You are on page 1of 21

1. UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara A.

Latar Belakang Masalah Pada tahun 2009 DPR telah mengsahkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang merupakan revisi dari UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan. Revisi dilakukan, terutama untuk mengembalikan fungsi dan kewenangan negara terhadap penguasaan sumber daya alam yang dimiliki, dan diharapkan dapat membawa perbaikan dalam pengelolaan sektor pertambangan di Tanah Air. Dengan demikikian amanat Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, benarbenar dapat diwujudkan. Jika dibandingkan dengan UU No 11 tahun 1967, UU Minerba memang telah memuat beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang paling penting di antaranya, adalah ditiadakannya sistem kontrak karya bagi pengusahaan pertambangan yang digantikan dengan sistem izin usaha pertambangan (IUP). UU Minerba juga mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah dan jangka waktu izin usaha pertambangan. Namun demikian, meski telah memuat beberapa pasal perbaikan, UU Minerba dinilai belum mengatur secara lebih detail hal-hal yang berkaitan dengan kejelasan arah perencanaan, pengelolaan, kebijakan, dan strategi pertambangan nasional yang akan dituju. Dalam banyak aspek, UU Minerba cenderung masih memuat ketentuan yang bersifat sangat umum sehingga tidak bisa operasional, serta pengaturan pelaksanaannya banyak diserahkan kepada Pemerintah melalui peraturan pemerintah (PP) dan peraturan daerah (Perda). Sebagai contoh, dari 175 pasal yang terdapat dalam UU Minerba, setidaknya terdapat 22 pasal yang peraturan pelaksanaannya diserahkan kepada Pemeirntah (PP), dan 3 pasal oleh pemerintah daerah (Perda). Dengan kondisi UU seperti itu, maka bagaimana arah dan gambaran pengelolaan sektor pertambangan ke depan yang lebih pasti masih sangat bergantung pada situasi, kondisi, dan kepentingan pengambil kebijakan pada saat PP dan Perda tersebut dibuat. Selain belum mampu memberikan gambaran tentang arah dan strategi pertambangan nasional ke depan, juga ada beberapa kelemahan dalam UU Minerba yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Jika kelemahan tersebut tidak diperbaiki dikhawatirkan UU Minerba ini justru berpotensi semakin memperberat permasalahan sektor pertambangan di masa mendatang.

Beberapa kelemahan itu antara lain, pertama, tidak adanya norma yang mengatur adanya kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). UU Minerba tidak mengaturnya secara tegas dan eksplisit, sehingga terjadi kasus pembangkit listrik PLN tidak mendapatkan pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar. Kasus seperti ini sangat mungkin terulang kembali pada masa mendatang. Kedua, menyangkut tidak jelasnya besaran penerimaan negara dari pajak dan nonpajak dari sektor pengusahaan Minerba. Ketidakjelasan ini berpotensi menjadikan tidak optimalnya penerimaan Negara dari pajak dan nonpajak Minerba, bahkan kalau tidak dilakukan kontrol yang ketat akan merugikan penerimaan Negara. UU Minerba tidak mengatur secara tegas tentang hal ini dan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan pelaksanaannya di bawah UU. Ketiga, diberikannya kewenangan pemberian IUP kepada pemerintah daerah tanpa disertai kesiapan kerangka acuan tentang strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas. Hal ini menyebabkan makin tidak terkontrolnya pengelolaan dan eksploitasi pertambangan di daerah-daerah. Berdasarkan data, semenjak digulirkanya otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan kuasa pertambangan telah diterbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan pengawasan yang memadai. Keempat, UU Minerba juga tidak mampu 'mengintervensi' dan memperbaiki kontrak-kontrak pertambangan yang telah ada selama ini. Pasal 169 (a) UU Minerba menyebutkan bahwa kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. Terkait dengan beberapa kekurangan UU Minerba, maka dipandang mendesak dilakukan perbaikan UU ini sehingga ada arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas dan terukur.

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/2315168pertambangan-mineral-dan-batubara/#ixzz2lwLbqWcn

ANALISA UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Oleh: Sri Wahyuni A. Perbandingan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut: 1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan derta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha; 2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing; 3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip 4. 5. eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah; Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia; Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan; dan 6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Beberapa hal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang membedakannya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 adalah sebagai berikut: 1. Penguasaan bahan galian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menyatakan bahwa penguasaan bahan galian diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Untuk kepentingan strategis nasional, maka Pemerintah dengan persetujuan DPR menetapkan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) untuk mineral dan batubara. Undang-Undang ini juga mengutamakan kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri. Data dan informasi adalah milik Pemerintah Daerah serta pengelolaan dilaksanakan oleh Pemerintah dan daerah. Sedangkan Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur bahwa penguasaan bahan galian diselenggarakan oleh Pemerintah. 2. Kewenangan Pengelolaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur bahwa Pemerintah Pusat memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan nasional, Pemerintah Provinsi memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan regional sedangkan Kabupaten/Kota memegang kewenangan kebijakan dan pengelolaan lokal. Sedangkan Undang-Undang sebelumnya mengatur bahwa kebijakan dan kepentingan pengelolaan bersifat nasional. 3. Pengusahaan dan Penggolongan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Penggolongan mineral dan batubara dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terdiri dari mineral radioaktif, mineral logam, mineral bukan logam dan batuan, dan batubara, sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya bahan galian digolongkan ke dalam, bahan galian strategis, vital, non strategis dan non vital. 4. Perizinan

