You are on page 1of 26

LAPORAN KELOMPOK

DISKUSI TUTORIAL
BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS SKENARIO 1
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

OLEH:
KELOMPOK 14
G0009030
G0009032
G0009066
G0009120
G0009144
G0009156
G0009164
G0009194
G0009198

ASRI SUKAWATI P.
ATIKA ZAHRO N.
DWI TIARA S.
LOUIS HADIYANTO
MUVIDA
NUR JIWO W.
OGI KURNIAWAN
RUBEN STEVANUS
SAYEKTI ASIH N
SOFI ARIANI

G0009202

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kedokteran Komunitas merupakan cabang ilmu kedokteran yang memusatkan
perhatian pada kesehatan anggota-anggota
diagnosis

komunitas,

dengan

dini penyakit, memperhatikan faktor-faktor

menekankan

yang membahayakan

kesehatan yang berasal dari lingkungan dan pekerjaan, serta pencegahan penyakit
pada komunitas (The Free Dictionary, 2010).
Kedokteran komunitas tidak hanya memberikan perhatian kepada anggota
komunitas yang sakit tetapi juga anggota komunitas yang sehat. Tujuan utama
kedokteran komunitas

adalah mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan

anggota-anggota komunitas. Karena menekankan upaya

pencegahan

penyakit,

maka kedokteran komunitas kadang-kadang disebut juga kedokteran pencegahan


(preventive

medicine).

Kedokteran

komunitas

memberikan

pelayanan

komprehensif dari preventif, promotif, kuratif hingga rehabilitatif.


Pada skenario pertama ini yang menyajikan artikel koran berjudul KLB
Difteri di Jatim, mahasiswa dituntut untuk dapat memahami tentang apa itu
kedokteran komunitas, sehingga dapat mengahasilkan lulusan dokter yang mampu
bersaing di pasar global dan berorientasi kepada Kedokteran Komunitas.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pencegahan bertambahnya jumlah korban?
2. Apa saja kriteria KLB?
3. Bagaimana cara agar pemberian imunisasi dapat maksimal?
4. Bagaimana penanganan KLB secara khusus oleh pemerintah?
5. Apakah setiap penyakit bias menjadi KLB?
6. Bagaimana epidemiologi, etiologi, cara penularan, dan patofisiologi difteri?
7. Bagaimana riwayat alamiah penyebaran penyakit?
8. Bagaimana upaya deteksi dini terhadap KLB?

9. Apa yang disebut dengan pandemik, endemik, serta wabah?


10. Bagaimana langkah investigasi KLB?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Untuk mengetahui pencegahan bertambahnya jumlah korban
2. Untuk mengetahui kriteria KLB
3. Untuk mengetahui cara agar pemberian imunisasi dapat maksimal
4. Untuk mengetahui penanganan KLB secara khusus oleh pemerintah
5. Untuk mengetahui apkah setiap penyakit bisa menjadi KLB
6. Untuk mengetahui epidemiologi, etiologi, cara penularan, dan patofisiologi
difteri
7. Untuk mengetahui riwayat alamiah penyebaran penyakit
8. Untuk mengetahui upaya deteksi dini terhadap KLB
9. Untuk mengetahui pengertian pandemik, endemik, serta wabah
10. Untuk mengetahui langkah investigasi KLB

BAB II
HASIL DISKUSI
A. JUMP 1: KLARIFIKASI ISTILAH
1. KLB (Kejadian Luar Biasa): timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan
dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu.
2. Eritromisin: pilihan antibiotik sebagai antibiotik profilaksis pada yang kontak
dengan penderita difteri, atau pada carrier.
3. Difteri:

Penyakit

infeksi

mendadak

akibat Corynebacterium

difteriaeI, biasanya di saluran nafas bagian atas


B. JUMP 2: RUMUSAN MASALAH
1

Bagaimana pencegahan bertambahnya jumlah korban?

Apa saja kriteria KLB?

Bagaimana cara agar pemberian imunisasi dapat maksimal?

Bagaimana penanganan KLB secara khusus oleh pemerintah?

Apakah setiap penyakit bias menjadi KLB?

Bagaimana epidemiologi, etiologi, cara penularan, dan patofisiologi difteri?

Bagaimana riwayat alamiah penyebaran penyakit?

Bagaimana upaya deteksi dini terhadap KLB?

Apa yang disebut dengan pandemik, endemik, serta wabah?

10 Bagaimana langkah investigasi KLB?


C. JUMP 3: ANALISIS MASALAH
1. Terdapat 3 tingkat pencegahan, yaitu :
a. Pecegahan primer adalah upaya memodifikasi faktor resiko atau
mencegah berkembangnya faktor resiko, sebelum dimulainya perubahan
patologis, dilakukan pada tahap suspectible dan induksi penyakit, dengan
tujuan mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit. Terma

yang berkaitan

dengan

pencegahan

primer

adalah

pencegahan

primordial dan reduksi kerugian (Last, 2001).


b. Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan pada fase penyakit
asimtomatis, tepatnya pada tahap preklinis, terhadap timbulnya gejalagejala penyakit secara klinis melalui deteksi dini (early detection). Jika
deteksi tidak dilakukan dini danterapi tidak diberikan segera, maka akan
terjadi gejala klinis yang merugikan. deteksi dini penyakit sering disebut
skrining. Skrining adalah identifikasi yang menduga adanya penyakit atau
kecacatan yang belum diketahui dengan menerapkan suatu tes,
pemeriksaan, atau prosedur lainnya, yang dapat dilakukaan dengan cepat.
Orang-orang yang ditemukan positif atau mencurigakan dirujuk ke dokter
untuk penentuan diagnosis dan pemberian pengobatan yang diperlukan
(Last, 2001).
c. Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan progresi penyakit ke arah
berbagai akibat penyakit yang lebih buruk, dengan tujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien. Pencegahan teriser dilakukan oleh dokter dan
profesi kesehatan lainnya. Pencegahan tersier dibedakan dengan
pengobatan (cure), meskipun batas perbedaan itu tidak selalu jelas. Jenis
intervensi yang dilakukan sebagai pencegahan tersier bisa saja merupakan
pengobatan. Tetapi dalam pencegahan tersier , target yang ingin dicapai
lebih kepada mengurangi atau mencegah terjadinya kerusakan jaringan
dan organ, mengurangi skuele, disfungsi, dan keparahan akibat penyakit,
mengurangi komplikasi penyakit, mencegah serangan ulang penyakit, dan
memperpanjang

hidup.

Sedangkan

target

pengobatan

adalah

menyembuhkan pasien dari gejala dan tanda klinis yang telah terjadi
(Last, 2001).
2. Kriteria KLB
Dalam menentukan KLB perlu batasan yang jelas tentang komunitas, daerah,
dan waktu terjadinya peningkatan kasus. Untuk dapat dikatakan KLB, jumlah
kasus tidak harus luar biasa banyak dalam arti absolut, melainkan luar biasa

dalam arrti relativ, ketika dibandingkan dengan insidensi biasa pada masa
yang lalu, disebut tingkat endemis (Greenberg et al, 2005). Segelintir
kasus bisa merupakan KLB jika muncul pada kelompok, tempat dan waktu
yang tidak biasa. Ditemukannya dua kasus penyakit yang telah lama absen
(misalnya variola) atau pertama kali invasi di suatu populasi atau wilayah
(misalnya HIV/AIDS), dapat dikatakan KLB, dan otoritas kesehatan dapat
memulai melakukan penyelidikan dan pengendalian terhadap KLB itu (Last,
2001).
3. Cara pemberian imunisasi agar dapat maksimal
Kriteria pemberian untuk imunisasi, sebagai berikut :
a. Usia < 3 tahun : DPT-HB
b. Usia 3-7 tahun : DT
c. Usia > 7 tahun : Td
Sebisa mungkin dilakukan pula survey cakupan imunisasi DPT-Hb3 minimal
30 balita di sekitar kasus untuk mengetahui cakupan imunisasi sekitar kasus.
Golongan umur yang paling sering dikenai adalah antara 2 10 tahun., jarang
ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan karena mendapat imunisasi
pasif melewati plasenta dari ibunya dan pada dewasa yang berumur diatas 15
tahun, karena sudah mendapat imunisasi pada masa kecilnya.
4. Penangan KLB secara khusus oleh pemerintah
Program penanggulangan KLB adalah adalah suatu proses manajemen yang
bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pokok
program penanggulangan KLB adalah identifikasi ancaman KLB secara
nasional, propinsi dan kabupaten/kota; upaya pencegahan terjadinya KLB
dengan melakukan upaya perbaikan kondisi rentan KLB; penyelenggaraan
SKD-KLB, kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan adanya KLB dan
tindakan penyelidikan dan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat.

5. Konsep KLB berlaku untuk penyakit infeksi, penyakit non-infeksi, prilaku


kesehatan, maupun peristiwa kesehatan lainnya, misalnya epidemik kolera,
epidemik SARS, epidemik gizi buruk anak balita, epidemik merokok,
epidemik stroke, epidemik Ca paru, dan sebagainya (Gerstman,1998; Last,
2001; Greenberg el al, 2005; Barreto et al, 2006).
6. Bagaimana epidemiologi, etiologi, cara penularan, dan patofisiologi difteri?

a. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas
disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak
sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah
inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada
difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan
melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan
pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada
trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi )
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan
heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu
minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacammacam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa
seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun,2006).
b. Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae.
Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi
oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin,
yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu

protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat
memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toksigen. Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik meyebabkan
orang jadi sakit. Ada tiga tipe variants dari Corynebacterium diphtheriae ini
yaitu : tipe mitis, tipe intermedius dan tipe gravis. Corynebacterium
diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19
tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk
tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu
atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia,
pada selaput mukosa.1,2,5
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri
ini tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati,
bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna
kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam
pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika
pseudomembran ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan
tersumbat dan si penderita akan kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi,
racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang
serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri
ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit
dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
c. Cara Penularan
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak
dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya
melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2
5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi,
sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang
diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. 3

Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan,


yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar
mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu
terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane). Membran
ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang
kuman difteri

dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang

memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang
berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin.
Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik
atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otototot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati
dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling
berat didapatkan pada difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan
membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan
terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini
akibat komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni.
7. Bagaimana riwayat alamiah penyebaran penyakit?
Perjalanan penyakit dimulai dengan terpaparnya individu sebagai
penjamu yang rentan (suspectible) oleh agen kausal. Paparan (exposure)
adalah kontak

atau kedekatan (proximity) dengan sumber agen penyakit.

