You are on page 1of 17

BAB 7

DIMENSI – DIMENSI ORGANISASI SEKOLAH

ISI BAB

Mendefinisikan Organisasi dan Perilaku Organisasi


Ciri – ciri Utama Organisasi
Sekolah sebagai Organisasi
Konteks Kontemporer bagi Sekolah
Implikasi – Implikasi Praktis

Joan Andrews telah menjadi kepala Sekolah Menengah Lincoln selama tiga tahun.
Selama masa jabatannya, dia merasa frustasi karena dia tidak berhasil mengajak guru –
guru untuk menjadi pembimbing cheerleader sekolah . Setiap saat dia mendapatkan
berbagai alasan guru menolak tugas itu. Yang paling membingungkan Joan adalah setiap
guru yang baru masuk terlihat antusias menjadi pembimbing cheerleader tetapi setelah
beberapa waktu berlalu antusiasmenya menurun. Joan memutuskan melakukan
investigasi permasalahan tersebut. Dalam waktu singkat, ia sudah menemukan bahwa ada
kelompok kecil guru yang berpengaruh mempengaruhi guru – guru lain untuk menolak
tugas ini. Anggota kelompok ini yakin bahwa pemandu sorak ini termasuk olah raga.
Dan oleh karena itu mereka beragumen bahwa kegiatan cheerleader harus diperlakukan
sama seperti olah raga. Sehingga pembimbing pemandu sorak ini seharusnya
mendapatkan posisi sebagai pelatih. Para guru tadi berharap sikap mereka yang
mempengaruhi guru – guru lain untuk menolak tugas sebagai pembimbing pemandu
sorak akan menekan manajemen sekolah mempertimbangkan posisi pembimbing ini
sebagai pelatih. Masalah yang dialami Joan ini merupakan contoh yang istimewa tentang
pengaruh kondisi sekolah terhadap perilaku sekolah.
Memahami dan mempengaruhi perilaku adalah unsur – unsur kepemimpinan yang
penting. Ketika karyawan memutuskan melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu, keputusannya itu didapat dari pengaruh – pengaruh kolektif. Keyakinan –
keyakinan, keinginan – keinginan individu sering terjalin dengan tekanan – tekanan
sosial dan pertimbangan – pertimbangan politis untuk menentukan rangkaian kegiatan

1
seseorang. Maka apabila anggota staf pengajar menyatakan tidak bersedia menjadi
pembimbing cheerleader maka, kepala sekolah perlu mencari tahu faktor – faktor apa
yang menyebabkan guru mengampil keputusan demikian.
Kesadaran ini memberi peluang kepada kepala sekolah untuk mengembangkan berbagai
kemungkinan. Tiga tugas penting kepal sekolah, - memahami perilaku pegawai,
identifikasi masalah, dan pengembangan solusi – solusi difasiltitasi oleh pengetahuan
pemimpin tentang sekolah dan distrik – distrrik sekolah sebagai organisasi.

Mendefinisikan Organisasi dan Perilaku Organisasi


Ada dua unsur yang berulang – ulang disebutkan di semua definisi organisasi yaitu: sifat
sosial dari kesatuan – kesatuan ini dan (2) kenyataan bahwa entitas – entitas ini ada untuk
mencapai tujuan – tujuan tertentu. Berikut dua contoh definisi organisasi:

Organisasi adalah hasil penemuan sosial yang menyelesaikan tujuan – tujuan


melalui usaha kelompok. (Johns, 1988, hal. 9 – 10)

Sebuah organisasi bisa didefinisikan sebagai unit sosial yang dirancang secara
bebas untuk mencapai beberapa tujuan tertentu (Reitz. 1987. hal 13)

Di dalam bentuk yang paling dasarnya, organisasi bisa dipandang sebagai sistem – sistem
struktur independen yang dikenal sebagai kelompok. Dan di semua organisasi, kelompok
– kelompok ini terdiri dari individu – individu (Berren . 1976)
Hall (1991) menggambarkan kebanyakan organisasi yang ada di dalam
masyarakat kontemporer:

Organisasi – organisasi berada disekitar kita. Kita lahir didalamnya dan


biasanya mati pula di dalamnya. Ruang kehidupan kita diantaranya diisi oleh
oleh organisasi – organisasi. Tidak ada kesempatan melepaskan diri darinya.
Organisasi – organisasi itu tidak bisa dihindari seperti halnya kematian dan
pajak.

