You are on page 1of 33

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang Penyakit rabies merupakan penyakit menular akut bersifat zoonosis dari susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Ditularkan oleh hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera melalui gigitan, aerogen, transplantasi atau kontak dengan bahan yang mengandung virus rabies pada kulit yang lecet atau mukosa (Suharyono, 2008). Tri Akoso (2007) menjelaskan bahwa rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia. Karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit zoonotik. Agen penyebab penyakit ini memiliki daya tarik kuat untuk menginfeksi jaringan saraf yang menyebabkan terjadinya peradangan pada otak atau ensefalitis, sehingga berakibat fatal bagi hewan ataupun manusia yang tertular. Sejak lama penyakit ini telah dikenal oleh masyarakat dan diketahui telah tersebar secara luas di berbagai belahan dunia, bahkan daerah penyebarannya dari waktu ke waktu selalu bertambah luas. Penyakit Rabies dilaporkan terjadi di seluruh dunia kecuali di beberapa negara seperti Inggris, Australia dan Selandia Baru. Pada tahun 2005 2009 diseluruh dunia terdapat 5.000 6.000 kasus rabies manusia, kasus terbanyak adalah dinegara-negara berkembang dimana anjing rabies masih endemis dan kebanyakan rabies manusia timbul dari gigitan anjing yang positif rabies. (World Health Organization 2010). Kematian karena rabies hanya sekitar 1.000 dilaporkan oleh WHO setiap tahun, sedangkan insiden rabies di seluruh dunia

diperkirakan lebih dari 30.000 kasus per tahun. Asia Tenggara, Philipina, Afrika, benua kecil Indian, dan Amerika Selatan tropic adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vector penting virus rabies untuk manusia. Di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah anjing gila. Rabies manusia masih sering di Asia Afrika sebagai akibat rabies anjing (Harrison, 1995:939).

World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies. Korban jiwa manusia yang terjadi akibat rabies ini termasuk sangat besar. Oleh karena itu, kemungkinan adanya wabah rabies perlu memperoleh perhatian serius baik di tingkat nasional, regional, maupun global (Budi Tri Akoso, 2007). Berdasarkan permasalahan diatas maka kasus rabies merupakan penyakit yang

mematikan jika tidak segera diberi tindakan medis yang tepat, minimnya sumber informasi dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit rabies yang menyebabkan peningkatan wilayah endemik dan penderita penyakit rabies. Banyak komplikasi yang terjadi pada pasien rabies yaitu gangguan neurologi, pituitary, pulmonal, kardiovaskular dan lain-lain. Dalam waktu sebulan setelah masa inkubasi pasien tidak diberi tindakan medis yang tepat maka akan berakibat kematian. Dari uraian di atas, penulis ingin mengulas lebih dalam lagi mengenai penyakit Rabies dan asuhan keperawatan teoritis pada pasien dengan Rabies.

1.2 RumusanMasalah Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa masalah pokok yang menjadi pusat pembahasan bagi penulis adalah sebagai berikut: 1. Apa itu rabies? 2. Apa sajakah penyebab terjadinya rabies? 3. Apakah tanda dan gejala penyakit rabies? 4. Bagaimanakah perjalanan penyakit rabies? 5. Bagaimanakah cara infeksi/penularan rabies? 6. Apa sajakah komplikasi rabies? 7. Bagaimanakah cara pencegahan, pengobatan dan pemberantasan rabies? 8. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien rabies?

1.3 TujuanPenulisan Adapun tujuan karya tulis ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Penyakit Tropis dan Infeksi 2
2

2. Untuk mengetahui pengertian dan penyebab rabies 3. Untuk menjelaskan tanda dan gejala penyakit rabies 4. Untuk menjelaskan proses perjalanan penyakit rabies 5. Untuk mengetahui cara penularan rabies 6. Untuk mengetahui komplikasi rabies 7. Untuk menjelaskan cara pencegahan, pengobatan, dan pemberantasan rabies 8. Untuk mengetahui asuhan keperawat pada pasien rabies

