You are on page 1of 29

BLOK HEMATOLOGI Wrap Up PBL Skenario 1 Santi Pucat Dan Lemah

Kelompok B-11

Ketua Sekretaris Anggota

: Rizq Felageti Sofian : Widya Amalia Swastika : Raras Mayang Melly Faisha Rahma Nadira Danata PutriMutiara Sari Rizky Amalia Sharfina Rizq Felageti Sofian Sibro Milsi Widya Amalia Swastika Zulfa Vinanta

1102011241 1102011290 1102010231 1102011161 1102011188 1102011212 1102011239 1102011241 1102010259 1102011290 1102011302

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2012- 2013

Santi Pucat Dan Lemah Nn. Santi, umur 25 tahun, dating ke rumah sakit dengan keluhan nafsu makan menurun, cepat lemah, dada berdebar-debar, dan sesak nafas. Santi berkerja sebagai buruh pabrik. Pola makan tidak teratur. Empat bulan terakhir Santi mengalami menstruasi yang lebih banyak dan lebih lama daripada biasanya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit dan konjungtiva pucat, serta kelainan pada kuku berupa koilonichia. Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan kadar hemoglobin (hb) 8,9 g/dl, hematocrit 28 vol %, jumlah eritrosit 3,88 10 /l, Mean Corpuscular Volume (MCV) 65 fL (normal 82-92 fl), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) 23 pg (normal 27-31 pg) Mean Corpuscular Hemoglobin Consertation (MCHC) 28% (normal 32-36 %), jumlah leukosit 5.200 /l dengan hitung jenis didapatkan basophil 0 %, eosinophil 2%, batang 3%, neutrofil 68%, limfosit 23%, monosit 4% (0/2/3/68/23/4), jumlah trombosit 365.000 / l. pada sedaiaan hapus darah tepi dijumpai kelainan morfologi eritrosit berupa sel pensil. Dokter menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kadar besi serum, kadar ferritin serum, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity (TIBC) dan saturasi transferrin.

SASARAN BELAJAR LI 1. Memahami dan Menjelaskan Eritrosit LO.1.1. Memahami dan Menjelaskan Morfologi LO.1.2. Memahami dan Menjelaskan Morfologi abnormal LO.1.3. Memahami dan Menjelaskan Fungsi Eritrosit LI 2. Memahami dan Menjelaskan Eritropoiesis LO. 2.1. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Eritropoiesis LO.2.2. Memahami dan Menjelaskan Faktor-faktor yang mempengaruhi LI 3. Memahami dan Menjelasakan hemoglobin LO.3.1. Memahami dan Menjelaskan Struktur Hemoglobin LO.3.2. Memahami dan Menjelaskan Fungsi hemoglobin LO.3.3. Memahami dan Menjelaskan Biosintesis hemoglobin LO.3.4. Memahami dan Menjelaskan Reaksi Hemoglobin dan Oksigen LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Anemia LO.4.1. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Anemia LI 5. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi LO.5.1. Memahami dan Menjelasak Definisi Anemia Defisiensi Besi LO.5.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Anemia Defisiensi Besi LO.5.3. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Anemia defisiensi Besi LO.5.4. Memahami dan Menjelaskan Patogenesis Anemia Defisiensi Besi LO.5.5. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi LO.5.6. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Anemia Defisiensi Besi LO.5.7. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis & Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi LO.5.8. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan penunjang LO 5.9. Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi LO.5.10. Memahami dan Menjelaksan Pencegahan Anemia Defiseiensi Besi

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Eritrosit LO.1.1. Memahami dan Menjelaskan Morfologi Eritrosit berukan 6-8 mikrometer. Berbentuk cakram bikonkaf dengan bagian tengah yang lebih tipis sehingga terlihat lebih pucat. Eritrosit matang tidak mempunyai inti sel dan organel sel seperti mitokondria, lisosom, atau aparatus golgi. Sel darah merah mempunyai sistem sitoskeletal yang berperan penting dalam menentukan bentuknya. Ketebalan yang paling tebal dibagian pinggir 2,5 m dan pada bagian tengah 1 m atau kurang. Volume eritrosit dalam darah adalah 90 -95 m 3 LO.1.2. Memahami dan Menjelaskan Morfologi abnormal 1) Kelainan Ukuran a) Makrosit diameter eritrosit 9 m dan volumenya 100 fL b) Mikrosit diameter eritrosit 7 dan volumenya 80 fL c) Anisositosis ukuran eritrosit tidak sama besar 2) Kelainan Warna a) Hipokrom bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit diameternya b) Polikrom eritrosit yang memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit matang, warnanya lebih gelap.

