You are on page 1of 25

TUGAS TERSTRUKTUR BIOFARMASETIKA TEMA PERKUTAN EFEK BERBAGAI PENINGKAT PENETRASI TERHADAP PENETRASI PERKUTAN GEL NATRIUM DIKLOFENAK

SECARA IN VITRO

Disusun Oleh: Ruth Febrina Dedah Nurhamidah Kharisma Aditya Sintiya Utami Heppi Purnomo Riri Fauziyya Granisha Utamas N Erna Tugiarti B Windhiana Sapti A (G1F011006) (G1F011008) (G1F011014) (G1F011020) (G1F011024) (G1F011028) (G1F011030) (G1F011034) (G1F011038) Nova Amalia Aisyah Putriani Hijrofayanti Akwila Albert Inas Khairani Dina Mailana Aynita Kurniawan Fachri Aditya (G1F011046) (G1F011050) (G1F011054) (G1F011056) (G1F011060) (G1F011064) (G1F011066) (G1F011072)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI PURWOKERTO 2013

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah- NYA sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga panjatkan kehadiran ALLAH SWT, karena hanya dengan keridoan-NYA Makalah Biofarmasetika dengan judul Efek Berbagai Peningkat Penetrasi Terhadap Penetrasi Perkutan Gel Natrium Diklofenak Secara In Vitro ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkan.

Purwokerto,17 November 2013 Penulis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anatomi kulit manusia terdiri dari beberapa macam organ. Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan dari luar (Tranggono, 2007). Secara anatomi, kulit terbagi atas tiga lapisan utama, yaitu: epidermis, dermis, dan subkutis (subkutan). Lapisan Epidermis adalah lapisan kulit yang paling luar. Lapisan ini terdiri atas: 1) Stratum corneum (lapisan tanduk), terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin, yaitu jenis protein yang tidak larut dalam air, dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia; 2) Stratum lucidum (lapisan jernih), berada tepat dibawah stratum corneum. Merupakan lapisan yang tipis, jernih, mengandung eleidin. Lapisan ini tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki; 3) Stratum granulosum (lapisan berbutirbutir), tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut; 4) Stratum spinosum (lapisan malphigi), sel berbentuk kubus dan seperti berduri. Intinya besar dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein; 5) Stratum germinativum (lapisan basal), adalah lapisan terbawah epidermis. Di lapisan ini juga terdapat sel-sel melanosit yaitu sel yang membentuk pigmen melanin (Wirakusumah, 1994). Lapisan Dermis merupakan lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal dari pada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan fibrosa dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian: 1) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol kedalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah; 2) Pars retikulare, yaitu bagian bawahnya yang menonjol kearah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen elastis dan retikulin (Wirakusumah, 1994). Lapisan Subkutan adalah kelanjutan dermis atas jaringan ikat longgar, berisi sel-sel lemak didalamnya. Fungsi dari lapisan hipodermis yaitu membantu melindungi tubuh dari benturan-benturan fisik dan mengatur panas tubuh. Jumlah lemak pada lapisan ini akan meningkat apabila makan berlebihan. Jika tubuh memerlukan energi ekstra maka lapisan ini akan memberikan energi dengan cara memecah simpanan lemaknya (Wirakusumah, 1994).

Penyerapan perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar ke bagian kulit sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit ke dalam peredaran darah atau getah bening. Istilah "perkutan" menunjukkan bahwa proses penembusan terjadi pads lapisan epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda. Kemampuan penembusan dan penyerapan obat dengan pemberian secara perkutan terutama tergantung pada sifat-sifat fisiko-kimianya. Peranan bahan pembawa pada peristiwa ini sangat kompleks; pada keadaan dimana senyawa tidak

mengganggu fnngsi fisiologik kulit, maka dapat dipastikan kulit tidak dapat melewatkan senyawasenyawa yang tidak dapat diserap Dengan melakukan pemilihan terhadap bahan pembawa yang sesuai, maka kemungkinan ketersediaan hayati dari zat aktif dapat diperbaiki (Simanjuntak, 2005). Senyawa peningkat penetrasi (penetration enhancers) lazim digunakan di dalam sediaan transdermal dengan tujuan mempermudah transfer obat melewati kulit. Rute pemberian obat secara transdermal merupakan suatu alternatif untuk menghindari variabilitas ketersediaan hayati obat pada penggunaan per oral, menghindari kontak langsung obat dengan mukosa lambung sehingga mengurangi efek samping obat tertentu, juga untuk memperoleh konsentrasi obat terlokalisir pada tempat kerjanya. Namun, kulit merupakan suatu barrier alami dengan lapisan terluar (stratum corneum) tersusun atas jalinan kompak crystalline lipid lamellae sehingga bersifat impermeable terhadap sebagian besar senyawa obat(Lucida, 2008). Peningkat penetrasi dapat bekerja melalui tiga mekanisme yaitu dengan cara mempengaruhi struktur stratum corneum, berinteraksi dengan protein interseluler dan memperbaiki partisi obat, coenhancer atau cosolvent kedalam stratum corneum. Rute penetrasi melalui stratum korneum terbagi menjadi rute trans-epidermal dan rute transappendageal. Rute trans-epidermal terdiri dari rute trans-seluler dan rute intra-seluler. Rute trans-seluler merupakan jalur terpendek dimana bahan obat melewati membran lipid maupun korneosit, tetapi rute ini memiliki resistansi yang besar terhadap penetrasi. Rute yang lebih umum adalah melalui rute inter-seluler. Bahan obat melintasi membran lipid antara korneosit. Rute trans-appendageal yaitu melalui kelenjar dan folikel rambut memiliki kontribusi yang kecil terhadap penetrasi per kutan (Swarbrick dan Boylan, 1995). Salah satu senyawa obat yang digunakan secara topikal adalah Na-Diklofenak, seperti pada jurnal yang penulis angkat. Untuk itu, makalah ini disusun untuk mengetahui bagaimana efek Na-diklofenak setelah penambahan berbagai senyawa yang dianggap peningkat penetrasi.