1.4 Manfaat Penulisan Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah: 1. Dapat menambah pengetahuan penulis khususnya pembaca dan Mahasiswa Keperawatan Universitas Andalas mengenai penyakit rabies 2. Dapat memberikan informasi kepada pembaca bahwa rabies adalah penyakit yang sangat berbahaya dan mematikan 3. Dapat menambah pengetahuan penulis dan Mahasiswa Keperawatan lainnya tentang tata pelaksanaan kasus rabies dan asuhan keperawatan pasien dengan rabies

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Rabies Rabies (sinonim: Lyssa, hydrophobia, rege, toilwer) adalah suatu penyakit infeksi akut susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Penyakit tersebut ditandai dengan disfungsi hebat susunan saraf pusat dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Rabies merupakan salah satu penyakit menular tertua yang dikenal oleh umat manusia (M. Sjaifoellah, dkk, 1996: 427). Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang dapat menular ke manusia (bersifat zoonosis) (WHO, 2010). Rabies disebabkan oleh virus rabies dari genus Lyssavirus, family Rhabdoviridae (Jallet et al., 1999). Sedangkan Widoyono (2011) menyatakan bahwa rabies adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf pusat. Karena gejalanya yang khas, yaitu penderita menjadi takut air, penyakit rabies sering kali disebut hidrofobia. Asal kata rabies sendiri dari bahasa latin rabere atau rabbia. Istilah latin yang kemudian berkembang menjadi sebutan rabies ini pada mulanya diperkirakan berasal dari bahasa Sansekerta kuno rabhas yang berarti mengamuk, karena gejala klinis terutama pada anjing ditandai oleh keganasan yang nyata dan menakutkan. Disamping istilah rabies, di Indonesia juga dikenal dengan sebutan penyakit anjing gila atau ada yang menyebut gila anjing. Istilah lyssa juga dipakai di Indonesia terhadap rabies pada orang untuk membedakan kasus pada orang dan pada hewan. Di berbagai negara, rabies disebut dengan berbagai istilah, yakni: Canine madness (Inggris); Rage (Perancis); die Tollwut Hundswut (Jerman); Rabbia (Italia); Oulou fato (Afrika Barat); Makupa Mazimu (Zaire); Rabiosa (Esperanto); Lyssa, Lytta (Yunani); Beshenstva (Rusia); Pollar madness (kutub Utara);

Derringue/limping illness malde caderas/hip illness Rabie parasiente (Amerika Tengah dan Selatan); Ironbuang (Filipina); dan anjing gila (Indonesia) (Budi Tri Akoso, 2007).

2.2 Anatomi Fisiologi Persarafan 2.2.1 Anatomi sistem saraf manusia Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri terutama dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan internal dan stimulus eksternal dipantau dan diatur. Pada sistem saraf manusia terbagi dua bagian yaitu : 1. Sistem saraf pusat manusia a. Selaput otak (meninges) Selaput otak merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang yang berfungsi melindungi struktur saraf yang halu, membawa pembuluh darah dan cairan sekresi cerebrospinal, serta memperkecil benturan atau getaran pada otak dan sumsum tulang belakang. Selaput otak terdiri dari tiga lapisan, yaitu durameter, arakhnoidea dan piameter. b. Sistem ventrikel Sistem ventrikel terdiri atas beberapa rongga dalam otak yang berhubungan satu sama lain. Fleksus koroid mengalirkan cairan cerebrospinalis ke dalam rongga tersebut. Fleksus koroid dibentuk oleh jaringan pembuluh darah kapiler otak tepi. Pada bagian piameter fleksus koroid membelok ke dalam ventrikel dan menyalurkan cairan cerebrospinalis. Cairan ini bersifat alkali dan berwarna bening mirip plasma. c. Otak Otak merupakan suatu alat tubuhyang sangat penting karena merupakan pusat computer dari semua alat tubuh. Jaringan otak dibungkus oleh selaput otak dan tulang tengkorak yang kuat yaitu terletak dalam kavum kranii. Berat otak orang dewasa kirakira 1400 gram. Jaringan otak dibungkus oleh tiga selaput otak (meninges) yang dilindungi oleh tulang tengkorak dan mengapung dalam suatu cairan yang berfungsi menunjang otak yang lembek dan halus dan sebagai penyerap goncangan akibat pukulan dari luar terhadap kepala. Otak terdiri atas otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum) dan batang otak (trunkus serebri).