Gambar 2.1. kelainan ukuran dan warna eritrosit 3) a. Kelainan Bentuk Sel sasaan (target cell) Pada bagian tengah dari daerah pucat eritrosit terdapat bagian yang lebih gelap/merah. Sferosit Eritrosit < normal, warnanya tampak lebih gelap.

b.

c.

Ovalosit/Eliptosit Bentuk eritrosit lonjong seperti telur (oval), kadang-kadang dapat lebih gepeng (eliptosit). Stomatosit Bentuk sepeti mangkuk.

d.

e.

Sel sabit (sickle cell/drepanocyte) Eritosit yang berubah bentuk menyerupai sabit akibat polimerasi hemoglobin S pada kekurangan O2. Akantosit Eritrosit yang pada permukaannya mempunyai 3 12 duri dengan ujung duri yang tidak sama panjang.

f.

g.

Burr cell (echinocyte) Di permukaan eritrosit terdapat 10 30 duri kecil pendek, ujungnya tumpul.

h.

Sel helmet Eritrosit berbentuk sepeti helm.

i.

Fragmentosit (schistocyte) Bentuk eritrosit tidak beraturan.

j.

Tear drop cell Eritrosit seperti buah pear atau tetesan air mata.

k.

Poikilositosis Bentuk eritrosit bermacam-macam.

L.

Rouleaux formation Tiga sampai lima eritrosit tersusun memanjang

n.

Autoaglutinasi Eritrosit menggumpal

LO.1.3. Memahami dan Menjelaskan Fungsi Eritrosit Fungsi utama eritrosit yaitu menyalurkan oksigena ke jaringan dan membantu membuang karbondioksida dan proton yang dibentuk oleh metabolisme jaringan. Bentuk bikonkaf dari eritrosit dipertahankan oleh ATP dari proses glikolisis. Bentuk ini meningkatkan rasio permukaan terhadap volume sel darah merah sehingga mempermudah pertukaran gas. Mengangkut zat makanan serta mengangkut zat metabolisme. Menjaga suhu tubuh agar tetap stabil. Mempertahankan keseimbangan osmotik. Mempertahankan besi dalam bentuk tereduksi (fero). LI 2. Memahami dan Menjelaskan Eritropoiesis LO. 2.1. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Eritropoiesis

Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepI. Asal sel yang akan terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan

hemoglobin. Selanjutnya sel ini akan berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.

Rubriblast Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel termuda dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus. Dengan pulasan Romanowsky inti berwarna biru kemerah-merahan sitoplasmanya berwarna biru. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti. Prorubrisit Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Pada pewarnaan kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau tidak tampak, sitoplasma sedikit mengandung hemoglobin sehingga warna biru dari sitoplasma akan tampak menjadi sedikit kemerah-merahan. Ukuran lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4% dari seluruh sel berinti.

Rubrisit Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna biru karena kandungan asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena kandungan hemoglobin, tetapi warna merah biasanya lebih dominan. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %. Metarubrisit Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalam keadaan normal adalah 5-10 %. Retikulosit

Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti sel,masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Pada saat proses maturasi akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa RNA juga mengandung berbagai fragmen mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit polikrom. Retikulum yang terdapat di dalam sel ini hanya dapat dilihat dengan pewarnaan supravital. Tetapi sebenarnya retikulum ini juga dapat terlihat segai bintik-bintik abnormal dalam eritrosit pada sediaan apus biasa. Polikromatofilia yang merupakan kelainan warna eritrosit yang kebiru-biruan dan bintik-bintik basofil pada eritrosit sebenarnya disebabkan oleh bahan ribosom ini. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Kemudian sebagai eritrosit matang selama 120 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5-2,5 % retikulosit. Eritrosit Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkav dengan ukuran diameter 7-8 um dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan sangat berubah bentuk selama beredar dalam sirkulasi. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa. Banyak dinamika yang terjadi pada eritrosit selama beredar dalam darah, baik mengalami trauma, gangguan metabolisme, infeksi Plasmodium hingga di makan oleh Parasit.

