You are on page 1of 17

Daftar Isi

Daftar isi .................................................................................................................... 1 Pendahuluan .............................................................................................................. 2 Isi ............................................................................................................................... 2 Anamnesis ................................................................................................................ 2 Pemeriksaan ............................................................................................................. 3 Diagnosis Kerja ....................................................................................................... 9 Diagnosis Banding .................................................................................................. 10 Epidemiologi ........................................................................................................... 11 Etiologi .................................................................................................................... 12 Patofisiologi ............................................................................................................. 13 Penatalaksanaan ...................................................................................................... 14 Komplikasi .............................................................................................................. 16 Prognosis ................................................................................................................. 16 Preventif .................................................................................................................. 17 Penutup ....................................................................................................................... 17 Daftar Pustaka ............................................................................................................ 17

PENDAHULUAN
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma. Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid. Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium.

ISI
Anamnesis Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler). Apakah pasien ada rasa sesak atau sulit bernafas. Adakah obat-obatan yang dimakan (terutama obat-obat yang mengandung yodium). Apakah ada riwayat keluarga adanya defisiensi enzim sejak lahir (dishormonogenesis).1,2

Pemeriksaan Fisik Palpasi leher: Tiroid melekat erat pada trakea anterior, dipertengahan antara cekungan sternum dan kartilago tiroid; biasanya mudah dilihat dan diraba. Pasien harus diberi segelas air agar dapat menelan dengan nyaman. Ada tiga langkah pemeriksaan: 1. Dengan penerangan baik yang datang dari belakang pemeriksa, pasien disuruh menelan seteguk air. Perhatikan kelenjar saat naik atau turun. Pembesaran dan penonjolan (nodul) biasanya dapat dilihat.1 2. Raba kelenjar dari anterior. Secara lembut tekan dengan jempol satu sisi kelenjar untuk memutar lobus lain ke depan dan raba saat pasien menelan.1 3. Raba kelenjar dari belakang pasien dengan tiga jari tengah masing-masing lobus sementara pasien menelan. Suatu gambaran kelenjar dapat diketahui pada kulit leher dan diukur. Nodul-nodul dapat diukur dengan cara yang sama. Jadi, perubahan-perubahan ukuran pada kelenjar atau pada nodul-nodul dapat diikuti.1 Pada pemeriksaan fisik, bagian bulbus masing-masing lobus yang teraba dari kelenjar tiroid normal berukuran kira-kira 2 cm pada dimensi vertikal dan kira-kira 1 cm pada dimensi horizontal di atas ismus. Pembesaran yang menyeluruh disebut goiter difus; pembesaran yang tidak beraturan atau bertonjol-tonjol disebut goiter nodular.1 Adanya pembesaran ini berarti pasien menderita goiter. Jarang pasien menderita hipertiroid, namun kemungkinan ini harus menjadi yang pertama kali disingkirkan dengan mencari tanda-tandanya, seperti tremor pada jari-jari tangan, hiperkinesia, tanda-tanda penyakit Graves pada mata (keterlambatan kelopak mata, retraksi kelopak mata, eksoftalmus), takikardi atau fibrilasi atrium cepat, dan tangan yang hangat dan berkeringat. Begitu pula, pemeriksaan facies yang khas, gerakan yang lambat, kulit yang tebal dan kering, perubahan rambut dan suara yang menjadi serak pada hipotiroidisme serta lanjutkan dengan memeriksa sentakan pergelangan kaki bila perlu.2 Karakteristik. Difus atau multinodular. Kelenjar membesar dan difus pada penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, defisiensi yodium, dan dishormonogenesis. Pasien dengan goiter multinodular biasanya non toksik (eutiroid). Masalah klinis yang biasa adalah benjolan yang bisa menekan (trakea, esofagus, atau nervus laringeus) dan menyebabkan tekanan karena penampilan. Nodul tunggal harus dianggap ganas (walaupun sebagian besar tidak), dan diangkat atau dibiopsi.2 Nyeri tekan. Jarang timbul kecuali tiroiditis virus (jarang) dan kadang-kadang pada tiroiditis autoimun serta karsinoma.2
3

Mobilitas. Perlekatan ke jaringan sekitarnya menunjukkan karsinoma. Ekstensi retrosternal. Lakukan palpasi insisura suprasternalis dan lakukan perkusi sternum bagian atas untuk mencari suara pekak. Kelenjar limfe. Pembesaran rangkaian kelenjar limfe menunjukkan karsinoma tiroid papilar. Trakea di tengah atau bergeser Parut tiroidektomi. Jika ada, Anda harus mencurigai adanya hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Pemeriksaan tanda Chvostek (bisa timbul pada orang normal) dan lakukan tes Trousseau.