2
Tetapi, walaupun kita menghabiskan seluruh hidup untuk organisasi – organisasi itu,
kebanyakan dari kita tidak memahami bagaimana entitas – entitas ini membantu
membentuk nilai – nilai dan keyakinan – keyakinan kita serta akhirnya membentuk
perilaku kita. Kontak kita dengan organisasi dan kepercayaan kita padanya terbentang
luas melebihi dunia kerja kita. Beragam organisasi mulai dari agen – agen pemerintah
sampai ke gereja – gereja, hingga ke klub – klub daerah, hingga ke pabrik – pabrik,
sebenarnya mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
Perilaku Organisasi adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi sikap –
sikap dan perilaku individu dan kelompok yang membentuk organisasi (Johns, 1988).
Agar perilaku organisasi terjadi harus ada tiga unsur yaitu: individu – individu, sebuah
organisasi, dan interaksi diantara individu - individu dan organisasi. Hak ini
terilustrasikan dalam gambar 7 – 1.

Gambar 7 – 1 Komponen – Komponen Perilaku Organisasi

(1) (3) (2)

ORGANISASI
INDIVIDU
INTERAKSI Tujuan – tujuan

Pengalaman Sasaran – sasaran

Kebutuhan Iklim

3
Hubungan antara pegawai dan organisasi justru menjadi lebih komplek karena faktanya
bahwa individu adalah anggota kelompok formal dan dan informal. Kelompok –
kelompok merangkum nilai – nilai, keinginan – keinginan, kebutuhan – kebutuhan dan
lain – lain sama halnya dengan individu dan organisasi. Gambar 7 – 2 mengilustrasikan
interaksi yang terjadi di antara individu – individu, kelompok – kelompok dan organisasi.

Gambar 7 – 2 Interaksi diantara Individu, Kelompok dan Organisasi

ORGANISASI

[A] [B]

[D]

INDIVIDU KELOMPOK
[C]

A = Interaksi di antara Organisasi dan Individu


B = Interaksi di antara Organisasi dan Kelompok
C = Interaksi di antara Individu dan Kelompok
D = Interaksi di antara Individu, Kelompok, dan Organisasi

4
Ciri – ciri Penting Organisasi
Seperti halnya manusia, organisasi – organisasi juga berbagi hal – hal umum, tetapi setiap
organisasi bisa dibedakan satu sama lainnya baik melalui karakteristik yang terlihat
ataupun tidak terlihat yang membuat organisasi – organisasi itu unik.
Pemahaman dasar tentang perilaku organisasi merupakan fundamen dari kajian
administrasi sekolah.

Teori Organisasi
Teori organisasi meliputi susunan pengetahuan yang sistematis tentang pengetahuan yang
terakumulasi dala konteks perilaku organisasi.
Teori organisasi adalah produk penelitian. Pada awalnya, pengaruh teori klasik
(birokrasi) menciptakan citra sebuah organisasi rasional dimana manajemen ilmiah
dianggap sebagai faktor kunci yang berkaitan dengan keberhasilan lembaga. Tetapi
analisa menemukan bahwa kehidupan organisasi sebenarnya lebih rumit dan kurang bisa
diprediksi. Perubahan ini didasarkan atas keyakinan bahwa masalah fundamental dalam
semua organisasi adalah perkembangan dan pemeliharaan dinamis serta hubungan
harmonis (Hoy, Misket)

Budaya Organisasi

Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar
tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak
digunakan dalam bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri,
konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Dulu orang berpendapat
budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang
bersifatrohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan
sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya
diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang.
Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan
statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai

5
sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.Dari sini timbul
pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ?

Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk
melaksanakan tindakan yang dihayatinya.

Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang
sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang
sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah
cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan
membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi
basic

Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan
berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya
organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan
dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota
memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas
dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi
daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam
rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi.

Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Budaya organisasi mencakup
umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya.
Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan
norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara
dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku
organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.

Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, budaya organisasi
menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan

6
yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam
kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok
sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan
dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang
sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau
kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian
karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka
bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku
suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk
mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu
kelompok telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah
terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat
konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit
pada tingkatan nilai-nilai dasar.

Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan
hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan
usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang
eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia
melanggar norma-norma organisasi. Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung
tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian
manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris
mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama
membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat
orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan
kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik
yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.

Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus
menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi.
Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap

7
baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa
berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.

Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu
organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan
diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Budaya adaptif ini
merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko,
percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung
usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan
pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki
bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah
secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan
yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk
mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan
inovasi. Jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat
membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan
memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh
perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment
Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko,
pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam
hierarki.

Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam


organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam
suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau
kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Sumber-sumber pembentuk budaya
organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya
manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi
(stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya
dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian
budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun

8
memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai
baru dalam organisasi.

Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal.
Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan
perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa
diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa
diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok
dan apa yang dimaksudkan dengannya.

Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan
gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai
pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan
perayaan-perayaan khusus.

Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini
dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat
mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka.
Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan
diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment).
Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu
sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan
organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota
tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.

Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang
ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi
memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya
pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika
terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya
kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.

9
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses
belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan
sulit dihilangkan.

Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di


atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan budaya organisasi
dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di
sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi
lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan
yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Nilai-nilai yang
dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu
sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha
mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya.
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam.

Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan


lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan
dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu.
Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif
dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan,
baik fisik maupun sosialnya. Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik,
sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja
dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik
mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian
pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok,
kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan
dan sebagainya. “

Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya


pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Budaya
organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa
serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Lima dimensi budaya organisasi di sekolah

10
yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi,
komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah. Studi yang dilakukannya
memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students,
curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building
level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap
guru dalam bekerja. Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama
berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini,
kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik,
sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah
yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman
pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam
memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna
meningkatkan stabilitas dan pemelih

Iklim Organisasi

Owens mendefinisikan iklim organisasi sebagai studi persepsi individu mengenai


berbagai aspek lingkungan organisasinya. Iklim organisasi itu adalah yang menyangkut
semua lingkungan yang ada atau yang dihadapi oleh manusia di dalam suatu organisasi
tempat mereka melaksanakan pekerjaannya.
Iklim organisasi sebagai kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus
berlangsung, dialami oleh anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan dapat
dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi . Iklim organisasi
merupakan suatu konsep yang melukiskan sifat subjektif atau kualitas lingkungan
organisasi. Unsur-unsurnya dapat dipersepsikan dan dialami oleh anggota organisasi dan
dilaporkan melalui koesioner yang tepat.
Iklim organisasi merupakan satu set perlengkapan dari suatu lingkungan kerja yang
dirasakan secara langsung atau tidak langsung oleh karyawan yang bekerja di lingkungan
ini dan beranggapan akan menjadi kekuatan utama yang mempengaruhi tingkah laku
mereka dalam bekerja.

11
SEKOLAH SEBAGAI ORGANISASI
Meskipun sekolah adalah kesatuan yang tidak mencari keuntungan dan bahkan sekolah
itu meyediakan jasa bukan produk – produk, tapi sekolah ( dan sistem sekolah)
merupakan organisasi.

Dimensi Sosial
Konsep sistem sosial didasarkan pada gagasan bahwa kelompok individu yang memiliki
hubungan sering membentuk interaksi secara acak dari pada mempengaruhi perilaku.
(Hoy & Misket 1984). Terdapat dua tipe kelompok yaitu Kelompok formal dan
kelompok informal. Kelompok formal adalah kelompok yang mempunyai status legal.
Sedangkan kelompok informal seringkali tidak terlihat. Formasi unit – unit sosial di
dalam organisasi kadang – kadang merujuk sebagai organisasi informal (Blau & Scott,
1962)
Hoy dan Miskel (1984) mengidentifikasikan dua sumber untuk proses – proses
yang mengorganisasikan manusia secara sosial ”(1) struktur hubungan sosial di dalam
kelompok dan (2) budaya kelompok” (hal 51). Struktur itu mengenai pola – pola
interaksi (misalnya bagaimana dan dimana anggota – anggota bertemu) dan budaya yang
memberi nilai – nilai, keyakinan – keyakinan dan kebutuhan – kebutuhan anggota.
Di dalam pandangan dimensi sosial sekolah, dua poin penting perlu diperhatikan: (1)
Guru menjadikan dirinya profesional dan (2) sejarah menunjukkan bahwa guru hanya
mempunyai kekuatan kecil untuk mempengaruhi kebijakan di sekolah (stinnett &
Henson, 1982).

Dimensi Profesional
Sekolah – sekolah adalah organisasi – organisasi intensif dimana mayoritas pegawainya
diklasifikasikan sebagai profesional. Dalam hal ini sama dengan rumah sakit atau klinik
kesehatan mental. Beberapa pengarang (misalnya Mintzberg, 1979) menyebutkan
organisasi – organisasi ini sebagai birokrasi – birokrasi profesional. Klasifikasi ini telah
menimbulkan sejumlah permasalahan dalam hubungan antara administrasi dan guru.
Dua karakteristik yang digunakan untuk mengidentifikasikan organisasi –
organisasi profesional: (1) adanya tujuan – tujuan yang berhubungan dengan produksi,

