Professional Documents
Culture Documents
DISKUSI TUTORIAL
BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS SKENARIO 1
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
OLEH:
KELOMPOK 14
G0009030
G0009032
G0009066
G0009120
G0009144
G0009156
G0009164
G0009194
G0009198
ASRI SUKAWATI P.
ATIKA ZAHRO N.
DWI TIARA S.
LOUIS HADIYANTO
MUVIDA
NUR JIWO W.
OGI KURNIAWAN
RUBEN STEVANUS
SAYEKTI ASIH N
SOFI ARIANI
G0009202
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kedokteran Komunitas merupakan cabang ilmu kedokteran yang memusatkan
perhatian pada kesehatan anggota-anggota
diagnosis
komunitas,
dengan
menekankan
yang membahayakan
kesehatan yang berasal dari lingkungan dan pekerjaan, serta pencegahan penyakit
pada komunitas (The Free Dictionary, 2010).
Kedokteran komunitas tidak hanya memberikan perhatian kepada anggota
komunitas yang sakit tetapi juga anggota komunitas yang sehat. Tujuan utama
kedokteran komunitas
pencegahan
penyakit,
medicine).
Kedokteran
komunitas
memberikan
pelayanan
BAB II
HASIL DISKUSI
A. JUMP 1: KLARIFIKASI ISTILAH
1. KLB (Kejadian Luar Biasa): timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan
dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu.
2. Eritromisin: pilihan antibiotik sebagai antibiotik profilaksis pada yang kontak
dengan penderita difteri, atau pada carrier.
3. Difteri:
Penyakit
infeksi
mendadak
akibat Corynebacterium
yang berkaitan
dengan
pencegahan
primer
adalah
pencegahan
hidup.
Sedangkan
target
pengobatan
adalah
menyembuhkan pasien dari gejala dan tanda klinis yang telah terjadi
(Last, 2001).
2. Kriteria KLB
Dalam menentukan KLB perlu batasan yang jelas tentang komunitas, daerah,
dan waktu terjadinya peningkatan kasus. Untuk dapat dikatakan KLB, jumlah
kasus tidak harus luar biasa banyak dalam arti absolut, melainkan luar biasa
dalam arrti relativ, ketika dibandingkan dengan insidensi biasa pada masa
yang lalu, disebut tingkat endemis (Greenberg et al, 2005). Segelintir
kasus bisa merupakan KLB jika muncul pada kelompok, tempat dan waktu
yang tidak biasa. Ditemukannya dua kasus penyakit yang telah lama absen
(misalnya variola) atau pertama kali invasi di suatu populasi atau wilayah
(misalnya HIV/AIDS), dapat dikatakan KLB, dan otoritas kesehatan dapat
memulai melakukan penyelidikan dan pengendalian terhadap KLB itu (Last,
2001).
3. Cara pemberian imunisasi agar dapat maksimal
Kriteria pemberian untuk imunisasi, sebagai berikut :
a. Usia < 3 tahun : DPT-HB
b. Usia 3-7 tahun : DT
c. Usia > 7 tahun : Td
Sebisa mungkin dilakukan pula survey cakupan imunisasi DPT-Hb3 minimal
30 balita di sekitar kasus untuk mengetahui cakupan imunisasi sekitar kasus.
Golongan umur yang paling sering dikenai adalah antara 2 10 tahun., jarang
ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan karena mendapat imunisasi
pasif melewati plasenta dari ibunya dan pada dewasa yang berumur diatas 15
tahun, karena sudah mendapat imunisasi pada masa kecilnya.
4. Penangan KLB secara khusus oleh pemerintah
Program penanggulangan KLB adalah adalah suatu proses manajemen yang
bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pokok
program penanggulangan KLB adalah identifikasi ancaman KLB secara
nasional, propinsi dan kabupaten/kota; upaya pencegahan terjadinya KLB
dengan melakukan upaya perbaikan kondisi rentan KLB; penyelenggaraan
SKD-KLB, kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan adanya KLB dan
tindakan penyelidikan dan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat.
a. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas
disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak
sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah
inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada
difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan
melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan
pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada
trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi )
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan
heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu
minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacammacam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa
seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun,2006).
b. Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae.
Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi
oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin,
yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu
protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat
memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toksigen. Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik meyebabkan
orang jadi sakit. Ada tiga tipe variants dari Corynebacterium diphtheriae ini
yaitu : tipe mitis, tipe intermedius dan tipe gravis. Corynebacterium
diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19
tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk
tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu
atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia,
pada selaput mukosa.1,2,5
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri
ini tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati,
bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna
kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam
pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika
pseudomembran ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan
tersumbat dan si penderita akan kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi,
racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang
serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri
ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit
dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
c. Cara Penularan
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak
dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya
melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2
5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi,
sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang
diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. 3
memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang
berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin.
Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik
atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otototot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati
dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling
berat didapatkan pada difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan
membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan
terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini
akibat komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni.
7. Bagaimana riwayat alamiah penyebaran penyakit?
Perjalanan penyakit dimulai dengan terpaparnya individu sebagai
penjamu yang rentan (suspectible) oleh agen kausal. Paparan (exposure)
adalah kontak
mendorong
terjadinya
proses
perubahan
patologis,
tanpa
penjamu
menyadarinya.
Periode waktu sejak infeksi hingga terdeteksinya infeksi melalui tes
laboratorium/ skrining
Barratt et al., 2002). Makin panjang sojourn time, makin berguna melakukan
skrining, sebab makin panjang tenggang waktu untuk melakukan pengobatan
dini (prompt treatment) agar proses patologis tidak termanifestasi klinis.
Kofaktor yang mempercepat progresi menuju penyakit secara klinis pada
sojourn time (detectable preclinical period) disebut akselerator atau progresor
(Achenbach et al., 2005). \Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen
kausal hingga timbulnya manifestasi klinis disebut masa inkubasi (penyakit
infeksi) atau masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum
menampakkan tanda dan gejala klinis, disebut penyakit
subklinis
beberapa dekade. Kovariat yang berperan dalam masa laten (masa inkubasi),
yakni faktor yang meningkatkan risiko terjadinya penyakit secara klinis,
disebut faktor risiko. Sebaliknya, faktor yang menurunkan risiko terjadinya
penyakit secara klinis disebut faktor protektif.
Selanjutnya terjadi inisiasi penyakit klinis. Pada saat ini mulai timbul
tanda (sign) dan gejala (symptom) penyakit secara klinis, dan penjamu yang
mengalami manifestasi klinis disebut kasus klinis. Gejala klinis paling awal
disebut gejala prodromal. Selama tahap klinis, manifestasi klinis akan
diekspresikan hingga terjadi hasil akhir/ resolusi penyakit, baik sembuh,
remisi, perubahan beratnya penyakit, komplikasi, rekurens, relaps, sekuelae,
disfungsi sisa, cacat, atau kematian. Periode waktu untuk mengekspresikan
penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir penyakit disebut durasi penyakit.
Kovariat yang mempengaruhi progresi ke arah hasil akhir penyakit,
disebut faktor prognostik (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002). Penyakit
penyerta yang mempengaruhi fungsi individu, akibat penyakit, kelangsungan
hidup, alias prognosis penyakit, disebut ko-morbiditas (Mulholland, 2005).
Contoh, TB dapat menjadi ko-morbiditas HIV/AIDS yang meningkatkan
risiko kematian karena AIDS pada wanita dengan HIV/AIDS (Lopez-Gatell et
al., 2007).
8. Bagaimana upaya deteksi dini terhadap KLB?
setempat
terhadap
penyakit-penyakit
berpotensi
KLB
dan
a. Identifikasi outbreak
Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih
banyak daripada ekspektasi normaldi di suatu area atau pada suatu
kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu. Informasi tentang
potensi outbreak biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu
laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien, kader kesehatan, atau
warga masyarakat. Tetapi informasi tentangpotensi outbreak bisa juga
berasal
dari
petugas
kesehatan,
hasil
analisis
data
surveilans,
waktu atau tempat dengan jumlah kasus yang terjadi di waktuatau tempat
lainnya. Sebagai contoh, dengan definsi kasus baku dapat dibandingkan
jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi pada Januari
2010 di Surakarta dengan jumlah kasuspada Februari 2010 di kota itu.