Lakukan auskultasi di atas kelenjar untuk mencari bruit sistolik. Cari tanda-tanda vitiligo, akropasi, dan miksedema pretibia jika diduga ada penyakit tiroid autoimun.2

Pemeriksaan Penunjang Tes fungsi tiroid. Harus pula mencantumkan pula tiroksin bebas dalam serum dengan tepat (bila tersedia), triiodotironin bebas, dan hormon stimulasi tiroid (tirotrofik) Pemeriksaan untuk autoantibodi mikrosom tiroid Foto rontgen untuk melihat deviasi atau kompresi trakea. Laringoskopi untuk memeriksa plica vokalis jika ada perubahan suara. Pemindaian radioiodida (untuk nodul membedakan masa kistik dan solid). Lakukan biopsi jarum pada nodul soliter untuk pemeriksaan sitologi atau angkat seluruhnya CT scan jika timbul gejala penekanan1,2 Peranan USG pada pemeriksaan tonjolan tiroid: 1. Dengan cepat dapat menentukan apakah tonjolan tersebut di dalam atau di luar tiroid 2. Dengan cepat dan akurat dapat membedakan lesi kistik dari lesi solid 3. Dengan lebih mudah dapat dikenali apakah tonjolan tersebut tunggal atau lebih dari satu 4. Dapat membantu penilaian respon pengobatan pada terapi supresif dingin) dan ultrasonografi (untuk

5. Dapat membantu mencari keganasan tiroid pada metastasis yang tidak diketahui tumor primernya 6. Sebagai pemeriksaan penyaring terhadap golongan resiko tinggi untuk menemukan keganasan tiroid3 7. Sebagai pengarah pada biopsi aspirasi tiroid.3

Fisiologi dan Tes fungsi Glandula throidea manusia normal mampu memekatkan yodida dari darah pada kecepatan sekitar 2 g per jam. Walaupun kecenderungan untuk mempertahankan yodida ini tidak unik bagi kelenjar ini, namun kemampuan mensintesis hormone thyroidea hanya terjadi dalam thyroidea. Setelah dalam sel folikel thyroidea, yodida dioksidasi oleh system enzim peroksidase, sehingga yodium apapun dalam kelenjar ditemukan di dalam hormone thyroidea atau prekusor terdekatnya. Bentuk aktif yodium tergabung dengan molekul asam amino tirosin, yang melekat ke tiroglobulin untuk membentuk monoyodotirosin dan diyodotirosin. Dua molekul diyodotirosin bergabung untuk membentuk tiroksin secara satu molekul monoyodotirosin dan satu diyodotirosin membentuk triyodotironin (T3). Molekul tiroglobulin yang mengandung hormone kemudian disimpan dalam koloid sampai ia diperlukan untuk sekresi. Dengan sekresi, koloid dihidrolisis untuk mengeluarkan hormone thyroidea bersama yodotirosin yang tidak digabung; ia cepat diubah kembali menjadi iodide dan tirosin oleh suatu enzim di dalam glandula thyroidea, yang mencegah pelepasannya ke dalam aliran darah dan kehilangannya dari tubuh melalui urina. Sejumlah molekul tiroglobulin tidak dihidrolisis dan lolos langsung dari sel thyroidea ke dalam aliran darah. Sehingga tiroglobulin tidak terbatas sama sekali dalam sel thyroidea dan koloid serta senyawa ini seperti dengan hormone thyroidea lain, memberikan penanda bermanfaat dalam kanker thyroidea. Tiroksin dan triyodotironin biasanya dilepaskan bersamaan dari thyroidea, sehingga pengukuran salah satunya biasanya menunjukkan kecepatan sekresi yang lain. Konsentrasi T4 dalam sirkulasi 30 sampai 50 kali lebih besar daripada T3. Sehingga dengan analisis hormone thyroidea yang lebih awal digunakan, T4 diukur dan parameter ini menjadi indeks utama fungsi thyroidea. Proporsi T4 yang sangat besar dalam sirkulasi terikat ke protein plasma dan tak aktif. Hanya hormon yang terikat yang aktif, dan karena perubahan dalam protein pengikat tiroksin sering terjadi dalam keadaan klinik, namun konsentrasi keseluruhan bisa bergeser sebanding dengan
5