LO.2.2. Memahami dan Menjelaskan Faktor-faktor yang mempengaruhi Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan adanya keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit. Keseimbangan ini sangat penting, karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika terjadi kenaikan jumlah eritrosit akan meningkatkan kekentalan darah. Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam rentang hemostasis, sel-sel baru diproduksi dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih dari 2 juta per detik pada orang yang sehat. Proses ini dikontrol oleh hormone dan tergantung pada pasokan yang memadai dari besi, asam amino dan vitamin B tertentu. Hormonal Control Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormone eritropoetin ( EPO ) dan hormon glikoprotein. Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO. Ketika sel-sel ginjal mengalami hipoksia ( kekurangan O2 ), ginjal akan mempercepat pelepasan eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO : 1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan 2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah ( seperti yang terjadi pada defisiensi besi ) 3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita pneumonia.

Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah, sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan penyaluranO2 ke jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak mengaktifkan langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya memberikan stimulus hormone yang akan mengaktifkan sumsum tulang. Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormone sex wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanita lebih rendah daripada pria.

Eritropoeitin Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal,hati Stimulus pembentukan eritroprotein: tekanan O2 dalam jaringan ginjal. penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon eritropoetin ke dalam darah merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang proliferasi dan pematangan eritrosit jumlah eritrosit meningkatkapasitas darah mengangkut O2 dan penyaluran O2 ke jaringan pulih ke tingkat normal stimulus awal yang mencetuskan sekresi eritropoetin hilang sampai diperlukan kembali. Pasokan O2 ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih mudah melepaskan O2: stimulus eritroprotein turun Fungsi: mempertahankan sel-sel precursor dengan memungkin sel-sel tsb terus berproliferasi menjadi elemen-elemen yg mensintesis Hb. Bekerja pada sel-sel tingkat G1 Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoeisis karena suplai O2 & kebutuhanmengatur pembentukan eritrosit

Awal pembentukan darah Saat janin : yolk sac Trimester I dan II : hati dibantu oleh limpa dan kelenjar limfe Trimester III: sum sum tulang Lahir- dewasa: tibia, femur, iga, sternum, vertebra

Proses pembentukan darah dimulai dari pembentukan sel-sel muda di sum-sum tulang, menjadi sel matang di dalam darah. Proses tersebut melewati 3 tahap yaitu: Proliferasi Diferensiasi Maturasi.

10

Ukuran sel dan sitoplasma: besar kecil ; biru merah

Ukuran nucleus: besar kecil tidak ada

Struktur kromatin inti: menggumpal padat tidak ada Eritropoiesis terjadi di sum-sum tulang Produksi eritrosit distimulasi oleh hormone eritropoietin, yaitu hormone yang dilepaskan oleh ginjal sebagai respon terhadap kadar oksigen darah yang rendah (at a glance fisiologi). Tempat utama inaktivasi eritropoietin adalah di hati. Hormone ini mempunyai waktu paruh dalam sirkulasi sekitar 5jam. Tetapi peningkatan sel darah merah yang dipicu oleh hormone eritropoietin terjadi setelah 2-3 hari, karena pematangan sel darah merah merupakan proses yang relative lambat. 85% eritropoietin pada orang dewasa diproduksi di ginjall dan 15% diproduksi di hati. Hormone ini dibentuk oleh sel interstisium di jaringan kapiler peritubulus ginjal dan oleh hepatosit perivena di hati. Sekresi hormone ini dapat dirangsang oleh garam kobalt dan androgen. Sekresinya ditingkatkan oleh alkalosis yang terjadi bila seseorang berada ditempat tinggi (fisiologi kedokteran ganong) Kadar O2 dalam darah menurun merangsang peningkatan produksi eritrosit Kadar O2 yang turun tidak langsung merangsang sum-sum tulang untuk melakukan eritropoiesis Kadar O2 yang turun O2 yang mengalir ke ginjal juga menurun, akibatnya ginjal memproduksi protein eritropoietin. Munculnya protein ini akan merangsang sumsum tulang untuk melakukan eritropoiesis Jika pada pendarahan, laju eritropoiesis meningkat 6x dari normal

11

Destruksi Eritrosit Eritrosit hemolisis atau proses penuaan

Hemoglobin Globin Fe Asam Amino Pool Besi Pool Protein Disimpan Disimpan Bilirubin direk HATI Bilirubin direk CO Protoporfirin Hem

Fese: Sterkobilinogen Urin/ Urobilinogen

Destruksi yang terjadi akibat proses penuaan disebut proses senescence, sedangkan destruksi akibat patologis disebut hemolisis, dapat terjadi di intra/ekstravaskuler terutama di sistem RES, yaitu di lien dan hati. Komponen protein Globin kembali ke pool protein dan dapat dipakai kembali

Komponen heme Besi dikembalikan ke pool besi dan dapat dipakai ulang Bilirubin dieksresikan melalui hati dan empedu.