12
aplikasi atau komunikasi pengetahuan dan (2) 50 persen atau lebih staf dikelompokkan
sebagai profesional (Etzioni, 1964). Etzioni (1964) mengklasifikasikan guru – guru
(sama dengan pekerja – pekerja sosial dan perawat – perawat) sebagai semi profesional,
praktisi – praktisi yang mempunyai sedikit kebebasan dari pengawasan atau kontrol
masyarakat dibandingkan profesi – profesi tradisional. Bennet dan LeCompte (1990)
menjelaskan kondisi ini:
Para praktisi semi profesional bukanlah tipe pegawai mandiri, mereka di batasi
oleh layanan birokratisasi dan dibayar dengan gagi bukan dari pembayaran klien
(hal.124)

Dimensi Politik
Knezevich (1984) menggambarkan politik pendidikan sebagai berikut:

Politik berhubungan dengan kekuatan mengambil keputusan, distribusi dan


pembatasannya di antara orang – orang yang menjadi bagian organisasi,
komunitas, negara, agama dan bangsa. (hal 491)

Dimensi politik seringkali berkaitan dengan interaksi – interaksi antara sekolah dan
sistem – sistem politik dimana sekolah berada. Tetapi terjadi juga cukup banyak politik
– politik internal dimana administratur, guru – guru dan para pegawai lainnya bersaing
untuk kekuasaan dan keterkenalan (Knezevich, 1984). Persatuan guru, misalnya
merupakan isu profesional dan politik bagai para administratur.
Politik – politik organisasi diikat bersama oleh beberapa asumsi dasar. Pertama,
organisasi tidak memiliki semua sumber daya yang diperlukan untuk melakukan segala
sesuatu yang diinginkan. Kedua, organisasi terdiri dari individu – individu dan koalisi –
koalisi (kelompok-kelompok) yang mempunyai berbagai nilai, keyakinan, kebutuhan,
kecenderungan, persepsi dan keinginan. Ketiga, tujuan – tujuan dan keputusan –
keputusan organisasi berasal dari proses negosiasi dimana beragam individu dan koalisi
menggunakan kekuasaan (Bolman & Deal, 1989).

13
Pentingnya Adaptabilitas Organisasi
Isu – isu yang paling banyak dihadapi administratur sekolah
adalah adaptabilitas organisasi. Sekolah – sekolah umum secara berulang terus di kritisi
karena menjadi lembaga – lembaga yang statis yang gagal mengikuti perubahan cepat
masyarakat.
Ada tiga konflik dasar yang bisa di perkirakan: (1) inovasi kontra tradisi (2)
pemenuhan diri sendiri kontra partisipasi (3) desentralisasi kontra integrasi. Kondisi –
kondisi ini terlihat di pendidikan umum. Upaya reformasi sering terbentur dengan
budaya organisasi yang tidak fleksibel; program – program pengembangan staf yang
sering hanya untuk organisasi; dan saran – saran tentang desentralisasi berkenaan dengan
otoritas dan pengawasan.
Perubahan menuntut strategi – strategi intensif dan prencanaan yang baik untuk
membuat cara alternatif bagi para praktisi dalam melihat dunia kerjanya. Yang
terpenting, perubahan memerlukan pengambil resiko di posisi kepemimpinan -
administratur – administratur yang melibatkan yang lainnya menciptakan jaringan
pendukung, komunikasi yang efektif, mentoleransi kesalahan, memberi penguatan,
mencanangkan harapan tinggi, dan memimpin dengan teladan (Myers & Robbins, 1991).
Penelitian tentang sekolah – sekolah efektif menidentikasikan bahwa kepemimpinan yang
efektif merupakan komponen penting dalam perubahan dan perbaikan intruksional (Hall
& Hord, 1987)

Manajemen Para Profesional


Seperti dikemukakan di awal bahwa sekolah – sekolah dianggap sebagai organisasi yang
didominasi para profesional. Walaupun dengan karakterisasi ini, guru – guru sejak dulu
memiliki kebebasan terbatas dalam menjalankan profesinya. Hubungannya dengan
administrasi menjadikannya sebagai bawahan. Pada hakikatnya, guru – guru diharapkan
memperoleh dan menggunakan pengetahuan teknis dengan cara yang baik.
Pada kenyataannya, dunia kerja guru diisi dengan tujuan – tujuan ambiguitas dan
tujuan – tujuan yang bertentangan (Griffin, 1985). Seperti halnya pada profesi lain,
mengajar juga dihadapkan pada tantangan – tantangan yang menolak solusi – solusi
teknis (Schon, 198).

