You are on page 1of 13

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING DISKUSI KASUS 1 BLOK BIOETHICS AND HUMAN LAW VI

Tutor : Rahmawati Wulansari, S.Psi., M.Si.

Kelompok 6 Himatun Istijabah Ayustia Fani F. Khairisa Amrina R. Widya Kusumastuti Mutiara Chandra D. Rizka Dana P. Novita Lusiana Provita Rahmawati Eka Wijaya W. G1A010007 G1A010008 G1A010039 G1A010040 G1A010041 G1A010080 G1A010081 G1A010082 G1A010112

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2013

A. KASUS 1 : A PATIENT WITH A BRAIN TUMOUR Physician: There was a man aged 75 years who had a primary malignant tumour of the occipital lobe. The dilemma was whether to operate on him or just give him symptomatic treatment. Because I had explained to the family that even if we operated on him and then gave him chemotherapy and radiotherapy post-operatively, then most likely his life span would not extend beyond one- or one-and-a-half years, even after full treatment. On the other hand, if we left him without surgery and subjected him to supportive therapy, he might then survive for about 6-9 months. Now, really, I was quite confused whether to take a decision in favour of the surgery or to manage his condition conservatively, because he was not a very good surgical candidate. He was obese and hypertensive. I left the final decision to the family. Questions This physician leaves the decision concerning treatment to the family without giving a clear recommendation and without involving the patient. Discuss the ethical implications. Do you find this process agreeable? Why/why not?

HASIL DISKUSI Hasil diskusi tercantum dalam tabel berikut :

Tabel 1. Ethical Problem Solving Kasus 1 ETHICAL PROBLEM SOLVING KONTEKS


1. Dokter yang mengambil keputusan tanpa melibatkan pasien, hanya

keluarga.
2. 2 keputusan antara pengobatan suportif dan operatif melihat prognosis

yang sama. Dengan pengobatan operatif yang akan berisiko tinggi.

DILEMA ETIK
1. Autonomy 2. Pelanggaran undang-undang 3. Beneficence

SELF-ASSESMENT 1. Tetap memberitahukan kepada pasien namun dengan dampingan keluarga. 2. Menekan lebih kepada terapi suportif.

VERIFIKASI
1. Melihat usia pasien yang sudah lanjut usia. Untuk mengambil keputusan

menjadi kurang maksimal. Sehingga dapat didampingi keluarga sesuai dengan Pasal 11 Bab IV PERMENKES No. 585.
2. UU No. 36 tahun 2009 pasal 8 yaitu pasien berhak tahu segala informasi

mengenai dirinya.
3. UU No. 44 tahun 2009 yaitu dokter wajib memberitahukan mengenai

tindakan, terapi, serta diagnosis kepada pasien.


4. Seorang pasien dikatakan kompeten, antara lain :

a. Cukup umur, berdasarkan KUHP 21 tahun, UU No. 23 tahun 2002 18 atau 16 tahun untuk prosedur tidak berisiko tinggi. b. Sehat secara mental. c. Sudah menikah. d. Siapapun mampu menerima dan mengambil keputusan.
5. Konsisten dengan keputusannya. 6. Melihat dari prognosis, usia, manfaat dan resiko. Usia yang telah lanjut

dengan riwayat obesitas dan hipertensi harus dilakukan kemoterapi dan apabila dilakukan operasi dapat beresiko tinggi. Jika dilakukan terapi suportif, dapat lebih mempersiapkan psikologi pasien dan keluarga.

REASONS
1. Ingin

mengetahui

apa

penyakitnya

dan

bagaimana

cara

penyembuhannya.
2. Ingin mengetahui tindakan apa yang akan dilakukan. 3. Dilakukan terapi suportif karena tidak memberatkan keluarga dengan

biaya kemo terapi yang mahal dan operasi yang mungkin membutuhkan waktu penyembuhan yang lama.