1.2 Rumusan Masalah a. Bagaimana formulasi sediaan gel Natrium Diklofenak? b. Bagaimana pengaruh penambahan berbagai zat peningkat penetrasi terhadap penetrasi perkutan gel Natrium Diklofenak secara perkutan? c. Senyawa peningkat penetrasi manakah yang paling baik dalam meningkatkan penetrasi perkutan gel Natrium Diklofenak secara perkutan? d. Bagaimana mekanisme zat peningkat penetrasi dalam meningkatkan penetrasi perkutan gel Natrium Diklofenak secara perkutan? e. Bagaimana evaluasi dari sediaan gel Natrium Diklofenak yag dibuat?

1.3 Tujuan a. Untuk mengetahui formulasi sediaan gel Natrium Diklofenak. b. Untuk mengetahui pengaruh penambahan berbagai zat peningkat penetrasi terhadap penetrasi perkutan gel Natrium Diklofenak secara perkutan. c. Untuk mengetahui senyawa peningkat penetrasi manakah yang paling baik dalam meningkatkan penetrasi perkutan gel Natrium Diklofenak secara perkutan. d. Untuk mengetahui mekanisme zat peningkat penetrasi dalam meningkatkan penetrasi perkutan gel Natrium Diklofenak secara perkutan. e. Untuk mengetahui evaluasi dari sediaan gel Natrium Diklofenak yag dibuat.

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Natrium Diklofenak 1. Rumus bangun :

2. Rumus molekul 3. Berat molekul 4. Nama kimia 5. Nama lain 6. Pemerian 2007). 7. Kelarutan

: C14H10Cl2NNaO2 : 318,13 : asam benzeneasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amino]-monosodium : Sodium [o-(dikloroanilino)fenil]asetat : serbuk hablur, berwarna putih, tidak berasa (USP 30 NF 25,

: Sedikit larut dalam air, larut dalam alkohol; praktis tidak larut

dalam kloroform dan eter; bebas larut dalam alkohol metil. pH larutan 1% dalam air adalah antara 7.0 dan 8 8. pKa : 4,2 . (sweetman, 2009).

Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang menyerupai florbiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek anti inflamasi, analgesik dan anti piretik. Diklofenak cepat diabsorbsi setelah pemberian oral dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Seperti flurbiprofen, obat ini berkumpul di cairan sinovial. Potensi diklofenak lebih besar dari pada naproksen. Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis rematoid dan osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut (Katzung, 2004 ). Mekanisme kerjanya, bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arachidonat. Asam lemak poli-tak jenuh ini kemudian untuk sebagian diubah

oleh ezim cyclo-oksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi prostaglandin. Cyclo-Oksigenase terdiri dari dua iso-enzim, yaitu COX-1 (tromboxan dan prostacyclin) dan COX-2 (prostaglandin). Kebanyakan COX-1 terdapat di jaringan, antara lain dipelat-pelat darah, ginjal dan saluran cerna. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat dijaringan tetapi dibentuk selama proses peradangan oleh sel-sel radang. Penghambatan COX-2 lah yang memberikan efek anti radang dari obat NSAIDs. NSAID yang ideal hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung). Diklofenak merupakan obat NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) yang bersifat tidak selektif dimana kedua jenis COX di blokir. Dengan dihambatnya COX-1, dengan demikian tidak ada lagi yang bertanggung jawab melindungi mukosa lambung-usus dan ginjal sehingga terjadi iritasi dan efek toksik pada ginjal (Tjay dan Rahardja, 2007). Diklofenak merupakan golongan NSAID yang hingga saat ini masih banyak digunakan untuk mengatasi nyeri dan inflamasi pada penderita gangguan sendi serta kondisi inflamasi lainnya (Sweetman, 2009). Pemberioan diklofenak peroral dapat menimbulkan gangguan pencernaan, injeksi diklofenak dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada tempat injeksi sedangkan penggunaan melalui per rektal dapat menyebabkan iritasi lokal (Handayani,2012). 2.2 Sediaan Gel Gel umumnya merupakan suatu sediaan semipadat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase terdispersi (Ansel, 1989). Zat-zat pembentuk gel digunakan sebagai pengikat dalam granulasi, koloid pelindung dalam suspensi, pengental untuk sediaan oral dan sebagai basis supositoria. Secara luas sediaan gel banyak digunakan pada produk obat-obatan, kosmetik dan makanan juga pada beberapa proses industri. Pada kosmetik yaitu sebagai sediaan untuk perawatan kulit, sampo, sediaan pewangi dan pasta gigi (Herdiana, 2007). Makromolekul pada sediaan gel disebarkan keseluruh cairan sampai tidak terlihat ada batas diantaranya, disebut dengan gel satu fase. Jika masa gel terdiri dari kelompokkelompok partikel kecil yang berbeda, maka gel ini dikelompokkan dalam sistem dua fase (Ansel, 1989). Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik meliputi gom alam tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetilselulosa, dan

karbopol yang merupakan polimer vinil sintetis dengan gugus karboksil yang terionisasi. Gel dibuat dengan proses peleburan, atau diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel (Lachman., dkk, 1994). Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik. 1. Dasar gel hidrofobik Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel, 1989). 2. Dasar gel hidrofilik Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi. Istilah hidrofilik berarti suka pada pelarut. Umumnya daya tarik menarik pada pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik dari bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989). Gel hidrofilik umummnya mengandung komponen bahan pengembang, air, humektan dan bahan pengawet (Voigt, 1994). Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1994) adalah sebagai berikut: - kemampuan penyebarannya baik pada kulit - efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit - tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis - kemudahan pencuciannya dengan air yang baik - pelepasan obatnya baik Universitas Sumatera Utara Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi mikrobial, yang secara efektif dapat dihindari dengan penambahan bahan pengawet. Untuk upaya stabilisasi dari segi mikrobial di samping penggunaan bahan-bahan pengawet seperti dalam balsam, khususnya untuk basis ini sangat cocok pemakaian metil dan propil paraben yang umumnya disatukan dalam bentuk larutan pengawet. Upaya lain yang