Otak besar (serebrum) mempunyai dua belahan yaitu hamisfer kiri dan hemisfer kanan yang dihubungkan oleh massa substansi alba yang disebut korpus kalosum. Tiap-tiap hemisfer meluas dari os frontal sampai ke os oksipital. Di atas fossa kranii anterior, media dan posteriorhemisfer dipisahkan oleh celah yang besar disebut fisura longitudinalis serebri. Otak kecil (serebellum) terletak dalam fossa kranial posterior, dibawah tentorium serebelum bagian posterior dari pons varolii dan medulla oblongata. Serebelum mempunyai dua hemisfer yang dihubungkan oleh vermis. Serebelum dihubungkan dengan otak tengah oleh pedunkulus serebri superior, dengan pons parole oleh pedunkulus serebri media dan dengan medulla oblongata oleh pendunkulus serebri inferior. Lapisan permukaan setiap hemisfer serebri disebut korteks yang disusun oleh substansia grisea. Lapisan-lapisan korteks serebri ini dipisahkan oleh fisura transversus yang tersusun rapat. Kelompok massa substansia grisea tertentu pada serebelum tertanam dalam substansia alba yang paling besar dikenal sebagai nucleus dentatus. d. Medula Spinalis Medulla spinalis merupakan bagian sistem saraf pusat yang menggambarkan perubahan terakhir pada perkembangan embrio. Semula ruangannya besar kemudian mengecil menjadi kanalis sentralis. Medulla spinalis terdiri atas dua belahan yang sama dipersatukan oleh struktur intemedia yang dibentuk oleh sel saraf dan didukung oleh jaringan interstisial. e. Nervus Kranial (saraf otak) Saraf otak merupakan susunan saraf yang terdapat pada bagian kepala. Saraf otak akan keluar dari otak melewati lubang yang terdapat pada tulang tengkorak lalu berhubungan erat dengan otot, indra penglihatan dan indra pendengaran, indra penciuman, indra pengecap dan indra perasa. Di dalam kranial ada dua saraf kranial yang merupakan serabut campuran atau gabungan, yaitu saraf motoric dan saraf sensorik yang merupakan stasiun penghubung untuk impuls-impuls dari pusat-pusat saraf yang lebih tinggi ke organ efektor dan impuls saraf perifer ke pusat-pusat saraf dalam susunan saraf pusat. 2. Sistem saraf tepi manusia
6

Saraf merupakan penghubung susunan saraf pusat dengan reseptor sensorik dan efektor motoric (otot dan kelenjar). Saraf tepi terdiri atas ribuan serabut saraf yang dikelompokkan dalam ikatan-ikatan masing-masing kelompok dibungkus oleh jaringan ikat. Setiap kelompok mempunyai fungsi yang berbeda (sensorik dan motoric). Setiap serabut saraf adalah sebuah akson dari neuron sensorik, motoric atau otonom perifer. a. Saraf Somatik Saraf somatic merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensoris dari tubuh. Indera yang berbeda dengan indera khusus (penglihatan, penghiduan, pendengaran, pengecapan). Indera somatic dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu indera somatic mekano reseptif, indera termoreseptor dan indra nyeri. b. Saraf Otonom Saraf otonom adalah saraf yang mempersarafi alat-alat dalam tubuh seperti kelenjar, pembuluh darah, paru-paru, jantung, usus dan ginjal. Alat ini mendapat dua jenis persarafan otonom yang fungsinya saling bertentangan, kalau yang satu merangsang yang lainnya menghambat dan sebaliknya. Kedua saraf tersebut adalah saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Saraf simpatis terletak di dalam kornu lateralis medulla spinalis servikal VII sampai dengan lumbal I, dari sini keluar akson yang mengikuti saraf motoric di dalam radiks anterior. Setelah keluar dari kanalis vertebralis, saraf simpatis keluar dari radiks motoric dan masuk ke dalam trunkus simpatikus yang merupakan suatu rantai ganglia simpatis yang terdapat di sebelah kiri dan kanan kolumna vertebralis. Saraf parasimpatis mengurus sekresi kelenjar air mata, kelenjar sublingualis dan kelenjar submandibularis, serta kelenjar mukosa rongga hidung. Pusat saraf ini terdapat dalam spons parolii bagian bawah. Saraf yang mengurus kelenjar air mata dan mukosa rongga hidung berpusat pada nuclei maksilaris. Saraf-sarafnya keluar bersama nervus fasialis kemudian berjalan dalam nervus petrosus superfisialis mayor bersinapsis di ganglion speno palatinum mengurus kelenjar air mata dan kelenjar mukosa hidung. 2.2.2 Fisiologi sistem saraf manusia

