panorama alam pegunungan.
Dibawa khayal, aku ingin sekali bertemu dengan Gita. Sesekali ingin ngobrol.
Entah apa yang akan diobrolkan. Minimalnya aku ingin memberikan apresiasiku
atas lantunan lagunya. Selain Sempurna, Kembang Perawan juga membuatku
hanyut. Hanyut dalam sebuah alam yang hijau. Angin mengalir dengan sejuk.
Pepohonan melambai dengan daun-daunnya. Dan bunga bermekaran
memberikan senyumannya. Itulah saat si Kembang Perawan merasakan jatuh
cinta. Begitu indah dunia terasa.
Satu lagi yang membuatku takjub, dia mampu mengimbangi alunan tuts-tuts
piano yang bernada tinggi. Tanpa sekalipun terdengar menarik nafas ditengah-
tengah lantunan lagu. Kalau kita jeli, perhatikan ritme pada equalizer Winamp,
menanjak naik pada saat-saat tertentu. Aku kira sedikit orang yang mampu.
Tidak berlebihan jika aku memuji Gita sebagai “Diva Muda Indonesia”. Seperti
menanam padi, saat waktunya tiba, padi akan menguning, menunduk tanda
berisi. Semoga juga di masa keemasannya kelak, Gita tetap menunduk, meski
suaranya terus melengking naik.
Siang tadi (Jumat, 31 Mei 2008) saya dan seorang teman kelabakan mencari
masjid untuk menunaikan salat Jumat. Bukan lantaran masjid yang kami maksud
sudah penuh, melainkan karena kami telat.
Saat itu waktu sudah menunjukan pukul 12.30 WIB, Masjid Darul Hikmah
Grendeng sudah memulai salat Jumat. Akhirnya, kami berdua langsung memacu
motor ke Masjid Nurul Ulum. Sesampai di sana, salat Jumat juga sudah dimulai.
Awalnya kami ragu untuk masuk. Namun, setelah mengetahui teryata baru
berlangsung satu rakaat, kami lantas ikut berjamaah. Lega rasanya!
Singkatnya, kami menjadi makmum masbuk yang datang belakangan dan pulang
duluan. Teman-teman satu kos yang lain sudah 15 menit yang lalu berangkat.
Tentu saja status mereka aman. Dan sangat mungkin, mereka mengira kami
tidak menunaikan salat Jumat. Tapi, saya tidak terlalu ambil pusing dengan
prasangka mereka.
Jumatan tadi siang menjadi menarik ketika sepulang ke kos, teman saya berujar,
“Bang kita pulang duluan nih! Yang lain belum pulang. Ntar dikirain kita nggak
salat”. Dengan ringan saya jawab, “Ya terserah mereka punya prasangka apa.
Toh salat urusan kita. Bukan mereka. Apakah aku harus memberitahu orang
kalau aku salat, atau sebaliknya”. Teman itu manggut-manggut pertanda paham
apa yang saya maksud.
Mari saya ajak bermain tafsir. Terlepas dari seperti apa sebenarnya—karena
pengetahuan yang hakiki kita yakini tak akan pernah tertemukan—isi hati teman
saya, jika boleh kita menafsirkan, ekspresi spontan di atas menyiratkan satu hal,
yakni eksistensialisme dalam beribadah. Sederhananya, teman saya masih
bimbang ketika saat ia beribadah tidak diketahui orang lain. Ia bimbang karena
takut menerima ejekan atau celaan, “Gak salat Jumat ya!”.
Masalahnya adalah bahwa baik teman saya atau yang mengejek, sebenarnya
kurang menginsyafi bahwa salat (ibadah mahdloh) merupakan urusan individu
dengan Tuhannya. Memberi ejekan (punishment) kepada seseorang yang tidak
melaksanakan salat atau ibadah lainnya, pada sisi lain akan melahirkan—
meskipun secara tidak langsung—sanjungan (reward) ketika orang itu
melaksanakan salat. Proses semacam ini jika terjadi secara terus menerus hanya
akan mengkerdilkan makna ibadah kita. Yakni, kita menunaikan ibadah karena
takut diejek atau karena ingin mendapat sanjungan. Hilanglah makna ikhlas atau
demi Tuhan semata, atas ibadah yang kita lakukan.
Saya menjadi ingat satu cerita sufi masa lalu. Konon ceritanya, ada seorang
perempuan sufis, Robiyatul Adawiyah, ia berjalan di pasar. Menjadi fenomenal
karena beliau membawa air di tangan kiri; dan membawa api di tangan
kanannya. Beberapa orang di pasar menyapa sembari bertanya, “Wahai Robiyatul
Adawiyah, untuk apa kamu membawa api dan air?”. Sang Sufis pun menjawab,
“Dengan api di tangan kananku, aku ingin membakar surga. Dan dengan air di
Metafor itu menggambarkan kegelisahan Sang Sufis ketika melihat banyak umat
Islam beribadah hanya dalam rangka mengharapkan surga atau jauh dari api
neraka. Makna ibadah menjadi sekedar “pembelian tiket” untuk menuju surga.
Bukan dalam rangka memperoleh ridlo Allah atau perkenan Tuhan. Sikap ikhlash
menjadi tereduksi, bahkan hilang. Lahirlah kita sebagai hamba-hamba kapitalis
yang senantiasa menghitung-hitung amal baik dan buruk.
Masalah berikutnya, apakah keberagamaan kita selalu berheti di titik ini terus?
Saya rasa tidak! Kita perlu ke tingkat yang lebih tinggi. Dari motivasi materialis
ke motivasi spiritualis. Pada titik ini, saya melihat pendidikan agama atau dakwah
Islam gagal melakukan transformasi kesadaran. Umat hanya belajar—meminjam
bahasa Machfudin Yusuf—dari alif ke alif, tidak pernah ke ba’, ta’ dan seterusnya.
Secara reflektif, kita perlu untuk merenung apakah kita akan tetap beribadah
manakala surga dan neraka tak pernah ada? Apakah kita akan tetap beribadah
manakala tidak ada sanjungan atau ejekan dari orang lain?
Terakhir, perlu bagi kita merenungkan syair lagu yang sering dibawakan
almarhum Chrisye, Jika Surga Dan Neraka Tak Pernah Ada;
“Apakah kita semua, benar-benar tulus menyembah pada-Nya. Atau mungkin kita
hanya takut pada neraka, dan inginkan surga. Jika surga dan neraka tak pernah
ada, masihkah kau sujud kepada-Nya. Jika surga dan neraka tak pernah ada,
masihkah kau menyebut nama-Nya. Bisakah kita semua benar-benar sujud
sepenuh hati. Karena sungguh memang Dia, memang pantas disembah, memang
pantas dipuja”.
Jika kita masih di titik alif, tidak ada salahnya kita belajar—bahkan harus—untuk
ke titik ba’, ta’ dan seterusnya. Belajar beribadah dari motivasi materialis ke
motivasi spiritualis, dalam rangka hanya mencari perkenan Tuhan Yang Maha
Kasih. Bukan semata surga, pun menjauhi neraka. []
Waktu Maghrib
Televisi nampaknya juga menangkap nuansa sakral atau magis waktu Maghrib.
Lihatlah, hanya adzan Maghrib saja yang ditayangkan di televisi. Selain Subuh di
Bukti lainnya, kita akan dinilai tidak sopan ketika bertamu saat Maghrib. Akan
tetapi, penilaian yang sama tidak muncul di waktu Isya, Dzuhur atau Ashar.
Bahkan yang lebih mensakralkan lagi, tidur dan terbangun di saat Maghrib
membuat kita tidak nyaman. Saya pernah merasakan, mungkin Anda juga.
Bagaimana saat itu kita seperti linglung, gugup, bahkan ada rasa aneh-magis.
Kadang juga saya bermimpi buruk saat terbangun di waktu itu.
Di masa saya kecil, di desa, nenek juga ibu saya melarang bermain di waktu itu
(petang). Konon katanya, sandik olo (mungkin setan atau sebangsanya) muncul
dan mengangganggu. OK lah, kita asumsikan mitos (atau realitas) itu
dimunculkan (atau ada) agar anak-anak kecil bergegas pulang ke rumah dan
melaksanakan salat Maghrib. Namun, kenapa juga nenek atau ibu saya tidak
berkata ada sandik olo ketika waktunya salat Isya?
Meski demikian, saya menduga kalau kesakralan atau kemagisan itu lantaran
mitos yang diceritakan turun temurun. Buktinya, di kota-kota besar, seperti
Jakarta, Yogyakarta atau Semarang, aktivitas tetap berjalan dengan leluasa. Di
kota-kota itu, dimana kehidupan hampir terjaga selama 24 jam, tidak ada beda
antara waktu Maghrib, Isya, Subuh, dan seterusnya.
Bukti lainnya, saya kira kesakralan atau kemagisan waktu Maghrib akan hilang
dan tak terasa, semisal, ketika kita berada di dalam mall. Dalam keriuhan,
keramaian, dan penerangan yang ekstra, waktu Maghrib sama sekali tak terasa.
Hanya saja, saya belum pernah mencoba tidur dan terbangun di saat Maghrib di
dalam sebuah mall. Apakah nyaman, mimpi burukkah, atau biasa saja.
Bukti selanjutnya, kesakralan atau kemagisan ini sama sekali tak terasa ketika
kita sedang berada di dalam mobil pribadi, lebih-lebih kendaraan umum. Sama
saja, tidak ada bedanya dengan jam-jam sebelum atau setelahnya. Tentu bukan
dalam konteks kemacetan atau situasi jalan, melainkan feel dari waktu itu.
Terakhir, saya menduga kesakralan atau kemagisan ini hanya terjadi dan
berlangsung ketika kita berdiam diri. Saat kita berada di dalam rumah atau
kamar, ketika mendengar adzan Maghrib, pastilah feel kita akan berubah, entah
bad mood atau good mood. So, menurut saya, mitos ini tidak terjadi ketika kita
sedang dalam lipatan waktu (perjalanan, mobile atau bergerak). Mitos ini
semakin kuat ketika kita berada di ruang tertentu, misal sebuah desa yang cukup
terpencil di sebuah kaki gunung dengan penerangan yang meremang.