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Perijinan terdiri dari Izin Usaha pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya, perizinan dan perjanjian berupa penugasan, Kuasa Pertambangan, Surat Ijin Pertambangan Daerah, Surat Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya (KK)/ Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). 5. Tata cara Perizinan Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perizinan dilakukan dengan lelang untuk mineral logam dan batubara, sedangkan untuk mineral bukan logam dan batuan perijinan dilakukan dengan permohonan wilayah. Dalam Undang-Undang sebelumnya tata cara perizinan dilakukan dengan permohonan. 6. Kewajiban Pelaku Usaha Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pelaku usaha memiliki kewajiban dalam bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan, pajak, PNBP, dan bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi untuk IUPK, dari sisi lingkungan harus memiliki syarat reklamasi/pasca tambang, kewajiban pengembangan masyarakat, kewajiban penggunaan teknik pertambangan, kewajiban untuk memberikan nilai tambah, kewajiban untuk membuat data dan pelaporan, dan kewajiban untuk melaksanakan kemitraan dan bagi hasil. Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya kewajiban pelaku usaha perizinan terkait dengan keuangan dimana untuk Kuasa Pertambangan (KP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan KK/PKP2B tetap pada saat kontrak ditandatangani, lingkungan, kemitraan, nilai, tambah, data dan pelaporan. 7. Penggunaan Lahan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberikan pembatasan tanah yang dapat diusahakan dan sebelum memasuki tahap operasi produksi pemegang IUP/IUPK wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak. Sedangkan dalam Undang-Undang 8. Pelaku Usaha Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara adalah pemerintah (untuk bahan radioaktif), badan usaha, koperasi, dan perorangan, sedangkan dalam Undang-Undangsebelumnya pelaku usaha merupakan investor domestik (KP, Surat Izin Pertambangan daerah (SIPD), PKP2B) dan investor asing (KK, PKP2B). 9. Jangka Waktu Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jangka waktu eksplorasi dan eksploitasi diatur sebagai berikut: a. b. c. IUP Eksplorasi mineral logam (8 tahun) terdiri dari Penyelidikan umum (1 tahun), Eksplorasi (3 tahun + 2x1 tahun) dan studi kelayakan (1+1 tahun); IUP Eksplorasi Batubara (7 tahun) terdiri dari Penyelidikan Umum (1 tahun), Eksplorasi (2 tahun + 2x1 tahun) dan Studi Kelayakam (2 tahun); IUP Operasi Produksi mineral dan Batubara (20 tahun + 2 x 10 tahun) terdiri dari konstrulsi (3 tahun) dan kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan (20 tahun). Sedangkan dalam Undang-Undang sebelumnya, KP/KK/PKP2B Penyelidikan Umum (1+1Tahun), KP/KK/PKP2B Eksplorasi (3Tahun + 2 x 1 Tahun), KK/PKP2B Studi Kelayakan (1 + 1Tahun), KK/PKP2B Konstruksi (3 Tahun), KP/KK/PKP2B Operasi Produksi/Eksplotasi termasuk pengolahan dan pemurnian serta pemasaran (30 Tahun + 2 x 10 tahun). 10. Pengembangan Wilayah dan Masyarakat sebelumnya dalam penggunaan lahan dilakukan pembatasan tanah yang dapat diusahakan.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pengembangan wilayah dan masyarakat merupakan kewajiban keharusan yang dipenuhi oleh pemegang IUP, sedangkan UndangUndang sebelumnya tidak diatur. 11. Pembinaan dan pengawasan Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang IUP dan IUPK dilakukan oleh menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, sedangkan untuk IPR merupakan tugas Bupati/walikota. Dalam Undang-Undang sebelumnya pembinaan dan pengawasan sifatnya terpusat. 12. Penyidikan Setelah pada peraturan sebelumnya tidak diatur, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menggunakan penyidik polri dan PPNS. 13. Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ketentuan pidana diatur sesuai dengan situasi dan kondisi dengan sanksi yang cukup keras. Apabila pidana dilakukan oleh badan Hukum maka sanksi dan denda ditambah 1/3. Dalam Undang-Undang sebelumnya ketentuan pidana diatur tetapi aturan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan situsi dan kondisi saat ini, sedangkan sanksi pidana /kurungan sangat lunak. B. 1. Kelemahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara Batasan luasan minimal wilayah eksplorasi