Konsep paparan berlaku untuk penyakit infeksi maupun non-infeksi. Contoh,


paparan virus hepatitis B (HBV) dapat menginduksi terjadinya hepatitis B,
paparan stres terus-menerus dapat menginduksi terjadinya neurosis, paparan
radiasi menginduksi terjadinya mutasi DNA dan menyebabkan kanker, dan
sebagainya. Arti induksi itu sendiri merupakan aksi yang mempengaruhi
terjadinya tahap awal suatu hasil, dalam hal ini mempengaruhi awal terjadinya
proses patologis.
Jika terdapat tempat penempelan (attachment) dan jalan masuk sel
(cell entry) yang tepat maka paparan agen infeksi dapat menyebabkan invasi
agen infeksi dan terjadi infeksi. Agen infeksi melakukan multiplikasi yang

mendorong

terjadinya

proses

perubahan

patologis,

tanpa

penjamu

menyadarinya.
Periode waktu sejak infeksi hingga terdeteksinya infeksi melalui tes
laboratorium/ skrining

disebut window period. Dalam window period

individu telah terinfeksi, sehingga dapat menularkan penyakit, meskipun


infeksi tersebut belum terdeteksi oleh tes laboratorium. Implikasinya, tes
laboratorium hendaknya tidak dilakukan selama window period, sebab infeksi
tidak akan terdeteksi. Contoh, antibodi HIV (Human Immuno-deficiency
Virus) hanya akan muncul 3 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi. Jika tes
HIV dilakukan dalam window period, maka sebagian besar orang tidak akan
menunjukkan hasil positif, sebab dalam tubuhnya belum diproduksi antibodi.
Karena itu tes HIV hendaknya ditunda hingga paling sedikit 12 minggu (3
bulan) sejak waktu perkiraan paparan. Jika seorang telah terpapar oleh virus
tetapi hasil tes negatif, maka

perlu dipertimbangkan tes ulang 6 bulan

kemudian. Selanjutnya berlangsung proses promosi pada tahap preklinis, yaitu


keadaan patologis yang ireversibel dan asimtomatis ditingkatkan derajatnya
menjadi keadaan dengan manifestasi klinis (Kleinbaum et al., 1982; Rothman,
2002).
Melalui proses promosi agen kausal akan meningkatkan aktivitasnya,
masuk dalam formasi tubuh, menyebabkan transformasi sel atau disfungsi sel,
sehingga penyakit menunjukkan tanda dan gejala klinis. Dewasa ini telah
dikembangkan sejumlah tes skrining atau tes laboratorium untuk mendeteksi
keberadaan tahap preklinis penyakit (US Preventive Services Task Force,
2002; Barratt et al., 2002; Champion dan Rawl, 2005). Waktu sejak penyakit
terdeteksi oleh skrining hingga timbul manifestasi klinik, disebut sojourn
time, atau

detectable preclinical period (Brookmeyer, 1990; Last, 2001;

Barratt et al., 2002). Makin panjang sojourn time, makin berguna melakukan
skrining, sebab makin panjang tenggang waktu untuk melakukan pengobatan
dini (prompt treatment) agar proses patologis tidak termanifestasi klinis.
Kofaktor yang mempercepat progresi menuju penyakit secara klinis pada
sojourn time (detectable preclinical period) disebut akselerator atau progresor

(Achenbach et al., 2005). \Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen
kausal hingga timbulnya manifestasi klinis disebut masa inkubasi (penyakit
infeksi) atau masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum
menampakkan tanda dan gejala klinis, disebut penyakit

subklinis

(asimtomatis). Masa inkubasi bisa berlangsung dalam hitungan detik pada


reaksi toksik atau hipersentivitas. Contoh, gejala kolera timbul beberapa jam
hingga 2-3 hari sejak paparan dengan Vibrio cholera yang toksigenik. Pada
penyakit kronis masa

inkubasi (masa laten) bisa berlangsung sampai

beberapa dekade. Kovariat yang berperan dalam masa laten (masa inkubasi),
yakni faktor yang meningkatkan risiko terjadinya penyakit secara klinis,
disebut faktor risiko. Sebaliknya, faktor yang menurunkan risiko terjadinya
penyakit secara klinis disebut faktor protektif.
Selanjutnya terjadi inisiasi penyakit klinis. Pada saat ini mulai timbul
tanda (sign) dan gejala (symptom) penyakit secara klinis, dan penjamu yang
mengalami manifestasi klinis disebut kasus klinis. Gejala klinis paling awal
disebut gejala prodromal. Selama tahap klinis, manifestasi klinis akan
diekspresikan hingga terjadi hasil akhir/ resolusi penyakit, baik sembuh,
remisi, perubahan beratnya penyakit, komplikasi, rekurens, relaps, sekuelae,
disfungsi sisa, cacat, atau kematian. Periode waktu untuk mengekspresikan
penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir penyakit disebut durasi penyakit.
Kovariat yang mempengaruhi progresi ke arah hasil akhir penyakit,
disebut faktor prognostik (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002). Penyakit
penyerta yang mempengaruhi fungsi individu, akibat penyakit, kelangsungan
hidup, alias prognosis penyakit, disebut ko-morbiditas (Mulholland, 2005).
Contoh, TB dapat menjadi ko-morbiditas HIV/AIDS yang meningkatkan
risiko kematian karena AIDS pada wanita dengan HIV/AIDS (Lopez-Gatell et
al., 2007).
8. Bagaimana upaya deteksi dini terhadap KLB?

Deteksi Dini KLB Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap


timbulnya KLB dengan mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan
wilayah

setempat

terhadap

penyakit-penyakit

berpotensi

KLB

dan

penyelidikan dugaan KLB


a.