Membran sel bekerja sebagai suatu sekat pemisah yang amat efektif dan selektif antara cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Pada ruangan ekstraseluler disekitar neuron terdapat cairan yang mengandung ion natrium dan klorida, sedangkan dalam cairan intraseluler terdapat kalium dan protein yang lebih tinggi. Perbedaan komposisi dan kadar ion-ion di dalam dan luar sel mengakibatkan timbulnya suatu potensial listrik di permukaan membran neuron yang disebut potensial membran. Dalam keadaan istirahat cairan ekstraseluler adalah elektropositif dan cairan intraseluler adalah elektronegatif. Pada pola umum sistem saraf, sebagian besar sistem saraf berasal dari reseptor sensoris baik berupa reseptor visual, reseptor auditorius dan reseptor raba pada permukaan tubuh. Pengalaman yang diterima oleh sensoris dapat menyebabkan suatu reaksi segera atau disimpan sebagai kenangan di dalam otak dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat menentukan reaksi tubuh di masa yang akan datang bila bertemu dengan pengalaman yang sama. Selain itu, juga dapat menghantarkan informasi sensoris dan reseptor pada seluruh permukaan tubuh dan struktur dalam tubuh. Informasi ini memasuki sistem saraf melalui nervus spinalis dan disampaikan ke semua segmen susunan saraf pusat. Beberapa tugas pokok sistem saraf adalah sebagai berikut : 1. Kontraksi otot rangka seluruh tubuh. 2. Kontraksi otot polos dalam organ internal. 3. Sekresi kelenjar eksokrin dan endorin dalam tubuh. Seluruh kegiatan ini disebut fungsi motoric. Sistem saraf melakukan fungsi yang diperintahkan oleh isyarat saraf. Sistem saraf mengatur otot rangka bekerja sejajar untuk mengontrol otot polos dan kelenjar merupakan susunan saraf otonom yang diatur dari berbagai tingkat dalam susunan saraf pusat. Masing-masing daerah mempunyai peranan khusus dalam mengatur gerakan tubuh. Proses melakukan gerakan diatur oleh proses berfikir dari serebrum. 2.3 Epidemiologi
8

Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dengan frekuensi kasus dan spesifikasi vector penular yang berbeda-beda. Di Amerika Serikat ada beberapa kota yang bebas rabies (New York dan Philadelphia), tetapi sebagian besar Negara bagian melaporkan kasus rabies pada binatang. Pada tahun 1975 dilaporkan terjadi 25 kasus rabies pada anjing. Vektor utama di Amerika Utara adalah rubah, raccoon, dan kelelawar. Di Amerika Tengah dan Latin, kelelawar penghisap darah ternak (vampire bat) adalah vector utama penyakit selain anjing. Rubah juga merupakan hewan penular terpenting di Eropa, sedangkan di Asia dan Afrika, anjing merupakan vector terbanyak yang ditemukan (Widoyono, 2011). Rabies terdapat dalam dua betuk, yaitu epidemiologi urban disebarluaskan terutama oleh anjing dan/atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan sylvatic, disebarkan oleh sigung, rubah, raccoon, luwak, serigala, dan kelelawar. Infeksi manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat encootik atau epizootic, yaitu jika terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak diimunisasi. Kematian karena rabies hanya sekitar 1.000 dilaporkan oleh WHO setiap tahun, sedangkan insiden rabies di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 30.000 kasus per tahun. Asia Tenggara, Philipina, Afrika, benua kecil Indian, dan Amerika Selatan tropic adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vector penting virus rabies untuk manusia. Di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah anjing gila. Rabies manusia masih sering di Asia Afrika sebagai akibat rabies anjing (Harrison, 1995:939). Rabies telah ada di Indonesia sejak abad ke-19 dan telah tersebar di sebagian besar wilayah. Rabies pertama kali dilaporkan oleh Stehorl tahun 1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya terjadi pada kerbau tahun 1889, kemudian rabies pada anjing pda tahun 1890 di Tanggerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh Eilerts de Haan pada seorang anak di Cirebon tahun 1894. Selanjutnya dilaporkan menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur tahun 1953, Sulawesi Selatan tahun 1959, Lampung tahun 1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan DI Yogyakarta tahun 1971. Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan Sulawesi Tengah dilaporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974, Riau tahun 1975, Pulau Flores tahun 1998, Pulau Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Halmahera dan Morotai tahun 2005, Pulau Buru tahun