perubahan protein. Sehingga pemeriksaan T4 apa pun harus disertai dengan sejumlah pemeriksaan tiroksin bebas.4,5 Triiodotironin dianggap oleh beberapa ahli sebagai satu-satunya hormon tiroidea yang mempunyai efek apapun terhadap jaringan. 10 sampai 20 persen T3 disekresi langsung oleh glandula tiroidea dan sisanya dihasilkan oleh deiodinasi T4 yang terjadi dalam jaringan. Dalam sejumlah kasus, glandula thyroidea mensekresi T3 sebagai hormon utama dan ditemukan kadar T4 normal atau rendah. Jika T3 berlebihan, maka ia dapat menimbulkan tirotoksikosi dan kadang-kadang fenomena yang dinamai tirotoksikosis T3. Triyodotironin juga terikat ke protein yang bersirkulasi dan juga konsentrasi T3 total bisa bervariasi karena perubahan dalam konsentrasi protein tanpa akibat metabolik. Sangat sulit mengukur T3 bebas. Kebingungan lebih lanjut timbul selama penyakit menahun dan selama operasi sewaktu dihasilkan bentuk T3 tak aktif atau tanpa daya. Dalam kasus ini gugusan yodium ditempatkan dalam posisi berbeda di dalam molekul untuk menghasilkan T3 terbalik. Hormon perangsang tiroidea (TSH) dihasilkan oleh hipofisis untuk mengatur aktivitas tiroidea. Konsentrasi TSH meningkat sebelum ada pengurangan yang dapat diukur dalam T4 atau T3 serum. Hormon ini tidak terikat protein dan tidak dipengaruhi oleh penyakit non tiroidea. Rentang nilai normal lebih rendah tak dapat dideteksi dengan analisis saat ini, sehingga benar-benar tak adanya hormon sulit dibedakan dari kadar yang tak dapat dideteksi yang bisa terlihat dalam sejumlah subjek normal. Peningkatan kadar yang terlihat dalam hipotiroidisme primer membantu mengkonfirmasi diagnosis ini. Pengukuran TSH tidak bermanfaat dalam diagnosis hipertiroidisme, tetapi konsentrasi tiroksin yang rendah dengan kadar TSH rendah atau terdeteksi menunjukkan penyakit hipofisis atau hipotalamus.

Skan tiroidea radioisotop Yodium-123 (123I) dan yodium 131 (131I) memancarkan sinar gamma dan pengukuran ambilan isotop ini oleh galandula tiroidea setelah dosis standar memungkinkan pengukuran penggabungan yodium ke dalam kelenjar. Yodium 131 merupakan isotop iodida yang terlazim digunakan, karena ia tidak harus dibuat segar tiap hari. Derajat ambilan yodium dalam skan dapat membantu dalam diagnosis banding tirotoksikosis. Penggunaan 99m Tecnesium perteknektat memberikan informasi serupa dan disamping itu bisa memungkinkan diagnosis lebih baik akan keganasan di dalam tiroidea.
6

Respon terhadap hormon pelepas tirotropin Suntikan hormon pelepas tirotropin (TRH) ke dalam subjek normal menyebabkan tirotrof di dalam hipofisis mensekresi TSH dan respon terbesar terlihat setelah sekitar 20-30 menit. Dalam hipertiroidisme yang disebabkan oleh fungsi Tiroidea berlebihan, sekresi TSH oleh hipofisis ditekan dan TRH tak efektif dalam merangsang pelepasan TSH. Respon klasik ini bermanfaat dalam pasien dengan hipertiroidisme yang secara klinik tampak eutiroid dan bisa mempunyai kadar hormon tiroidea yang normal, tetapi hipertiroidisme diduga karena adanya tanda mata Grave atau struma nodular (pembesaran thyroidea). Pada hipotiroidisme primer, TSH meningkat ke kadar tinggi abnormal setelah pemberian TSH. Bila ada hipotiroidisme dengan adanya kadar TSH normal atau rendah serta adanya sedikit respon TSH atau tak ada terhadap pemberian TRH maka diagnosis mungkin hipofungsi hipofisis.

Interpretasi Tes Fungsi Thyroidea Pengukuran tiroksin dan perkiraan tiroksin bebas biasanya mengkonfirmasi kecurigaan klinik hipertiroidisme atau keadaan eutiroid. Bila hipertiroidisme dicurigai serta terlihat tes pengikatan dan T4 normal maka kadar T3 bisa memperlihatkan tirotoksikosis T3. Jika masih ada keraguan, tes rangsangan TRH biasanya akan mengkonfirmasi atau menyangkal diagnosis hipertiroidisme. Dalam diagnosis hipertiroidisme, pemeriksaan kadar TSH akan memberikan konfirmasi biokimia diagnosis ini. Bila hipofungsi tiroidea karena penyakit hipofisis atau hipotalamus, maka observasi kadar hormon tiroidea TSH akan menjelaskan keadaan ini. Juga rangsangan TRH atas TSH akan membantu mengkonfirmasi tempat penyakit.