diperlukan adalah perlindungan terhadap penguapan yaitu untuk menghindari masalah pengeringan. Oleh karena itu untuk menyimpannya lebih baik menggunakan tube. Pengisian ke dalam botol, meskipun telah tertutup baik tetap tidak menjamin perlindungan yang memuaskan (Voigt, 1994). 2.3 Perkutan Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari luar kulit ke dalam jaringan di bawah kulit, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif. Penyerapan (absorpsi) perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar ke bagian kulit sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit ke peredaran darah dan getah bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda (Aiache, 1993). Fenomena absorpsi perkutan dapat digambarkan dalam tiga tahap yaitu penetrasi pada permukaan stratum korneum, difusi melalui stratum korneum, epidermis dan dermis, masuknya molekul ke dalam mikrosirkulasi yang merupakan bagian dari sirkulasi sistemik (Aiache, 1993). Absorbsi molekul dalam lapisan permukaan dari stratum korneum, berdifusi hingga viable epidermis, dan terakhir melalui papila dermis kemudian molekul mencapai mikrosirkulasi darah. Dari tahap-tahap tersebut, penembusan stratum korneum merupakan faktor pembatas. Stratum korneum bertindak sebagai penghalang pasif dimana tidak ada proses transpor aktif (Lucia,2008). Rute penetrasi melalui stratum korneum terbagi menjadi rute trans-epidermal dan rute trans-appendageal. Rute trans-epidermal terdiri dari rute trans-seluler dan rute intraseluler. Rute trans-seluler merupakan jalur terpendek dimana bahan obat melewati membran lipid maupun korneosit, tetapi rute ini memiliki resistansi yang besar terhadap penetrasi. Rute yang lebih umum adalah melalui rute inter-seluler. Bahan obat melintasi membran lipid antara korneosit. Rute trans-appendageal yaitu melalui kelenjar dan folikel rambut memiliki kontribusi yang kecil terhadap penetrasi per kutan(Lucia,2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi kulit sangat bergantung dari sifat fisika kimia obat dan juga bergantung pada zat pembawa, pH dan konsentrasi. Perbedaan fisiologis melibatkan kondisi kulit yakni apakah kulit dalam keadaan baik atau terluka, umur kulit, perbedaan spesies dan kelembaban yang dikandung oleh kulit (Lachman, 1986).

BAB III ISI

3.1 Formulasi 1. FORMULASI Formula 1 Na-Diklofenak Metil Paraben Etanol Asam Oleat Tween 80 Propilen Glikol Aquadest 1% b/b 0.5 % b/b 35% b/b q.s Formula 2 1% b/b 0.5 % b/b 35% b/b 1% b/b q.s Formula 3 1% b/b 0.5 % b/b 35% b/b 1% b/b q.s Formula 4 1% b/b 0.5 % b/b 35% b/b 1% b/b q.s

2. CARA KERJA a. Gel dibuat dengan cara HPMC didispersikan dalam 70 ml air pada suhu 70oC hingga mengembang dan diaduk dengan kecepatan 600 rpm hingga terbentuk basis gel. b. Natrium diklofenak sejumlah 1,0 gram didispersikan dalam 25 ml etanol. c. Metil paraben dilarutkan dalam 10 ml etanol. d. Natrium diklofenak, larutan metil paraben dalam etanol dan peningkat penetrasi (asam oleat, tween 80 dan propilen glikol) ditambahkan kedalam basis gel dan diaduk homogen. e. Sisa air ditambahkan hingga didapat 100,0 gram gel. f. Dibandingkan dengan gel natrium diiklofenak 1% b/b bermerek dagang. Komposisi formula gel pembanding (merk dagang) adalah dietilamin, polimer asam akrilik, cetomacrogol 1000, asam lemak caprylic/capric, eter alkohol, isopropyl alkohol, parafin cair, parfum, propilen glikol, air.

3.2 Pengaruh Penambahan Berbagai Bahan Terhadap Penetrasi Penambahan berbagai bahan peningkat penetrasi dalam sediaan gel natrium diklofenak dengan basis HPMC dapat menyebabkan penurunan viskositas gel yang dapat meningkatkan penetrasi zat aktif ke dalam kulit. Viskositas memegang peranan penting

dalam difusi obat melalui kulit. Hukum Stokes-Einstein menyatakan bahwa viskositas sediaan berbanding terbalik dengan difusinya. Bahan peningkat penetrasi yang digunakan untuk pembuatan gel Natrium Diklofenak yaitu : 1. Asam Oleat Asam oleat merupakan enhancer yang dapat meningkatkan permeabilitas kulit dengan cara mengubah sifat fisikokimia stratum korneum sehingga mengurangi daya tahan difusi dan meningkatkan penetrasi absorpsi perkutan. Asam oleat mempengaruhi domain lipid stratum korneum dan meningkatkan kebebasan pergerakan atau fluiditas lipid. 2. Tween 80 Tween 80 merupakan surfaktan yang dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan membran sekaligus membentuk misel sehingga molekul obat akan terbawa oleh misel larut ke dalam membran. Penggunaan surfaktan pada kadar yang lebih tinggi akan berkumpul membentuk agregat yang disebut misel. Selain itu pada pemakaiannya dengan kadar tinggi sampai Critical Micelle Concentration (CMC) surfaktan diasumsikan mampu berinteraksi kompleks dengan obat tertentu selanjutnya dapat pula mempengaruhi permeabilitas membran tempat absorbsi obat karena surfaktan dan membran mengandung komponen penyusun yang sama (Martin et al., 1993). 3. Propilen glikol Propilen glikol dalam sediaan farmasi berfungsi sebagai humektan, pelarut, pelicin, dan untuk meningkatkan kelarutan (Weller, 2006). Selain itu juga penambahan propilen glikol dalam sediaan farmasi dapat meningkatkan laju difusi (Agoes, 2006). Propilen glikol mempengaruhi fungsi barier kulit melalui interaksi dengan protein pada stratum korneum. Penambahan peningkat penetrasi propilen glikol dapat melarutkan lapisan keratin pada stratum corneum sehingga meningkatkan jumlah obat yang berpenetrasi lewat kulit dengan cara mengurangi ikatan obat dengan jaringan kulit (Remon J.P, 2007). Asam oleat memiliki viskositas 26 mPaS, tween memiliki viskositas 425 mPaS, dan propilen glikol memiliki viskositas 56 mPaS (Cable, 2006; Weller, 2006). Asam oleat memiliki viskositas yang paling rendah dibandingkan tween 80 dan propilen glikol, sehingga penambahan asam olet akan menghasilkan viskositas sediaan gel yang paling rendah. Asam oleat dapat meningkatkan difusi natrium diklofenak 3,26 kali dibanding formula gel tanpa bahan peningkat penetrasi. Sedangkan tween 80 dan propilen glikol dapat meningkatkan difusi natriun diklofenak sebesar 1,63 kali dan 2,85 kali. Formulasi gel dengan menggunakan asam oleat, tween 80 dan propilen glikol menyebabkan jalur interseluler lebih mudah dilalui karena ekstraksi lipid bilayer dan dapat