2006, Pulau Bali tahun 2008, dan Pulau Bengkalis serta Pulau Rapat di Riau tahun 2009. Sasaran pengobatan adalah pasien yang tergigit hewan tersangka dan anjing. 2.4 Etiologi

Virus rabies termasuk dalam family Rhabdoviridae. Di bawah mikroskop electron, virus ini seperti peluru (bahasa Yunani: rhabdo= bentuk batang), berukuran 180 nm dengan diameter 75 sampai 80 nm, dan pada permukaannya terlihat struktur seperti paku dengan panjang 9 nm. Inti virus rabies ini terdiri atas asam nukleat RNA saja, yang bersifat genetik. Inti tersebut dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut kapsida. Kombinasi inti dan kapsomer yang terdiri atas satuan molekul protein disebut nukleokapsida, di luarnya terdapat envelope yang pada permukaannya terdapat spikule (spikes). Envelop virus ini antara lain mengandung lipid yang dapat dilarutkan dengan eter, sehingga virus rabies itu dengan mudah sekali diinaktivasi dengan lipid solvent, misalnya air sabun 20% atau eter. Envelop virus ini berperan penting menetukan virulensi (infectivity). Virus rabies tidak dapat bertahan lama di luar jaringan hidup. Virus mudah mati oleh sinar matahari dan sinar ultraviolet. Dengan pemanasan 60oC selama 5 menit, virus rabies akan mati. Virus ini tahan terhadap suhu dingin, bahkan dapat bertahan beberapa bulan pada suhu -4oC.

Gambar. Struktur virus Rabies


10

2.5 Patofisiologi Cara-cara bagaimana virus rabies berjalan dari luka ke otak hanya sebagian yang dimengerti karena virus melekat pada dan menembus sel dengan cepat secara in vitro adalah, mungkin bahwa virus tetap tidak aktif dalam luka untuk masa waktu yang lama. Infeksi biasanya terjadi melalui kontak dengan binatang seperti anjiang (90%), kucing, kera, serigala, kelelawar, dan ditularkan pada manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva) dengan luka pada host ataupun membrane mukosa. Virus mula-mula bereplikasi dalam sel otot serat lintang, yang padanya melekat melalui beberapa reseptor mungkin termasuk reseptor asetil kolin nikotinat. Dapat dihipotesiskan bahwa antibody, interferon dan factor hospes lainnya kemudian bekerja pada virus ketika ia meninggalkan otot serat lintang. Jika factor-faktor ini tidak cukup protektif virus akhirnya melekat pada saraf. Virus akan berpindah dari tempatnya masuk melalui sarafsaraf menuju ke medulla spinalis dan otak, dimana mereka berkembang biak. Di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebarluas dalam semua bagian neuron-neuron, dengan predileksi terutama pada sel-sel system limbic, hipotalamus dan batang otak. Khususnya mengenai infeksi pada system limbic, pasien akan menyerang mangsanya tanpa ada provokasi dari luar. Ini di akibatkan karena system limbic erat hubungannya dengan fungsi pengontrolan sikap emosional. Setelah memperbanyak diridalam neuron-neuron sentral, virus kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf maupun saraf otonom. Dengan demikian, virus ini menyerang hampir setiap organ dan jaringan dalam tubuh, dan berkembangbiak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan lemak. 2.6 WOC Rabies (terlampir)