Aspirasi jarum halus untuk diagnosis sitologi dalam pembesaran thyroidea Penggunaan biopsi aspirasi jarum halus untuk memungkinkan pemeriksaan sitologi telah merombak diagnosis dan terapi penyakit thyroidea. Betapa diagnosis klinik karsinoma thyroidea dapat sulit dan disamping kalsitonin serum dalam karsinoma thyroidea noduler, tak ada penanda biokimia spesifik. Gambaran pemeriksaan ultrasonografi leher dan hasil scanning isotop tidak cukup spesifik untuk memungkinkan diagnosis dapat dipercaya atas penyakit jinak dalam semua penyakit soliter atau multinoduler.5
7

Teknik biopsi aspirasi jarum halus untuk pemeriksaan sitologi tidak boleh dikelirukan dengan biopsi jarum besar, tempat bagian tengah jaringan diambil dari thyroidea dan diagnosis ditegakkan atas pemeriksaan histologi. Biopsi jarum besar tebatas pada tumor berdiameter paling kurang 2 cm dan bisa timbul komplikasi seperti perdarahan dan paralisis nervus recurens. Sering terdapat ketaknyamanan lokal akibat tindakan biopsi dan ia menyulitkan mendapatkan persetujuan pasien bagi biopsi kedua atau ketiga. Biopsi aspirasi tak mempunyai batasan dalam hal ukuran tumor, asalkan lesi ini dapat dipalpasi. Anestesi lokal tidak diperlukan dan dapat dilakukan beberapa tusukan dengan penerimaan pasien yang sangat baik, bahkan pada anak. Beberapa area dalam lesi dapat diambil contoh. Hematoma intreaglandula minor kadang-kadang timbul, tetapi teknik ini tidak disertai dengan komplikasi atau dengan resiko penyebaran sel ganas.5 Peralatan yang diperlukan untuk biopsi sederhana dan tak mahal, yang terdiri dari suatu semprit, jarum dan pemegang semprit. Sifat sitologi tumor thyroidea jinak dan ganas telah diuraikan dengan baik. Jika ahli patologi dan ahli sitologi terlatih dapat ada dalam keadaan klinik, maka diagnosis dapat ditegakkan segera atas dasar rawat jalan serta diagnosis dan terapi dapat dibahas langsung ke pasien. Karsinoma anaplastik dan noduler dapat dibedakan dengan mudah, serta diagnosis tumor sel Hurthle dan papiler dapat ditegakkan atas hapusan sitologi. Sangat sulit membedakan tumor folikuler jinak dan ganas. Kebanyakan ahli sitologi membuat diagnosis neoplasma folikular tanpa menyebutkan sifatnya dengan pemahaman bahwa lesi ini akan menjalani terapi bedah dalam kejadian apa pun.5 Struma koloid multinoduler bertanggung jawab bagi 80 persen lesi yang menjadi sasaran biopsy dan mudah didiagnosis. Berbagai jenis tiroiditis dan penyakit metastatic ke thyroidea dapat juga dibedakan dan biopsy jarum meniadakan kebutuhan untuk eksplorasi leher. Pada banyak seri, tinggi ketepatan biopsy aspirasi untuk pemeriksaan sitologi yang dibandingkan dengan histopatologi tumor nantinya dari tumor thyroidea ganas yang telah didiagnosis. Insidens diagnosis positif palsu sangat jarang. Hasil negative palsu berkisar 7 sampai 30 persen. Kelompok terakhir ini lalu yang menampilkan kesulitan terbesar. Bagaimana dapat menahan operasi dalam pasien dengan kecurigaan pembesaran thyroidea sewaktu pemeriksaan sitologi telah menunjukkan penyakit jinak? Jika pasien muda kurang dari 25 tahun dan tua lebih dari 60 tahun, teapt disingkirkan resiko keganasan dalam nodulus thyroidea soliter bias setinggi 60 persen, pasien lain dapat aman diterapi non operatif dengan obat tiroksin. Pasien diikuti cermat dengan
8

biopsy selanjutnya. Penerimaan pasien akan teknik ini memungkinkan operasi dibatasi pada yang beresiko keganasan terbesar. Biopsi aspirasi untuk pemeriksaan sitologi telah dilakukan dalam lebih dari 30 tahun. Teknik ini telah diperlihatkan oleh banyak pusat medis mempunyai ketepatan diagnosis keseluruhan 94 persen dan sensitivitas untuk kanker 89 persen. Kegunaan prospektif teknik ini dalam pemeriksaan dan diagnosis pembesaran thyroidea mulai

mempengaruhi kebutuhan untuk operasi pada pasien dengan pembengkakaan thyroidea asimtomatik. Frekuensi intervensi bedah dapat diturnkan 25 persen dan proporsi untuk neoplasia dapat ditingkatkan dari 30 ke 50 persen. Bila dilakukan pada kunjungan klinik pertama, pendekatan ini memungkinkan dasar logis untuk operasi selektif dan membawa ke penghematan dalam penatalaksanaan pembesaran thyroidea.5