Terlepas mitos atau bukan, nampaknya pesona dunia seperti ini mulai pupus
ketika masyarakat mengalami modernisasi. Mall, lampu, mobil, dan sebagainya,
membuat pesona dunia dalam bentuk kesakralan atau kemagisan menjadi tak
terasakan. Lantas perlukah kita ke masa lalu? Atau sesekali saja kita perlu
mampir ke desa—seperti yang saya maksud—untuk sekedar mencicipi pesona
dunia ini. Anda tertarik? []
White Rabbit
Kelinci putih. Bukan kelincinya Playboy lho... Foto di samping itu kelincinya
teman-teman kosku. Si kelinci, entah siapa namanya, sudah lima hari terakhir
tidur di salah satu kamar kos yang tidak terpakai. Namun bukan kelinci liar lho,
ada salah satu teman yang membelinya.
Nah, karena ada kelinci, akhirnya dialah yang jadi “obyek klangenan”ku. Sembari
mengisi waktu luang, aku memberi makan kelinci dengan wortel, sawi putih,
kubis, timun, kangkung, atau sayuran lainnya. Senang rasanya melihat cara dia
makan. Mulutnya bergerak-gerak, memamah terus menerus. Sesekali aku
dekatkan jariku dan dia menggigitnya. Seperti kucingku dulu yang suka
menggigit lembut jari atau telapak tanganku.
Tapi, aku tetap lebih suka kucing. Bulunya lebih halus. Penurut, apalagi kalau
sering dibelai. Dia juga bisa diajak bermain atau tidur bareng di kasur.
Sedangkan kelinci, bulunya, meski berwarna putih, tidak sehalus kucing. Baunya
apek mirip kambing, mungkin karena sama-sama makan tumbuh-tumbuhan.
Tambah lagi, aku tak terlalu suka karena dia tidak bersuara. Tidak “ngik ... “,
atau “ngeong ...”, atau suara lainnya. Aku jadi tak tertarik untuk mengajaknya
ngobrol. Ada lagi, matanya jarang berkedip, jadi aku tak tahu sebenarnya dia
sedang memandangku atau lainnya. Intinya, kelinci kurang komunikatif daripada
kucing.
Sampai akhirnya, malam ini (13/08), sekitar pukul 22.30, kelinci itu mendapat
musibah. Dia diterkam dan dibawa lari seekor kucing hitam. Beberapa teman
tidak bisa mengejarnya. Si kucing lari ke atas genteng. Sudah bisa dipastikan,
nasib naas sedang menimpanya. Ia tewas dimangsa kucing.
Seharian ini dia memang jarang di kamar. Sore tadi, pukul 19-an, aku lihat dia
berada di depan kamarku. Diam sendirian, tidak makan atau aktivitas lainnya.
Mungkin dia bosan di kamarnya yang pengap dan gelap. Tapi naas, sekali waktu
ingin menikmati udara malam, kucing memburunya.
Berita duka itu aku sampaikan ke pacarku, Wahyu. Via SMS dia membalas,
“Innalillahi ... Emang kucing doyan kelinci ya? Di rumah ade kok (kelinci) gak
diapa-apain. Ah .... ade kan masih pingin mainan, ngasih makan ... gimana se ...”
Aku balas SMS itu, “Mungkin aslinya dah di TO (target operasi) dari kemarin
sama si kucing. Dan tadi ada kesempatan, disikat deh.” Wahyu membalas lagi,
“Yah ... Tuh kucing ngeliatnya apa ya? Disangkanya tikus kali ya, apa lagi
tikusnya gede ... putih lagi, udah kayak tikus bule aja. Ah ... kasian.”
Meski aku lebih suka kucing daripada kelinci, dalam kasus ini aku muak dengan
kucing. Pasalnya dia sudah bertindak keterlaluan. Masak si kelinci yang masih
kecil, polos dan lugu itu dia makan. Kenapa tidak mencari tikus saja. Toh masih
banyak tikus-tikus di atas rumah, tempat sampah, atau selokan. Ah dasar kucing
tak punya akal.
Jujur, saya kadang iri menengok beberapa blog yang ditampilkan sesepontan
mungkin oleh pengelolanya. Dengan bahasa keseharian yang benar-benar
mengekspresikan situasi psikologis yang melingkupinya. Dengan candaan, cacian,
atau perkataan yang ringan, nyentak, atau bahkan memerahkan telinga. Namun,
merekalah para blogger yang menemukan kebebasan itu. Tidak perlu capai untuk
berkaidah baku, ber-EYD, dan turut langkah dengan bahasa baku lainnya.
Memang, saya sering menulis narasi kecil tentang kehidupan atau lingkungan
yang saya alami. Bedanya, tulisan saya tidak sebegitu mengalirnya, tidak
sebegitu bebasnya ketika bercerita tentang apapun itu. Ada kerangkeng bahasa
yang selalu saja membuat saya berbaku-baku ria.
Kadang saya ingin sesekali waktu keluar dari struktur itu. Dengan menuliskan
sesuatu yang benar-benar popular, benar-benar spontan. Entah candaan, cacian,
atau apapun itu. Namun, saya tak bisa. Saya membayangkan bahwa rumah maya
(blog) saya akan runtuh dengan memuat tulisan seperti itu. Rumah yang saya
bangun dengan batu bata konsistensi nalar, analisis yang meskipun tak terlalu
dalam, juga gaya bahasa yang cukup baku.
Saya pernah berfikir, jangan-jangan komputer off line dimana tulisan-tulisan saya
produksi, merupakan penyebabnya. Dalam komputer off line saya menyiapkan
sekelumit tulisan sebelum saya bawa (rilis) ke publik. Komputer off line bisa
jadi—meminjam analisis Goffman, lagi-lagi memakai teori—panggung belakang
saya. Sedangkan Mengintip Dunia, merupakan front page atau panggung depan
dimana selepas siap, saya akan beraksi, menampilkan diri, dan menjadi seorang
Firdaus yang elegan, analitis, dan bla bla bla.
Acap kali saya merasa kehilangan rasa spontanitas. Acap kali saya merasa hidup
di belakang struktur yang ketat. Meski, saya merasa kadang kurang nyaman.
Untuk berbaik-baik hati memilih susunan frasa yang tepat. Atau memilih kata
(diksi) yang pantas dikonsumsi pembaca Mengintip Dunia. Ah, semuanya
sungguh melelahkan.
Ingin rasanya saya memiliki Avatar, berganti dari satu alter ego ke alter ego yang
lain. Berganti dari satu pribadi ke pribadi yang lain. Sekedar mencicipi,
bagaimana rasanya menjadi sosok yang spontan, yang tak terbentur oleh ikatan
struktur, sekurang-kurangnya struktur bahasa. Lantas apa yang akan terjadi,
semisal waktu, Mengintip Dunia versi lain saya rilis, dengan bangunan yang
berbeda. Bisa jadi saya akan muncul sebagai manusia yang mengalami
keterbelahan pribadi atau berkepribadian ganda, meski hanya dalam bahasa
penulisan.
Berfikir Kritis
Sebuah Usaha Menghayati Realitas[1]
I
Alih-alih memberikan materi secara tuntas, dalam kesempatan ini saya akan lebih
menyuguhkan permasalahan yang sifatnya boleh jadi sangat multi tafsir. Saya
akan menawarkan beberapa poin yang masih sangat terbuka untuk kita
diskusikan, perdebatkan. Boleh jadi, simpulan-simpulan sementara saya benar
atau juga salah.
Dalam konteks seperti itu, saya ingin “merelatifkan” pandangan saya berhadapan
dengan pandangan Anda. Poinnya, saya sekedar menyuguhkan ruang diskusi
untuk Anda. Saya tidak sedang menawarkan korpus tertutup yang akan Anda
percayai. Justru, saya sedang menawarkan kopus terbuka yang perlu Anda
ragukan, bahkan curigai. Untuk itu, tulisan ini jangan sekali-kali dimaknai sebagai
“kitab suci”, melainkan sekedar pengantar untuk kita periksa kebenaran dari
klaim-klaim (rightness claim) yang akan saya ajukan.
II
Ada satu pernyataan yang nampaknya perlu kita refleksikan bersama,
“Kehidupan yang tidak diperiksa, tidaklah pantas untuk kita hidupi.” Ujaran ini
disampaikan oleh filosof besar, Sokrates. Lantas apa makna yang dapat kita
ambil (tafsirkan) dari ujaran itu?
Kalau kita mengandaikan hidup di zaman itu, berfikir a la Sokrates (baca: filosof)
merupakan usaha berfikir secara kritis, rasional, bahkan logis. Proses berfikir ini
bisa berangkat dari kondisi material (realitas), bisa juga berangkat dari ide-ide
(imajinasi). Muara dari proses ini yakni kemampuan kita untuk mengenali,
memeriksa, dan menghayati realitas/idealitas yang mengelilingi kehidupan kita.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa realitas perlu kita kenali, periksa dan hayati?
Apakah tidak cukup hanya dengan sekedar menerimanya begitu saja (taken for
granted)? Dalam perdebatan filsafati kita akan menemukan dua term (istilah)
yang tak pernah tertuntaskan semenjak zaman Yunani hingga saat ini. Realitas
oleh para pemikir seringkali disebut sebagai “fenomena”. Persoalannya, kita tidak
cukup hanya dengan mengenali fenomena yang sifatnya sekedar permukaan. Kita
perlu menelisik lebih dalam ke lapisan berikutnya, “numena” atau inti dari
masalah itu sendiri (akar masalah).
Bila kita andaikan kebenaran suatu realitas seperti kulit bawang, maka sejatinya
kebenaran yang kita terima senantiasa berlapis-lapis. Makanya, sebagian pemikir
lebih suka menyebut “menyingkap kebenaran” daripada “menemukan
kebenaran”. Analogi kulit bawang mengisyaratkan adanya kebenaran lapis satu,
lapis dua, dan seterusnya. Dalam konteks ini pula, mengklaim kebenaran bersifat
mutlak bertentangan dengan klaim itu.