2.7 Cara Infeksi / Penularan Infeksi rabies pada manusia boleh dikatakan hampir semuanya akibat gigitan hewan yang mengandung virus rabies dalam salivanya. Virus rabies sendiri tidak dapat menembus kulit utuh, akan tetapi jilatan hewan yang terinfeksi dapat berbahaya jika kulit terluka atau
11

tidak utuh. Virus dapat pula memasuki badan melalui selaput selaput mukosa yang utuh, seperti misalnya selaput konjungtiva mata, mulut, anus, alat genitalia eksterna. Pada manusia, cara penularan melalui makanan belum ada konfirmasinya. Infeksi melalui inhalasi (airbone) virus jarang ditemukan pada manusia. Cara infeksi lain adalah karena infeksi oleh vaksin rabies yang masih mengandung virus yang belum mati. Hal ini pernah terjadi di Brazil dalam tahun 1960. Pada umumnya rabies pada manusia mempunyai masa inkubasi 3-8 minggu, rata-rata lebih lama daripada masa inkubasi pada binatang-binatang. Gejala-gejala jarang timbul sebelum 2 minggu dan biasanya timbul sesudah 12 minggu, meskipun pernah dilaporkan ada kasus-kasus dengan masa inkubasi 1 tahun atau lebih. Jangka waktu ini dihubungkan dengan jenis spesies yang terkena, pada manusia hal ini lebih lama daripada binatang-binatang yang lebih rendah, dengan lokasi inokulasi makin dekat kepada otak, makin pendek latennya. Webster memberikan gambaran masa inokulasi dengan timbulnya gejala sebagai berikut: Gigitan pada: Kepala, muka, leher Lengan, tangan, jari Tungkai, kaki, jari Gejala timbul pada hari ke: 30 40 60

Selain ini, masa tunas dihubungkan pula dengan jenis kelamin dan umur. Wanita agaknya cenderung mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek daripada laki-laki, dan anak lebih pendek daripada dewasa. Adapun Widoyono (2011) menyatakan bahwa masa inkubasi dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya: Virulensi/strain virus Jarak lokasi gigitan dengan kepala (susunan saraf pusat) Jumlah luka gigitan Dalam dan luasnya luka gigitan Jumlah saraf pada luka gigitan Respon imun penderita

12

2.8 Manifestasi Klinis Pada manusia secara teoritis, gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya yaitu: 1. Periode prodromal Biasanya berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak didapatkan gejala spesifik. Ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif. Gejala prodmonal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin dengan multipikasi virus yang mempersarafi area. Gejala ini terdapat pada 50-80 % pasien.

2. Fase ensefalitis Biasanya ditunjukkan periode aktivitas motorik yang berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistonik, kejang, dan paralisis fokal. Hiperestesia, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya yang terang, suara keras, sentuhan bahkan tiupan yang lembut sangat sering terjadi. Pada pemeriksaan fisik, suhu tubuh naik sampai setinggi 40,6 oC . Abnormalitas system saraf autonom meliputi dilatasi pupil yang irregular, salvias, dan berkeringat. Juga terdapat tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan. Paralisis pita suara bisa terjadi. 3. Manifestasi disfungsi batang otak Biasanya segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis. Terkenanya saraf kranialis menyebabkan dipoplia, kelumpuhan fasial, neuritis optic, dan kesulitan menelan yang khas. Gabungan salvias yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran berbusa dalam mulut. Hidrofobia, kontraksi diafragma involunter, kuat dan nyeri, kontraksi otot respirasi tambahan tampak pada sekitar 50% kasus. Pasien bias menjadi koma, dan terkenanya pusat respirasi menimbulkan kematian apneik 4. Stadium koma Apabila tidak terjadi kematian pada stadium sebelumnya, penderita akan mengalami koma. Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah gejala rabies tampak dan dapat
13