meningkatkan penetrasi natrium diklofenak secara perkutan dibandingkan dengan formulasi gel natrium diklofenak tanpa bahan peningkat penetrasi. Asam oleat, tween 80, dan propilen glikol dengan konsentrasi antara 1% hingga 10% diduga meningkatkan perubahan bagian polar bilayer lipid sehingga meningkatkan transpor natrium diklofenak (Trommer dan Neubert, 2006). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Jiang dkk (2000) yang menyebutkan masuknya bahan peningkat penetrasi ke dalam stratum korneum tergantung dari konsentrasi dan lamanya paparan. Analisis terhadap data penetrasi in vitro pada umumnya menggunakan metode lag time dengan parameter yang digunakan misalnya fluks tunak dan lag time (waktu laten). Lag time (waktu laten) yakni tenggang waktu antara saat pemberian obat dengan munculnya kadar obat di sirkulasi sistemik (darah/serum/plasma). Peningkatan penetrasi perkutan akan mengurangi waktu laten (lag time) pada pemberian gel natrium diklofenak sehingga akan segera dihasilkan efek terapetik (Nugroho dkk, 2004). Peningkat penetrasi dapat mengurangi waktu laten pada difusi gel natrium diklofenak melalui kulit. Waktu laten pada gel natrium diklofenak tanpa penambahan peningkat penetrasi (6129,83 menit) mengalami penurunan menjadi 2304,74 menit dengan adanya penambahan asam oleat, 3948,53 menit dengan adanya penambahan tween 80, 2493,82 menit dengan adanya penambahan propilen glikol.

3.3 Formula Terbaik Berdasarkan berbagai evaluasi sediaan gel seperti pengukuran viskositas, pemeriksaan pH, pemeriksaan keseragaman kadar, pengamatan partikel dalam sediaan gel, serta uji difusi, dapat disimpulkan bahwa formula 2 adalah formula yang terbaik, yaitu dengan penambahan asam oleat 1% b/b sebagai senyawa peningkat penetrasi. Hal ini disebabkan dengan penambahan asam oleat 1% b/b menghasilkan jumlah obat yang terdifusi melalui kulit paling lebih besar. Selain itu pH yang dihasilkan yaitu 7,8 mendekati pH normal kulit, keseragaman kadar pada formula tersebut masih memenuhi persyaratan, kelarutan natrium diklofenak dalam basis gel HPMC baik karena tidak dipengaruhi oleh penambahan peningkat penetrasi, dan viskositasnya tidak terlalu besar atau sama dengan formula pembanding yang telah beredar. Waktu laten formula ini juga paling kecil jika dibandingkan dengan ketiga formula lainnya dengan nilai sebesar 2304,74 menit, meskipun nilai ini masih lebih besar dari formula pembanding yang telah memiliki merek dagang yaitu 1937,09 menit. Waktu laten ini

dipengaruhi oleh kecepatan difusi yang juga meningkat disebabkan oleh penambahan asam oleat sebagai peningkat penetrasi.

3.4 mekanisme Senyawa Tambahan Dalam Meningkatkan Penetrasi Pada pemakaian sediaan topical, ada dua tahap mekanisme bahan aktif untuk dapat berpenetrasi kedalam kulit dan memberikan efek farmakologisnya. Mula-mula obat harus dapat lepas dari basisnya secara difusi pasif dan menuju ke permukaan kulit, selanjutnya berpartisi melalui lapisan-lapisan kulit untuk mencapai tempat-tempat aksinya (L. Flynn, 1990; and C.A Howard, 1999). Penetrasi obat melalui stratum korneum dapat terjadi karena proses difusi melalui dua mekanisme, yaitu: a. Absorpsi transepidermal Jalur absorpsi transepidermal adalah jalur difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu: jalur transeluler dan jalur paraseluler. Jalur transeluler adalah jalur yang melalui protein dalam sel dan melewati daerah yang kaya akan lipid, sedangkan jalur paraseluler adalah jalr yang melalui ruang antar sel. Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap. Pertama, pelepasan obat dari pembawa melalui stratum korneum, tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa dan stratum korneum. Kedua, difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis ( L. Flynn, 1990; A. Walters, 1993 and C.A Howard, 1999). b. Absorpsi transappendageal Jalur absorpsi transappendageal merupakan jalur masuknya obat melaui folikel rambut dan kelenjar keringat yang disebabkan karena adanya pori-pori diantaranya, sehingga memungkinkan untuk obat berpenetrasi. Kelarutan obat dalam air merupakan parameter yang mempengaruhi penetrasi obat melalui rute

transappendageal karena obat yang terlarut akan lebih mudah berpenetrasi melintasi pori-pori lebih cepat daripada melalui rute stratum korneum (transepidermal). Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih dominan dibanding melalui jalur transappendageal karena luas permukaan pada jalur transappendageal lebih kecil yaitu hanya sekirat 1 % dari luas permukaan kulit (L. Flynn, 1990 and Ansel, 1989)