Kalau kita ingat, teori-teori yang kita baca hari ini merupakan kompilasi dan
penyempurnaan dari berbagai teori yang ada sebelumnya. Satu teori “ditemukan”
bersifat benar sejauh teori yang lain belum ditemukan. Sebaliknya, teori itu akan
gugur ketika “ditemukan” teori yang lebih canggih lagi dalam memotret realitas.
Simpulan saya yang pertama, bahwa proses kita (manusia) dalam konteks
“mencari kebenaran” tidak akan pernah tuntas dan selesai. Kita senantiasa hanya
dalam proses mencari atau mendekatinya saja.
III
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga wilayah; ontologi
menyoal masalah “ada” (being) , epistemologi berkutat pada masalah
“bagaimana ia mengada” dan terakhir aksiologi menyoal masalah aksi (praktik)
dari ilmu pengetahuan tertentu. Perdebatan kita dalam konteks ini akan lebih
masuk ke wilayah epistemologi.
Bilamana kita analogikan agama, maka yang perlu kita berikan adalah jalan
dalam rangka mendekati kebenaran itu, bukan sekedar memberikan “kebenaran
sebagai paket yang siap pakai” (ready to be use). Dengan sendirinya, bilamana
jalan (metode) itu telah kita berikan, masalah hasil, adalah masalah yang bisa
jadi beragam. Untuk itu, lebih jauhnya kita perlu merombak nalar berfikir dari
menerima seperti apa adanya (taken for granted) ke arah yang lebih kritis
(diperiksa, diteliti, diklarifikasi, dst.).
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana berfikir kritis itu? Kerangka ini dipinjam dari
Hadono Hadi, Phd., menurutnya berfikir kritis melalui sederetan tahap, sebagai
berikut;
Tahap yang pertama dimana kita menemukan sebuah fenomena (realitas, gejala
sosial, masalah, dst.). Tahap selanjutnya kita harus mau dan mampu memahami
(mengetahui secara serius) fenomena tersebut. Dalam tahap ini, kita
membutuhkan proses pencarian informasi, data, fakta di lapangan dan
sebagainya. Setelah mengetahui kita memasuki tahap memeriksa, meneliti,
menganalisis, mengklarifikasi, dan seterusnya. Tahap ini merupakan tahap
dimana kita sedang melakukan usaha kritisisme.
Saat kita melakukan proses analisis atau pengujian itu, bilamana apa yang ada
(das sollen) berbeda dengan apa yang seharusnya (das sein), maka itulah yang
dinamakan masalah. Secara teoritis, proses pengujian ini bisa melalui salah satu
dari tiga teori kebenaran; koherensi (bilamana sesuai dengan nilai yang ada
sebelumnya), korespondensi (bilamana sesuai dengan keadaan sebenarnya-
obyektif), dan pragmatis (bilamana bisa dipraktikan/workable).
Tahap selanjutnya, ketika kita sudah mengetahui adanya satu masalah, maka
memberikan solusi terhadap masalah itu merupakan fase berfikir kreatif. Di
atasnya berfikir kreatif, mana kala kita mampu memberikan solusi yang lebih
baik dari solusi sebelumnya. Inilah tahap dimana kita menjadi orang bijaksana
yang memiliki kearifan/wisdom dalam bertindak.
Lebih khusus lagi, tahap berfikir kritis (memeriksa fenomena) bisa kita lalui
dengan jalan mengajukan pertanyaan. Pertanyaan ini tentu saja bersifat
mengakar (radix-radikal), yakni dengan kata tanya “mengapa”. Untuk membantu
eksplorasi masalah perlu juga kita ajukan pertanyaan “apa” dan “bagaimana”
(implikasinya).
Simpulan saya yang kedua, segala hal mempunyai alasan yang mencukupi
mengapa ia ada. Tidak ada istilah kebetulan dalam konteks kebijakan dan
semacamnya.
IV
Keinginan manusia untuk senantiasa memeriksa kehidupannya berimplikasi
kepada terlembagakannya (dalam makna sosiologis) proses berfikir kritis. Dalam
konteks itulah, sejatinya pendidikan lahir. Ia merupakan sistematisasi dari proses
berfikir kritis. Meminjam bahasa Freire, paradigma pendidikan semacam ini
merupakan paradigma “hadap masalah”. Dimana individu atau peserta didik tidak
hanya pasif dalam menerima realitas, melainkan ia secara aktif melakukan tafsir
terhadap realitas untuk kemudian merubahnya.
Di satu sisi ada sekolah yang menyuguhkan ilmu-ilmu murni (pure science)
seperti sebagian ilmu sosial-humaniora. Di sisi lain, banyak sekolah yang
menawarkan ilmu-ilmu terapan (applied science), yang tentu saja nge-match
Tokoh lain, Ivan Illich secara tegas menyuarakan deschooling society, artinya
membebaskan masyarakat dari sekolah. Persoalannya, sekolah seperti apa yang
perlu ditinggalkan oleh masyarakat, dan pada sisi lain, sekolah seperti apa yang
diperlukan masyarakat?
Lantas, apa yang sebenarnya terkerangkeng? Tentu saja nalar kritis masing-
masing peserta didik. Terkerangkengnya nalar kritis ini membuat individu
menjadi—meminjam bahasa Marcuse—manusia satu dimensi. Ia merupakan
manusia yang “terpecah-belah”, ingat logika diferensiasi yang membuat
masyarakat menjadi terspesialisasi.
Namun, yang menarik dari Freire pesimisme itu tidak lantas membuatnya diam,
justru ia berusaha untuk merubahnya. Meminjam Teologi Pembebasan a la tradisi
Katolik Amerika Latin, ia melahirkan metod
e yang cukup canggih, Participatory Action Research (PAR) atau Penelitian Aksi-
Partisipatif.
Benang merah pertama yang dapat kita ambil bahwasannya pendidikan kritis
mensyaratkan proses penelitian (pemeriksaan) terhadap suatu fenomena.
Penelitian ini dilaksanakan secara partisipatif (yang melibatkan segenap peserta
didik berhadapan dengan masalahnya) dan dilanjutkan dengan aksi (praksis).
Ada dua cara yang bisa kita gunakan. Pertama bahwa memungkinkan metode
PAR dilaksanakan di setiap jurusan. Hal ini mengandaikan adanya reformasi
kurikulum pendidikan. Dalam konteks materi ajar, perlu diintegrasikan, meski
pada tingkat minimal kurikulum pendidikan kritis, seperti; filsafat pendidikan,
filsafat ilmu, jati diri manusia, dan sebagainya.[4]
Dalam sub-bab ini saya tidak sedang menawarkan korpus terbuka, melainkan
salah satu dari sekian banyak ideologi pendidikan kritis yang ada selama ini.
Tentu saja, menjadi besar kemungkinan bagi Anda untuk meragukannya.
V
Sebagai penutup, berbeda dengan para pemikir Madzhab Frankfurt Generasi
Pertama, Habermas lebih optimis dalam memandang alam kehidupan modern.
Kerangkeng besi menurutnya bisa kita kikis melalui proses kritik diri. Proses ini
dibangun melalui ruang publik yang bebas dari dominasi, tekanan, paksaan,
ketakutan, dimana masing-masing partisipan berada dalam posisi yang setara.
Partisipan mengeluarkan pernyataan dengan berbagai argumen rasionalnya dan
yang lain akan membantah atau mengamini dengan argumen lainnya. Proses ini
lebih jauhnya akan membuat kita saling memahami antara satu dengan yang
lain, untuk mencapai kesepakatan tertentu (agreement on agreement or
agreement on disagreement).
Referensi
Finger, Mathias. 2004. Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa. Yogyakarta:
Pustaka Yogya Mandiri.
Hardiman, Francisco B. 2004. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan
Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2002. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu.
Manggeng, Marthen. 2005. Jurnal Teologi Kontekstual. “Pendidikan yang
Membebaskan menurut Paulo Freire dan Relevansinya dalam Konteks
Indonesia”. Edisi No. 8
Suhartono, Suparlan. 2004. Dasar-dasar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Footnote:
1. Disampaikan di Basic Camp PKK “Buka Mata” FISIP UNSOED pada 19 Agustus 2008.
Term “menghayati” dalam konteks ini bukan berarti sebatas menerima realitas secara
given (terberi), melainkan sampai pada titik menafsirkan realitas untuk kemudian
merubahnya.
2. Disampaikan oleh Hadono Hadi, Pelatihan History of Thoughts Satunama Yogyakarta
Febuari 2008.
3. Di era Orde Baru kurikulum pendidikan di-set-up sedemikian rupa agar kebutuhan
masyarakat (melalui perantara pasar) terpenuhi. Lahirlah kurikulum link and match.
4. Dalam konteks UNSOED, menurut hemat saya, mata kuliah Jati Diri UNSOED (JDU)
tidak lagi relevan dan perlu dirubah menjadi mata kuliah Jati Diri Manusia. Mengenal diri
sendiri (refleksi kritis) menurut saya jauh lebih penting daripada sekedar mengenal
UNSOED pun Jenderal Soedirman.
Dalam kajian lain, Foucault juga menemukan hal yang sama, Power/Knowledge,
yang artinya bahwa kekuasaan sebagai manifestasi dari kepentingan selalu
membutuhkan basis pengetahuan (episteme) sebagai legitimator. Seturut dengan
itu, jauh-jauh hari, Kuhn sudah membaca bahwa pengetahuan erat hubungannya
dengan kekuasaan-kepentingan. Ia secara lugas menyatakan bahwa, sebuah
paradigma dalam disiplin keilmuan tertentu nampak hebat (valid) bukan lantaran
secara obyektif paradigma itu mampu memotret fenomena sosial secara obyektif,
melainkan ada tidaknya komunitas ilmiah yang mendukung paradigma
bersangkutan. Komunitas ilmiah menjadi basis legitimasi (kuasa) dari benar-
salahnya pengetahuan.
Bermula dari para pemikir kritis itu, mitos ilmu yang bebas nilai (value free)
lambat laun mulai tergugat. Ilmu bukanlah produk penelitian yang a-historis dan
jauh dari realitas, melainkan ilmu merupakan bagian dari realitas itu sendiri.