LI 3. Memahami dan Menjelasakan hemoglobin LO.3.1. Memahami dan Menjelaskan Struktur Hemoglobin

12

Hemoglobin adalah metaloprotein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam selmerah dalam darah mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin adalah suatu protein dalam seldarah merah yang mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan di seluruh tubuh danmengambil karbondioksida dari jaringan tersebut dibawa ke paru untuk dibuang ke udara bebas. Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. Mutasi pada gen protein hemoglobin mengakibatkan suatu golongan penyakit menurun yang disebut hemoglobinopati, di antaranya yang paling sering ditemui adalah anemia sel sabit dan talasemia. Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein (globulin chain) yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA) terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2beta-globulin chains, sedangkan pada bayi yang masih dalam kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF. Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer(mengandung 4 subunit protein), yang terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen. Subunit-subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama. Tiap subunit memiliki berat molekul kurang lebih 16,000 Dalton, sehingga berat molekul total tetramernya menjadi sekitar 64,000 Dalton. Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang menahan satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/lokasi ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme. Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Pada molekul heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui darah, zat ini pula yang menjadikan darah kita berwarna merah. Hemoglobin juga berperan penting dalam mempertahankan bentuk sel darah yang bikonkaf, jika terjadi gangguan pada bentuk sel darah ini, maka keluwesan sel darah merah dalam melewati kapiler jadi kurang maksimal. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kekurangan zat besi bisa mengakibatkan anemia. Nilai normal hemoglobin adalah sebagai berikut : - Anak-anak 11- 13 gr/dl - Lelaki dewasa 14-18 gr/dl - Wanita dewasa 12- 16 gr/dl Jika nilainya kurang dari nilai diatas bisa dikatakan anemia, dan apabila nilainya kelebihan akan mengakibatkan polinemis. LO.3.2. Memahami dan Menjelaskan Fungsi hemoglobin Hemoglobin mempunyai fungsi diantaranya: mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida dalam jaringan tubuh, mengambil oksigen dari paru-patu kemudian dibawa

13

keseluruh jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar serta membawa karbondioksida dari jaringan tubuh hasil metabolisme ke paru-paru untuk dibuang.

LO.3.3. Memahami dan Menjelaskan Biosintesis hemoglobin

Hemoglobin disintesa semasa proses maturasi eritrositik. Proses sintesa heme berlaku dalam semua sel tubuh manusia kecuali eritrosit yang matang. Pusat penghasilan utama bagi heme (porfirin) adalah sumsum tulang merah dan hepar. Heme yang terhasil dari prekursor eritroid adalah identik dengan sitokrom dan mioglobin. Aktiviti preliminer yang memulai pembentukan heme yaitu sintesa porfirin berlaku apabila suksinil-koenzim A (CoA) berkondensasi dengan glisin. Asam adipat yaitu perantara yang tidak stabil yang terhasil melalui proses kondensasi tersebut akan mengalami proses dekarboksilasi menjadi asam delta-aminolevulinat (ALA). Reaksi kondensasi awalan ini berlaku di mitokondria dan memerlukan vitamin B6. Faktor pembatas penting pada tahap ini adalah kadar konversi kepada delta-ALA yang dikatalisir oleh enzim ALA-sintetase. Aktivitas enzim ini pula dipengaruhi oleh eritropoietin dan kofaktor piridoksal fosfat (vitamin B6). Setelah pembentukan delta-ALA di mitokondria, reaksi sintesis terus dilanjutkan di sitoplasma. Dua molekul ALA berkondensasi untuk membentuk monopirol porfobilinogen (PBG). Enzim ALA dehidrase mengkatalisir enzim ini. Untuk membentuk uroporfirinogen I atau III, empat molekul PBG dikondensasikan menjadi siklik tetrapirol. Isomer tipe III dikonversi melalui jalur koproporfirinogen III dan protoporfirinogen menjadi protoporfirin. Langkah terakhir yang berlangsung di mitokondria melibatkan pembentukan protoporfirin dan penglibatan ferum untuk pembentukan heme. Empat daripada enam posisi ordinal ferro menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase. Langkah ini Struktur dan produksi globin tergantung kepada kontrol genetik. Sekuensi spesifik asam amino dimulai oleh tiga kode dari basis DNA yang diwariskan secara genetik. Sekurangkurangnya terdapat lima loki yang mengarahkan sintesa globin. Kromosom 11 (rantai nonalfa) dan kromosom 16 (rantai alfa) menempatkan loki untuk sintesa globin. Rantai polipeptida bagi globin diproduksi di ribosom seperti yang terjadi pada protein tubuh yang lain. Rantai polipeptida alfa bersatu dengan salah satu daripada tiga rantai lain