PENJELASAN TABEL 1. Konteks Pada kasus didapatkan seorang dokter yang tidak bisa menentukan keputusan pada pasiennya. Seorang laki-laki dengan usia 70 tahun mengalami tumor otak ganas. Terapi yang dilakukan bisa menggunakan terapi suportif dengan survival life adalah 6-9 bulan atau terapi operatif dan kemoterapi dengan survival life 1 atau 1,5 tahun. Akan tetapi, pasien tidak memenuhi kriteria yang bagus untuk operasi karena pasien menderita hipertensi dan obesitas. 2. Dilema Etik a. Autonomy Autonomy untuk pasien yaitu pasien berhak mendapatkan segala informasi bagi dirinya. b. Beneficence Beneficence yaitu jika dilakukan operasi maka survival life akan lebih panjang, hal ini bertentangan dengan non-maleficence yaitu jika dilakukan operasi maka kemungkinan terjadinya risiko buruk lebih besar karena pasien menderita hipertensi dan obesitas. 3. Self-Assesment Sebenarnya tindakan dokter untuk memberikan keputusan tindakan yang akan dilakukan sudah benar, akan tetapi ada beberapa hal yang masih belum sempurna, antara lain dokter tidak mengikutsertakan pasien untuk mengambil keputusan mengenai tindakan yang akan dilakukan. Selain itu, dokter harus memberikan clear recommendation kepada keluarga dan pasien agar mereka mengambil keputusan yang terbaik. 4. Verifikasi Tindakan yang dilakukan dokter dalam kasus belum benar, berdasarkan undang-undang di bawah ini : a. Melihat usia pasien yang sudah lanjut usia. Untuk mengambilan keputusan kurang maksimal. Sehingga dapat didampingi keluarga sesuai dengan Pasal 11 Bab IV PERMENKES No. 585.

b. UU No 36 tahun 2009 pasal 8 yaitu pasien berhak tahu segala informasi mengenai dirinya. c. UU No 44 tahun 2009 yaitu dokter wajib memberitahukan mengenai tindakan, terapi, serta diagnosis kepada pasien. d. Seorang pasien dikatakan kompeten antara lain: 1) Cukup umur, berdasarkan KUHP 21 tahun, UU No. 23 tahun 2002 18 atau 16 tahun untuk prosedur tidak berisiko tinggi. 2) Sehat secara mental. 3) Sudah menikah. 4) Siapapun mampu menerima dan mengambil keputusan. 5) Konsisten dengan keputusannya. 5. Reasons Sebagai pasien pasti menginginkan untuk mengetahui penyakit apa yang sebenarnya diderita dan menginginkan untuk diikutsertakan dalam mengambil keputusan.

B. KASUS

CORRECTING

COLLEAGUE'S

EXCESSIVE

MEDICATION OF A PATIENT Physician: Sometimes you see patients who have been seen by other doctors. And they come with the prescriptions. Sometimes a prescription which has been given to the patient contains many drugs, which may not be needed. A mother came with her child who had been prescribed a lot of unnecessary drugs. Now, the question arises: Should I tell the mother that "Don't give the medicines, it will harm your child", because if you tell that, then your personal relationship with your colleague might be strained. But you know that so many drugs are not good for the child and therefore should not be used. It is a difficult situation. I told the mother that "probably these medicines were prescribed when your physician saw the child for the first time. But I don't think these medicines should be taken any more. So you can stop all these medicines and give only these drugs."

Questions Discuss the problem of excessive, unnecessary and potentially harmful overprescription of drugs. Identify factors that may contribute to this problem. List all the ethical issues involved and discuss how the individual physician should deal with the problem. Q : Is the physician correct in protecting his colleague in this way? Discuss the conflict of professional ethics versus the obligation to serve the patient's interests in cases like this.

HASIL DISKUSI Hasil diskusi tercantum dalam tabel berikut :

Tabel 2. Ethical Problem Solving Kasus 2 ETHICAL PROBLEM SOLVING KONTEKS 1. Seorang pasien (anak-anak) diberi resep oleh dokter yang mana resep tersebut mengandung banyak obat yang tidak diperlukan dan justru dapat membahayakan anak tersebut. 2. Apabila dokter yang sekarang menangani memberitahukan hal tersebut kepada ibu pasien, maka dapat memperburuk hubungan dengan teman sejawat, namun apabila tidak diberitahukan maka dapat membahayakan anak tersebut.

DILEMA ETIK 1. Autonomy 2. Non-maleficence 3. Kewajiban menjaga nama baik teman sejawat.

SELF-ASSESMENT 1. Tetap memberitahukan hal yang sebenarnya dan informasi

selengkapnya kepada ibu pasien dengan memperhalus kalimat dan tidak mengandung kata yang dapat menjatuhkan nama baik dokter

sebelumnya. 2. Berusaha mencari tahu mengenai dokter yang sebelumnya menangani dan apabila dapat ditemui, diharapkan dokter tersebut dapat diajak berdiskusi atau berkonsultasi. 3. Dalam hal konsultasi dengan dokter tersebut, tidak baik menggunakan kata yang dapat memojokkan atau mengejek serta akan lebih baik dengan penggunaan kalimat tanya, yang mana mencakup hal yang sesuai dengan kondisi dari pasien yang ditangani.