(Daniels, 2008). Absorpsi perkutan suatu obat umumnya disebabkan oleh penetrasi perkutan langsung melalui stratum korneum. Stratum korneum terdiri dari kurang lebih 40 % protein (umumnya kreatinin), dan 40 % berupa air dengan lemak berupa trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol, dan fosfat lemak. Komponen lemak merupakan factor utama yang bertanggung jawab terhadap rendahnya penertrasi obat melalui stratum korneum.(L. Flynn, 1990) Factor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat fisikokimia dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologi kulit. Dari sifat-sifat tersebut, dapat diuraikan factor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan, antara lain: 1. Harga koefisien partisi obat tergantung dari kelarutannya dalam minyak dan air. Harga ini dapat berubah dengan modifikasi kimia gugus dalam struktur obat dan variasi pembawa. 2. Kondisi pH akan mempengaruhi tingkat disosiasi serta kelarutan obat yang lipofil 3. Konsentrasi obat 4. Profil pelepasan obat dari pembawanya, tergantung pada afinitas zat aktif terhadap pembawa, kelarutan zat aktif dalam pembawa, dan pH pembawa 5. Komposisi sistem dari tempat pemberian obat, yang ditentukan dari permeabilitas stratum korneum yang disebabkan hidrasi dan perubahan struktur lipid 6. Peningkatan suhu kulit dapat menyebabkan perubahan difusi yang disebabkan oleh peningkatan kelarutan obat

7. Pembawa yang dapat meningkatkan kelembaban kulit akan mendorong terjadinya absorpsi obat melalui kulit 8. Waktu kontak obat dengan kulit 9. Ketebebalan kulit. Absorpsi perkutan akan lebih efektif pada kulit yang memiliki lapisan tanduk yang tipis dibandingkan yang tebal 10. Bahan-bahan peningkat penetrasi (enhancer) dapat meningkatkan permeabilitas lapisan kulit dengan cara merubah sifat fisikokimia stratum korneum sehingga mengurangi daya tahan difusi. Contohnya DMSO, DMF, DMA, urea dll 11. Adanya sirkulasi darah in situ pada kulit akan meningkatkan absorpsi obat (A. Walters dkk, 1993) Untuk meningkatkan fluks obat yang melewati membran kulit, dapat digunakan senyawa-senyawa peningkat penetrasi. Fluks obat yang melewati membran dipengaruhi oleh koefisien difusi obat melewati stratum corneum, konsentrasi efektif obat yang terlarut dalam pembawa, koefisien partisi antara obat dan stratum corneum dan tebal lapisan membran. Peningkat penetrasi yang efektif dapat meningkatkan koefisien difusi obat ke dalam stratum corneum dengan cara mengganggu sifat penghalangan dari stratum corneum (Remon, 2007). Peningkat penetrasi dapat bekerja melalui tiga mekanisme yaitu dengan cara mempengaruhi struktur stratum corneum, berinteraksi dengan protein interseluler dan memperbaiki partisi obat, coenhancer atau cosolvent kedalam stratum corneum (Swarbrick dan Boylan, 1995). Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi antara lain: air, sulfoksida dan senyawa sejenis azone, pyrrolidones, asam-asam lemak, alkohol dan glikol, surfaktan, urea, minyak atsiri, terpen dan fosfolipid (Swarbrick dan Boylan, 1995). Kandungan air yang tinggi dalam basis gel dapat juga berfungsi sebagai peningkat penetrasi dengan mekanisme hidrasi pada lapisan stratum corneum. Untuk lebih meningkatkan fluks obat yang melewati membrane dapat juga ditambahkan senyawa-senyawa peningkat penetrasi dalam formulasi gel. Peningkatan penetrasi perkutan akan mengurangi waktu laten (lag time) pada pemberian gel natrium diklofenak sehingga akan segera dihasilkan efek terapetik. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk pengetahui pengaruh penambahan berbagai peningkat penetrasi yaitu asam oleat, tween 80 dan propilen glikol terhadap penetrasi perkutan gel natrium diklofenak secara in vitro melalui membrane kulit marmot.

Lapisan terluar kulit, stratum korneum, merupakan suatu barier penetrasi obat ke dalam tubuh. Kebanyakan senyawa obat tidak memiliki kemampuan melewati stratum korneum, sehingga diperlukan peningkatan profil penetrasi perkutan obat. Stratum korneum merupakan barier absorpsi perkutan obat ke dalam tubuh bagi obat-obat pada umumnya. Kemampuan suatu obat untuk melewati stratum korneum dapat ditingkatkan dengan menggunakan metoda kimia dan fisika (Wathoni, 2012). Pengaturan dan peningkatan penetrasi perkutan obat dapat dilakukan dengan zat peningkat penetrasi (metode kimia) dan iontoforesis (metode fisika) (Karande, 2008). Zat peningkat penetrasi merupakan molekul yang dapat menurunkan kemampuan barier dari stratum korneum melalui reaksi dengan komponen penyusun stratum korneum seperti lipid, protein dan keratin (Karande, 2008). Mekanisme zat-zat yang digunakan untuk peningkat pernetrasi perkutan dari jurnal secara umum adalah dengan menurunkan kemampuan barier dari stratum korneum melalui reaksi dengan komponen penyusun stratum korneeum seperti lipid, protein dan keratin. Namun, untuk penjelasan mekanisme masing-masing bahan yaitu: 1. Asam oleat Mekanisme asam oleat telah ditemukan untuk menurunkan temperatur lipid kulit dalam fase transisi dengan peningkatan resultan dalam motional freedom atau fluiditas struktur. Penyerapan obat perkutan telah ditingkatkan oleh berbagai macam asam lemak rantai panjang, yang paling populer yang adalah asam oleat ( Nurul, 2011). Viskositas sediaan memiliki peranan yang penting dalam difusi obat melalui kulit. Hukum Stokes-Einstein menyatakan bahwa viskositas sediaan

berbanding terbalik dengan difusinya. Dari hasil penelitian dapat dilihat pada gel natrium diklofenak dengan penambahan asam oleat memiliki viskositas yang lebih rendah dibanding formula lain, kecuali dengan formula pembanding. Viskositas yang rendah ini menyebabkan difusi gel natrium diklofenak dengan penambahan asam oleat lebih tinggi dibanding dengan formula lain (Sukmawati, 2009). 2. Tween 80 Polieksietilen sorbitan monooleat atau tween 80 termasuk golongan surfaktan nonionic hidrofilik. Penggunaan Tween 80 dapat merubah permeabilitas stratum korneum karena terjadi asosiasi dari gugus-gugus hidrofil dan hidrofob dengan struktur Brick dan Mortar stratum korneum. Akibatnya ditinjau dari segi