Pasal 52 ayat (1) : Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare. Pasal 55 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare Pasal 58 ayat (1) : (1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare Pasal 61 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000(lima puluh ribu) hektar Pembatasan luasan wilayah minimal untuk eksplorasi yang terdapat dalam Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1) dan pasal 61 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 berpotensi menghambat persaingan usaha yang sehat dengan menciptakan hambatan masuk ke dalam industri pertambangan mineral dan batubara. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang batasan minimal dan maksimal untuk IUP Eksplorasi yang dibedakan antara mineral logam, mineral non logam, batuan dan batubara. Di lapangan tim menemukan bahwa ketentuan untuk luas wilayah minimal tidak memperhatikan kondisi geologis dan potensi cadangan mineral di tiap-tiap daerah di seluruh wilayah Indonesia dengan cermat. Sebagai contoh adalah daerah Belitung dan Berau yang mempunyai wilayah-wilayah pertambangan dengan luasan di bawah 5000 hektar. Pembatasan tersebut dikhawatirkan akan membuat wilayah yang sebenarnya mempunyai potensi cadangan mineral menjadi tidak dapat diusahakan. Selain menjadi hambatan bagi pelaku usaha, batas bawah ini juga menimbulkan permasalahan bagi daerah penghasil tambang yang luas wilayah administratifnya terbatas. Akibatnya, daerah kesulitan dalam pemberian izin usaha pertambangan tersebut, sehingga wilayah potensial menjadi tidak dapat diusahakan dengan adanya

ketentuan ini. Penetapan luasan minimum yang tidak memperhatikan karakteristik daerah penghasil tambang di Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan pada akhirnya juga berpotensi menimbulkan high cost economy, yang menghalangi pelaku usaha tertentu. 2. Kewajiban Divestasi Setelah 5 (Lima) Tahun Operasi Produksi Pasal 112 ayat (1) : Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Kewajiban divestasi setelah 5 (lima) tahun operasi produksi sebagaimana tercantum pada pasal 112 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 juga termasuk kebijakan yang berpotensi memberikan hambatan persaingan. Pencantuman divestasi saham hanya berlaku apabila sahamnya dimiliki oleh asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tentang dive stasi seharusnya memperhatikan jenis usaha tambang, karena masingmasing jenis usaha tambang memiliki waktu yang berbeda-beda untuk mencapai Break Event Point (BEP). Hal tersebut juga terkait dengan keuntungan yang hendak dicapai oleh pelaku usaha. UU Minerba masih belum mengatur secara jelas mengenai divestasi. Penyusunan mengenai ketentuan-ketentuan divestasi tersebut harus dilakukan secara matang untuk menghindari munculnya hambatan bagi pelaku usaha asing untuk menanamkan investasinya di pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Keresahan yang muncul di sebagian kalangan pelaku usaha pertambangan mineral dan batubara, adalah ketidakjelasan dalam ketentuan divestasi akan mengakibatkan ketidakpastian mereka dalam membuat keputusan melakukan investasi.

3.

Regulasi tidak bersifat netral terhadap persaingan usaha Suatu regulasi dapat bersifat netral terhadap persaingan usaha apabila didasari dengan alasan-alasan yang dapat diterima untuk mencapai suatu tujuan bersama. Seperti halnya UU Minerba yang mempunyai tujuan-tujuan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 3 UU No. 4 Tahun 2009 (sebagaimana telah dituliskan pada paragraf 2 bagian analisa kebijakan dari paper ini). Dari analisa pasal-pasal dalam UU Minerba ditemukan beberapa kebijakan yang bersifat netral terhadap persaingan usaha, yaitu mengenai kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiaptiap komoditas per tahun setiap provinsi; Prioritas kepada BUMN dan BUMD untuk Wilayah Izin Usaha pertambangan Khusus; Kewajiban menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional; larangan menggunakan perusahaan afiliasi; dan batasan luasan wilayah maksimal operasi pertambangan.

4.

Kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi Pasal 5 ayat (3) : Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi Bagi pelaku usaha, kebijakan penetapan besaran produksi tersebut dapat berakibat pada pembatasan terhadap pelaku usaha dalam berproduksi, terkait dengan strategi perusahaan untuk melakukan produksi dan kontrak-kontrak yang telah dibuat oleh perusahaan tersebut sebelum dikeluarkannya kebijakan tersebut. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kebijakan tersebut tidak memperhatikan economies of scale dan economies of scope dari pelaku usaha, sehingga akan menimbulkan hambatan masuk bagi pelaku usaha yang sebenarnya potensial untuk mengembangkan industri pertambangan mineral dan batubara.