berlangsung hanya beberapa jam sampai berbulan-bulan tergantung dari penanganan intensif. Pada penderita yang tidak di tangani, penderita dapat segera meninggal setelah terjadi koma. Dengan perawatan yang intensif, kehidupan mungkin bisa diperpanjang, tetapi banyak komplikasi terjadi selama koma. Beberapa komplikasi dapat terjadi dan menjadi penyebab kematian. Sampai saat ini hampir keseluruhan penderita rabies meninggal, hanya ada 4 laporan penderita ensefalitis rabies hidup. Gejala klinis rabies pada anjing dan kucing hampir sama. Triakoso (2007), mengemukakan bahwa gejala klinis rabies dikenal dalam dua bentuk yaitu bentuk ganas dan bentuk diam. Pada rabies bentuk ganas (furius rabies), kebanyakan akan mati dalam 2-5 hari setelah tanda-tanda rabies terlihat. Sedangkan pada rabies bentuk diam atau dungu (dumb rabies) terjadi kelumpuhan (paralisa) sangat cepat menjalar keseluruh anggota tubuh. Perjalanan penyakit rabies pada anjing dan kucing dibagi dalam 3 tahap/fase, yaitu fase prodormal, dilanjutkan ke fase eksitasi, dan fase paralisa. Pada fase prodormal hewan mencari tempat dingin dan menyendiri, tetapi dapat menjadi lebih agresif, pupil mata melebar, dan sikap tubuh kaku (tegang), berlangsung 1-3 hari. Pada fase eksitasi hewan menjadi ganas dan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan barang yang aneh-aneh. Selanjutnya mata menjadi keruh dan selalu terbuka serta tubuh gemetaran. Pada fase paralisa, hewan mengalami kelumpuhan pada semua bagian tubuh dan berakhir dengan kematian. Gejala klinis pada hewan memamahbiak adalah gelisah, liar, adanya rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki, dan akhirnya hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis biasanya temperature normal, anorexia, ekspresi wajah berubah dari biasanya. 2.9 Tipe Rabies Pada Anjing Ada 2 tipe anjing yang terinfeksi virus rabies: a. Rabies Tenang, ciri-cirinya antara lain: 1. Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk 2. Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat
14

3. Kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan 4. Kematian terjadi dalam waktu singkat b. Rabies Ganas, ciri-cirinya antara lain: 1. Tidak menuruti lagi perintah pemilik 2. Air liur keluar berlebihan 3. Hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggigit apa saja yang ditemui dan ekor dilekungkan kebawah perut diantara dua paha 4. Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari atau paling lama 12 hari setelah penggigitan

2.10

Komplikasi Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada

fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra kranial, kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, Hipertemia/ hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata, dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik. 2.11 Pencegahan

Ada dua cara pencegahan rabies yaitu: 1. Penanganan Luka Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies harus dilakukan perawatan luka yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan imunoglobulin. Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu yang beresiko tinggi tertular rabies. 2. Vaksinasi Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada orangorang yang beresiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :
15

Dokter hewan Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan Para penjelajah gua kelelawar Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun.

2.12

Pengobatan dan Tata Laksana Kasus

a. Identifikasi Luka Luka risiko rendah, adalah jilatan pada luka kecil di kulit badan dan anggota gerak atau jilatan pada luka lecet akibat garukan. Luka risiko tinggi, adalah jilatan pada mukosa (selaput lendir) utuh: jilatan pada luka leher, muka dan kepala, luka gigitan pada leher, muka dan kepala; luka gigitan pada jari tangan dan kaki; luka gigitan pada daerah genitalia dan luka gigitan yang dalam, lebar atau banyak. b. Tata Laksana Luka Pencucian luka Karena virus rabies masih akan menetap pada luka gigitan selama 2 minggu sebelum kemudian bergerak ke ujung saraf posterior, maka pencucian sangat penting untuk mencegah infeksi. Pencucian dilakukan dengan air mengalir, memakai

sabun/detergen selama 15 menit. Pemberian antiseptic Setelah dicuci, luka diberi antiseptic seperti alkohol 70%, povidon iodine, obat merah, dsb. Tindakan penunjang Dilakukan jahit situasi pada luka yang dalam dan lebar untuk menghentikan perdarahan. Sebelum dijahit harus diberikan suntikan SAR terlebih dahulu. c. Pemberian VAR (vaksin anti-rabies), dan SAR (serum anti-rabies)

