You are on page 1of 10

PITIRIASIS ROSEA Leo Fernando, S.

Ked 04061001062 Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang 2010

PENDAHULUAN
Pitiriasis Rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya yang dimulai dengan sebuah lesi perimer yang dikarakteristikkan dengan gambaran herald patch berbentuk eritema dan skuama halus yang kemudian diikuti dengan lesi sekunder yang mempunyai gambaran khas.2 Istilah Pitiriasis Rosea pertama kali dideskripsikan oleh Robert Willan pada tahun 1798 dengan nama Roseola Annulata, kemudian pada tahun 1860, Gilbert memberi nama Pitiriasis Rosea yang berarti skuama berwarna merah muda ( rosea ).3 Insiden tertinggi pada usia antara 15 40 tahun1. Wanita lebih sering terkena dibandingkan pria dengan perbandingan 1.5 : 1.3 Diagnosis Pitiriasis Rosea dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis apabila sulit menegakkan diagnosis Pitiriasis Rosea. Biasanya Pitiriasis Rosea didahului dengan gejala prodromal ( lemas, mual, tidak nafsu akan, demam, nyeri sendi, pembesaran kelenjar limfe ). Setelah itu muncul gatal dan lesi dikulit.4 Banyak penyakit yang memberikan gambaran seperti Pitiriasis Rosea seperti dermatitis numularis, sifilis sekunder, dan sebagainya2 Pitiriasis Rosea merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, oleh karena itu, pengobatan yang diberikan adalah pengobatan suportif. Obat yang diberikan dapat berupa kortikosteroid, antivirus, dan obat topikal untuk mengurangi pruritus. Pada referat kali ini akan dibahas secara keseluruhan tentang Pitiriasis Rosea meliputi definisi hingga penatalaksaan serta prognosisnya

DEFINISI
Pitiriasis Rosea berasal dari kata pityriasis yang berari skuama halus dan rosea yang berarti berwarna merah muda4. Pitiriasis Rosea adalah erupsi kulit yang dapat sembuh sendiri, berupa plak berbentuk oval, soliter dan berskuama pada trunkus ( herald patch ) dan umumnya asimptomatik.3 Menurut Andrew ( 2006 ), Pitiriasis Rosea adalah peradangan kulit berupa eksantema yang ditandai dengan lesi makula-papula berwarna kemerahan ( salmon colored ) berbentuk oval, circinate tertutup skuama collarette, soliter dan lama kelamaan menjadi konfluen.2 Ketika lesi digosok menurut aksis panjangnya, skuama cenderung terlipat melewati garis gosokan ( hanging curtain sign ).2

EPIDEMIOLOGI
Pitiriasis Rosea terjadi pada seluruh ras yang ada di dunia. Prevalensi Pitiriasis Rosea adalah 0,13% pada laki-laki dan 0,14% pada wanita per total penduduk dunia dengan usia antara 10-34 tahun.1 Penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak dan usia dewasa muda dengan rentang usia antara 15-40 tahun. Jarang terjadi pada bayi dan orang lanjut usia.2

ETIOLOGI
Watanabe et al melakukan penelitian dan mempercayai bahwa Pitiriasis Rosea disebabkan oleh virus. Mereka melakukan replikasi aktif dari Herpes Virus ( HHV )-6 dan -7 pada sel mononuklear dari kulit yang mengandung lesi, kemudian mengidentifikasi virus pada sampel serum penderita.3 Jadi, Pitiriasis Rosea ini merupakan reaksi sekunder dari reaktivasi virus yang didapatkan pada masa lampau dan menetap pada fase laten sebagai sel mononuklear.1 Pitiriasis Rosea juga dapat disebabkan oleh obat-obatan atau logam, misalnya arsenik, bismut, emas, methopromazine, metronidazole, barbiturat, klonidin, kaptopril dan ketotifen.1,3 Hipotesis lain menyebutkan peranan autoimun, atopi dan predisposisi genetik dalam kejadian Pitiriasis Rosea.7 2

GAMBARAN HISTOPATOLOGIK
Gambaran histopatologik dari Pitiriasis Rosea tidak spesifik sehingga penderita dengan Pitiriasis Rosea tidak perlu dilakukan biopsi lesi untuk menengakkan diagnosis. Pemeriksaan histopatologi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis Pitiriasis Rosea dengan gejala atipikal. Pada lapisan epidermis ditemukan adanya parakeratosis fokal, hiperplasia, spongiosis fokal, eksositosis limfosit, akantosis ringan dan menghilang atau menipisnya lapisan granuler. Sedangkan pada dermis ditemukan adanya ekstravasasi eritrosit serta beberapa monosit.2,4

Akantosis Spongiosis Infiltrat limfohistiosit

Gambar histologik non spesifik tipikal dari Pitiriasis Rosea, menunjukkan parakeratosis, hilangnya lapisan granular, akantosis ringan, spongiosis, dan infiltrat limfohistiosit pada dermis superficial2