perubahan pori-pori kelenjar minyak dan keringat akan melebar, sehingga terjadi difusi lebih baik, akan tetapi Tween 80 yang merupakan surfaktan nonionik (netral) juga mengalami proses elektroosmosis melewati kulit, sehingga jumlah Tween 80 di dalam gel F4 semakin berkurang seiring dengan pengaruh terhadap pori-pori stratum korneum. (Wathoni, 2012) 3. Propilen glikol Penambahan peningkat penetrasi propilen glikol (formula 4) dapat melarutkan lapisan keratin pada stratum corneum sehingga meningkatkan jumlah obat yang berpenetrasi lewat kulit dengan cara mengurangi ikatan obat dengan jaringan kulit (Remon J.P, 2007). Kegiatan Propilen glikol diperkirakan sebagai hasil dari solvasi dari alfa-keratin dalam stratum korneum, tempat ikatan hidrogen protein dapat mengurangi jaringan obat yang mengikat dan mempromosikan permeasi (Mudry, 2007). 3.5 Evaluasi Sediaan 3.5.1 Uji Difusi Gel Natrium Diklofenak Difusi adalah peristiwa mengalirnya/berpindahnya suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah. Perbedaan konsentrasi yang ada pada dua larutan disebut gradien konsentrasi. Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi. Contoh yang sederhana adalah pemberian gula pada cairan teh tawar. Lambat laun cairan menjadi manis. Contoh lain adalah uap air dari cerek yang berdifusi dalam udara.Difusi yang paling sering terjadi adalah difusi molekuler. Uji difusi pada sediaan gel Na-diklofenak adalah suatu pengujian terhadap kemampuan gel tersebut untuk menembus membran kulit, sehingga dapat disimpulkan baik atau burukkah penetrasi gel tersebut terhadap kulit. Difusi ini terjadi jika terbentuk perpindahan dari sebuah lapisan (layer) molekul yang diam dari solid atau fluida. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kecepatan difusi, yaitu:

Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu akan bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.

Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat kecepatan difusi.

Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan difusinya. Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat kecepatan difusinya. Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya
(Konrad, 2009)

Pengujian jumlah natrium diklofenak terdifusi melalui kulit dilakukan secara in vitro menggunakan membran kulit marmot.Marmot di gunduli bagian abdomennya kemudian dibunuh menggunakan eter dan diambil kulit bagian abdomen. Kulit marmot kemudian direndam dalam larutan tripsin 0,1% dan diinkubasikan selama 2 jam pada 45oC. Fungsi penambahan larutan tripsin 0,1% adalah mengubah protein menjadi bentuk yang lebih sederhana, seperti pepton dan asam amino. Selain itu fungsi tripsin adalah untuk mengubah tripsinogen menjadi tripsin aktif dan menghidrolisis protein yang dihasilkan oleh pankreas (Poedjiadi, 2006). Membran kulit dibuat diameter 2,7 cm. Penyimpanan kulit marmot dilakukan dengan merendam kulit dalam larutan natrium klorida 0,9%. Fungsi penambahan NaCl adalah sebagai pengawet. Sifat osmotiknya yang tinggi sehingga memecahkan membaran sel mikroba, sifat hidroskopisnya menghambat aktifitas enzim proteolitik dan adanya ion Cl yang terdisosiasi. Bila mikroorganisme ditempatkan dalam larutan garam, maka air dalam sel akan keluar secara osmosis dan sel mengalami plasmolisis serta akan terhambat dalam perkembang biakannya (Widyani, 2008) Uji Difusi In vitro Cara kerja adalah, satu gram sediaan gel yang akan diuji diratakan di atas membran. Suhu sistem dibuat 37 0,5oC. cuplikan diambil dari cairan reseptor (dapar phospat pH 7,2) sebanyak 5 ml dan setiap kali pengambilan, cairan reseptor digantikan dengan dapar phospat pH 7,2 dalam jumlah yang sama. Cuplikan diambil dengan selang waktu 30, 45, 60, 90, 120, 150 dan 180 menit diukur serapannya dengan spektrofotometer UV pada 277 nm. Plot waktu versus jumlah obat yang terdifusi tiap luas permukaan (cm2) membran di gambar sebagai profil difusi dari sediaan gel. Kecepatan difusi natrium diklofenak diperoleh dari slope garis persamaan regresi linear antara waktu versus jumlah obat yang terdifusi.Lima formula uji ditimbang sebanyak 1,0 g, diratakan diatas membran dengan luas permukaan 2 cm 2 . Suhu sistem 370,5 C dengan cairan reseptor 50,0 mL yaitu dapar fosfat pH 7.4 (2,77g Na 2 HPO4. 12H2 O dan 0,31g Na 2 HPO4 .1H2 O dalam 200mL).

Pompa peristaltik menghisap cairan reseptor dari gelas kimia kemudian dipompakan ke sel difusi melewati penghilang gelembung sehingga aliran yang terjadi secara hidrodinamis. Kemudian cairan dialirkan ke gelas kimia penampung cairan reseptor. Proses dilakukan masing-masing selama 6 jam tanpa dan dengan iontoforesis. Cuplikan diambil dari cairan reseptor sebanyak 5 ml dan setiap pengambilan selalu diganti dengan dapar fosfat pH 7.4 sebanyak 5 ml. Cuplikan diambil pada menit ke 30, 60, 120. 180, 240, dan 360, kemudian dianalisis dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi dengan fase gerak yang digunakan adalah metanol : bufer (70:30, v/v). Buffer yang

digunakan adalah asam asetat anhidrat 7.72 g dan 5.35 g natrium fosfat dibasik dalam 1000 ml kemudian pH disesuaikan sampai 4 dengan penambahan NaOH 1N. Fase diam yang digunakan adalah kolom SGE C 18 (250x4.6 mm SS Wakosil C18 RS 5m) dengan aliran 1 mL/menit. Uji difusi sediaan gel menggunakan membran kulit marmot dengan metode Flow through yang terdiri dari sel difusi Franz, pompa peristaltik, batang pengaduk, gelas kimia, penangas air, penampung reseptor, termometer, dan selang dengan diameter 4 mm.
Keterangan : 1 = cairan reseptor pengganti 2 = kompartemen reseptor 3 = kompartemen donor 4 = termostat 5 = pompa peristaltik 6 = penghilang gelembung 7 = stirer