Identifikasi Kasus Berpotensi KLB.


Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke Unit Pelayanan
Kesehatan, diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain disekitar
tempat tinggal, lingkungan sekolah, lingkunganperusahaan atau asrama
yang kemudian dapat disimpulkandugaan adanya KLB. Adanya dugaan
KLB pada suatu lokasitertentu diikuti dengan penyelidikan.

b. Pemantauan Wilayah Setempat Penyakit Berpotensi KLB


Setiap Unit Pelayanan Kesehatan merekam data epidemiologi
penderita penyakit berpotensi KLB menurut desa atau kelurahan. Setiap
Unit Pelayanan Kesehatan menyusun tabel dan grafik pemantauan wilayah
setempat KLB. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan melakukan analisis
terusmenerus dan sistematis terhadap perkembangan penyakit yang
berpotensi KLB di daerahnya untuk mengetahui secara diniadanya KLB.
Adanya dugaan peningkatan penyakit dan faktor resiko yangberpotensi
KLB diikuti dengan penyelidikan.
c. Penyelidikan Dugaan KLB Penyelidikan dugaan KLB
Hal ini dilakukan dengan cara :
1) Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan menanyakan setiap
pengunjung Unit Pelayanan Kesehatan tentang kemungkinan adanya
peningkatan sejumlah penderita penyakit yang diduga KLB pada
lokasi tertentu.
2) Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan meneliti register
rawat inap dan rawat jalan terhadap kemungkinan adanya peningkatan

kasus yang dicurigai pada lokasi tertentu berdasarkan alamat


penderita, umur dan jeniskelamin atau karakteristik lain.
3) Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa, kepala asrama dan
setiap orang yang mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya
peningkatan penderita penyakityang diduga KLB.
4) Membuka pos pelayanan di lokasi yang diduga terjadi KLB dan
menganalisis data penderita berobat untuk mengetahui kemungkinan
adanya peningkatan penyakit yang dicurigai.
5) Mengunjungi rumah-rumah penderita yang dicurigai atau kunjungan
dari rumah ke rumah terhadap semua penduduk tergantung pilihan tim
penyelidikan
9. Apa yang disebut dengan pandemik, endemik, serta wabah?
Pandemik : Pandemik adalah terjadinya suatu masalah kesehatan dengan
frekuensi yang meningkat tinggi dalam waktu singkat dan mencakup suatu
wilayah yang sangat luas. Menurut WHO, dikatakan sebagai suatu pandemic
jika memenuhi ketiga syarat berikut:
a. Timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal yang baru
pada populasi bersangkutan
b. Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan sakit
serius
c. Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan berkelanjutan
pada manusia
Suatu penyakit atau keadaan tidak dapat dikatakan sebagai pandemik
hanya karena menewaskan banyak orang. Sebagai contoh, kelas penyakit
yang dikenal sebagai kanker menimbulkan angka kematian yang tinggi
namun tidak digolongkan sebagai pandemi karena tidak ditularkan.
Endemik: Endemik adalah terjadinya suatu masalah kesehatan yang
umumnya dikarenakan penyakit, dengan frekuensi yang tetap pada suatu
wilayah tertentu dalam waktu yang lama. Suatu infeksi penyakit dikatakan

sebagai endemik bila setiap orang yang terinfeksi penyakit tersebut


menularkannya kepada tepat satu orang lain (secara rata-rata). Bila infeksi
tersebut tidak lenyap dan jumlah orang yang terinfeksi tidak bertambah
secara eksponensial, suatu infeksi dikatakan berada dalam keadaan tunak
endemik (endemic steady state). Suatu infeksi yang dimulai sebagai suatu
epidemi pada akhirnya akan lenyap atau mencapai keadaan tunak
endemik, bergantung pada sejumlah faktor, termasuk virulensi dan cara
penularan penyakit bersangkutan.
Dalam bahasa percakapan, penyakit endemik sering diartikan sebagai
suatu penyakit yang ditemukan pada daerah tertentu. Sebagai contoh,
AIDS sering dikatakan "endemik" di Afrika walaupun kasus AIDS di
Afrika masih terus meningkat (sehingga tidak dalam keadaan tunak
endemik). Lebih tepat untuk menyebut kasus AIDS di Afrika sebagai
suatu epidemi.
Wabah : kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi
dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan mala petaka
10. Bagaimana langkah investigasi KLB?

a. Identifikasi outbreak
Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih
banyak daripada ekspektasi normaldi di suatu area atau pada suatu
kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu. Informasi tentang
potensi outbreak biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu
laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien, kader kesehatan, atau
warga masyarakat. Tetapi informasi tentangpotensi outbreak bisa juga
berasal