14

untuk membentuk dimer dan tetramer. Pada dewasa normal, rantai ini terdiri dari dua rantai alfa dan dua rantai beta. Sintesa globin sangat berkoordinasi dengan sintesa porfirin. Apabila sintesa globulin terganggu, proses sintesa porfirin akan menjadi berkurang dan sebaliknya. Walaupun begitu, tiada kaitan antara jumlah pengambilan zat besi dengan gangguan pada protoporfirin atau sintesa globin. Sekiranya penghasilan globin berkurang, ferum akan berakumulasi di dalam sitoplasma sel sebagai ferritin yang beragregasi (Turgeon, 2005). LO.3.4. Memahami dan Menjelaskan Reaksi Hemoglobin dan Oksigen Dinamika reaksi hemoglobin dengan O2 menjadikannya sebagai pembawa oksigen yang sangat tepat. Pada orang dewasa normal,sebagian besar molekul hemoglobin mengandung dua rantai dan dua rantai . hem adalah suatu kompleks yang dibentuk dari satu porfirin dan satu atom besi fero. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat satu molekul O2 secara reversibel. Atom besi tetap ada dalam bentuk fero sehingga reaksi pengikatan oksigen merupakan suatu reaksi oksigenasi, bukan reaksi oksidasi. Reaksinya lazim ditulis Hb + O2 HbO2. Karena setiap molekul hemoglobin mengandung empat unit Hb, molekul ini dapat dinyatakan sebagai Hb4, dan pada kenyataannya bereaksi dengan empat molekul O2 membentuk Hb4O8. Hb4 + O2 Hb4O2 Hb4O2 + O2 Hb4O4 Hb4O4 + O2 Hb4O6 Hb4O6 + O2 Hb4O8 Reaksi ini berlangsung cepat, dan membutuhkan waktu kurang waktu kurang dari 0,01 detik. Deoksigenas (reduksi) Hb4O8 juga berlangsung sangat cepat. Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen , yaitu kurva yang menggambarkan hubungan persentase saturasi kemampun hemoglobin mengangkut O2 dengan PO2, memiliki bentuk sigmoid khas yang disebabkan oleh interkonversi T-R. Pengikatan O2 oleh gugus hem pertama pada satu molekul Hb akan meningkatkan afinitas gugus hem kedua terhadap O2, dan oksigenasi gugus kedua lebih meningkatkan afinitas gugus ketiga, dan seterusnya sehingga afinitas Hb terhadap molekul O2 keempat berkali-kali lebih besar dibandingkan reaksi pertama.

15

LI. 4.

Memahami dan Menjelaskan Anemia Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak mampu memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik diartikan sebagai penurunan dibawah normal kadar hemoglobin,hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell). Untuk menjabarkan definisi anemia maka perlu ditetapkan batas hemoglobin atau hematokrit cut off point yang sangat dipengaruhi oleh : a. Umur b. Jenis kelamin c. Ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut Cut off point yang digunakan ialah kriteria WHO, dinyatakan anemia bila : Laki-laki Dewasa Perempuan dewasa tidak hamil Perempuan Hamil Anak umur 6-14 tahun Anak Umur 6 bulan- 6 tahun Hemoglobin > 13 g/dl Hemoglobin > 12 g/dl Hemoglobin > 11 g/dl Hemoglobin > 12 g/dl Hemoglobin > 11 g/dl

Alasan praktis kriteria anemia di klinik untuk Indonesia pada umumnya adalah : 1. Hemoglobin < 10 g/dl 2. Hematokrit < 30 % 3. Eritrosit < 2,8 juta/ Klasifikasi derajad anemia yang umum dipakai adalah : Ringan Sekali Ringan Sedang Berat Hb 10 g/dl cut off point Hb 8 g/dl Hb 9,9 g/dl Hb 6 g/dl 7,9 g/dl Hb < 6 g/dl