Termasuk di dalamnya adalah paradigma, cara pandang, perspektif yang dipilih
oleh seorang ilmuwan atau peneliti. Pilihan paradigma, cara pandang atau
perspektif ini yang akan membuat realitas “ada” sebagaimana diinginkan, bukan
“ada” sebagaimana “adanya”.
Melalui pembongkaran mitos bebas nilai itu, para pemikir kritis ingin menarik
perdebatan ke arah tanggung jawab sosial ilmu pengetahuan. Artinya, ilmu tidak
menara gading, sekedar berteori dan seterusnya. Justru, selepas ia mengetahui
duduk masalahnya, ia harus mampu melakukan perubahan yang mendasar
terhadap realitas (baca: masalah) itu. Sekurang-kurangnya, Marx memulai kerja-
kerja ini yang mengawalinya dengan kritik terhadap para filosof. Menurutnya
fisolof atau berfilsafat tak hanya sekedar menjelaskan, memetakan, dan
memotret realitas, melainkan lebih jauh lagi, filsafat harus menjejak di bumi dan
memberikan kontribusi yang nyata bagi masalah-masalah kemanusiaan-
kemasyarakatan.
Tentu saja, arus utama perdebatan itu berkisar pada “obyektivitas” dan
“subyektivitas” ilmu pengetahuan. Klaim obyektif manakala ilmu lahir dari hasil
penjarakan dirinya dengan realitas. Di sisi lain, subyektif manakala ilmu secara
tegas berpihak pada realitas (dalam arti mengubah realitas). Ilmu yang sudah
memiliki keberpihakan tegasnya seringkali menjadi ideologi perjuangan. Di mana
pengetahuan atau teori tidak sekedar diketahui, akan tetapi diyakini kemudian ia
perjuangkan.
Dalam perdebatan itu, sebagai intelektual, perlu kiranya kita bersikap bijak. Tak
sekedar mencari kesahihan klaim (obyektivitas) dan juga tak sekedar mengejar
klaim kesahihan (subyektivitas) yang di dasarkan pada nilai tertentu. Perlu
kiranya kita membuka jalan baru dengan berada di antara keduanya, di antara
ilmu yang bebas nilai dan ideologi sebagai praktik yang sarat nilai.
Kerja jalan tengah ini layaknya bandul yang diikat di antara dua tiang penyangga.
Bandul itu akan bergerak ke kiri dan ke kanan. Ia bergerak bolak-balik. Ia tak
hanya berada di tiang penyangga tertentu saja. Kerja bolak-balik ini
mengisyaratkan bahwa kebenaran kesahihan klaim (obyektivitas) tetap harus
dicari dan diusahakan. Pada sisi lain, ketika kita terhisap pada medan magnet
“obyektivisme” kita perlu berbalik ke tiang penyangga yang lain, kesahihan klaim.
Pada sisi lain, nalar yang terlalu subyektif juga memiliki potensi yang sama,
secara bagian ia rasional, namun secara keseluruhan ia irrasional. Bisa jadi atas
nama klaim kemanusiaan, kita bisa memilih cara apapun untuk memperoleh
legitimasi. Ironisnya, mengatasnamakan klaim tertentu membuat kita sekedar
mengejar tujuan. Dalam konteks ini, ideologi tak ubahnya sebagai nalar/rasio
instrumental yang berdebat di seputar cara untuk meraih tujuan. Sederhananya,
asal niatnya untuk kemanusiaan, maka cara apapun menjadi legitimate.
Berangkat dari nalar instrumental semacam itu, potensi benturan sangat mungkin
terjadi. Mengingat, tidak ada klaim obyektif atau kolektif yang derajat
Saya berpendapat, bahwa kerja bolak-balik yang didukung dengan dialog untuk
mencari kesepemahaman melalui kritik atas klaim-klaim kebenaran dalam
kerangka mencari kebenaran klaim kolektif merupakan jalan tengah untuk keluar
dari pandangan yang deterministik. Hanya berada di salah satu tiang saja, praktik
pengetahuan dan praksis sosial yang sedang kita kerjakan sama-sama bersifat
rasional hanya dalam bagian, dan irrasional dalam keseluruhan. []
Menangis
Tak ada manusia yang tak pernah menangis. Di hari awal ia lahir ke dunia, tangis
merupakan pertanda nan membahagiakan semua orang. Awal kehidupan bermula
dengan tangis. Tak kecuali akhir kehidupan. Berbeda di awal, di akhir kehidupan
sanak famililah yang menangisinya.
Saya suka menangis. Artinya saya tak malu atau tak segan untuk menangis. Saat
sendiri atau bersama orang lain. Karena alamiah, menangis bagi saya seperti
halnya tertawa. Menangis bukan aib. Menangis bukan juga bukan penyimpangan.
Menangis adalah wajar dan sah.
Semuanya tak berjalan alamiah. Menangis menjadi lebih akrab bagi perempuan.
Sejurus kemudian, laki-laki menangis dianggap lemah, aib dan menyimpang.
Sedari kecil, ayah-ibu kita mengajari kalau anak laki tak boleh menangis. Hanya
Tangis yang awalnya kodrat berubah menjadi tanda, identitas dan ideologi. Laki-
laki menangis menjadi “haram”. Perempuan menangis, menjadi “sangat halal”.
Bahkan seakan-akan belum menjadi perempuan seutuhnya apabila jarang
menangis. Itulah perempuan tomboy, perempuan yang sifat maskulinnya lebih
menonjol.
Hasilnya, sedikit laki-laki yang menangis secara tulus. Ya, menangis sebagai
ekspresi murni perasaan. Bukan tangis yang dibuat-buat. Juga bukan air mata
buaya. Hanya di kotak televisilah laki-laki menangis secara elegan, hikmat dan
terhormat. Atas nama profesionalitas, penghayatan peran dan arahan sutradara,
tangisan laki-laki menjadi sangat bermakna.
Menangis juga bermacam-macam ekspresinya. Ada yang hanya dalam hati, tanpa
suara namun tiba-tiba terbetik air mata. Ada yang bersuara dan bahkan berteriak
histeris. Ada juga yang tak bersuara namun tiba-tiba sesunggukan dan air mata
menetes.
Tangis yang pertama biasanya tangis bahagia atau kemarahan, kemuakan dan
kesebalan yang terdefinisikan jelas. Tangis ini sebagai wujud permakluman
keadaan. Ya, karena semuanya sudah terdefinisikan dengan jelas.
Tangis ketiga, ia muncul dari kondisi perasaan yang tak terdefinisikan. Ia tak
tahu apa yang salah. Mungkin dirinya, orang lain atau keadaan yang
membuatnya demikian. Tangis ini merupakan ekspresi dari kemangkelan. Ya,
seperti buah mangga yang tidak matang juga tidak mentah, tapi mangkel. Ada
perasaan rela atau maklum, berbalut perasaan menolak. Tangis ini tak bersuara,
lantaran suara tercekat di batang tenggorokan.
Apapun itu, tangisan tetaplah tangisan. Tak perlu kita memilih ingin menangis
dengan cara satu, dua atau ketiga. Dalam sebuah spontanitas, tangisan secara
tulus akan keluar begitu saja bak tarian kuas di atas kanvas. Dan dalm pada itu,
Misterium
Bagi yang berpunya, pesawat, kereta api, kapal laut kelas VIP dipesan. Bagi yang
biasa saja, kelas bisnis sudah cukup untuk menyamankan perjalanan. Sedang
bagi yang pas-pasan, jasa angkutan bertaraf ekonomi menjadi pilihan yang tepat.
Setiap orang dengan berbagai latar memilih sarana yang menurut mereka
nyaman.
Melalui kotak ajaib, kita melihat liputan arus mudik dan balik. Tersaji pula
berbagai serpih kecelakaan yang terjadi. Khusus jalur darat, frekuensi kecelakaan
lebih sering daripada jalur lainnya. Penonton mengira kalau realitas itu hanya ada
“di sana”. Realitas itu sekedar berita yang jauh di tempat lain. Sampai akhirnya,
penonton itu berperan menjadi pemudik. Tiba-tiba ia ketakutan, ia khawatir, ia
cemas.
Turut serta dalam komedi putar masih bisa dilihat kapan ia berjalan, berputar,
dan berhenti. Namun, masuk dalam “misterium” ini, ia tak pernah tahu kapan
berjalan dan kapan berhenti. Ia tak pernah tahu dari mana datangnya faktor “x”
itu. Apakah dari si sopir yang mengantuk? Atau dari ban yang tiba-tiba meledak
menjadikan bus terguling? Atau kondisi jalanan yang bergelombang pada
tikungan yang tajam? Pemudik itu tak pernah tahu, dari mana dan dengan apa
faktor “x” itu bekerja.
“Misterium” ini, mungkin bekerja secara efektif dan efisien saat di Indonesia.
Ketika ia terbang menyelimuti kawasan lain, sedikit peluang atau celah si
misterium menyebarkan faktor “x” di jalanan. Beberapa faktor “x” tak bisa
menembus tudung penyaring yang ada. Kerapatan tudung itu sangat tinggi.
Hingga sekedar “jalan rusak” bisa tersaring, masuk dalam kotak masalah, dan
secepatnya diperbaiki.
“Misterium” itu tetap dan akan terus bekerja. Sampai akhirnya kita menemukan
pola kerjanya. Memang benar, “misterium” tak dapat kita tolak, namun, kerja-
kerjanya bisa kita kenali dan akhirnya bisa kita hambat. Sampai batas tertentu,
“misterium” itu di tangan kita. Ya, hanya sampai batas tertentu saja. []
Saya menjadi teringat kisah “The Death of Sukardal” yang ditulis Goenawan
Mohamad. Sukardal, seorang tukang becak yang bunuh diri lantaran becaknya
diamankan trantib. Terbuka kemungkinan, “The Death of Pengojek Sepeda”
muncul, misal, karena satu dan lain hal barang muatannya hilang atau rusak.
Oleh si pemilik, ia dituntut untuk menggantinya. Atau tidak menutup
kemungkinan pengojek tersebut putus asa, misal, ketika rezim keindahan-
kerapihan membersihkan kota dari kekumuhan. Hidup dalam lingkaran
kerawanan yang mencekam, berbagai sekenario buruk menjadi lebih mungkin
terjadi.