dari

petugas

kesehatan,

hasil

analisis

data

surveilans,

laporankematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media


lokal (suratkabar dan televisi).Hakikatnya outbreak merupakan deviasi
(penyimpangan) dari keadaan rata-rata insidensi yang konstan dan
melebihi ekspektasi normal Karena itu outbreak ditentukan dengan cara
membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan
variasinya di masa lalu (minggu, bulan, kuartal, tahun). Besar deviasi yang
masih berada dalam ekspektasi normal bersifat arbitrer, tergantung dari
tingkat keseriusan dampak yang diakibatkan bagi kesehatan masyarakat
dimasa yang lalu. Sebagai ancar-ancar kuantitatif, pembuat kebijakan
dapat menggunakan mean+3SD sebagai batas untuk menentukan keadaan
outbreak. Batas mean+/- 3SD lazim digunakan dalam biostatistik untuk
menentukan observasi ekstrim yang disebut outlier (Duffy dan Jacobsen,
2001), jadi suatu kondisi yang sesuai dengan definisi epidemi/ outbreak.
Sumber data kasus untuk menenetukan terjadinya outbreak: (1) Catatan
surveilans dinaskesehatan; (2) Catatan morbiditas dan mortalitas di rumah
sakit; (3) Catatan morbiditas danmortalitas di puskesmas; (4) Catatan
praktik dokter, bidan, perawat; (5) Catatan morbiditas upayakesehatan
sekolah (UKS).
b. Investigasi kasus
DEFINISI KASUS Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus
yang dilaporkan telah didiagnosisdengan benar (valid). Peneliti outbreak
mendefinisikan kasus dengan menggunakan seperangkatkriteria sebagai
berikut: (1) Kriteria klinis (gejala, tanda, onset); (2) Kriteria epidemiologis
(karakteris-tik orang yang terkena, tempat dan waktu terjadinya outbreak);
(3) Kriteria laboratorium (hasilkultur dan waktu pemeriksaan) (Bres,
1986). Definisi kasus harus valid (benar), baku, dan sebaiknya seragam.
Definisi kasus yang bakudan seragam penting untuk memastikan bahwa
setiap kasus didiagnosis dengan cara yang sama,konsisten, tidak
tergantung pada siapa yang mengidentifikasi kasus, maupun di mana dan
kapankasus tersebut terjadi. Definisi kasus yang baku memungkinkan
dilakukannya perbandingan jumlahkasus penyakit yang terjadi di suatu

waktu atau tempat dengan jumlah kasus yang terjadi di waktuatau tempat
lainnya. Sebagai contoh, dengan definsi kasus baku dapat dibandingkan
jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi pada Januari
2010 di Surakarta dengan jumlah kasuspada Februari 2010 di kota itu.
Demikian pula dapat dibandingkan jumlah kasus DBD yang terjadipada
Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Januari 2010 di
Jakarta. Dengan definisikasus standar, maka jika ditemukan perbedaan
jumlah kasus maka merupakan perbedaan yangsesungguhnya, bukan
karena perbedaan dalam mendiagnosis (CDC, 2010a). Penggunaan
definisikasus seperti yang direkomendasikan Standar Surveilans WHO
memungkinkan pertukaran informasi tentang kejadian penyakit-penyakit
secara internasional. Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu
yang diduga mengalami penyakit akan dimasukkan dalam salah satu
klasifikasi kasus. Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus
dapat diklasifikasikan menjadi: (1) kasus suspek (suspected case,
syndromic case), (2) kasus mungkin (probable case, presumptive case),
dan (3) kasus pasti (confirmed case, definite case)
c. Investigasi kausa
WAWANCARA DENGAN KASUS Intinya, tujuan wawancara
dengan kasus dan nara sumber terkaitkasus adalah untuk menemukan
kausa outbreak. Dengan menggunakan kuesioner dan formulir baku,
peneliti mengunjungi pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan
wawancara dan doku-mentasi untuk memperoleh informasi berikut: (1)
Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jikaada); (2) Demografis
(umur, seks, ras, pekerjaan); (3) Kemungkinan sumber, paparan, dan
kausa; (4)Faktor-faktor risiko; (5) Gejala klinis (verifikasi berdasarkan
definisi kasus, catat tanggal onset gejalauntuk membuat kurva epidemi,
catat komplikasi dan kematian akibat penyakit); (6) Pelapor(berguna
untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil investigasi).
Pemeriksaan klinisulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan
atau tidak didiagnosis dengan benar(misalnya, karena kesalahan

pemeriksaan laboratorium). Informasi tentang masing-masing kasus yang


diwawancara/ ditemui dimasukkan dalam tabel outbreak (line listing).
Dalam tabel outbreak, variabel-variabel tentang informasi kasusdiletakkan
pada kolom, sedang urutan kasus diletakkan pada baris. Ikhtisar informasi
tentang kasusyang dicatat dalam tabel outbreak berguna untuk
merumuskan teori/ hipotesis tentang sumber,kausa, dan cara penyebaran
penyakit.
d. Melakukan pencegahan dan pengendalian
Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di pelupuk
mata

tentang

kausa, sumber,

dancara

transmisi,

maka

langkah

pengendalian hendaknya segera dilakukan, tidak perlu melakukan studi


analitik yang lebih formal. Prinsipnya, makin cepat respons pengendalian,
makin besar peluang keberhasilan pengendalian. Makin lambat repons
pengendalian, makin sulit upaya pengendalian, makin kecil peluang
keberhasilan pengendalian, makin sedikit kasus baru yang bisa dicegah.
Prinsip intervensi untuk menghentikan outbreak sebagai berikut: (1)
Mengeliminasi sumber patogen; (2) Memblokade proses transmisi; (3)
Mengeliminasi kerentanan (Greenberg et al., 2005;Aragon et al., 2007).
Sedang eliminasi sumber patogen mencakup: (1) Eliminasi atau inaktivasi
pato-gen; (2) Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source
reduction); (3) Pengurangan kontakantara penjamu rentan dan orang atau
binatang terinfeksi (karantina kontak, isolasi kasus, dan seba-gainya); (4)
Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan,
memasak dagingdengan benar, dan sebagainya); (5) Pengobatan
kasus.Blokade proses transmisi mencakup: (1) Penggunaan peralatan
pelindung perseorangan(masker, kacamata, jas, sarung tangan, respirator);
(2) Disinfeksi/ sinar ultraviolet; (3) Pertukaranudara/ dilusi; (4)
Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara; (5)
Pengendalianvektor (penyemprotan insektisida nyamuk Anopheles,
pengasapan nyamuk Aedes aegypti,penggunaan kelambu berinsektisida,
larvasida,