16

LO.4.1. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Anemia

Berdasarkan morfologi eritrosit pada pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit. Dengan melihat morfologi anemia maka dapat diduga penyebab anemia tersebut A. Anemia Hipokromik Mikrositer ( MCV < 80 fl, MCH < 27 pg) i. Anemia Defisiensi Besi ii. Thalassemia iii. Anemia Akibat Penyakit kronik iv. Anemia Sideroblastik B. Anemia Nomormotik Nomrositer ( MCV 80-95 fl, MCH 27-34 pg) i. Anemia Pascaperdarahan Akut ii. Anemia Aplastik- Hipoplastik iii. Anemia hemolitik - terutama bentuk yang didapat iv. Anemia Akibat penyakit kronik v. Anemia Mieoplastik

17

vi. Anemia pada Gagal Ginjal Kronik vii. Anemia pada mielofibrosis viii. Anemia pada Sindrom mielodisplastik ix. Anemia pada leukimia akut C. Anemia Makrositer ( MCV > 95 fl) 1. Megaloblastik i. Anemia Defisiensi Folat ii. Anemia Defisiensi Vitamin 2. Nonmegaloblastik i. Anemia pada penyakit hati kronik ii. Anemia pada hipotiroid iii. Anemia pada sindroma mielodisplastik

Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatognesis A. Produksi eritrosit menurun 1. Kekurangan bahan untuk eritrosit a. Besi : anemia defisiensi besi b. Vit. B12 dan asam folat : anemia megaloblastik 2. Gangguan utilisasi besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik 3. Kerusakan jaringan sumsum tulang a. Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak : anemia aplastic/hipoplastik b. Penggantian oleh jaringan fibrotic/tumor : anemia leukoritroblastik/ mieloptisik B. Kehilangan eritrosit dari tubuh 1. Anemia pasca pendarahan akut 2. Anemia pasca pendarahan kronik C. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolysis) 1. Factor ekstrakapsuler 2. Factor intrakapsuler a. Gangguan membrane i. Hereditary spherocytosis ii. Hereditary elliptocytosis b. Gangguan ensim i. Defisiensi pyruvate kinase ii. Defisiensi G6PD (Glocuse-6 phospate dehydrogenase) c. Gangguan hemoglobin i. Hemoglobinopati structural ii. thalassemia D. Bentuk campuran E. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas

18

LI 5. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi LO.5.1. Memahami dan Menjelasakan Definisi Anemia Defisiensi Besi Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan masalah kesehatan yang paling besar di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang.1 LO.5.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Anemia Defisiensi Besi o Penyebab Anemia Defisiensi Besi menurut umur: 1. Bayi di bawah umur 1 tahun o Pemberian besi yang kurang karena berat badan lahir rendah atau lahir kembar 2. Anak berumur 1 2 tahun o Masukan (intake ) besi yang kurang karena tidak mendapatkan makanan tambahan (hanya minum susu) o Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / menahun o Malabsorbsi o Kehilangan berlebihan karena pendarahan antara lain karena infeksi parasite 3. Anak berumur 2-5 tahun o Masukan besi yang kurang karena jenis makanan yang kurang mengandung Fe bone o Kebutuhan meningkat karena infeksi barulang /menahun o Kehilangan berlebihan karena pendarahan antara lain karena infeksi parasite 4. Anak usia 5 tahun masa remaja o Kehilangan berlebihan karena pendarahan antara lain infeksi parasite 5. Usia remaja dewasa o Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorbs, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun. 1. Kehilangan besi ajubat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari : a. Saluran cerna : akibat dari tukak peptic, kanker lambung, kanker kolon, diverticulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang b. Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau merror hagia c. Saliran kemuh : hematuria d. Saluran nafas : hemaptoe 2. Faktor nutrisi : Akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi (bioavailibitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging) 3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan. 4. Gangguan absorbs besi : gastrektomi, tropical sprue atau colitis kronik Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identic dengan perdarahan menahun. Factor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai oenyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering oada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di Negara tropic paling sering karena infeksi cacing rambang. Sementara itu, pada wanita paling sering karena menormetrorhagia.