Akan tetapi kebijakan ini menjadi bersifat netral terhadap persaingan karena mempunyai tujuan untuk menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri. 5. Prioritas kepada BUMN dan BUMD, Kewajiban menggunakan perusahaan lokal dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan afiliasi Pasal 75 Ayat (3) : Badan Usaha milik negara dan badan usaha milik dareah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. Kebijakan terkait dengan prioritas lepada BUMN dan BUMD tersebut menyebutkan bahwa untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) mineral/unsur logam dan batubara diselenggarakan dengan cara priorotas atau lelang. Prioritas diberikan lepada BUMN dan BUMD dengan mekanisme first come forst serve. Apabila tidak ada yang berminat maka WIUPK tersebut akan ditawarkan kepada badan usaha swasta yang bergerak di bidang pertambangan dengan cara lelang. Dari satu sisi, kebijakan prioritas ini tidak memberikan kesempatan yang sama kepada perusahaan-perusahaan pertambangan. Pasal 124 Ayat (1) : Pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional Pasal 124 Ayat (2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbada hukum Indonesia. Sebagian kalangan berpendapat bahwa UU Minerba masih belum memberikan definisi yang jelas tentang definisi dari perusahaan lokal dan/atau nasional. Ketidakjelasan definisi tersebut dapat memberikan entry

barrier bagi beberapa pelaku usaha yang sebenarnya mempunyai kompetensi lebih baik. Pasal 126 Ayat (1) : Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan yang diusahakannya , kecuali dengan izin Menteri. Pemberian izin Menteri dapat dilakukan jika tidak terdapat perusahaan jasa pertmabangan sejenis di wilayah tersebut atau tidak ada perusahaan yang berminat/mampu. Selama peraturan pelaksana untuk larangan menggunakan perusahaan afiliasi ini belum ada maka mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 1 99/PMK/0 10/2008 bahwa afiliasi adalah hubungan di antara pihak dimana salah satu pihak secara langsung atau tidak langsung mengendalikan, dikendalikan, atau di bawah pengendalian pihak lain. Pengecualian juga akan dilakukan dengan syarat bahwa azas transparansi dan akuntabilitas serta fairness diterapkan sehingga negara tidak dirugikan dan peluang lapangan pekerjaan (utamanya di daerah) tetap terbuka lebar. Kebijakan prioritas kepada BUMN dan BUMD, kewajiban menggunakan perusahaan lokal dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan afiliasi di satu sisi memberikan hambatan masuk kepada beberapa pelaku usaha ke dalam industri pertambangan mineral dan batubara. Di sisi lain kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional. 6. Batasan Wilayah wilayah maksimal operasi pertambangan Pasal 53 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare Pasal 56 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare Pasal 59 : Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare

Pasal 62 : Pemegang IUP Operasi produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare Peraturan yang tidak menetapkan batas bawah untuk luasan wilayah operasi pertambangan ini memungkinkan lahan yang sempit namun mempunyai cadangan yang ekonomis untuk diusahakan dapat tetap ditambang. Di satu sisi, pembatasan luas lahan yang dapat diusahakan dapat diartikan sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar, akan tetapi di sisi lain kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli lahan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Pembenaran ini sesuai dengan salah satu tujuan UU Minerba, yaitu menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sesuai dengan asas yang secara terencana mengintegrasikan dimesi ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan mendatang. C. Kelebihan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah memberikan kepastian hukum karena: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berkembang, seperti demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup sehingga sudah tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada, antara lain dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur distribusi kewenangan yang jelas antara penyelenggaraan kebijakan pertambangan umum. Di samping itu juga terdapat mekanisme pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran;

3.

Pemerintah juga dapat menetapkan prioritas nasional seperti Domestic Market Obligation (DMO), nilai tambah hasil tambang, Pemerintah divestasi, dan lain-lain;

4. 5.

Bagi pengusaha telah diatur secara mekanisme pengusahaan mulai dari sistem pelelangan, luas wilayah, jangka waktu, dan lain-lain; Masyarakat di sekitar tambang juga dilindungi hak-haknya mulai dari kewajiban pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan.
http://swahyunie.blogspot.com/2012/10/analisa-undang-undang-nomor-4-tahun.html