Gambar 3.2 Alat Difusi Franz (Fatonah, 2006)

3.5.2 Sifat Fisik Gel Natrium Diklofenak Evaluasi sediaan gel diantaranya: 1. Uji organoleptis, merupakan pengujian sediaan dengan menggunakan pancaindra untuk mendiskripsikan bentuk atau konsistensi (misalnya padat, serbuk, kental, cair),

warna (misalnya kuning, coklat) dan bau (misalnya aromatik, tidak berbau) (Anonim, 2000). 2. Uji nilai pH, prinsip uji derajat keasaman (pH) yakni berdasarkan pengukuran aktivitas ion hidrogen secara potensiometri/elektrometri dengan menggunakan pH meter (Anonim, 2004). 3. Uji viskositas, viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, makin tinggi viskositas, akan makin besar tahanannya (Martin, A.,et al, 1993). Evaluasi sediaan gel pada penelitian ini meliputi, pengukuran viskositas, pemeriksaan pH, pemeriksaan keseragaman kadar dan pengamatan partikel dalam sediaan gel. Pengukuran viskositas dilakukan menggunakan viskotesterm (VT-04E RION co LTD). Pemeriksaan pH dilakukan menggunakan pH meter (HANNA). Kadar natrium diklofenak dalam sediaan diukur dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 277 nm. Pengamatan partikel pada sediaan dilakukan dengan mengamati sediaan bawah mikroskop. Pemeriksaan viskositas dilakukan untuk melihat konsistensi gel. Viskositas akan mempengaruhi difusi suatu zat aktif. Penambahan peningkat penetrasi dalam sediaan gel natrium diklofenak dengan basis HPMC dapat menurunkan viskositas sediaan. Penurunan viskositas yang disebabkan oleh penambahan enhancer asam oleat terjadi lebih banyak dibandingkan penurunan viskositas akibat penambahan enhancer tween 80 dan propilen glikol. Asam oleat memiliki viskositas yang paling rendah (26 mPaS) dibandingkan tween 80 (425 mPaS) dan propilen glikol (56 mPaS) (Cable, 2006; Lawrance, 2006; Weller, 2006), sehingga penambahan asam oleat ke dalam sediaan gel natrium diklofenak menghasilkan viskositas sediaan gel yang paling rendah dibandingkan formula yang lain. Pada pemeriksaan pH sediaan gel natrium diklofenak didapatkan hasil yang bervariasi. Perbedaan pH antar formula dipengaruhi oleh adanya penambahan peningkat penetrasi yang berbeda. Harga pH asam oleat adalah 4,4; tween 80 adalah 6,0-8,0 (Cable, 2006; Lawrance, 2006); dan propilen glikol adalah 7,3. Asam oleat yang memiliki pH asam dapat menurunkan pH gel dari 8.2 menjadi 7.8. Hasil penetapan keseragaman kadar dapat dikatakan bahwa keempat formula memenuhi persyaratan tidak kurang dari 95% dan tidak lebih dari 105% dari kadar Na diklofenak yang ditetapkan yaitu 1% b/b. Tidak dilakukan penetapan kadar natrium diklofenak dalam formula pembanding karena diasumsikan formula pembanding yang merupakan gel natrium diklofenak merek dagang telah melalui proses control kualitas sebelum dipasarkan. Partikel natrium dikofenak dapat terlarut dalam basis gel

karena natrium diklofenak memilki kelarutan yang cukup baik dalam basis gel. Penambahan peningkat penetrasi asam oleat, tween 80 dan propilen glikol tidak mempengaruhi kelarutan natrium diklofenak dalam basis gel HPMC.

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Penambahan agen peningkat penetrasi dalam sediaan gel natrium diklofenak berbasis HPMC dapat menurunkan viskositas gel dan mengubah pH gel, tetapi tidak mempengaruhi kelarutan natrium diklofenak dalam sediaan. 2. Penambahan agen peningkat penetrasi (asam oleat dan propilen glikol) dapat meningkatkan jumlah natrium diklofenak yang terdifusi mendekati 3 kali lipat dibandingkan dengan tanpa penambahan agen peningkat penetrasi. 3. Tween 80 dapat meningkatkan penetrasi natrium diklofenak sebesar 1.5 kali lipat dibandingkan dengan gel natrium diklofenak tanpa agen peningkat penetrasi. 4. Penambahan agen peningkat penetrasi asam oleat dan propilen glikol meningkatkan jumlah obat terdifusi dan kecepatan difusi tetapi mengurangi waktu laten difusi melalui kulit.

4.2 Saran Dengan adanya makalah ini, penyusun mengharapkan agar para pembaca dapat memahami materi mengenai efek berbagai peningkat penetrasi terhadap penetrasi perkutan gel natrium diklofenak secara in vitro. Saran dari penyusun agar para pembaca dapat mengetahui, memahami, serta menguasai materi singkat dalam makalah ini dengan baik, diharapan kemudian adanya penelitian lebih lanjut mengenai peningkat penetrasi ini untuk perkembangan dunia farmasi.