19

LO.5.3. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi Anemia defisiensi Besi Anemia jenis ini merupakan anemia yang paling ser ing dijumpai terutama di Negaranegara tropic atau Negara dunia ketiga karena berkaitan erat dengan taraf social ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak social yang cukup serius. Tabel Prevalensi anemia devisiensi di dunia afrika Amerika latin 6% 3% Laki laki dewasa 20% 17-21% Wanita 60% 39-46% Wanita hamil

Indonesia 16-50% 25-48% 46-92%

Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah ADB da terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama selain kekurangan kalori protein, vitamin A dan yodium. Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30 40%, pada anak sekolah 25 35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 5,55%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi belajar di sekolah.3 Prevalensi anemia defisiensi besi tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak usia sekolah (5-8 tahun ) di kota sekitar 5,5% anak praremaja 2,6 % dan gadis remaja yang hamil 26%. Di Amerika serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun dikatahui kekurangan besi, 3% menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika serikat kekurangan besi dan 2% menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas. LO.5.4. Memahami dan Menjelaskan Patogenesis Anemia Defisiensi Besi Pendarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron depleted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi secara klinis belum terjadi , keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer sehingga disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut, dan faring serta berbagai gejala lainnya.

20

LO.5.5. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi a. Kegagalan sintesis hemoglobin

a. Kegagalan Sintesis Hemoglobin


Besi
Defiensi Fe Inflamasi kronik Keganasan

Protoporfirin
Anemia Sideroblastik

Heme

Globin

Thalasemia (,)

Hemoglobin
Hoffbrand A V, Petit TE, Moss PAH. Essential Haematology 4 th ed. London : Blackwell Scientific Publication. 2001; 1-97.

b. Berkurangnya masa hidup eritrosit Kekurangan besi Hb turun adanya penurunan formabilitas dan fleksibilitas membran mudah didestruksi oleh limpa sel pensil, ovalosit, sel target Bentuk dan fleksibilitas membran eritrosit dipertahankan oleh O2 dan Co2. Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi. Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkandengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunnya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb (Gutrie, 186:303) Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan keadaan simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan anemia gizi bila kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal yang perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal. Karena status besi yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin. Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara mengukur kadar Hb, hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi Hb dalam sel darah merah (MCH) dengan batasan terendah 95% acuan (Dallman,1990)

21

LO.5.6. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Anemia Defisiensi Besi 1. Gejala umum anemia Apabila kadar Hb turun dibawah 7-8g/dl Badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang kunang, dan telinga mendenging 2. Gejala khas akibat defisiensi besi a. Koilonychias Kuku sendok Kuku menjadi bergaris garis vertical Rapuh dan menjadi cekung b. Atrofi papil lidah Permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidahnya menghilang c. Disfagia Nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring d. Stromatitis angularis Radang pada sudut mulut Ada bercak warna pucat keputihan e. Atrofi mukosa gaster Dapat menyebabkan akhloridia, yaitu tidak adanya HCl pada getah lambung KELLY SYNDROME: anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, disfagia 3. Gejala penyakit dasar Ditemukan gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut Anemia akibat penyakit cacing tambang, gejala yang timbul dapat dispepsi (gangguan pencernaan makanan)

LO.5.7. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis & Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi Diagnosis Anemia Defisiensi Besi Anemia hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV < 80fl dan MCHC < 31% dengan salah satu dari: 1. 2 dari 3 parameter: Besi serum < 50 mg/dl TIBC > 350 mg/dl Saturasi transferin: < 15% 2. Feritin serum < 20 mikrogram/dl 3. Pengecatan sum-sum tulang dengan biru prusia menunjukan cadangan besi negative 4. Pemebrian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari selama 4 minggu, disertai kenaikan kadar Hb > 2g/dl

22

Pada sediaan hapus darahh tepi Eritrosit nya anisopoikilositosis: sel pensil, sel target, ovalosit/eliptosit. Mikrositik ringan: Ht < 34% atau Hb < 10 g/dl. Mikrositik hipokrom: Ht < 27% atau Hb < 9g/dl

23

Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi Anemia akibat penyakit kronik Anemia sideroblastik Thalasemia Anemia akibat thalassemia Anemia defisiensi besi Derajat anemia MCV MCH TIBC Saturasi tranferin Besi tulang Protoporfirin eritrosit Feritin serum Elektroforesis Hb Besi serum menurun Menurun N/meningkat N/ meningkat meningkat N N N meningkat meningkat meningkat N meningkat Meningkat N N sumsum negatif Positif Positif kuat positif Ringan sampai Ringan berat menurun menurun meningkat menurun Menurun/N Menurun/N Menurun Menurun/N menurun menurun N/menurun meningkat Ringan Ringan sampai berat Menurun/N Menurun/N Normal/N meningakat penyakit kronik Anemia sideroblastik