dan

sebagainya).Eliminasi

kerentanan

penjamu

(host

susceptibility) mencakup: (1) Vaksinasi; (2) Pengobatan(profilaksis,


presumtif); (3) Isolasi orang-orang atau komunitas tak terpapar (reverse
isolation); (4)Penjagaan jarak sosial (meliburkan sekolah, membatasi
kumpulan massa).
e. Melakukan studi analitik (jika perlu)
Dalam investigasi outbreak, tidak jarang peneliti dihadapkan kepada
teka-teki menyangkut sejumlahkandidat agen penyebab. Fakta yang
diperoleh dari investigasi kasus dan investigasi kausa kadangbelum
memadai untuk mengungkapkan sumber dan kausa outbreak. Jika situasi
itu yang terjadi,maka peneliti perlu melakukan studi analitik yang lebih
formal. Desain yang digunakan lazimnyaadalah studi kasus kontrol atau
studi kohor retrospektif. Seperti desain studi epidemiologi analitiklainnya,
studi analitik untuk investigasi outbreak mencakup: (1) pertanyaan
penelitian; (2) signi-fikansi penelitian; (3) desain studi; (4) subjek; (5)
variabel-variabel; (6) pendekatan analisis data; (7)interpretasi dan
kesimpulan.Contoh, 75 orang menghadiri sebuah acara kenduri di sebuah
desa. Terdapat 5 jenismakanan dihidangkan. Esok harinya mulai
berjatuhan sejumlah kasus penyakit, sehingga disimpul-kan terjadi
outbreak karena makanan terkontaminasi (foodborne disease). Makanan
mana dari ke 4 jenis tersebut yang mengandung agen kausal dan
merupakan penyebab outbreak? Karena sebagianbesar kasus telah terjadi,
maka peneliti melakukan studi kohor retrospektif untuk menjawab pertanyaan tersebut. Data yang dikumpulkan disajikan dalam
f. Mengkomunikasikan temuan
Temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan kepada
berbagai pihak pemangkukepentingan kesehatan masyarakat. Dengan
tingkat rincian yang bervariasi, pihak-pihak yang perludiberitahu tentang
hasil penyelidikan outbreak mencakup pejabat kesehatan masyarakat
setempat, pejabat pembuat kebijakan dan pengambil keputusan kesehatan,
petugas fasilitas pelayanan kesehatan, pemberi informasi peningkatan

kasus, keluarga kasus, tokoh masyarakat, dan media. Penyajian hasil


investigasi dilakukan secara lisan maupun tertulis (laporan awal dan
laporan akhir). Pejabat dinas kesehatan yang berwewenang hendaknya
hadir

pada

penyajian

hasil

investigasioutbreak.

Temuan-temuan

disampaikan dengan bahasa yang jelas, objektif dan ilmiah, dengan


kesimpulan dan rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Peneliti
outbreak memberikan laporan tertulis dengan format yang lazim, terdiri
dari: (1) introduksi, (2) latar belakang, (3) metode, (4) hasil-hasil, (5)
pembahasan, (6) kesimpulan, dan (7)rekomendasi. Laporan tersebut
mencakup langkah pencegahan dan pengendalian, catatan kinerjasistem
kesehatan, dokumen untuk tujuan hukum, dokumen berisi rujukan yang
berguna jika terjadisituasi serupa di masa mendatang
g. Mengevaluasi dan meneruskan surveilans
Pada tahap akhir investigasi outbreak, Dinas Kesehatan Kota/
Kabupaten dan peneliti outbreak perlumelakukan evaluasi kritis untuk
mengidentifikasi

berbagai

kelemahan

program

maupun

defisiensi

infrastruktur dalam sistem kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan


dilakukannya

perubahan-perubahan

yang

lebih

mendasar

untuk

memperkuat upaya program, sistem kesehatan, termasuk surveilans itu


sendiri. Investigasi outbreak memungkinkan identifikasi populasi-populasi
yang terabaikan atau terpinggirkan, kegagalan strategi intervensi, mutasi
agen infeksi, ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar kelaziman
dalam program kesehatan. Evaluasi kritis terhadap kejadian outbreak
memberi kesempatan kepada penyelidik untuk mempelajari kekurangankekurangan dalam investigasi outbreak yang telah dilakukan, dan
kelemahan-kelemahan dalam sistemkesehatan, untuk diperbaiki secara
sistematis di masa mendatang, sehingga dapat mencegah terulangnya
outbreak.