Perbandingan Antara Undang-Undang No 1 Tahun 1967 Dengan UU No 25 Tahun 2007


Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut, antara lain, telah dijabarkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan amanat konstitusi yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian. Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia. Di dalam suatu Negara, terutama di Negara yang sedang berkembang, modal merupakan salah satu syarat utama dalam mencapai kemajuan ekonomi. Dengan modal itulah para pelaku ekonomi dapat meningkatkan kemampuan produksinya, dan sebaliknya kekurangan modal akan menghambat proses produksi. Dan tentunya jika hal ini dibiarkan tentu akan menimbulkan masalah-masalah yang berkelanjutan. Kegiatan penanaman modal atau penanaman dana yang dilakukan pada saat sekarang dalam berbagai wujud aktiva untuk memperoleh penghasilan di masa yang akan datang, disebut dengan investasi. Investasi sendiri memiliki peran yang sangat penting di dalam menentukan besar-kecilnya pendapatan nasional, yakni dengan proses angka pengganda investasinya. Dengan kata lain, perubahan sedikit saja dalam investasi, akan menyebabkan perubahan pendapatan nasional dengan presentase/jumlah yang jauh lebih besar. UU NO 1 Tahun 1967 Republik Indonesia memiliki kekayaan alam melimpah akan tetapi pembuat kebijakan investasi memandang bahwa pelaku usaha nasional belum memiliki kapasitas yang cukup dalam mengelola kekayaan alam yang masih berbentuk potensi dan terpendam di bumi Indonesia. Untuk itu, Presiden soeharto pada tahun 1967 menerbitkan UU Penanaman Modal Asing (UU PMA) dalam upaya menggerakkan ekonomi nasional dengan memanfaatkan perusahaan-perusahaan asing yang diberi kesempatan berinvestasi di Indonesia. Ada beragam fasilitas yang diberikan bagi pemodal asing yang diberikan oleh UU PMA, antara lain (i) fasilitas pengesampingan bea masuk bagi barang modal yang sesuai dengan usulan kegiatan investasi, (ii) tax holiday dalam pajak penghasilan selama belum tiba masa produksi komersial, (iii) kepastian repatriasi segala keuntungan atau dividend ke negara asalnya setiap saat. Pola-pola kebijakan PMA di Indonesia Selain fasilitas, ada pula kebijakan pembatasan usaha bagi pelaku usaha asing misalnya (i) adanya daftar negatif investasi (DNI) yang secara berkala direview, (ii) kewajiban divestasi, (iii) kewajiban untuk membangun kemitraan dengan usaha kecil & menengah (Kemitraan UKM), (iv) kewajiban memprioritaskan local content (prioritas Local content). Daftar negative investasi (DNI) adalah suatu daftar yang ditetapkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tentang bidang usaha apa saja yang terbuka sepenuhnya bagi asing, terbuka dengan persyaratan persentase saham tertentu dikuasai oleh mitra lokal, atau tertutup sama sekali. DNI berfungsi sebagai kran tutup, setengah buka atau terbuka penuh untuk memastikan adanya keseimbangan tertentu yang hendak dipelihara oleh BKPM, yaitu disatu sisi kepentingan swasta nasional akan pemerataan ekonomi dan di pihak lain kepentingan meningkatkan pertumbuhan

ekonomi nasional. Kemitraan dengan UKM dimaksudkan agar pihak PT PMA dapat membagi peran dalam kegiatn usahanya dengan pengusaha kecil dan menengah dan pada saat yang sama pengusaha UKM memiliki kesempatan untuk membangun jaringan kemitraan dan belajar menjalankan usaha secara mandiri dengan pihak asing, sehingga semangat kewirausahaan pengusaha local dapat dibangun, dan pada saat yang sama PT PMA dapat melakukan fungsi oursourcing atau pembagian tugas produksi tertentu dengan pengusaha UKM. Penyimpangan aturan PMA dalam praktek Aturan-aturan di atas sudah ada sejak lama, akan tetapi aturan di atas kertas dapat saja menyimpang pada kenyataannya, atau tidak berfungsi sebagaimana telah didisain sejak awal. Mengacu pada kebijakan kemitraan UKM, pada prakteknya hal ini sering sulit dijalankan sesuai dengan teori atau aturan, mengingat adanya gap budaya atau etos kerja, gap komunikasi, rendahnya kualitas pelatihan untuk memberdayakan UKM supaya dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan standar PT PMA. Kesabaran dan ketelatenan pihak PT PMA dalam melatih dan memberdayakan mitra UKM sangat dibutuhkan, guna terjalinnya pemeliharaan hubungan kerja yang harmonis dan berhasil guna dalam jangka panjang. Kewajiban divestasi pada prakteknya juga sering dilanggar dan memang sulit untuk dipatuhi oleh pihak asing atau lokal, mengingat kendala pada masing-masing pihak. Pihak asing mengeluhkan bahwa pihak lokal tidak bersedia membeli saham dengan harga yang wajar, sementara pihak lokal sering dipersepsikan sebagai tidak mau belajar mendalami bidang usaha yang dikerjasamakan dengan pihak asing, dan pihak lokal tidak bisa mandiri dan akhirnya tujuan alih teknologi sulit tercapai. Dampak Positif Investasi Asing Kebijakan dan aturan investasi asing yang komprehensif dan detail dan dibarengi oleh fungsi pembinaan, pengawasan dan penindakan yang konsisten akan menghasilkan dampak positif bagi kepentingan nasional. Dampak positif antara lain adalah terciptanya lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal, terbangunnya skill dan kompetensi tertentu pada tenaga kerja lokal, terbangunnya semangat kewirausahaan pada pengusaha lokal dan meningkatkan penghasilan yang cukup dan layak, pengusaha lokal dapat lebih terpacu untuk berpartisipasi bersama dengan asing dalam menghasilkan barang dan jasa yang lebih bermutu, Negara dapat memperoleh pemasukan pajak penghasilan atau pajak pertambahan nilai dari beragam aktivitas kegiatan usaha, sehingga pada gilirannya kualitas hidup seluruh masyarakat termasuk pemegang kewenangan dalam lembaga eksekutif, legislative serta yudikatif dapat meningkat. Dibukanya kesempatan investasi bagi pelaku usaha asing, selain dampak positif, tentu memiliki sejumlah efek yang berdampak negatif bagi kepentingan nasional. Dampak negatif sering muncul tatkala (i) badan penanaman modal dan pemberi ijin yang merupakan pemegang kewenangan tidak melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan serta penindakan yang dijalankan secara konsisten, (ii) kebijakan dan aturan yang ada secara komprehensif tidak mengatur hal-hal teknis, agar memudahkan pembinaan, pengawasan, serta penindakan. Patut dipahami bahwa pada dasarnya pelaku usahalah, baik asing atau lokal yang menyediakan lapangan kerja dan menghasilkan produk yang bernilai tambah. Produk yang bernilai tambah tidak dihasilkan oleh birokrasi, melainkan pelaku usaha. Melalui fungsi kebijakan, birokrasi berperan untuk membangun visi dan misi dalam merancang disain

pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang, guna memastikan kepentingan nasional, kepentingan semua pemangku kepentingan dapat terpelihara, sehingga tujuan bersama yaitu keadilan dan kemakmuran dapat perlahan-lahan terbentuk. Melalui fungsi regulasi, birokrasi berperan untuk membina, mengawasi serta menindak pelaku usaha yang menyimpang dari koridor aturan yang sudah disepakati bersama. Setiap penyimpangan aturan bersama baik oleh pelaku usaha atau birokrasi penegakan hukum dapat ditafsirkan sebagai (i) upaya menjauhkan atau memperlambat tercapainya tujuan bersama yaitu keadilan dan kemakmuran, (ii) upaya melemahkan kewibawaan hukum dan birokrasi pembuat kebijakan dan penegak hukum itu sendiri. UU NO 25 Tahun 2007 Pada tanggal 29 Maret 2007 Rapat Paripurna DPR telah mengesahkan RUU Penanaman Modal untuk menggantikan UU no 1 tahun 1967 Jo UU no 11 tahun 1970 tentang PMA , serta UU No 6 tahun 68 Jo UU no 12 tahun 1970 tentang PMDN. Pengesahan RUU PM tersebut ditindaklanjuti dengan pengundangannya oleh Presiden, yaitu UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada tanggal 26 April 2007. Lahirnya UU PM ini sangat dinantikan oleh banyak pihak, bahkan Jepang menunda penyelesaian Economic Partnership Agreement (EPA) dengan Indonesia menunggu penyelesaian pembahasan RUU PM. Kalangan dunia usaha tentu saja menyambut gembira UU PM karena berbagai insentif yang ditawarkan. Sementara itu terdapat kalangan tertentu yang menentang UU PM ini karena materi muatannya dinilai terlalu liberal dan dianggap hanya akan menguntungkan investor asing saja serta tidak berpihak kepada UKM. Ketentuanketentuan Pokok pada RUU PM Memberikan perlakuan yang sama bagi PMA dan PMDN dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan kepemilikan penanam modal, kecuali dengan UU; Penanam modal dapat mengalihkan asset yang dimiliki kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing (modal, keuntungan, royalty, dan lainlain); Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanam modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan; HGU dapat diberikan 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus 60 tahun dan dapat diperbarui 35 tahun; HGB dapat diberikan 80 tahun dan bisa diperpanjang dimuka sekaligus 50 tahun dan dapat diperbarui 30 tahun; Hak pakai dapat diberikan 70 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbarui selama 25 tahun; Pemberian pelayanan dan/atau perijinan atas fasilitas keimigrasian diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari BKPM; BKPM dipimpin oleh seorang kepala dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Beberapa Kelebihan pada UU PM Secara jelas menyatakan keberpihakan kepada UMKM; Adanya insentif untuk investasi tertentu, mis: pioneer status, menyerap tenaga kerja, dll; Kepastian tentang hak-hak atas tanah Beberapa Kelemahan pada UU PM Beberapa ketentuan tidak aplikatif karena tidak ada sinkronisasi dengan peraturan perundangan lainnya, misalnya ketentuan tentang jangka waktu yang diberikan menyangkut hak-hak atas tanah; Terkesan hanya pro kepada investor asing dan tidak memberikan perlindungan yang