Di harian yang sama, kita juga sering menjumpai iklan komersil tentang
dibukanya apartemen baru, perumahan elit, hotel atau restoran berkelas, pusat
perbelanjaan, dan ikon gedung-gedung besar-megah lainnya. Misal saja, di edisi
yang sama halaman tiga terpampang, “Alam Sutera, Residential & Lifestyle
Community, Serpong – Tangerang”, atau ikon lainnya di hal 16, “Puri Botanical
Residence, Mega Kebon Jeruk”.
Dan nampaknya krisis finansial Amerika yang berakar dari proyek perumahan-
properti, ingin dimanfaatkan untuk menarik sentimen pasar. Lihatlah harian yang
sama edisi Jumat, 17 Oktober 2008, kontraktor Agung Podomoro Group
memasang iklan dua halaman full bersambung (hal. 14-15). Berbagai macam
foto gedung pencakar yang telah mereka bangun sendiri atau rekanan dengan
kontraktor lain tampil merenteng sebanyak 39 buah.
Inilah potret struktur sosial-ekonomi Indonesia yang bisa kita amati dari kolom-
kolom surat kabar. Dari sana kita tahu, sebenarnya struktur sosial-ekonomi saat
ini tidak berbeda jauh dengan masa sebelum reformasi. Ada gap yang lebar
antara masyarakat bawah dengan atas. Bedanya, sebelum reformasi, gap itu
dikaburkan atau disamarkan negara melalui perangkat ideologisnya. Negara Orde
Baru tidak menghendaki kesenjangan yang faktual itu menjadi kendala bagi
“menjalin persatuan dan kesatuan”.
Melihat arus kehidupan kadang membuat saya geram, pedas, nyesek dan miris.
Entah harus berharap kepada siapa, agar adigang-adigung-adiguna, keglamoran,
kecongkakan, kesrakahan, dan syahwat-syahwat kegemerlapan lainnya, tidak
melibas republik ini menjadi kian terseok-seok. Ya, melihat dari surat kabar
membuat saya miris dan mengelus dada, oh Gusti kok begini ya ... []
Perlu kiranya kita belajar dari seorang Selo Soemardjan. Dulu ketika
dirinya masuk dalam Tim Perencanaan Pembangunan Nasional, beliau
pernah mengingatkan agar arah pembangunan semasa Orde Baru tidak
hanya memperhatikan sektor pertumbuhan ekonomi. Melainkan juga
pembangunan sumber daya manusia sebagai fundamen dasar yang
menyokong Republik Indonesia2.
Faktor tempat/lokasi itu pula yang kemudian hari menimbulkan beragam respon.
Bagi pihak pembangun/pengembang, tentunya pilihan tersebut diharapkan
paralel dengan keuntungan yang akan diperoleh. Analogi sederhananya, di mana
1
Ditulis dalam rangka mengikuti “Lomba Penulisan Esai, 10 Tahun Bersama KAMMI”
2
Hasil wawancara Selo Soemardjan dalam Majalah Ilmiah Prisma hal, 37-50 Edisi 1 Januari 1994.
3
Laporan Khusus Majalah Sketsa, hal. 10 Edisi 25 XIX November 2007. Juga dapt dilihat pada makalah DR.
Restyarto E.
4
Makalah disampaikan dalam Diskusi Publik HMJ Administrasi Negara FISIP UNSOED pada 28 November 2007.
Respon berbeda muncul dari pihak UNSOED, baik dari struktur pimpinan maupun
mahasiswanya. Posisi atau pandangan UNSOED tergambar dari sikap tegas
Dekan Fakultas Ekonomi, DR. Haryadi, M.Sc., yang menolak pembangunan PCW
di depan Gedung Pusat Administrasi UNSOED5. Dimana saat ini UNSOED sedang
menyiapkan tim dalam rangka mengkaji ulang dampak pembangunan PCW yang
akan diajukan ke Pemerintah Daerah Kab. Banyumas.
Begitu juga pandangan dari mahasiswa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Jajang Yanuar Habib6, bahwa sebagian besar mahasiswa menilai secara negatif
terhadap pembangunan PCW di depan UNSOED. Beberapa alasan yang terekam
dalam survei tersebut yakni, penurunan budaya akademik, tingkat konsumtivitas
mahasiswa semakin tinggi dan pemanfaatan waktu luang yang tidak produktif.
Senada dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Nizar pada tahun 2007 juga
merekam respon yang serupa7.
Asumsikan 20.000 mahasiswa dari total yang ada berasal dari luar kota dan
memanfaatkan sarana kos. Maka, jika sewa kos per orang selama satu tahun
rata-rata adalah Rp. 1000.000, dihasilkan angka Rp. 20.000.000.000 (dua puluh
milyar rupiah per tahun). Asumsikan pula, jika makan anak kos selama satu hari
sedikitnya dua kali sehari dengan harga makanan Rp. 4000, maka akan kita
hasilkan angka Rp. 57.600.000.000 (lima puluh tujuh milyar enam ratus juta
rupiah per tahun).
Dan jika kita asumsikan penyerapan uang pada warung kelontong Rp. 20.000 per
minggu per orang, maka akan dihasilkan angka Rp. 19.200.000.000 (sembilan
belas milyar dua ratus juta rupiah per tahun). Sektor jasa (rental komputer,
5
Hasil diskusi Jajang Yanuar Habib dengan Dekan Fakultas Ekonomi UNSOED pada 24 Maret 2008.
6
Penelitian tersebut dilaksanakan pada bulan Februari 2008 dengan judul “Analisis Ekonomi Sosial Mahasiswa
UNSOED Sebelum Pembangunan Purwokerto City Walk (PCW)”.
7
Penelitian tersebut dilaksanakan pada tahun 2007 dengan judul “Suistainable Development: Studi tentang Dampak
Sosial Pembangunan Purwokerto City Walk (PCW)”.
Jika kita jumlah beberapa sektor usaha di atas yang menyerap uang mahasiswa
dalam bentuk biaya hidup, biaya pendidikan dan sebagainya, dalam satu tahun
akan terkumpul Rp. 101.600.000.000 (seratus satu milyar enam ratus juta
rupiah)8. Sebuah perputaran uang yang sangat besar yang hanya terjadi di
kawasan UNSOED.
Belum termasuk sektor usaha lainnya seperti SPBU untuk pemenuhan kendaraan
bermotor mahasiswa, tempat hiburan, kafe-kafe, angkutan umum, tempat wisata
dan seterusnya. Dilihat dari perputaran uang yang nilainya ratusan milyar rupiah,
maka sebenarnya masyarakat sekitar kampus UNSOED; Grendeng,
Karangwangkal, Bancarkembar dan sekitarnya bisa hidup dengan sejahtera,
tanpa Pemda harus repot membuka sektor lapangan pekerjaan baru, yang
padahal social cost-nya lebih besar daripada economic benefit-nya.
Yang juga perlu diperhatikan, Pemda Kab. Banyumas terkesan melupakan bahwa
UNSOED merupakan aset yang sangat berharga. Selain berada di jantung kota,
yakni Purwokerto, dalam jangka panjang (10–20 tahun yang akan datang) besar
kemungkinan UNSOED akan menjadi Kota Pendidikan. Hal ini didasarkan atas
pengamatan bahwa beberapa kota besar lainnya, seperti Yogyakarta, Semarang,
Jakarta, mulai dirasa tidak lagi kondusif bagi pendidikan. Banyak faktor yang
menyebabkan itu semua, di antaranya; semakin panasnya suhu udara kota besar
yang sangat mempengaruhi proses belajar. Semakin semwrutnya tata pergaulan
di beberapa kota9. Untuk itu, secara visioner, adalah mungkin Purwokerto
menjadi salah satu tempat tujuan di mana orang tua menitipkan putra-putrinya
untuk mengenyam pendidikan.
Hal tersebut akan terjadi ketika Purwokerto tetap dapat dikelola agar kondusif
bagi dunia pendidikan. Salah satunya melalui kebijakan tata ruang kota yang
berpihak pada dunia pendidikan.
8
Maka rata-rata perputaran uang per harinya, 101,6 M dibagi 365 hari = Rp. 278.356.000 (Dua ratus tujuh puluh
delapan juta tiga ratus lima puluh enam ribu rupiah)
9
Ingat beberapa penelitian dan observasi lapangan dalam buku Sex in The Kost, Jakarta Under Cover, dll.
Pemda Kab. Banyumas perlu menakar ulang kebijakan yang digulirkan oleh
Bupati sebelumnya (Bapak Aris Setiono). Dan kemudian melakukan koreksi
terhadap kebijakan tersebut dengan jalan mengeluarkan kebijakan baru yang
lebih mendukung dunia pendidikan.
Saat ini, dengan mengamini produk kebijakan pemerintahan yang lama, Pemda
Kab. Banyumas yang “masih suci”, justru akan mendapat kritikan-kecaman dari
berbagai pihak. Namun, ketika Pemda yang baru mau menginsyafi dan
mengoreksi kebijakan tersebut, masa depan Banyumas dimungkinkan akan lebih
cerah.
Perlu kiranya kita belajar dari seorang Selo Soemardjan. Dulu ketika dirinya
masuk dalam Tim Perencanaan Pembangunan Nasional, beliau pernah
mengingatkan agar arah pembangunan semasa Orde Baru tidak hanya
memperhatikan sektor pertumbuhan ekonomi. Melainkan juga pembangunan
sumber daya manusia sebagai fundamen dasar yang menyokong Republik
Indonesia. Sayangnya, saran dan juga kritik tersebut ditolak10.
Alhasil, lampu kuning yang sudah dilihat Selo Soemardjan pada tahun 1967,
menjadi terbukti dengan turunnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 yang
meninggalkan banyak notkah hitam. Lantas, apakah Pemda Kab. Banyumas
sekarang akan mengikuti sejarah masa lalu Indonesia dengan lebih
mementingkan sektor pertumbuhan ekonomi? Sedangkan pendidikan, sebagai
pembentuk sektor sosial-budaya masyarakat juga merupakan investasi bagi masa
depan Banyumas yang tidak kalah pentingnya.