VERIFIKASI 1. Berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 Pasal 52 mengenai hak pasien : mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis dan mendapat pelayanan sesuai tindakan medis. 2. Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009 mengenai hak pasien : menerima layanan efektif dan efisien sehingga terhindar dari kerugian fisik dan materi dan memperoleh informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan, alternatif, resiko dan komplikasi, prognosis dan biaya. 3. UU No. 44 tahun 2009 yaitu dokter wajib memberitahukan mengenai tindakan, terapi, serta diagnosis kepada pasien. 4. KODEKI Pasal 9 mengenai Kewajiban Umum Dokter : Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan. 5. KODEKI Pasal 18 mengenai menjunjung tinggi kesejawatan : Setiap dokter wajib memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

REASONS Semua pasien pasti ingin mengetahui sejelas-jelasnya mengenai keadaan diri pribadi maupun keluarga (dalam hal ini ibu pasien) baik dari penyakit

apa yang diderita, penatalaksanaan dan informasi lain terkait penyakit tersebut sehingga dapat terhindar dari bahaya ataupun kerugian. Pasien pun pasti ingin agar dokter yang menangani dapat bersikap jujur tanpa menjatuhkan nama baik teman sejawatnya. Dalam kasus ini, ibu pasien pasti ingin mengetahui mengenai keadaan anaknya baik dari penyakit dan penatalaksanaannya tanpa timbul kerugian selama pengobatan.

PENJELASAN TABEL 1. Konteks Seorang pasien (anak-anak) datang bersama ibunya dengan membawa resep dari dokter yang pernah menangani anak tersebut. Dokter yang sekarang menangani menyadari bahwa resep tersebut mengandung banyak obat yang tidak diperlukan, yang apabila dikonsumsi dapat membahayakan anak tersebut. Dokter tersebut mengalami dilema etik apakah akan memberitahukan informasi yang sebenarnya kepada ibu pasien atau tidak. Apabila dokter memberitahukan hal tersebut, maka dapat memperburuk hubungan dengan dokter yang sebelumnya menangani, akan tetapi bila tidak memberitahukannya, maka dapat berbahaya bagi anak tersebut. 2. Dilema Etik a. Autonomy Setiap pasien memiliki hak untuk mengetahui informasi mengenai dirinya sendiri selengkap dan sejelas mungkin sebagai acuan, akan tetapi hal ini bertentangan dengan kewajiban menjaga nama baik teman sejawat. Apabila dokter memberikan informasi yang benar (tanpa mempertimbangkan dokter sebelumnya) maka hubungan dengan dokter tersebut dapat memburuk karena informasi yang diberikan dapat menjatuhkan nama baik dokter sebelumnya karena dianggap lalai atau tidak kompeten. b. Non-maleficence Dalam kasus ini, apabila dokter yang sekarang menangani yang tidak

memberitahukan informasi mengenai banyak obat

diperlukan dalam resep tersebut maka dokter dapat mencegah bahaya yang timbul bagi anak tersebut, akan tetapi hal ini juga bertentangan dengan kewajiban menjaga nama baik teman sejawat. 3. Self-Assesment Hal yang telah dilakukan oleh dokter tersebut dalam hal menyampaikan informasi yang sesungguhnya kepada pasien sudah benar. Dokter tersebut berkata bahwa obat tersebut diberikan berdasarkan kondisi awal saat anak tersebut datang ke dokter sebelumnya, sehingga akan lebih baik bila memberhentikan obat tertentu. Perkataan dokter tersebut tidak

mengandung unsur negatif yang dapat membuat pasien mempersepsikan hal yang buruk mengenai dokter sebelumnya dan tidak mengandung kata yang melecehkan ataupun menjatuhkan. Kemudian akan lebih baik lagi bila dokter tersebut menemui dokter sebelumnya untuk berdiskusi atau berkonsultasi dengan tujuan untuk saling mengingatkan. 4. Verifikasi a. UU No. 29 tahun 2004 Pasal 52 : telah dijelaskan dalam tabel. b. UU No. 44 tahun 2009 : telah dijelaskan dalam tabel. c. KODEKI Pasal 9 mengenai Kewajiban Umum Dokter Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan. Dari pasal tersebut, seorang dokter bertanggungjawab menjaga martabat profesi dengan menjunjung kejujuran, mencegah akibat buruk yang merugikan pasien dengan memberikan nasihat/kebajikan kepada teman sejawat, dan tidak mengomentari secara negatif atas terapi sejawat tanpa mengetahui keadaan sesungguhnya sehingga tidak menimbulkan kehinaan profesi. d. KODEKI Pasal 18 mengenai menjunjung tinggi kesejawatan Setiap dokter wajib memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Dari pasal tersebut, seorang dokter wajib menolong teman sejawat, mencegah timbulnya konflik di dalam/antar profesi, saling