14
Upaya yang lebih baru guna mencapai otonomi guru mengalami kemajuan di
bawah label kekuatan guru. Sejak tahun 1960, tawar – menawar kolektif antara
persatuan – persatuan guru dan dewan pimpinan sekolah berlangsung seru dimana guru
mencoba memperoleh kekuatan (misalnya, untuk memperoleh suara dalam meratifikasi
kebijakan – kebijakan, aturan – aturan, dan regulasi – regulasi). Apabila mengajar
diterima sebagai sebuah profesi dan jika untuk memasuki profesi itu didasarkan pada
standar pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, maka guru akan mendapatkan
kekuasaan sebagai ahli dalam menjalankan tugas – tugasnya. Pada hakikatnya kekuasaan
menciptakan rasa cukup dan meninggikan pentingnya pengetahuan profesional dan
kompetensi (Bennis, 1989). Bandingkan dengan persatuan yang berdasarkan perjuangan
kekuasaan pada dua puluh lima tahun yang lalu, kekuatan guru menawarkan peluang
untuk menegakkan hubungan baru antara guru – guru dan administratur – administratur.

Pencarian Organisasi Profesional


Sejumlah pengarang telah menyebutkan perbedaan yang tegas antara birokrasi dan
organisasi profesional. Campbell et. al. (1990) menemukan bahwa aspek – aspek
birokrasi benar – benar tidak sama dengan profesionalisme. Banyaknya aturan dan
peraturan yang mengatur perilaku guru adalah contohnya. Sebaliknya organisasi
profesional cenderung menerapkan aturan – aturan formal (By waters, 1991). Di lain
pihak, hal ini benar adanya, karena para profesional cenderung menggunakan asosiasi –
asosiasi sukarela dengan tujuan bisa melakukan pengendalian sendiri (misalnya, asosiasi
pengacara; Conley (1991) menjelaskan model profesional sebagai berikut:
...... guru adalah pembuat keputusan yang secara kreatif mengadaptasi
pengetahuan menjadi situasi – situasi masalah yang unik dan bervariasi,
meningkatkan keterampilan melalui ”pengetahuan teksbook” dan terus – menerus
berinisiatif membuat keputusan profesional dan membuat keputusan. (hal. 48)

Transformasi sekolah – sekolah menjadi organisasi – organisasi profesional masih


perlu dipertanyakan. Pergerakan dari birokratik – seperti struktur menjadi budaya –
budaya profesional bisa terhambat dengan keberadaan mekanisme kebijakan yang
memperbolehkan national, negara, dan agen – agen lokal mengatur sekolah – sekolah.

15
IMPLIKASI – IMPLIKASI PRAKTIS
Beberapa pesan kunci dari bab ini adalah:
 Pertama, sekolah – sekolah jelas merupakan organisasi. Mereka memiliki
atribut – atribut seperti kebanyakan organisasi, namun sekolah – sekolah
juga merupakan kesatuan – kesatuan yang unik. Sekolah mempunyai
karakteristik khusus yang nampak berbeda dari kebanyakan organisasi.
Misalnya, sekolah itu adalah lembaga yang didominasi para profesional,
lebih dari setengah pegawainya diklasifikasikan sebagai profesional.
 Kedua, Sekolah – sekolah dan sekolah pemerintah adalah unik. Apabila
sekolah – sekolah itu disimpan dibawah mikroskop, perbedaan budaya,
iklim, kepemimpinan dan lain – lain akan kelihatan jelas sekali. Oleh
karena, hati – hati untuk menggeneralisir sekolah – sekolah. Sebagai
seorang praktisi, setiap lingkungan institusional tempat dimana anda
bekerja harus dipandang dari dua perspektif yaitu: (1) apa yang
menjadikan organisasi ini sama dengan organisasi – organisasi lain?
(2) Hal apa saja yang unik dari organisasi ini?
Organisasi – organisasi mengelilingi kita, dan menjadi bagian penting dalam
kehidupan pribadi dan profesional kita. Mereka menjadi alat utama untuk mencapai
masyarakat yang lebih baik (Hall, 1991). Tetapi lebih tepatnya lagi, perilaku anda
sebagai pemimpin akan berlangsung dalam konteks organisasi. Keberhasilan anda akan
diperkaya dengan pemahaman tentang bagaimana para pegawai berhubungan dengan
organisasi, bagaimana setiap individu menjadi anggota kelompok formal dan informal,
bagaimana kelompok – kelompok berinteraksi dan menjalankan kekuasaan serta tentang
bagaimana anda memimpin individu – individu dan kelompok – kelompok tersebut
mencapai tujuan – tujuan lembaga.

16
17

You might also like