Terakhir, semoga Pemda Kab. Banyumas mau dan mampu melakukan proses
evaluasi ulang terhadap kebijakan yang terdahulu. Agar tentunya “dosa warisan”
tidak menjadi buah bibir di masa depan yang akan mengganjal langkah besar
menuju Banyumas sejahtera, baik secara ekonomi pun sosial. []
Bagi Anda yang sering ke warnet pasti tidak heran jika menjumpai ceceran file
video dengan format 3GP, Real Player, Nokia Codec atau lainnya. Seperti yang
saya temukan di beberapa recent file hasil download-an orang. Dan biasanya,
film dengan durasi pendek itu merupakan film porno yang diproduksi secara
amatir dan lokal. Bintangnya pun lokal, mungkin pasangan kekasih, teman
kencan atau lainnya.
Pertama kali saya berasumsi bahwa hal itu sengaja mereka buat untuk kemudian
mereka publish. Saya membaca bahwa keinginan untuk merekam adegan
bercinta berangkat dari hasrat eksistensial. Mereka nampaknya ingin berseru
pada dunia, “Inilah kami, dan kami bisa melakukannya!”. Ya, tidak ketinggalan
10
Hasil wawancara Selo Soemardjan dalam Majalah Ilmiah Prisma hal, 37-50 Edisi 1 Januari 1994.
Dulu awal mula booming-nya video porno lokal terjadi saat saya masih kelas
menengah pertama, yakni film dokumenter “Bandung Lautan Asmara”. Para
pengkaryanya dikriminalkan, dan jika isu itu benar, pengkaryanya di-dropt out
dari universitas tempat mereka belajar.
Saya mensinyalir pembuatan video porno lokal bermula dari keinginan untuk
berprestasi. Hanya saja mungkin mereka mempunyai bakat dan minat yang lain.
Bisa jadi mereka kurang mempunyai kemampuan di bidang lain. Sebuah modus
eksistensial yang sebenarnya nir-esensi.
Tapi apa mau dikata, saat ini video porno lokal begitu massal. Teknologi
merupakan salah satu faktor pendorongnya. Kemudahan melakukan aktivitas
rekam visual nampaknya dengan baik dimanfaatkan oleh mereka untuk membuat
semacam diary percintaan. Sebenarnya tidak berbeda jauh ketika mereka
menuliskannya, sebagai memoriam di buku agenda mereka. Hanya saja, yang
membedakan secara tegas, bahwa media video menurut pasti bermula dari
keinginan untuk dipertontonkan kepada orang lain.
Terlepas pada dua asumsi yang saya ajukan, pada dasarnya saya menolak segala
jenis tindakan pornoaksi dan juga pornografi. Mengingat, karya-karya yang
mungkin sengaja atau tidak sengaja memasuki ruang publik, menjadi masalah
bagi yang lain. Tidak ada pelarangan saya kira, jika mereka ingin berkarya,
dengan catatan adanya jaminan tidak memasuki ruang publik. Video porno lokal,
pantasnya hanya dikonsumsi bagi para pengkaryanya. Yang kemudian kita
mungkin akan menyebutnya dengan ‘film dokumenter percintaan’.
Terakhir, saya menolak tindak pornografi dan pornoaksi. Juga saya menolak
adanya Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).
Karena akar masalah menurut saya bukan pada konteks moral atau nilai
ketimuran yang tercabik. Melainkan pada transformasi pendidikan kita yang tidak
tuntas, salah satunya juga pendidikan tentang melek teknologi. []
Penelusuran mitos memasuki ruang diskusi tentang kebenaran. Dalam pada itu,
rasionalitas manusia dibutuhkan untuk mengenali mitos-mitos tersebut.
Rasionalitas ini berpijak dari berbagai macam teori kebenaran. Di antaranya
kebenaran koherensi, korespondensi dan pragmatis. Sesuatu dianggap benar
ketika sesuatu itu tidak bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang
sudah dianggap benar, inilah kebenaran model koherensi. Sedangkan sesuatu
dianggap benar ketika sesuai dengan keadaan senyatanya merupakan kerangka
kebenaran korespondensi. Dan terakhir, kebanaran pragmatis yakni sesuatu
dianggap benar manakala bisa diaplikasikan. Dalam konteks ini, kita akan lebih
menggunakan kerangka kebenaran dua yang pertama, koheresi dan
korespondensi.
Nah, untuk membaca mitos-mitos yang berkembang dalam Islam, terlebih dahulu
kita harus “menjarakan diri” dengan keislaman kita. Agar tentunya, keimanan,
keyakinan dan kepercayaan kita tidak “mengaca mata kudakan” proses tersebut.
Obyektivikasi kita perlukan agar penelusuran kita tidak menjadi mitos baru, yakni
sebatas apologi atas kesalahkaprahan.
Mitos 6666
Sebagian besar masyarakat Islam meyakini bahwa ayat al Quran berjumlah
6666. meski sumber yang mengatakan itu, hadist, tarikh (sejarah), dan
sebaginya, sampai sekarang sulit terlacak. Namun, keyakinan tersebut sudah
begitu kuat mendarah daging. Sampai-sampai, untuk menyoal ulang pun kita
akan dituduh dengan berbagai label; sesat, murtad, atau sekurang-kurangnya
Bani Israil (suka mendebat).
Menurut Nafi’ jumlah ayat al Quran tepatnya adalah 6.217. Sedangkan Syaibah,
menyatakan 6214 ayat. Abu Jafar, menemukan 6.210 ayat. Ketiga-tiganya ulama
asal Madinah. Berbeda dengan itu, menurut Ibnu Katsir, ulama Makkah,
mengatakan jumlahnya 6.220 ayat. ‘Ashim, ulama Basrah, mengatakan bahwa
jumlahnya 6205 ayat. Sedangkan Hamzah yang berasal dari Kufah mengatakan
bahwa jumlahnya 6.236 ayat.
Kalau mengacu pada Hamzah, maka ada selisih angka 430 antara 6666 dengan
6236. tidak jelas sumbernya, tapi ada yang menafsirkan bahwa angka 430 itu
merupakan metafora dari sosok Nabi Muhammad. Lafadl atau kata Muhammad
tersusun dari huruf, “mim”, “ha”, “mim”, dan “dal”. Masing-masing huruf ini
berfungsi sebagai indeks, sebagai berikut;
Hasil olah ini merupakan kebetulan yang ajaib. Yakni, para pendukungnya
mencoba mengkaitkan dengan teks yang menyatakan bahwa umat Islam harus
berpegang teguh pada dua hal; al Quran (6236) dan al Hadist (430). Dimana kita
ketahui bahwa hadist merupakan ucapan, tindakan dan penetapan Nabi
Muhammad.
Baik versi konspiratif atau elaboratif-metaforis, yakni versi Hamzah dan ulama
yang tersebut di atas, 6236 atau lainnya. Artinya angka 6666 tidak
berkorespondensi dengan seluruh ayat al Quran.
Mitos Ummi
Berbeda dengan angka 6666, mitos ke-ummi-an (kebutahurufan) Nabi
Muhammad berangkat dari proses penafsiran ayat al Quran. Dalam buku, “Nabi
Muhammad Buta Huruf atau Genius?”, Syekh al Maqdisi menggugat mitos
tersebut. Dengan meyakinkan penulis membalikkan berbagai penafsiran yang
“membela” bahwa Nabi Muhammad ummi dalam makna tidak bisa membaca dan
menulis.
Artinya, beliau sepakat bahwa Nabi Muhammad memang ummi, namun dalam
konteks ini ummi bukan bermakna tidak bisa membaca dan menulis, melainkan
seseorang yang bukan berasal dari golongan Yahudi. Dalam surat Ali Imron ayat
20 tersebut, “Katakanlah kepada orang-orang yang telah mempunyai kitab suci
dan orang-orang ummi itu, apakah kalian sudah (benar-benar) berserah diri? Jika
kalian telah berserah diri, sesungguhnya kalian telah berada dalam bimbingan.”
Dalam ayat lain, “Sebagian dari mereka adalah orang-orang ummi, tidak
mengerti kitab suci kecuali dugaan.” (al Baqarah: 78). Dalam dua ayat itu kata
ummi senantiasa bersanding dengan ahlul kitab (yang mempunyai kitab suci).
Sedangkan penafsiran al Quran, seyogyanya tidak sekedar mencari makna secara
tersurat dari ayat tertentu. Melainkan, saling menghubungkan antara satu ayat
dengan yang lain, untuk kemudian menyimpulkan makna umum yang terkandung
dalam kata tertentu, misal ummi.
Dalam konteks itu, al Maqdisi ingin menegaskan, Nabi Muhammad ummi dalam
makna bahwa beliau sebelum memperoleh wahyu (al Quran) tidak membaca
wahyu yang lain (Taurat). Yang artinya, bahwa beliau bukan berasal dari
golongan Yahudi. Seperti dalam surat al Ankabut ayat 48, sebagai berikut, “Dan
kau tiada (dapat) membaca kitab, sebelum (al Quran) ini (datang), dan tiada pula
kau (dapat) menuliskannya dengan tangan kananmu. (sekiranya kau dapat
Melalui catatan sejarah kita ketahui bahwa pertama kali Nabi menerima wahyu
surat al ‘Alaq. Di dalam Gua Hira melaikat Jibril datang seraya menyeru,
“Bacalah!”, Nabi menjawab, ma ana biqari’in. Dalam konteks ini menjadi
perdebatan, Syekh Ahmad bin Hajar dalam “Sejarah Baca Tulis, Sifat Ummi (tidak
tahu baca tulis) pada Nabi Muhammad SAW”, mengartikan kalimat ma ana
biqari’in sebagai “Saya tidak bisa membaca!”. Berbeda dengan itu, Syekh al
Maqdisi mengartikan “Apa yang harus saya baca?” Yang pertama menafsirkan
huruf ma sebagai penafian (nafyin), sedang yang terakhir sebagai pertanyaan
(istifham).