Diagnosis Kerja : Struma Nodosa Non Toksik Gambaran klinis A. Tanda dan Gejala Penderita goiter non toksik biasanya mempunyai pembesaran tiroid, seperti disebutkan, yang dapat difusa atau multinodular. Kelenjar dapat relatif keras tetapi seringkali sangat lunak. Setelah jangka waktu tertentu, kelenjar ini jadi lebih membesar, sehingga pada goiter multinodular yang sudah lama, bisa terjadi goiter yang sama besar dan meluas ke bawah menjadi goiter substernal. Penderita dapat mengeluh gejala-gejala penekanan pada leher, terutama bila menggerakkan kepala ke atas atau ke bawah dan juga mengeluh kesulitan menelan. Kelumpuhan pita suara akibat keterlibatan nervus laringeus rekurens jarang terdapat. Bisa didapatkan gejala hipotiroidisme ringan, tetapi pada kebanyakan penderita ini adalah eutiroid. Pembesaran tiroid menyatakan adanya hipotiroid kompensata.1 B. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium memperlihatkan tiroksin bebas yang rendah atau normal dan biasanya kadar TSH normal. Peningkatan inefisien. massa Pada jaringan pasien tiroid dengan

mengkompensasi

sintesis

hormon

yang

dishormonogenesis akibat sintesis iodoprotein abnormal , PBI mungkin meningkat di luar proporsi terhadap serum T4, karena sekresi senyawa iodida organik non hormonal. Ambilan radioiodin mungkin tinggi, normal, atau rendah, tergantung pada pool iodida dan dorongan TSH.1

C. Pemeriksaan radiologi Scan isotop biasanya memperlihatkan ambilan bercak-bercak, seringkali dengan daerah fokal dari ambilan yang berhubungan dengan nodul-nodul yang panas. Ambilan radioaktif biasanya ditekan dengan pemberian hormon tiroid seperti liotironin. Ultrasonografi tiroid adalah jalan termudah untuk mengikuti

pertumbuhan goiter dan dapat menunjukkan perubahan kistik pada satu atau lebih nodul-nodul, menunjukkan adanya perdarahan dan nekrosis terdahulu.1

Diagnosis Banding: 1. Struma nodosa toksik Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummers disease. Paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.

Manifestasi klinis Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves. Penderita goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tandatanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada penyakit Graves (Price dan Wilson, 1994). Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak di retrosternal.4,6

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid biasanya tidak ditemukan.4,6

2. Kanker thyroid folikular Gejala klinis: Karsinoma folikularis mempunyai insidens puncak sekitar usia 45 tahun, sering tampil sebagai nodulus soliter. Sering ada penyebaran jauh saat penyajian, misalnya
10

dengan deposit sekunder dalam tulang atau metastasis dalam paru. Diagnosis dapat diperoleh dengan biopsi jarum halus, harus diterapi dengan loberktomi total pada sisi yang terkena. Penentuan sifat potong beku tumor tidak dapat diandalkan dan dalam banyak kasus, diagnosis definitif ditunggu sebelum terapi lebih lanjut dibuktikan. Bukti histologi suatu tumor yang kurang berdiferensiasi yang telah mengilfiltrasi capsula atau pembuluh darah sekelilingnya akan mengindikasikan kelengkapan tiroidektomi. Ablasi bantalan sisa kecil apa pun dari thyroidea dengan yodium radioaktif harus dilakukan dengan masa pasca bedah. Tumor sekunder bisa mengambil isotop dalam jumlah bermakna, yang dapat digunakan untuk suatu skan untuk menilai beban tumor maupun modalitas terapi. Setelah terapi isotop, diberikan dosis supresif penuh tiroksin. Penilaian kadar TSH dilakukan untuk memastikan bahwa dosis bersifat supresif. Jika tumor berdiferensiasi cukup baik, maka tumor dan metastasisnya bisa mengambil yodium; dalam keadaan ini terapi lebih lanjut dengan radioyodium dapat berhasil. Skan yodium tambahan bermanfaat untuk memantau kekambuhan tumor.1,5