Demikian pula dapat dibandingkan jumlah kasus DBD yang terjadipada
Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Januari 2010 di
Jakarta. Dengan definisikasus standar, maka jika ditemukan perbedaan
jumlah kasus maka merupakan perbedaan yangsesungguhnya, bukan
karena perbedaan dalam mendiagnosis (CDC, 2010a). Penggunaan
definisikasus seperti yang direkomendasikan Standar Surveilans WHO
memungkinkan pertukaran informasi tentang kejadian penyakit-penyakit
secara internasional. Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu
yang diduga mengalami penyakit akan dimasukkan dalam salah satu
klasifikasi kasus. Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus
dapat diklasifikasikan menjadi: (1) kasus suspek (suspected case,
syndromic case), (2) kasus mungkin (probable case, presumptive case),
dan (3) kasus pasti (confirmed case, definite case)
c. Investigasi kausa
WAWANCARA DENGAN KASUS Intinya, tujuan wawancara
dengan kasus dan nara sumber terkaitkasus adalah untuk menemukan
kausa outbreak. Dengan menggunakan kuesioner dan formulir baku,
peneliti mengunjungi pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan
wawancara dan doku-mentasi untuk memperoleh informasi berikut: (1)
Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jikaada); (2) Demografis
(umur, seks, ras, pekerjaan); (3) Kemungkinan sumber, paparan, dan
kausa; (4)Faktor-faktor risiko; (5) Gejala klinis (verifikasi berdasarkan
definisi kasus, catat tanggal onset gejalauntuk membuat kurva epidemi,
catat komplikasi dan kematian akibat penyakit); (6) Pelapor(berguna
untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil investigasi).
Pemeriksaan klinisulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan
atau tidak didiagnosis dengan benar(misalnya, karena kesalahan
tentang
kausa, sumber,
dancara
transmisi,
maka
langkah
dan
sebagainya).Eliminasi
kerentanan
penjamu
(host
pada
penyajian
hasil
investigasioutbreak.
Temuan-temuan
berbagai
kelemahan
program
maupun
defisiensi
perubahan-perubahan
yang
lebih
mendasar
untuk
adalah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Penyakit dapat dicegah bila cakupan
imunisasi sebesar 80% dari target. Penularan berbanding searah dengan cakupan
imunisasi. Apbila anak yang tidak diimunisasi semakin banyak maka penularan
akan semakin meningkat. Sedangkan cakupan imunisasi yang tinggi akan
mengurangi penularan (majalah farmacia, 2012).
Rendahnya cakupan imunisasi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor.
Faktor tersebut adalah aspek geografis dimana di daerah pelosok akses pelayanan
kesehatan masih minim termasuk imunisasi. Selain itu, masyarakat sering
menganggap bahwa anak yang menderita batuk pilek tidak boleh diimunisasi.
Faktor lain adalah kurangnya kesadaran masyarakat atas imunisasi akibat
minimnya pendidikan. Sehingga
apabila
terjadi
strategi
dan
tim
Penyakit
dan
Pengendalian
Lingkungan
Kementrian
A. SIMPULAN
Kejadian Luar Biasa adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi
ekspektasi normal secara mendadak pada suatu komunitas, di suatu tempat
terbatas, misalnya desa, kecamatan, kota, atau institusi yang tertutup (misalnya
sekolah, tempat kerja, atau pesantren) pada suatu periode waktu tertentu.
Suatu daerah dikatakan mengalami kejadian luar biasa jika ada unsur
timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal,
peningkatan kejadian penyakit terus-menerus selama 3 kurun waktu berturutturut menurut penyakitnya, peningkatan kejadian penyakit atau kematian 2 kali
lipat atau lebih dibandingakan dengan periode sebelumnya dan jumlah penderita
baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila
dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
B. SARAN
1. Sebaiknya diberikan penyuluhan mengenai penyakit difteri dan pentingnya
imunisasi lengkap.
2. Pemerintah disarankan menyediakan dana yang cukup agar dapat maksimal
dalam memberikan imunisasi dan mengatasi kejadian KLB tersebut.
3. Pemerintah Jatim sebaiknya mengikuti langkah-langkah provinsi lain dalam
menangani KLB sehingga KLB difteri di Jatim dapat ditangani.
DAFTAR PUSTAKA
Achenbach TM, Ruffle TM. The child behavior checklist and relatedforms for
assessing behavioral/emotional problems andcompetencies. Pediatr Rev.
2000;21:265-71
Free
Dictionary.
2010.
Community
medicine.
medical-