berkonsultasi, dilarang komentar negatif/menggunjing/mengejek di depan pasien atau keluarganya, memperlakukan sejawat dengan kesetaraan/sama, menghindarkan diri dari pencemaran nama baik dan menahan diri atau berhati-hati dalam bertindak dan ucapan kepada teman sejawat. 5. Reasons Telah dijelaskan dalam tabel ethical problem solving kasus 2.

KASUS/CERITA DIBAHAS Kasus terlampir.

YANG

MENYERUPAI

KASUS

YANG

TELAH

KESIMPULAN

Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menangani sebuah masalah dilema etik haruslah menggunakan berbagai pertimbangan yang matang, dengan tetap menggunakan kaidah dasar etika meliputi autonomy, beneficence, non amalaficence dan justice. Apabila dalam menangani kasus etika masih mangalami dilema etik, yang terbaik adalah bagaimana dengan bijak kita dapat memilih yang memiliki risiko paling sedikit, dengan tetap melibatkan berbagai pihak dan musyawarah dengan pihak yang terkait, akan tetapi masih dalam jalur kaidah dasar etika, sehingga akan ditemui jalan keluar yang terbaik menurut kepercayaan bersama. Bagaimanapun menjaga keselamatan manusia dari pembuahan hingga meninggal dunia adalah tugas dari seorang tenaga medis. Berbagai pertimbangan yang melibatkan semua aspek tidak boleh sampai mengalahkan keselamatan individu. Selain hal tersebut, dokter pun harus tetap menjalankan kewajibannya untuk menjaga nama baik teman sejawat dengan tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan pasien dan keluarga, bertindak jujur, tidak berkomentar negatif, menghina maupun menggunjingkan teman sejawat di depan pasien atau keluarga untuk mencegah timbulnya konflik etikolegal dan mempertahankan martabat profesi.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah, M. Jusuf, Amri Amir. 2002. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC. Ikatan Dokter Indonesia. 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Available at : http://idibuleleng.org/downlot.php?file=KODEKI-Tahun-2012.pdf. Diakses pada tanggal 18 November 2013.

LAMPIRAN KASUS 2

Seorang dokter spesialis saraf bernama S bekerja di sebuah rumah sakit kecil. Suatu hari, dokter S tersebut didatangi seorang pasien wanita berusia 55 tahun dengan hipertensi dan diabetes melitus tipe 2 serta mengalami stroke emboli. Dokter S kemudian meninjau rekam medis pasien dan mengetahui bahwa pasien tersebut tampaknya mengalami atrial fibrilasi pada dua kali pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) selama kunjungan ke dokter pelayanan primer (Primary Care Physician/PCP) oleh karena palpitasi. PCP yang menangani pasien tersebut merupakan seorang internis yang dikenal oleh dokter tersebut serta selalu memberikan arahan padanya. Internis tersebut membaca kedua hasil EKG dan mengatakan bahwa EKG tersebut menunjukkan kenormalan, dan palpitasi dari pasien tersebut dianggap karena adanya prolaps katup mitral dan kecemasan. Pasien saat ini sedang dalam irama sinus yang normal. Dokter S merasa khawatir sehingga kembali menunjukkan hasil EKG tersebut kepada internis dan menyatakan bahwa pasien tersebut benar-benar mengalami atrial fibrilasi. Internis pun menjawab bahwa ia tidak setuju dan mengatakan bahwa dokter tersebut bingung oleh karena kebisingan dari mesin EKG. Karena tidak puas, dokter S meminta dua dokter spesialis jantung untuk melihat hasil EKG tersebut. Kedua dokter spesialis jantung pun menyatakan bahwa pasien tersebut mengalami atrial fibrilasi. Setelah mendapatkan bukti kuat, dokter S kembali menemui internis untuk memberikan kepastian. Akhirnya internis pun menerima dan meminta agar pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit dokter S.

You might also like