Epidemiologi Goiter nontoksik biasanya menunjukkan pembesaran kelenjaran tiroid dari stimulasi TSH, yang mana merupakan akibat dari sintesis hormon tiroid yang tidak adekuat. Defisiensi iodin adalah penyebab tersering dari goiter non toksik atau goiter endemik, dengan penggunaan yang meluas dari garam beriodin dan pemberian iodida pada pupuk, makanan binatang dan pengawet makanan, defisiensi iodida di negara-negara maju relatif jarang. Tidak dijumpai di Amerika Serikat. Namun, ada banyak daerah seperti Afrika Tengah, pegunungan Asia tengah, pegunungan Amerika Selatan bagian tengah, dan Indonesia (khusus Papua Nugini), dimana asupan iodin sangat kurang. Asupan iodin optimal pada orang dewasa adalah berkisar 150-300 mikrogram/hari. Pada daerah-daerah goiter endemik, ekskresi iodin urin tiap hari turun sampai dibawah 50 mikrogram/hari. Pada daerah-daerah dimana iodin sangat sedikit, ekskresi turun dibawah 20 mikrogram/hari. Pada daerah dimana 90% populasi menderita goiter, dan 5-15% bayi akan lahir dengan miksedematous atau perubahan neurologis dari kretinisme. Variasi pembesaran goiter pada pasien-pasien ini mungkin berhubungan dengan adanya goitregenik lain yang tidak teridentifikasi.1

11

Etiologi 1. Defisiensi iodin 2. Goitrogenik dalam makanan 3. Tiroiditis hashimoto 4. Tiroiditis subakut 5. Sintesis hormon tidak adekuat akibat cacat bawaan pada enzim-enzim tiroid yang dibutuhkan untuk biosintesis T3 dan T4 6. Defisiensi bawaan pada reseptor T4 pada membran sel 7. Neoplasma, jinak atau ganas. Zat-zat goitrogenik dalam makanan jarang menyebabkan goiter dan dari ini yang paling sering adalah iodida sendiri. Dosis iodida besar, seperti pada amiodaron atau tablet kelp, pada pasien yang rentan dapat menimbulkan goiter dan hipotiroidisme. Penghentian iodida mengembalikan prosesnya. Zat-zat goitrogenik lain termasuk litium karbonas, dan beberapa zat makanan dalam sayur-sayuran seperti goitrin, yang ditemukan dalam akar-akaran dan biji-bijian; dan glikosida sianogenik yang terdapat pada singkong dan kol dapat melepaskan tiosianat yang dapat menyebabkan goiter, terutama dengan adanya defisiensi iodida. Di samping itu, senyawa seperti, fenol, ftalat, piridin dan hidrokarbon poliaromatik yang ditemukan pada air limbah industri adalah goitrogenik lemah. Peranan goitrogenik sayur-sayuran dan polutan ini dalam menyebabkan goiter tidak jelas.1 Penyebab pembesaran tiroid yang paling umum pada negara-negara berkembang ialah tiroiditis kronis. Tiroiditis subakut menyebabkan pembesaran tiroid dengan nyeri tekan yang halus.1 Goiter non toksik dapat terjadi sebagai akibat sintesis yang berasal defisiensi genetik enzim-enzim yang diperlukan untuk biosintesis hormon. Pengaruh ini bisa sempurna, dengan akibat sindroma kretinisme dengan goiter atau parsial dengan akibat goiter nontoksik dengan hipotiroidisme ringan. Paling sedikit terdapat 5 kelainan biosintesis yang telah dilaporkan: 1. Gangguan transpor iodin 2. Kekurangan peroksidase dengan gangguan oksidase iodida jadi iodin dan kegagalan untuk memasukkan iodin dalam tiroglobulin 3. Gangguan pemasangan tiroksin yang beriodin menjadi triiodotironin atau tetraiodotironin

12

4. Tidak adanya atau defisiensi deiodinase iodotirosin, sehingga iodin tidak disimpan dalam kelenjar 5. Produksi berlebihan dari iodoprotein yang secara metabolit tidak aktif oleh kelenjar tiroid.1 Kemudian dapat memperlihatkan gangguan atau sintesis tiroglobulin abnormal. Pada semua sindroma-sindroma ini, gangguan produksi hormon tiroid diperkirakan berakibat timbulnya pelepasan TSH dan pembentukan goiter. Akhirnya, pembesaran tiroid dapat disebabkan lesi jinak seperti misalnya, adenoma, atau lesi yang ganas seperti misalnya karsinoma.1