LO.5.8. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan penunjang 1. Kadar Hb dan indeks eritrosit MCV, MCHC, MCH menurun MCV <70 fl hanya ditemukan pada anemia defisiensi besi dan thalasemia mayor. Red cell distribution width (RDW) meningkat, menandakan adanya anisositosis. Apusan darah menunjukan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil, sel target Leukosit dan rombosit normal Retikulosit rendah 2. Kadar besi serum menurun < 50 mg/dl, TIBC meningkat >350 mg/dl, saturasi transferin <15 % 3. Serum feritin < 20 mikrogram/dl 4. Protoporfirin eritrosit meningkat (>100 mikrogram/dl) 5. Sum-sum tulang menunjukan hyperplasia normoblastik

24

Pemeriksaan Darah Tepi Lengkap Hb, Ht, MCV, MCH, dan MCHC Kadar besi tubuh (Serum iron, TIBC, Saturasi Transferin), kadar feritin serum, sTfR (soluble Transferin Reseptor) N: serum Iron 70-180 mg/dl dan TIBC 250-400 mg/dl. Saturasi Transferin: SI / TIBC x 100% Normal: 25-40% Anemia def. besi: < 5% N: kadar feritin serum: wanita 14-148 g/L dan pria 40-340 g/L. Kadar feritin serum < 10g/L menunjukkan cadangan besi tubuh berkurang. Evaluasi Sediaan Hapus Darah Tepi Eritrosit mikrositik hipokrom anisopoikilositosis: sel pensil, sel target, dan ovalosit/eliptosit Mikrositik ringan Ht < 34% atau Hb < 10 g/dl. Mikrositik hipokrom Ht < 27% atau Hb < 9 g/dl.

Pemeriksaan Laboratorium 1. Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III. 2. Penentuan Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus: a. Mean Corpusculer Volume (MCV) MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl. b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.

25

c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%. 3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag. 4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW) Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %. 5. Eritrosit Protoporfirin (EP) EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang. 6. Besi Serum (Serum Iron = SI) Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik. 7. Serum Transferin (Tf) Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan. 8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. 26

Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma. 9. Serum Feritin Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa). Pemeriksaan Sumsum Tulang Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum. benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia

LO 5.9. Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi a. Terapi kausal b. Pemberian preparat besi 1. Besi peroral: sebaiknya diberikan sebelum makan, tetapi ES akan lebih banyak daripada diberikan setelah makan. ES: mual, muntah, konstipasi. Diberikan sampai 6bulan o Ferrous sulfat : 3 x 200 mg (pilihan pertama) o Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, ferrous succinate

27

c. Besi parenteral ES: reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, neyri perut, sinkop Diberikan secara IM dalam atau IV pelan Diberikan atas indikasi: perlu peningkatan Hb secara cepat (hamil trimester akhir) Iron dextral complex Iron sorbitol citric acid complex Rumus menghitung kebutuhan besi: Kebutuhan besi (mg) = (15 - Hb sekarang) x BB x 3 d. Pengobatan lain diet tinggi protein hewani pemberian Vit. C 3 x 100 mg/hari untuk meningkatakna absorbs besi transfuse darah (jarang dilakukan)

LO.5.10. Memahami dan Menjelaksan Pencegahan Anemia Defiseiensi Besi Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut daoat berupa berikut : 1. Pendidikan kesehatan, yaitu : a. Kesehatan lingkungan, misalanta tentang pemakaian jamban dan perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki. b. Penyuluhan gizi : untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbs besi 2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling sering di daerah tropic 3. Suplementasi besi : terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti ibu gamil dan anak balita 4. Fortofikasi bahan makanan dengan besi

28

DAFTAR PUSTAKA Bakta, I. Made. Hematologi Ringkas. Jakarta:EGC. 2007. Hoffbrand, A. V. Pettit , J. E, MOSS, P. A. H., 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/105/jtptunimus-gdl-enirumiyat-5225-2-bab2.pdf diunduh 201210-31 21:46:37 http://id.shvoong.com/medicine-and-health/medicine-history/2136601-darah-fungsi-darah-plasmadarah/#ixzz2Asn5sXLc diunduh 2012-10-31 20:05:30 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21400/4/Chapter%20II.pdf diunduh 2012-10-31 23:16:24 http://sickle.bwh.harvard.edu/hbsynthesis.html diunduh 2012-11-01 20:30:09 Murray, Robert K. Biokimia Harper. Ed 27.Jakata: EGC. 2009. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. Ed.6. Jakarta: EGC. 2011. Trinita, Helena. Eritrosit. http://www.scribd.com/doc/78231342/ERITROSIT diunduh 2012-11-01 20:41:42

29

You might also like