GAMBARAN KLINIS
Tempat predileksi Pitiriasis Rosea adalah badan, lengan atas bagian proksimal dan paha atas sehingga membentuk seperti gambaran pakaian renang.2 Sinar matahari mempengaruhi distribusi lesi sekunder, lesi dapat terjadi pada daerah yang terkena sinar matahari, tetapi pada beberapa kasus, sinar matahari melindungi kulit dari Pitiriasis Rosea. Pada 75% penderita biasanya timbul gatal didaerah lesi dan gatal berat pada 25% penderita.1 1. Gejala klasik Gejala klasik dari Pitiriasis Rosea mudah untuk dikenali. Penyakit dimulai dengan lesi pertama berupa makula eritematosa yang berbentuk oval atau 3

anular dengan ukuran yang bervariasi antara 2-4 cm, soliter, bagian tengah ditutupi oleh skuama halus dan bagian tepi mempunyai batas tegas yang ditutupi oleh skuama tipis yang berasal dari keratin yang terlepas yang juga melekat pada kulit normal ( skuama collarette ). Lesi ini dikenal dengan nama herald patch.1,2,3

Herald Patch

Gambar herald patch3

skuama

Gambar plak primer tipikal ( herald patch ) menunjukkan bentuk lonjong dengan skuama halus di tepi bagian dalam plak4

Pada lebih dari 69% penderita ditemui adanya gejala prodromal berupa malaise, mual, hilang nafsu makan, demam, nyeri sendi, dan pembengkakan kelenjar limfe.4 Setelah timbul lesi primer, 1-2 minggu

kemudian akan timbul lesi sekunder generalisata. Pada lesi sekunder akan ditemukan 2 tipe lesi. Lesi terdiri dari lesi dengan bentuk yang sama dengan lesi primer dengan ukuran lebih kecil ( diameter 0,5 1,5 cm ) dengan aksis panjangnya sejajar dengan garis kulit dan sejajar dengan kosta sehingga memberikan gambaran Christmas tree. Lesi lain berupa paul-papul kecil berwarna merah yang tidak berdistribusi sejajar dengan garis kulit dan jumlah bertambah sesuai dengan derajat inflamasi dan tersebar perifer. Kedua lesi ini timbul secara bersamaan.2

Gambaran menyerupai pine tree (http://www.mayoclinic.com/health/medical/IM00515 )

2. Gejala atipikal Terjadi pada 20% penderita Pitiriasis Rosea. Ditemukannya lesi yang tidak sesuai dengan lesi pada Pitiriasis Rosea pada umunya. Berupa tidak ditemukannya herald patch atau berjumlah 2 atau multipel. Bentuk lesi lebih bervariasi berupa urtika, eritema multiformis, purpura, pustul dan vesikuler.3 Distribusi lesi biasanya menyebar ke daerah aksila, inguinal, wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Adanya gejala atipikal membuat diagnosis dari Pitiriasis Rosea menjadi lebih sulit untuk ditegakkan sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan.

Gambar Diagram skematik plak primer ( herald patch ) dan distribusi tipikal plak sekunder sepanjang garis kulit pada trunkus dalam susunan Christmas tree3

DIAGNOSIS BANDING
a. Sifilis sekunder Adalah penyakit yang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan lanjutan dari sifilis primer yang timbul setelah 6 bulan timbulnya chancre. Gejala klinisnya berupa lesi kulit dan lesi mukosa. Lesi kulitnya non purpura, makula, papul, pustul atau kombinasi, walaupun umumnya makulopapular lebih sering muncul disebut makula sifilitika.2

Perbedaannya dengan Pitiriasis Rosea adalah sifilis memiliki riwayat primary chancre ( makula eritem yang berkembang menjadi papul dan pecah sehingga mengalami ulserasi di tengah ) berupa tidak ada herald patch, limfadenopati, lesi melibatkan telapak tangan dan telapak kaki, dari tes laboratorium VDRL (+).10

b. Tinea korporis Adalah lesi kulit yang disebabkan oleh dermatofit Trichophyton rubrum pada daerah muka, tangan, trunkus atau ekstremitas. Gejala klinisnya adalah gatal, eritema yang berbentuk cincin dengan pinggir berskuama dan penyembuhan di bagian tengah. Perbedaan dengan Pitiriasis Rosea adalah pada Tinea korporis, skuama berada di tepi, plak tidak berbentuk oval, dari pemeriksaan penunjang didapatkan hifa panjang pada pemeriksaan KOH 10%.10 c. Dermatitis numuler Adalah dermatitis yang umumnya terjadi pada dewasa yang ditandai dengan plak berbatas tegas yang berbentuk koin ( numuler ) dan dapat ditutupi oleh krusta. Kulit sekitarnya normal. Predileksinya di ekstensor. Perbedaan dengan Pitiriasis Rosea adalah pada Dermatitis Numuler, lesi berbentuk bulat, tidak oval, papul berukuran milier dan didominasi vesikel serta tidak berskuama.2 d. Psoriasis gutata Adalah jenis psoriasis yang ditandai dengan eupsi papul di trunkus bagian superior dan ekstremitas bagian proksimal. Perbedaan dengan Pitiriasis Rosea adalah pada Psoriasis gutata, aksis panjang lesi tidak sejajar dengan garis kulit, skuama tebal.2