Patogenesis Perkembangan goiter non toksik pada pasien dengan dishormonogenesis atau defisiensi iodin berat dan kemudian peningkatan sekresi TSH. TSH menginduksi hiperplasia tiroid difus, yang diikuti oleh hiperplasia fokal dengan nekrosis dan perdarahan dan akhirnya terjadinya daerah-daerah hiperplasia fokal baru. Hiperplasia fokal atau noduler biasanya melibatkan satu klon sel yang mungkin mampu atau tidak untuk mengambil iodin atau mensintesa tiroglobulin. Jadi nodul-nodul ini akan bervariasi dari nodul panas yang dapat mengkonsentrasikan iodin sampai nodul dingin yang tidak dapat, dan dari nodul koloid yang dapat mensintesis tiroglobulin sampai mikrofolikular yang tidak dapat. Mula-mula hiperplasia ini TSH dependent tapi kemudian nodul menjadi TSH independent atau autonomous. Jadi goiter TSH dependent non toksik nodosa terus berjalan untuk jangka waktu tertentu dan akhirnya jadi goiter toksik multinodular atau non toksik TSH independent.1 Mekanisme untuk perkembangan pertumbuhan otonom dan fungsi-fungsi nodul-nodul tiroid mungkin melibatkan mutasi yang terjadi pada pembelahan sel yang diinduksi TSH dalam suatu onkogen yang mengaktifkan protein Gs dalam membran sel. Mutasi dari onkogen ini yang disebut onkogen gsp telah ditemukan dalam proporsi yang tinggi pada nodul-nodul yang berasal dari penderita goiter multinodular. Aktivasi kronik pada protein Gs akan menghasilkan proliferasi dan hiperfungsi sel tiroid bahkan bila TSH tersupresi.1

13

Penatalaksanaan Dengan pengecualian terhadap yang disebabkan karena neoplasma, penanganan goiter non toksik muktahir hanya terdiri dari pemberian hormon tiroid sampai TSH sempurna tertekan. Levotiroksin dalam dosis 0,1-0,2 mg/hari akan menekan TSH hipofisis dan berakibat regresi lambat goiter dan juga perbaikan hipotiroidisme. Goiter lama bisa mempunyai daerah-daerah nekrosis, perdarahan, dan pembentukan jaringan parut yang tidak akan regresi dengan terapi tiroksin. Namun, lesi tidak akan bertambah sementara penderita minum tiroksin. Pada pasien lebih tua, pemberian levotiroksin harus sangat dilakukan dengan sangat hati-hati karena nodul panas biasanya autonomous dan kombinasi hormon eksogen dan endogen akan dengan cepat menimbulkan gejala-gejala toksik. Pembedahan diindikasikan untuk goiter yang terus tumbuh disamping supresi TSH dengan T4 atau yang menimbulkan gejala-gejala penekanan. Pembesaran goiter substernal biasanya merupakan indikasi bedah pengangkatan. Perhatikan bahwa lobus kiri kelenjar meluas dari tengah-tengah kartilago tiroid sampai persis di atas klavikula. Penekanan dari pembesaran ini telah menyebabkan deviasi trakea ke kanan. Permukaan kelenjar ireguler, dengan banyak nodul besar dan kecil. Walaupun goiter multinodular ini jarang ganas, ukuran massa ini dengan gejala penekanan yang diakibatkannya mungkin memerlukan tiroidektomi subtotal.1 1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism. 2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid autoimun 3. Goitrogen :

Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium

Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.

4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid


14

5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna.6

Bedah Lobektomi total Lobektomi total dilakukan untuk tumor ganas glandula tiroidea dan bila penyakit unilobaris yang mendasari tidak pasti. Beberapa ahli bedah juga lebih senang melakukan tindakan ini pada satu sisi bagi penyakit multinodularis dan meninggalkan sisa agak lebih besar dalam lobus yang lain. Bila dilakukan pengupasan suatu lobus, untuk tumor ganas, maka pembuluh darah tyhroidea superior, vena thyroidea media dan vena thyroidea inferior perlu dipotong. Ia memungkinkan mobilisasi kelenjar dan diretraksi ke medial untuk menunjukkan perlekatan vaskular utama terakhir, arteria thyroidea inferior. Glandula parathyroidea dan nervus laryngeus rekurens diidentifikasi dan dilindungi. Jika glandula parathyroidea pada permukaan thyroidea maka ia mula-mula bisa diangkat bersama tiroidea dan kemudian ditransplantasi. Lobus tiroidea di retraksi ke medial dengan dua glandula parathyroidea terlihat dekat cabang terminal arteria thyroidea inferior dan nervus laryngeus recurrens ditutupi oleh ligamentum fascia (ligamentum Berries). Nervus ini diidentifikasi sebagai struktur putih tipis yang berjalan dibawah ligamentum dan biasanya dibawah cabang terminal arteria tiroidea inferior. Nervus ini mempunyai pembuluh darah kecil yang berjalan dalam substansinya dan tidak boleh dirusak. Lobus ini secara lambat dan cermat diretraksi dari ligamentum Berry dan Nervus recurens sampai ia dipisahkan sama sekali dari trakea. Pada sejumlah tumor ganas, seperti varian folikularis dan meduler, maka direkomendasikan lobektomi total bilateral dengan pengupasan ruangan kelenjar limfe sentral. Setelah menyelesaikan eksisi kelenjar ini dan kelenjar limfe, maka hemostasis dinilai dan luka ditutup dalam lapisan. Drainase tidak diperlukan, asalkan hemostasis diamankan.