memadai kepada perusahaan-perusahaan dalam negeri. Menunjukkan kemunduran dibandingkan dengan UU sebelumnya terutama menyangkut aspek-aspek tertentu seperti: alih teknologi, penggunaan tenaga kerja asing, kewajiban divestasi, dll. Fasilitas yang ditawarkan UU PM: Membolehkan hak guna usaha (HGU) selama 95 tahun, HGB 80 tahun, hak pakai 70 tahun , dan cara pemberiannya diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus; Perlakuan yang sama terhadap PMA dan PMDN; Larangan nasionalisasi; Kemudahan tenaga kerja asing; Pembebasan PPh Badan dalam jangka waktu tertentu; Pembebasan PPh Badan dalam jumlah dan waktu tertentu; Keringanan Bea Masuk Barang Modal; Keringanan BM bahan baku/penolong; Insentif importasi bagi investor pengguna produk dalam negeri; Pembebasan PPN atas impor produk yang belum diproduksi di dalam negeri; Keringanan atas PBB, pajak daerah dan retribusi di daerah tertentu; Tambahan fasiltas fiskal bagi PM: di daerah tertinggal, perbatasan dengan daerah tertentu; mengembangkan inovasi/alih teknologi; menyerap tenaga kerja massif dalam jumlah signifikan; membangun infrastruktur public; bermitra dengan UKM; Kritik terhadap UU PM: Terlalu liberal dan pro-asing, sedemikian liberalnya sehingga sudah seperti menggadaikan negeri ini kepada pihak asing, terutama di bidang pertambangan yang ekstraktif (mengisap sampai habis) ; Membuat investor lokal di bidang perdagangan eceran menjerit karena terdesak oleh masuknya peritelperitel raksasa asing yang menempati berbagai lokasi strategis di kota-kota besar; Akan memperlebar kesenjangan ekonomi; Pengistimewaan yang sangat luar biasa terhadap para pemilik modal hanya akan melukai hati rakyat; RUU tersebut bias pada kepentingan korporasi besar dan pemodal asing; Harapan yang diletakkan/ditumpukan pada UU PM adalah agar UU ini mampu mendorong dan mendongkrak investasi yang memang sangat dibutuhkan dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi agar dapat mengatasi persoalanpersoalan laten seperti masalah pengangguran dan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi diharapkan akan menaikkan penyerapan tenaga kerja dan membantu upaya pengentasan kemiskinan, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap stabilitas politik dan keamanan. Harapan di atas tentu sah-sah saja, akan tetapi UUPM ini tidak akan memberi pengaruh yang besar terhadap kenaikan angka penanaman modal apabila beberapa persoalan mendasar dan nyata di lapangan yang dihadapi oleh investor tetap tidak dapat diatasi secara sistemik dan komprehensip. Disamping itu, UUPM tidaklah berdiri sendiri, karena harus diselaraskan dengan perundang-undangan lainnya yang sedang dan atau masih perlu direvisi seperti UU di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, agraria, dan lainlain. Dari pengamatan yang dilakukan, sampai saat ini masih belum banyak hal menggembirakan yang telah dicapai mengenai hal-hal di atas. Persoalan pelik lain yang perlu diselesaikan adalah menyangkut kesiapan aparatur di daerah serta sikap dan persepsi masyarakat dalam membantu merealisasikan investasi. Apabila investor hanya diperlakukan sekedar sebagai sapi perahan dalam proses pengurusan perijinan dan fasilitas investasi, maka ini menimbulkan kekecewaan dikalangan mereka dan tidak hanya dapat mengurungkan minat investasi mereka, tapi juga dapat mendorong kuatnya keinginan mereka untuk merelokasi kegiatan usaha mereka ke Negara yang lebih kondusif iklim investasinya. Demikian pula sikap, persepsi dan perlakuan masyarakat terhadap kegiatan investasi perlu

diluruskan, sepanjang memang kegiatan tersebut akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat banyak. Pada sisi lain perlu dipastikan bahwa kegiatan investasi tetap melindungi hak-hak sah masyarakat. Pendeknya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Komitmen dan konsistensi dalam implementasi UU PM merupakan hal yang tidak dapat ditawar-taawar lagi untuk mencapai tujuan pengundangannya, yaitu menciptakan kepastian hukum dalam kegiatan investasi sejak awal hingga akhir masa aktivitas investasi. Persoalan ini selama ini menjadi pengganjal dari minat dan realisasi investasi. Prospek Implementasi Perlu kehati-hatian mengenai batasan-batasan investasi maupun daftar investasi yang terbuka dan tertutup bagi investor asing, hal itu harus dilakukan secara sangat hati-hati dan dengan pertimbangan yang strategis (misalnya 3 bidang investasi yang diatur secara ketat, seperti: transportasi, penyiaran dan energi); Penetapan bidang-bidang yag terbuka dan tertutup juga selayaknya disesuaikan dengan rencana pengembangan industri dalam jangka panjang yang direkomendasikan Departemen Perindustrian dan departemen lainnya; Adanya rambu-rambu untuk kepentingan nasional harus dijabarkan secara tepat, terutama menyangkut masalah:ketahanan nasional, kesehatan, kebudayaan, lingkungan hidup dan aspek kepentingan yang lain; Diskriminasi yang bersifat positif masih diperlukan secara selektif dalam rangka melindungi industri dan pelaku ekonomi nasional; Kesiapan aparatur birokrasi, penegak hukum dan masyarakat dalam mengimplementasikan undang-undang penanaman modal merupakan kunci keberhasilan menarik investasi ke Indonesia sekaligus meningkatkan daya saing investasi kita; UU PM akan mampu berfungsi sebagai lokomotif dalam mengerakkan investasi langsung di Indonesia, apabila dilengkapi dan didukung oleh penyelesaian peraturan-perundang-undangan terkait seperti di bidang perpajakan, pertanahan, keimigrasian, administrasi pemerintahan, termasuk pelayanan public, dan lain-lain sebagai suatu paket, termasuk penjabarannya dalam bentuk peraturan-peraturan pelaksanaannya yang bersifat operasional; Pemberlakuan undang-undang PM harus segera ditindaklanjuti dengan penyelesaian perumusan dan pemberlakuan aturan pelaksanaannya untuk mencegah kebingungan di lapangan. Aturan pelaksanaan yang mendesak untuk segera diselesaikan, antara lain: daftar negatif investasi; pembagian kewenangan di bidang investasi antara Pusat dan Daerah; system pelayanan terpadu; perbaikan kinerja birokrasi dan pelayanan public; penyelesaian rumusan insentif investasi pada kawasan khusus; penjabaran mekanisme penyelesaian sengketa, dll. Perbedaan Antara Undang-Undang no 1 tahun 1967 dan UU No 25 tahun 2007 Pada awal tahun 1960-an terjadi peningkatan kebutuhan minyak dunia. Indonesia sebagai Negara yang kaya akan menyimak menyadari keterbatasannya dalam hal penambangan dan penyediaan minyak mentah, baik dalam hal teknologi, modal dan tenaga ahli. Negara-negara maju memiliki kecenderungan sangat kuat dengan modal yang besar, berbanding dengan Negara kita yang tidak mempunyai modal tetapi berkecukupan dalam hal sumber daya alam. Simbiosis mutualisme antara Negara kita dan Negara maju pastilah akan memberikan suatu arti penting tersendiri. Yang pada gilirannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada masyarakat dan Negara. Indonesia melihat peluang ini kemudian menindaklanjutinya dengan dikeluarkannya undang-undang

nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing agar perusahaan asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia secara langsung memiliki kepastian hukum. Setalah 40 tahun dipakai, undang-undang ini kemudian diganti dengan undang-undang penanaman modal yang baru. Pemerintak kemudian mengesahkan undang-undang no 25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing, yang pada kemunculannya diharapkan dapat menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Menarik untuk mengetahui perbandingan undang-undang penanaman modal asing versi lama dan yang terbaru, yang diantaranya akan di uraikan sebagai berikut : 1. Undang-undang penanaman modal asing yang lama jelas dilahirkan pada masa dimana kita belum menggunakan ejaan yang disempurnakan, jadi masih menggunakan ejaan lama dari bahasa yang digunakan, misalnya setjara, potensiil, jang, dan lain sebagainya. Undang-undang ini disahkan oleh presiden pertama republic Indonesia ir. Soekarno. Sementara bahasa dari undang-undang no 25 tahun 2007 telah menggunakan ejaan yang disempurnakan. UU ini disahkan oleh presiden Indonesia saat ini, Dr. Soesilo bambang yudhoyono. 2. UU penanaman modal terbaru berusaha untuk tidak membedakan antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri dengan menggabungkan kesemuanya menjadi undang-undang penanaman modal saja. Berbeda dengan uu yang lama yang membedakan antara keduanya antara uu penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri. Kedua undang-undang ini dipisahkan menjadi, uu no 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) dan uu no 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan definisi dari penanaman modal dari kedua undang-udang ini tidaklah begitu jelas. 3. Undang-undang no 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing belum mengatur tentang pengelolaan satu pintu, layaknya Undangundang 25 tahun 2007, yang kemudian mengganti istilah yang dulunya dikenal dengan satu atap menjadi satu pintu, karena konotasi satu atap yang sering dipelesetkan menjadi satu atap bisa saja menjadi banyak jendela. Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelampiasan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki wewenang perizinan ataupun non perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Sesuai pasal 1 ayat 10 UU no 25 tahun 2007. Sementara itu badan yang bertanggungjawab dibidang penanaman modal adalah badan koordinasi penanaman modal (BKPM). Badan ini melalui ketuanya memberikan sikap optimis untuk menyelesaikan surat izin investasi hanya dalam 2 minggu dimana tadinya bisa memakan waktu berbulan-bulan. 4. UU penanaman modal yang lama yaitu uu no 1 tahun 1967 tidak mencantumkan asas dari penanaman modal itu sendiri, seperti yang disebutkan oleh undang-undang no 25 tahun 2007. Terdapat beberapa asas penanaman modal yaitu : asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal Negara, asas persamaan, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. 5. Perbedaan yang mungkin cukup substantive dan dianggap agak revolusioner dalam UU PM 2007 dibandingkan dengan UU No 1 tahun 1967

adalah jangka waktu yang diberikan menyangkut hak-hak atas tanah telah diperpanjang, semakin longgarnya ketentuan mengenai penggunaan Tenaga kerja asing, dan semakin terbukanya bidang-bidang untuk kegiatan penanaman modal serta pemberian insentif khusus terhadap kegiatan penanaman modal tertentu, termasuk untuk pioneer status serta kawasan ekonomi khusus. 6. Terdapat materi muatan yang dulu diatur dalam undang-undang no 1 tahun 1967 yaitu mengenai kewajiban alih teknologi, kewajiban divestasi, dan lain-lain, sementara uu no 25 tahun 2007 telah menghapusnya.
http://wiendnata.blogspot.com/2012/06/perbandingan-antara-undang-undang-no1.html

You might also like