D. JUMP 4: INVENTARISASI PERMASALAHAN

E. JUMP 5: TUJUAN PEMBELAJARAN


1. Trias epidemiologi
2. Surveilans
3. Cara deteksi dini KLB
4. Langkah-langkah investigasi KLB
F. JUMP 7: MEMBAHAS DAN MENATA KEMBALI INFORMASI YANG
DIPEROLEH
Kabupaten Bojonegoro belum melaporkan jumlah kasus yang terjadi
ataupun korban meninggal. Jumlah penderita difteri terbanyak ditemukan
di Situbondo dan Jombang. Penyebabnya, salah satunya karena cakupan
imunisasi kurang.
Cakupan imunisasi dalam program imunisasi nasional merupakan
parameter kesehatan nasional. Besar cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari
80%, artinya di setiap desa, anak-anak berusia di bawah 12 bulan, 80% harus
sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Tetapi saat ini, cakupan imunisasi
belum memuaskan. Salah satu dampak cakupan imunisasi yang tidak sesuai target

adalah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Penyakit dapat dicegah bila cakupan
imunisasi sebesar 80% dari target. Penularan berbanding searah dengan cakupan
imunisasi. Apbila anak yang tidak diimunisasi semakin banyak maka penularan
akan semakin meningkat. Sedangkan cakupan imunisasi yang tinggi akan
mengurangi penularan (majalah farmacia, 2012).
Rendahnya cakupan imunisasi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor.
Faktor tersebut adalah aspek geografis dimana di daerah pelosok akses pelayanan
kesehatan masih minim termasuk imunisasi. Selain itu, masyarakat sering
menganggap bahwa anak yang menderita batuk pilek tidak boleh diimunisasi.
Faktor lain adalah kurangnya kesadaran masyarakat atas imunisasi akibat
minimnya pendidikan. Sehingga

tenaga kesehata seperti dokter, bidan atau

perawat memiliki kewajiban mengingatkan pasien tentang jadwal imunisasi.


Faktor lain adalah munculnya kelompok anti vaksin. Selain itu, kesalahan
pemahaman masyarakat mengenai ASI juga turut mempengaruhi kesediaan untuk
melakukan imunisasi. ASI memang meningkatkan daya tahan, namun
perlindungan ASI juga akan berkurang seiring munculnya paparan pada anak
(majalah farmacia, 2012).
Dalam program Intensifikasi Imunisasi Rutin, upaya pemberian imunisasi
harus lebih intensif dibandingkan tahun lalu. Imunisasi dasar diketahui sangat
efektif dalam memberikan perlindungan terhadap suatu penyakit pada masa depan
kehidupan. Imunisasi dasar berfungsi membentuk sel memori yang akan dibawa
seumur hidup. Jika imunisasi dasar diberikan lengkap dan sel memori terbentuk
semakin dini, maka semakin bagus perlindungan yang diberikan (Hadinegoro,
2012).
Namun pada vaksin tertentu (vaksin mati atau vaksin komponen, misalnya
hepatitis B atau DTP), imunisasi dasar saja tidak cukup memberikan perlindungan
dalam jangka panjang sehingga harus dilakukan booster atau penguat. Kekebalan
yang diberikan imunisasi dasar tidak berlangsung seumur hidup dan ditandai
dengan titer antibodi yang semakin lama semakin menurun. Pemberian booster
dimaksudkan membangkitkan kembali sel memori untuk membentuk antibodi

agar titer antibodi selalu di atas ambang pencegahan (protective level)


(Hadinegoro, 2012).
Vaksin DTP misalnya yang diberikan usia 2, 4, 6 bulan perlu diberikan
booster pada usia 18-24 bulan dan 5 tahun. Di usia lima tahun kekebalan kembali
turun sehingga perlu booster kedua bahkan ketiga dalam jangka waktu setiap 5-10
tahun. Komponen T (tetanus) pada vaksin DTP juga harus bisa memberikan
perlindungan seumur hidup terhadap tetanus neonatorum (penting untuk
melindungi bayi yang dilahirkan dari infeksi tetanus apabila pemotongan tali
pusat tidak steril). Vaksin TT diberikan pada anak usia sekolah dan ibu hamil
(Hadinegoro, 2012).
Sampai kapan booster diberikan, tergantung data epidemiologi dan pola
penyakit dari kelompok usia yang rentan terkena penyakit. Misalnya penyakit
difteri, pertusis, dan tetanus yang bisa dicegah dengan vaksin DTP bisa
mengancam anak-anak maupun dewasa sehingga semua usia rentan terhadap
penularan penyakit-penyakit ini (Hadinegoro, 2012).
Penanganan
Saat kejadian luar biasa (KLB) tahun lalu, lanjut Budi, pemerintah
daerah bersama pemerintah pusat mengadakan imunisasi ulangin difteri.
Imunisasi tersebut hanya dilakukan di 11 kabupaten dengan sasaran usia
tertentu. Alasannya, alokasi anggaran terbatas.
Dalam menghadapi KLB, diperlukan kesiapsiagaan sumber daya manusia,
sistem konsultasi dan referensi, sarana penunjang, laboratorium dan anggaran
biaya, strategi dan tim penanggulangan KLB. Kesiapsiagaan sumber daya
manusia meliputi tenaga dokter, perawat, surveilans epidemiologi, sanitarian dan
entomologi serta tenaga lain sesuai dengan kebutuhan. Kesiapsiagaan sistem
konsultasi dan referensi meliputi identifikasi dan kerjasama dengan ahli baik para
ahli setempat, kabupaten/kota atau propinsi lain, nasional dan internasional,
termasuk rujukan laboratorium. Kesiapsiagaan sarana penunjang dan anggaran
biaya seperti peralatan komunikasi, transportasi, obat-obatan, laboratorium, bahan
dan peralatan lainnya, termasuk pengadaan anggaran dalam jumlah yang
memadai

apabila

terjadi

suatu KLB. Kesiapsiagaan

strategi

dan

tim

penanggulangan KLB dimana setiap daerah menyiapkan pedoman penyelidikan


penanggulangan KLB dan membentuk tim penyelidikan penanggulangan KLB
yang melibatkan lintas program dan unit-unit pelayanan kesehatan. Serta yang
terakhir yaiut kesiapsiagaan kerjasama penanggulangan KLB kabupaten/kota,
propinsi dan pusat (Kemenkes RI, 2004).
Menaggapi merebaknya kasus difteri di Jatim, Dierktur Jendral
Pengendalian