Komplikasi Tiroidektomi Komplikasi tiroidektomi didaftarkan, dengan komentar mutakhir dengan metode mencegah komplikasi ini: 1. Perdarahan. Resiko ini minimum, tetapi harus hati-hati dalam mengamankan hemostasis dengan penggunaan drain yang bijaksana. Perdarahan selalu mungkin terjadi setelah tiroidektomi. Bila ia timbul, biasanya ia suatu kedaruratan bedah,

15

tempat diperlukan secepat mungkin dekompresi leher segera dan mengembalikan pasien ke kamar operasi. 2. Masalah terbukanya vena besar dan menyebabkan embolisme udara. Dengan tindakan anastesi mutakhir, ventilasi tekanan positif intermiten dan teknik bedah yang cermat, bahaya ini harus minimum dan cukup jarang terjadi. 3. Trauma pada nervus laringeus rekurrens. Ia menimbulkan paralisis sebagian atau total (jika bilateral) laring. Pengetahuan anatomi bedah yang adekuat dan kehatihatian pada operasi seharusnya mencegah cedera pada saraf ini atau pada nervus laringeus superior. 4. Memaksa sekresi glandula ini dalam jumlah abnormal ke dalam sirkulasi dengan tekanan. Hal ini dirujuk pada tirotoksik storm, yang sekarang jarang terlihat karena persiapan pasien yang adekuat. Menghambat glandula tiroidea overaktif dalam pasien yang dioperasi karena tiroktoksikosis. 5. Sepsis yang meluas ke mediastinum. Juga komplikasi ini tidak boleh terlihat dalam klinik bedah saat ini. Antibiotika tidak diperlukan sebagai profilaksis. Perhatian bagi hemostasis adekuat saat operasi dilakukan dalam kamar operasi berventilasi tepat dengan peralatan yang baik dan ligasi harus disertai dengan infeksi yang dapat diabaikan. 6. Hipotiroidisme pasca bedah. Perkembangan hipotiroidisme setelah reseksi bedah tiroidea jarang terlihat saat ini. Ia dihati-hatikan dengan pemerikasaan klinik dan biokimia yang tepat pasca bedah.

Komplikasi Goiter nodular toksik Kanker tiroid.1,2,5

Prognosis Baik. Penderita goiter non-toksik biasanya harus minum levotiroksin seumur hidup. Mereka harus menghindari iodida yang dapat menginduksi hipertiroidisme atau bila tidak ada pemberian tiroksin, hipotiroidisme. Kadang-kadang, adenoma tunggal atau beberapa adenoma akan menjadi hiperplastik dan mengakibatkan goiter nodular toksik. Goiter non toksik sering familial dan anggota keluarga yang lain harus diperiksa dan diawasi untuk kemungkinan timbulnya goiter.1
16

Pencegahan Banyak makan makanan yang mengandung garam beryodium, khususnya selama kehailan. Banyak mengkonsumsi ikan laut.2

PENUTUP
Dari gejala klinis yang dapat segera dikenali, maka kita dapat dengan mudah mengenali dan mendeteksi dini penyakit ini. Dengan terapi yang cukup baik, maka struma nodosa non toksik ini dapat disembuhkan dengan baik. Terapi bedah memang mungkin dibutuhkan dalam hal ini untuk kasus-kasus yang dicurigai cancer, adanya keluhan kosmetik, dan juga jika terjadi penekanan dari beberapa organ. Terapi bedah yang dilakukan pun memiliki beberapa komplikasi yang serius, tapi jika dikerjakan dengan sangat hati-hati dan kompeten, maka hasilnya pun akan baik. Dari hasil data-data diatas, maka prognosis dari penyakit ini baik jika ditangani dengan baik.

Daftar Pustaka 1. Gardner DG, Shoback D. Greenspans basic and clinical endocrinology. Eight edition. USA: The McGraw Hill Companies; 2007. 2. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes kedokteran klinis. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005. 3. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Radiologi diagnostik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1992. 4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Edisi Keenam. Jakarta: EGC; 2006. 5. Sabiston DC. Buku ajar bedah. Bagian 1. Jakarta: EGC; 1992. 6. Struma diunduh dari November 2010. http://ababar.com/2008/12/struma.html pada tanggal 30

17

You might also like