Lantas bagaimana menafsirkannya? Bilamana Nabi saat itu menjawab “Saya tidak
bisa membaca!”, bukankah ini bertentangan dengan sifat Allah yang Maha Tahu,
dari masalah umum sampai juz (bagian). Bila Nabi memang tidak bisa membaca,
mengapa perintah-Nya adalah iqra, “Bacalah!”, bukan utlu, “lafalkan!” atau qul,
“katakan!” dan sebagainya. Sehingga jawaban ma ana biqari’in lebih tepat bila
diartikan sebagai “Apa yang harus saya baca?”
Fakta Nabi bisa membaca dan menulis bisa kita telusuri juga dibanyak hadist.
Misal, saat sakit keras dan umat Muslim mulai cemas masalah siapa berikutnya
yang akan menjadi pemimpin, Nabi bersabda, “Ambilkan tinta dan kertas
sehingga aku dapat menulis sesuatu yang tidak akan membuat kalian tanpa
pedoman setelahnya” (HR. Ibnu Abbas). Meski akhirnya, karena perselisihan
antar sahabat, Nabi tidak jadi menuliskan wasiat itu. Atau hadist saat Nabi
bermukim di Hudaibiyah dan hadist riwayat Bukhari no.4251 dan lainnya.
Dengan penelusuran di atas, kita bisa menyimpulkan kalau makna ummi (tidak
bisa baca tulis) tidak berkoherensi dengan pernyataan-pernyataan ayat al Quran
dan Hadist. Juga melalui sejarah, tidak berkorespondensi dengan fakta-fakta
sejarah yang ada. Misal, Nabi semasa kecil dibesarkan oleh pamannya Muthalib
yang adalah ayah dari sahabat Ali. Sedangkan sejarah mencatat bahwa Ali mahir
membaca dan menulis berkat didikan ayahnya. Lantas apakah mungkin kalau
paman beliau tidak mengajar Nabi perihal yang sama?
Lantas apa atau siapa yang dilihat malaikat di Bumi? Mengutip Prof. Ahmad
Baiquni, Agus Mustofa menyatakan bahwa malaikat melihat mahluk yang
menyerupai manusia, tapi bukan manusia. Secara fisik mirip dengan manusia,
tetapi tidak memiliki potensi ‘Kesadaran’ dan ‘Akal Budi’. Baiquni menafsirkan
mereka sebagai manusia purbakala yang ditemukan para Antropolog.
Premis kedua, Adam diciptakan melalui mekanisme yang sama ketika Tuhan
mmenciptakan Isa. Dalam sebuah ayat kita ketahui, “Sesungguhnya masalah
penciptaan Isa di sisi Allah itu seperti penciptaan Adam. Aku ciptakan dia dari
tanah. Kemudian dikatakan kepadanya kun fayakun” (al Imran:59). Sedangkan
kita tahu kalau Isa diciptakan Tuhan melalui Maryam yang perawan dengan
mekanisme partenogenesis (tanpa pembuahan). Dalam komteks ini, para ilmuan
mengemukakan bahwa kemungkinan pertenogenesis adalah satu banding satu
juta kelahiran.
Adam diciptakan melalui kun fayakun, “Jadilah, maka jadi”. Namun kun fayakun
dalam konteks ini bukan seperti sim salabim yang tiba-tiba berwujud manusia
utuh. Kun fayakun mengacu pada proses panjang. Lebih lanjut kita bisa
membaca proses itu dalam al Quran surat al Mukminun:12-14, Ali Imran: 6, al
Hijr: 26, al-Infithaar: 8, dan surat al Thai ayat 4.
Tak ubahnya Isa, Adam juga dikandung di dalam rahim. Agus Musofa,
menafsirkan bahwa kemungkinan besar embrio Adam “ dititipkan” pada mahluk
yang menyerupai manusia atau manusia purba itu.
Lalu siapa dan bagaimana Hawa dicipakan? Premis ketiga, dalam surat Al-A’raaf
ayat 189 terungkap bahwa Hawa diciptakan dari diri yang satu, sama asalnya dari
Adam. “Dialah yang mencipakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya dia
menciptakan istrinya ...” Jadi, dalam rangka melestarikan keturunan, pada
awalnya (kaidah eksepsional), mereka berdua melakukan insest. Yang juga
mekanisme tersebut, atas perintah Tuhan, dilakukan oleh Habil dan Qabil pada
kedua saudari perempuannya. Dari perkawinan itulah, spesies manusia beranak
pinak dan berkembang sampai milyaran seperti saat ini.
Di sisi lain, alih-alih membangun rasionalias dan kearifan dalam berislam, dakwah
yang ada justru seringkali membatasi ruang keilmuan. Misal, untuk menanyakan
suatu hal yang musykil kepada kyai atau ustadz kita sudah disergap rasa takut
dan khawatir. Selain itu, jawaban yang disediakan cenderung dogmatis. Contoh
ekstrim, ketika ada seorang Muslim gelisah dan bertanya tentang Tuhan, maka
kyai atau ustadz, mungkin juga guru atau dosen agama dan pendakwah lainnya,
akan menutup dialog itu dengan membacakan ayat al Quran, “Jangan berfikir
tentang Dzat Allah. Pikirkanlah saja makhluk-makhluk-Nya.” Atau petikan ayat-
ayat lain yang intinya untuk menutup ruang tanya itu.
Nah, dalam konteks inilah perlu kita merekonstruksi pendidikan atau dakwah
Islam saat ini. Agar keberislaman yang ada bisa senantiasa naik dari satu jenjang
ke jenjang seterusnya. Bukan hanya sekedar berkutat pada masalah wudlu
(babul thaharah), salat (arkanul shalat wa syurutul shalat) dan sejenisnya.
Referensi
Al Maqdisi dan Nasarudin Umar (Kata Pengantar). 2007. Nabi Muhammad Buta
Huruf atau Genius? Jakarta: Nun Publisher.
Hajar, Ahmad. 2001. Sejarah Baca Tulis, Sifat Ummi (tidak tahu baca tulis) Nabi
Muhammad SAW. Yogyakarta: Iqra Publish.
KSA, Bewa dan Firdaus Putra A. (Kata Pengantar). 2008. Benarkah Jumlah Ayat
Al Quran 6666? Purwokerto: Cakra Media.
Musofa, Agus dan Mustofa Bisri (Kata Pengantar). 2004. Ternyata Akhirat tidak
Kekal. Sidoarjo: Padma Press.
Tekan, Ismail.1998. Tajwid Quranul Karim. Jakarta: Pustaka al Husna.
Suatu ketika terjadi perdebatan antara kalangan Islam dengan Kristiani terkait
sejarah kapal Nabi Nuh. Kalangan Islam mengklaim bahwa kapal tersebut
berlabuh di bukit Judi. Klaim ini bersumber dari teks suci, Quran. Sedangkan
kalangan Kristiani, menyatakan bahwa kapal tersebut terdampar di pegunungan
Narasi di atas hanya ilustrasi kecil dari proses distansiasi (penjarakan atau
obyektivikasi) yang dilakukan manusia terhadap sekelumit nilai atau ajaran yang
diyakininya. Di saat manusia mau dan mampu menjarakkan diri dengan
meminjam ilmu pengetahuan, ternyata klaim-klaim kebenaran yang diajukan bisa
dipertemukan. Dalam konteks inilah perbincangan agama dan ideologi akan kita
tempatkan.
Dua fenomena dengan kecenderungan yang sama itu pada dasarnya kontra
produktif bagi pergulatan pemikiran, baik diskursus sekuler (ideologi) atau
diskursus agama itu sendiri. Agar tidak terjebak dalam perangkap itu, kita perlu
melakukan proses kritik ideologi. Kritik ideologi tidak berpretensi untuk
meruntuhkan nilai atau ajaran suatu kepercayaan tertentu. Kritik ideologi hanya
ingin memberi early warning pada kita agar pandangan kita tidak beku atau stag.
Untuk kemudian, kita perlu melakukan proses kreatif dengan memikirkan ulang
atau mengkontekstualisasikan nilai atau ajaran yang kita yakini selama ini.
Nana, saya mengenalnya sebagai seorang perempuan, atau lebih enaknya cewek,
yang bekerja di warung makan lesehan beberapa meter dari kos. Awalnya saya
sering memanggil dengan sapaan “Mbak”. Ya begitulah sopan santun Jawa untuk
menyapa seseorang yang belum terlalu dikenal.
Lama ke lamaan, karena seringnya makan di sana, saya menjadi akrab dan
hanya menyapanya dengan “Na atau Nana”. Saya rasa sapaan itu sudah cukup
untuk menghormati orang seusia itu. Awalnya saya taksir dia berusia 21 atau
bahkan 23. Namun alangkah tak tepat, ternyata si Nana, yang perawakannya
bongsor, baru berusia 16 tahun.
Alamak, ternyata selama ini saya bergaul dengan anak SMP. Tidak aneh kalau dia
sangat polos dalam bertutur. Juga tidak tanggung-tanggung kalau sedang
berteriak. Dan yang jelas, rasa penasaran atau keingintahuannya benar-benar
bak balita yang baru mengenal capung yang bisa terbang, air yang bisa muncrat,
atau daun yang bergoyang tertiup angin.
Setiap kali saya makan, ada saja yang ia bicarakan. Dan tentu saja, dia senang
kalau saya mendongeng atau bercerita. Karena terbilang relatif muda, saya
berusaha menjelaskan duduk perkara dengan cara sebaik-baiknya. Misal, suatu
tempo kami berdiskusi tentang perilaku konsumsi yang sangat dipengaruhi oleh
strategi iklan atau pengemasan. Saya katakan, banyak orang lebih tertarik
makan ayam di KFC dari pada di sini (warung tempatnya bekerja). Selera ini lahir
bukan semata karena ayam tepung di KFC lebih enak atau lebih renyah daripada
di sini, melainkan lebih karena motif “naik kelas” saat orang bisa makan di KFC.
Dan yang pasti, saya tidak akan pernah mempunyai seorang teman, seramah dan
selucu Nana ketika makan di KFC. Pola hubungan yang dibangun antara pembeli
dengan penjual sebatas relasi bisnis. Tidak ada keramahtamahan yang murni.