Penyakit

dan

Pengendalian

Lingkungan

Kementrian

Kesehatan Tjandra Yoga Aditama SpP(K) mengatakan, pemerintah pusat


bersama pemerintah daerah sudah menangani. Diantaranya menemukan
kasus dan mengobati, termasuk mengisolasi penderita. Selain itu melacak
orang-orang yang kontak dengan penderita. Dalam hal ini pemerintah telah
melakukan penanganan difteri sekaligus pencegahannya. Penanganannya dengan
mengobati sedangkan pencegahannya dengan mengisolasi penderita supaya tidak
bias menyebarkan penyakit difteri ke masyarakat lain. Penyakit difteri dapat
ditularkan melalui kontak langsung dan tidak langsung sehingga dengan melacak
orang-orang yang kontak dengan penderita, maka ikut melacak masyarakat yang
terkena difteri sehingga dapat langsung ditangani.
Pelacakan disertai tindakan menjaga kesehatan dan mencegah
penyebaran penyakit. Caranya, memberikan eritromisin, antibiotic yang
bekerja menghambat protein bakteri. Langkah yang diambil pemerintah sudah
tepat karena dengan memberikan antibiotic, maka dapat mencegah penyebaran
penyakit ke masyarakat yang telah kontak dengan penderita. Selain eritromisin
dapat digunakan juga penicillin procain secara intramuscular.
Selain di Jatim, penyakit difteri juga mengancam Kalimantan Timur.
Pada 2010 ditemukan 47 kasus di sana, 2011 ada 52 kasus, dan pada 2012
belum ditemukan lagi kasus di Kaltim. Kaltim dapat mengatasi kasus pada
tahun 2012 sehingga tidak ditemukan kasus lagi di kaltim. Hal ini dapat dicontoh
oleh pemerintah Jatim supaya dapat mengatasi kejadian KLB Difteri dengan baik.
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Kejadian Luar Biasa adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi
ekspektasi normal secara mendadak pada suatu komunitas, di suatu tempat
terbatas, misalnya desa, kecamatan, kota, atau institusi yang tertutup (misalnya
sekolah, tempat kerja, atau pesantren) pada suatu periode waktu tertentu.
Suatu daerah dikatakan mengalami kejadian luar biasa jika ada unsur
timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal,
peningkatan kejadian penyakit terus-menerus selama 3 kurun waktu berturutturut menurut penyakitnya, peningkatan kejadian penyakit atau kematian 2 kali
lipat atau lebih dibandingakan dengan periode sebelumnya dan jumlah penderita
baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila
dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
B. SARAN
1. Sebaiknya diberikan penyuluhan mengenai penyakit difteri dan pentingnya
imunisasi lengkap.
2. Pemerintah disarankan menyediakan dana yang cukup agar dapat maksimal
dalam memberikan imunisasi dan mengatasi kejadian KLB tersebut.
3. Pemerintah Jatim sebaiknya mengikuti langkah-langkah provinsi lain dalam
menangani KLB sehingga KLB difteri di Jatim dapat ditangani.

DAFTAR PUSTAKA
Achenbach TM, Ruffle TM. The child behavior checklist and relatedforms for
assessing behavioral/emotional problems andcompetencies. Pediatr Rev.
2000;21:265-71

Bustan, M.N.2006. Pengantar Epidemiologi, Edisi Revisi. Rineka Cipta: Jakarta.


CDC : Preventing tetanus, diphtheria, and prtussis among adolescents ; Use of tetanus
toxoid and acellular pertussis vaccine. Reccomendation of The Advisory
Committee on Immunization Practice. MMWR 55(3) : 1-25,2006.
D.G. Kleinbaum, L.L. Kupper and H. Morgenstern, Epidemiologic Research:
Principleand Quantitative Methods. New York: Van Nostrand Reinhold
(2002).
DepKes (2004). Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479/MenKes/SK/X/2003,
tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit
menular dan penyakit tidak menularterpadu. Jakarta: DepKes RI.
Duffy ME, Jacobsen BS (2001). Univariate descriptive statistics. In: Barbara Hazard
Munro (ed.):Statistical methods for health care research. Philadelphia, PA:
Lippincott.
Gerstman, BB (1998). Epidemiology kept simple : An introduction to classic and
modern epidemiology. New York : Wiley-Liss, Inc.
Greenberg RS, Daniel SR, Flanders WD, Eley JW, Boring JR (2005). Medical
Epidemiology. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill.
Hadinegoro SR. 2012. Booster untuk perlindungan seumur hidup.
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=2529
diakses September 2012.
Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.Hal 177-178.

K.J.Rothman, Modern Epidemiology.Boston: Little, Brown (1982)


Kemenkes RI. 2004. Pedoman penyelenggaraan sistem kewaspadaan dini kejadian
luar biasa (KLB).
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press,
Inc.
Majalah Farmacia. 2012. Outbreak: Ketidaksempurnaan program imunisasi.
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=2529

diakses September 2012.


Nasri, Noor,1997. Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta: Jakarta.
The

Free

Dictionary.

2010.

Community

medicine.

medical-

dictionary.thefreedictionary.com/ community+medicine. Diakses September


2012.
Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya.
Erlanggga: Jakarta.

You might also like