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Umumnya untuk menegakkan diagnosis Pitiriasis Rosea tidak dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun dalan hal diagnosis susah ditegakkan, kita membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding lain. Dapat dilakukan RPR ( Rapid Plasma Reagin ) dan FTA-Abs( Fluoresent Treponemal Antibody Absorbed ) untuk skrining sifilis.8

PENATALAKSANAAN
1. Umum Walaupun Pitiriasis Rosea bersifat self limited disease ( dapat sembuh sendiri ), bukan tidak mungkin penderita merasa terganggu dengan lesi yang muncul. Untuk itu diperlukan penjelasan kepada pasien tentang : Pitiriasis Rosea akan sembuh dalam waktu yang lama Lesi kedua rata-rata berlangsung selama 2 minggu, kemudian menetap selama sekitar 2 minggu, selanjutnya berangsur hilang sekitar 2 minggu. Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa Pitiriasis Rosea berlangsung hingga 3-4 bulan Penatalaksanaan yang penting pada Pitiriasis Rosea adalah dengan mencegah bertambah hebatnya gatal yang ditimbulkan. Pakaian yang mengandung wol, air, sabun, dan keringat dapat menyebabkan lesi menjadi bertambah berat.

2. Khusus Topikal Untuk mengurangi rasa gatal dapat menggunakan zink oksida, kalamin losion atau 0,25% mentol. Pada kasus yang lebih berat dengan lesi yang luas dan gatal yang hebat dapat diberikan glukokortikoid topikal kerja menengah ( bethametasone dipropionate 0,025% ointment 2 kali sehari ).2,9 Sistemik Pemberian antihistamin oral sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa gatal.4 Untuk gejala yang berat dengan serangan akut dapat diberikan kortikosteroid sistemik atau pemberian triamsinolon diasetat atau asetonid 20-40 mg yang diberikan secara intramuskuler. Penggunaan eritromisin masih menjadi kontroversial. eritromisin oral pernah dilaporkan cukup berhasil pada penderita Pitiriasis Rosea yang diberikan selama 2 minggu3. Dari suatu penelitian menyebutkan bahwa 73% dari 90 penderita pitiriasis rosea yang mendapat eritromisin oral 8

mengalami kemajuan dalam perbaikan lesi. Eritomisin diduga mempunyai efek sebagai anti inflamasi5,6. Namun dari penelitian di Tehran, Iran yang dilakukan oleh Abbas Rasi et al menunjukkan tidak ada perbedaan perbaikan lesi pada pasien yang menggunakan eritromisin oral dengan pemberian plasebo.7 Asiklovir dapat diberikan untuk mempercepat penyembuhan. Dosis yang dapat diberikan 5x800mg selama 1 minggu.2 Pemakaian sinar radiasi ultraviolet B atau sinar matahari alami dapat mengurangi rasa gatal dan menguranngu lesi.2 Penggunaan sinar B lebih ditujukan pada penderita dengan lesi yang luas, karena radiasi sinar ultraviolet B ( UVB ) dapat menimbulkan hiperpigmentasi post inflamasi.2

PROGNOSIS
Prognosis pada penderita Pitiriasis Rosea adalah baik karena penyakit ini bersifat self limited disease sehingga dapat sembuh spontan dalam waktu 3-8 minggu.

DAFTAR PUSTAKA
1. James, William D., Timothy G.B, Dirk M. Epityriasis Rosea. In: James WD Berger TG, Eston DM. Andrews diseases of the skin, 10th ed. WB Saunders Company, Canada.2006; 207-216. 2. Blauvelt, Andrew. Pityriasis Rosea In: Dermatology in General Medicine Fitzpatricks. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008; 362-265. 3. Sterling, J.C. Viral Infections. In : Rooks textbook of dermatology.7th ed. 2004. 25.79-82. 4. Lichenstein, A. Pityriasis Rosea. Diunduh dari www. Emedicine.com pada tanggal 15 Agustus 2010. 5. Broccolo F, Drago F, Careddu AM, et al. Additional evidence that pityriasis rosea is associated with reactivation of human herpesvirus-6 and -7. J Invest Dermatol. 2005; 124:1234-1240. 6. Stulberg, D. L., Jeff W. Pityriasis Rosea. Am Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91. Diunduh www.aafp.org/20040101/p47.html pada tanggal 15 Agustus 2010. Fam dari

7. Chuh, A et al. 2004. Pityriasis Rosea evidence for and against at infectious disease. Cambridge University Press :Cambridge Journal 132:3:381-390. 8. Galvan, S V et al. 2009. Atypical Pityriasis Rosea in a black child : a case report. Cases Journal Vol 2 : 6796. 9. Zawar, Vijay. 2010. Giant Pityriasis Rosea. Indian Journal Dermatology. Aprl-Jun; 55(2): 192194. 10. McPhee, S J, Maxine A P. 2009. Current Medical Diagnosis and Treatment forty eighth edition. Mc Graw Hill Companies:USA.

10

You might also like