Tidak ada pembicaraan, obrolan, bahkan diskusi yang serius atau nyantai
sekalipun. Di sana hanya ada etiket tentang bagaimana melayani pembeli dengan
baik dan benar. Keramahtamahan hanya sekedar basa-basi di permukaan.
Selebihnya, selepas kita menyantap habis paha goreng itu, semuanya akan
berlalu saja, tanpa kesan atau pesan. Selebih-lebihnya hanya sekedar ucapan
terima kasih atau selamat menikmati.
Berbeda dengan itu, di warung tempatnya bekerja, saya tidak hanya berhadapan
dengan penjual yang ramah. Melainkan saya bertemu dengan teman-teman baru
yang menarik. Sebut saja Tini, rekan kerja Nana yang berusia 20 tahun. Berbeda
Jika saya makan di KFC, mungkin saya tak akan pernah diledek Nana, “Dasar
kerempeng!” atau ledekan lainnya. Dan sesekali juga saya tak lupa mengejeknya,
“Na, aku baru baca artikel kalau orang gemuk menyumbang angka pemanasan
global”, mendengar itu bukannya marah, justru dia penasaran apakah pernyataan
itu benar atau tidak. Mungkin bisa benar, mengingat secara teoritis luas
permukaan kulit orang gemuk lebih lebar daripada orang kerempeng. Oleh
karenanya, pengeluaran karbon dari respirasi kulit dan feses orang gemuk lebih
banyak daripada orang kerempeng.
Selain itu, kalau saya makan di KFC, saya tak akan pernah mendengar seorang
penjual curhat atau sharing perihal pribadinya. Memang bisa jadi karena satu
sama lain tak saling kenal. Namun andaikan saling kenal pun, hal itu tidak akan
mungkin terjadi. Karyawan-karyawan di sana sangat terikat aturan dan tidak
boleh bersantai di luar waktu istirahat.
Sedangkan di warung itu, acap kali Nana bercerita dan curhat perihal pribadinya.
Kadang ceritanya agak sedih, kadang juga lucu dan menggelikan. Apalagi kalau
dia sedang curhat masalah cowok atau pacarnya.
Pernah juga dia berkomentar, “Mas aku kok gak paham mbaca buletin yang
kemarin!”, beberapa kali dia membaca buletin Profetika, dua edisi, yang saya
titipkan di warung. Saya sangat memaklumi, pasalnya bahasa dan analisis buletin
itu cukup “ndakik-ndakik”. Pernah juga, seorang mahasiswi 2007, sebut saja
Popy, berkomentar sama, “Om saya bingung mbaca buletin itu. Apa saya yang
begok ya.” Jawabannya, baik Nana atau Popy, keduanya sama sekali tidak bodoh.
Akan tetapi, keduanya mungkin seperti membaca materi bacaan kelas enam saat
mereka duduk di empat. Jadi ada beberapa “materi pengantar” yang belum
keduanya lewati sampai akhirnya keduanya tahu hal ihwal yang sedang
dibicarakan.
Terlepas dari itu, Nana sebenarnya individu yang aktif bertanya. Selebihnya, ia
juga individu yang polos, yang dengan kepolosannya, tak segan-segan
menertawakan keanehan, kekonyolan, ketololan sikap saya. Misal, suatu ketika
saya hampir salah membuka ponsel miliknya. Kalau tidak salah Nokia 5300. Saya
sangka ponsel tipe flip. Eh, ternyata ponsel tipe swip (geser). Sontak dia tertawa
terbahak-bahak.
Makan di warung tempatnya bekerja, perut menjadi kenyang dan lebih dari itu
otak serta perasaan menjadi lebih fresh. Karena Nana atau Erna, nama aslinya,
lebih dari sekedar penjual. Ia adalah seorang teman, teman yang ramah dan juga
lucu. []
Saya sering heran ketika membaca ulang tulisan-tulisan karya saya sendiri. Saya
heran kok saya bisa menulis seperti itu. Dengan berbagai pilihan kata, gabungan
frasa, dan talian kalimat. Kadang saya sendiri tak menyangka, kok bisa ya ...
Saya heran, seakan-akan tulisan saya muncul dari “bawah sadar” dan tanpa
perencanaan. Mengapa, karena sebelum menulis, sebenarnya di otak saya tidak
ada stok kata, situasi, ikon, setting waktu, kronologis, engel, dan berbagai hal
yang membangun sebuah tulisan. Namun, saat menulis, seakan-akan stok-stok
itu keluar begitu saja dan entah dari mana datangnya.
Selain heran, kadang saya merasa sebagai orang konyol ketika membaca ulang
tulisan-tulisan itu. Tahun 2006 saya pernah membukukan beberapa judul tulisan.
Saya bukukan sampai menjadi 10 buku dengan jumlah 108 halaman, fontasi 9,
bentuk font Arial Narrow. Sesekali saya iseng membaca buku itu, “Mengintip
Dunia” judulnya, dan lantas saya merasa malu, konyol, dan PD banget ya ... Kok
bisa dulu saya berpikir membukukan tulisan yang mungkin tak laik konsumsi itu.
Benar-benar konyol.
Dulu buku itu saya jual seharga Rp. 7000. Nominal ini saya hitung dari ongkos
cetak (foto kopi+jilid) yang saya keluarkan. Gagasan atau ide sendiri tidak saya
hargai. Biarkan gagasan dan ide itu bebas diakses oleh banyak orang. Namun,
biasanya, beberapa teman membayar Rp. 10.000. Ada juga yang membayar Rp.
20.000, beliau adalah Pak Kusbiyanto, Pembantu Rektor III UNSOED.
Pernah sekali waktu saya lihat beliau memegang buku saya, ketika beliau
memberi sambutan di pembukaan UKM Expo. Tersanjung rasanya ketika Pak
Kus—sapaan akrabnya—mengutip beberapa kalimat dari buku itu.
Dulu saya sempat berjanji kepada beberapa teman hendak mencetak ulang buku
itu. Setelah saya baca ulang, saya urungkan niat itu, karena menurut saya tulisan
itu belum pantas untuk dibukukan.
So, silahkan Anda baca ulang tulisan-tulisan yang sudah Anda hasilkan. Apakah
Anda merasa kagum, heran, malu, konyol, atau justru terasa ingin buang hajat
ketika membaca ulang tulisan itu. Semaksimal-maksimalnya, saya tak pernah
merasa ingin buang hajat selepas membaca ulang semua tulisan. Tapi sekedar
ingin pipis karena menahan tawa. He he he ... []
Antologi esai ini sengaja saya susun untuk menjadi sumbangan bagi teman-
teman yang menaruh minat atau bakat dalam bidang kepenulisan. Mengambil
judul “Kriuk-Kriuk” tentu saja saya ingin mengatakan kalau tulisan-tulisan di
dalamnya sungguh renyah untuk dikonsumsi. Meskipun, ada beberapa tulisan
yang agak sedikit membutuhkan kerutan dahi.
Setiap tahun, biasanya saya membagikan buku dari koleksi perpustakaan pribadi.
Sayangnya, tahun kemarin (2007) dan sekarang tidak memungkinkan. Sedang
tahun kemarin saya jembatani dengan membagikan berbagai macam koleksi
tulisan, artikel, e-book, dan sebagainya yang saya kodifikasi dalam kepingan
compact disk (15 keping CD). Tahun ini, nampaknya antologi esai ini bisa
menjadi “pemaaf” bagi diri saya sendiri karena tak lagi mampu untuk
mentradisikan proses semacam itu.
Oh iya, saya mempunyai kisah kecil yang sangat sederhana. Beberapa hari
kemarin, saya menulis sebuah judul, “Nana yang Lucu”. Tulisan itu saya
maksudkan sebagai testimoni bagi seorang teman, Nana namanya. Kemudian
saya print-out dan memberikan kepadanya. Nana, yang adalah perempuan
(cewek, 16 tahun), yang bekerja di warung tak jauh dari kos, senang sekali
membacanya. Bahkan via SMS ia mengatakan kalau dua lembar tulisan itu akan
ia bingkai untuk kenang-kenangan. Dan ketika bertemu langsung, ia katakan lagi
niatan itu.
Dengan narasi kecil itu, saya tidak ingin menunjukan apa-apa yang saya sudah
lakukan. Melainkan, saya ingin menunjukan kepada Anda, kalau sebuah tulisan
benar-benar bisa merubah dunia. Nana, yang tidak lagi melanjutkan ke SMA,
menjadi semakin percaya diri. Sekurang-kurangnya, ketika ada seseorang yang
mengapresiasinya secara mendalam dan mendetail.
Seperti “Kriuk-Kriuk” dan satu kisah “Nana yang Lucu”, bila Anda sekalian
kesulitan untuk menulis “yang besar-besar”, maka tulislah yang kecil-kecil.
Karena dari yang kecil itu, Anda tak akan pernah tahu kalau ternyata ada orang
di bagian dunia yang lain, berubah karena terinspirasi tulisan itu.
Note:
Anda sangat tidak dilarang untuk berbeda pendapat atau berbeda sudut pandang dengan berbagai
macam pandangan atau sudut pandang yang ada di buku ini. Dan juga, Anda tidak dilarang untuk
menggandakan dan menyebarluaskan buku ini. Yang dilarang adalah, Anda memplagiasi isi buku ini.
Umum
Nama lengkap: Firdaus Putra Aditama
Tempat lahir : Pekalongan
Tanggal lahir : 31 Maret 1985
Pendidikan : Sosiologi FISIP UNSOED
Handphone : 085647788101
Email : firdausputra@ymail.com
Friendster : el_ferda85@yahoo.com
Blog : www.firdausputra.co.cc
Konsentrasi : Teori Kritik Sosial, Pemikiran Islam, dan
Kepenulisan dalam tradisi Cultural Studies
Pengalaman Organisasi
Dewan Presidium KBM FISIP tahun 2004/2005
Dewan Presidium KBM FISIP tahun 2005/2006
Direktur LS-Profetika tahun 2007 – sampai sekarang
Direktur Writing and Empowering Press (WE-Press) 2008 – sekarang