DAFTAR PUSTAKA

A. Walters, K., H. Jonathan, 1993, Pharamaceutical Skin Penetration Enchancement, Marcel Dekker Inc, New York. Agoes, G., 2006, Pengembangan Sediaan Farmasi, Penerbit ITB, Bandung. Agustin, Rini., dkk, 2007, Studi Pengaruh Komplek Siklodekstrin Terhadap Penetrasi Perkutan Piroksikam, Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 3 No. 3 Januari 2007: 111 118, ITB, Bandung. Aiache, J.M., 1993, Farmasetika 2 Biofarmasi Edisi ke-2, Penerjemah: Dr. Widji Soeratri, Penerbit Airlangga University Press, Surabaya Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Cetakan pertama, 31, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim, 2004, Cara Uji Derajat Keasaman (pH) dengan Menggunakan alat pH Meter, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Ansel, Howard, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, ed-4, Terjemahan dari Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms, Oleh Farida Ibrahim, UI Press, Jakarta. Basis Krim, Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 13, No. 1, Akreditasi DIKTI Depdiknas RI No. 49/DIKTI/Kep/2003. C.A., Howard, dkk, 1999, Pharmaceutical Dosage Form and Drug Delivery System, 7th edition, Lippicott Williams and Wilkins, Maryland. Cable, C.G., 2006, Oleic Acid, in Handbook of Pharmaceutical Excipients, Fifth Edition, Rowe, R.C., Sheskey, P. J., Owen,S.C, Pharmacutical Press, London, 412. Daniels, Rolf, 2008, Strategies for Skin Penetration Enhancement, www.scfonline.com, diakses pada tanggal 12 November 2012 Fatonah, N.K., 2006, Pengaruh Zat Peningkat Penetrasi (Enhancer) Dimetil Sulfoksida (Dmso) Terhadap Permeasi Perkutan Piroksikam Dalam Sediaan Gel., Skripsi Sarjana, Fakultas Farmasi-Unpad, Bandung, Handayani,S.A., et al,2012, pelepasan na-diklofenak sistem niosom span 20-kolesterol dalam basis gel hpmc, PharmaScientia, Vol.1, No.2, Desember 2012 Jiang, S.J., S.M. Hwang, E.H. Choi, S.K. Ahn, and S.H. Lee, 2000, Structural and

Functional Effect of Oleic Acid and Iontophoresis on Hairless Mouse Stratum Corneum, J. Invest. Dermatol 114, 64 70. Karande P., Jain A., Mitragotri S., 2008. Multicomponent Formulation of Chemical

Penetration Enhancer, in : Dermatologic, Cosmeceutic, and Cosmetic Development -

Therapeutic and Novel Approaches.Walter,K,A., Roberts,M.S., USA: Informa Healthcare USA, Inc. 505 Katzung, B.G. 2007. Farmakologi Dasar and Klinik. Agoes Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Konrad, Michael, 2009, Diffusion, www.wikipedia.com/diffusion/, Diakses tanggal 16 November 2013 L. Flynn, Gordon, 1990, Topical Drug Absorption and Topical Pharmaceutical, dalam: S. Banker, Gilbert & T. Rhodes, Cristopher (eds), Modern Pharmaceutical 2th edition, Marcel Dekker Inc, New York. Lachman L., 1986, Teori dan Praktek Farmasi Industri, UI Press, Jakarta Lawrence, M.J., 2006, Polyoxyethylene Sorbitan Fatty Acid Esters, in Handbook of Pharmaceutical Excipients, Fifth Edition, Rowe, R.C., Sheskey, P. J., Owen, S.C, Pharmacutical Press, London, 479-483. Lucia,H., 2008, Absorbsi Perkutan, http://luciahendriati.wordpress.com/2008/08/14/absorbsiperkutan/, diakses tanggal 15 November 2013 Lucida, H, dkk, 2008, Uji Daya Peningkat Penetrasi Virgin Coconut Oil (VCO) Dalam M.T Simanjuntak , 2005, Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit, 2005, USU Repository. Martin, A., et al., 1993, Farmasi Fisik Dasar-Dasar Kimia Fisik dalam Ilmu Farmasetik, Edisi ketiga, 1077, UI Press, Jakarta. Mudry B., Guy R.H., Delgado-Charro B., 2007. Chemical Permeation Enhancment, in : Enhancement in Drug Delivery. Touitou E, Barry B.W., CSC Press. 233-248 Nugroho, A.K., O. Della-Pasqua, M. Danhof, and J.A. Bouwstra, 2004, Compartemental Modeling of Transdermal Iontophoretic Transport : in vitro Model Derivation and Application, Pharm. Res., 21 : 1974 1984. Nurul, Azizah, 2011, Peran Penetrasi Enhancer Percutan, Fakultas Farmasi Universitas Jemberl, Jember. Poedjiadi, A. 2006. Dasar Dasar Biokimia. Edisi Revisi. Jakarta: UI - Press Remon JP, 2007, Absorption Enhancers, in in Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, 3rd edition, Swarbrick. J (ed.), Informa, New York, 13. Sukmawati, Anita, dkk, 2009, Efek Berbagai Peningkat terhadap Penetrasi Perkutan Gel Natrium Diklofenak secara In Vitro, Parmacon Pharmaceutical Journal of Indonesian, Vol 10, No. 1.

Swarbrick, J. dan Boylan, J., 1995, Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc., New York, 413-445. Sweetman, S.C. Eds. 2009 Martindale The Complete Drug Reference. 36th Ed. London : Pharmaceutical Press (PhP). Tjay, T. H. dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan EfekEfek Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Tranggono. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengantar Kosmetik. Jakarta: PT. Gramedia. Pustaka Utama. Trommer, H. and Neubert, R.H.H, 2006, Overcoming the Stratum Corneum : The Modulation of Skin Penetration, Skin Pharmacol Physiol ,19: 106-121. USP. 2007. The United States Pharmacopeia. 30th Edition. United States. Electronic Version Wathoni, Nasrul, 2012, Pengaruh Iontoforesis dan Zat Peningkat Penetrasi terhadap Difusi Sediaan Gel Peroksikam secara In-Vitro, Fakultas Farmasi Padjajaran,

www.pustaka.unpad.ac.id, Diakses tanggal 12 November 2013. Weller, P.J., 2006, Propylen Glycol, in Handbook of Pharmaceutical Excipients, Rowe, R.C., Sheskey, P. J., Owen, S.C, Fifth Edition, Pharmacutical Press, London, 521-523. Widyani, Retno , dan Tety Suciaty. 2008. prinsip pengawetan pangan. Swagati Press. Cirebon. Wirakusumah, E. S. (1994). Cantik dan Bugar dengan Ramuan Nabati. Edisi Ke-Empat, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.

You might also like