16

Pada luka risiko rendah : VAR diberikan pada semua penderita kasus gigitan HPR yang belum pernah mendapatkan VAR. sejumlah 0,5 mL VAR disuntikkan IM pada regio deltoideus anak kanan dan kiri, sedangkan pada bayi disuntikkan di pangkal paha. Penyuntikkan diberikan 4 kali (hari ke-0 2x pada pangkal lengan kanan kiri, hari ke-7 1x, dan hari ke-21 1x); sedangkan pada penderita yang sudah pernah mendapat VAR lengkap sebelum 3 bulan tidak perlu diberi VAR, bila sudah berusia 3 bulan sampai 1 tahun maka perlu diberikan VAR lengkap karena dianggap sebagai penderita baru.

Pada luka risiko tinggi : perlu diberikan VAR dan SAR. VAR disuntikkan sebagaimana pada luka risiko rendah ditambah ulangan 1x pada hari ke-90. SAR disuntikkan di sekitar luka gigitan dan sisanya secara IM dengan dosis 0,1 mL/kgBB pada hari ke-0, bersamaan dengan pemberian VAR.

d. Perawatan kasus Penderita yang menunjukkan gejala rabies harus dirawat di rumah sakit di ruang isolasi. Ruangan sebaiknya gelap dan tenang. Pengobatan dan perawatan ditujukan untuk mempertahankan hidup penderita. Petugas kesehatan (dokter dan perawat) yang menangani seharusnya memakai alat pelindung diri dari kemungkinan tertular seperti: kacamata plastic, sarung tangan karet, masker dan jas laboratorium lengan panjang. Apabila diperlukan, vaksinasi pencegahan dapat diberikan untuk petugas kesehatan dengan VAR 2x (hari ke-0 dan hari ke-28) dengan dosis dan cara pemberian yang sama dengan pemberian VAR pada luka. Ulangan dapat diberikan 1 tahun setelah pemberian 1 dan setiap 3 tahun. e. Penanganan jenazah Dalam menangani jenazah penderita rabies, petugas harus tetap memperhatikan norma agama, budaya, dan peraturan perundangan yang berlaku. Petugas sebaiknya menggunakan alat pelindung diri saat memandikan jenazah dan mencuci tangan dengan sabun/detergen setelah selesai.

2.13

Program Pemberantasan 1) Tujuan

17

Tujuan pengendalian rabies adalah membebaskan hewan dan manusia dari penyakit rabies pada tahun 2015. 2) Target/sasaran a. Menjaga daerah bebas rabies tetap bebas b. Tata laksana kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) c. Membebaskan rabies dengan pendekatan pulau per pulau 3) Strategi a. Koordinasi lintas sector terutama sector peternakan b. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan c. Secara prioritas membebaskan daerah dari rabies secara bertahap 4) Kegiatan Langkah-langkah kegiatan pengendalian rabies dibagi menurut kriteria daerah sebagai berikut: a. Daerah bebas rabies; terdiri dari 2, yaitu daerah bebas historis dan daerah yang dibebaskan dari rabies. Daerah bebas historis adalah daerah yang secara historis belum pernah ditemukan kasus rabies, sedangkan daerah yang dibebaskan adalah daerah tertular rabies yang selama dua tahu terakhir tidak ada kasus rabies secara klinis, epidemiologis, dan sudah dengan konfirmasi laboratorium. Adapun kegiatan daerah bebas historis adalah: Pengawasan lalu lintas hewan, adalah larangan memasukkan anjing, kera dan satwa liar penular rabies lain ke provinsi-provinsi di Jawa. Pengawasan dilakukan oleh petugas karantina hewan dinas peternakan di check point pada perbatasan provinsi. Tindakan kewaspadaan, adalah kegiatan penyuluhan, kampanye, dan sosialisasi lainnya untuk mempertahankan daerah tetap bebas rabies. Sedangkan kegiatan daerah yang dibebaskan adalah: Kegiatan pada daerah bebas historis ditambah Tindakan pengendalian, adalah pembuatan barier untuk menciptakan daerah penyangga (immune belt) pada kabupaten/kota perbatasan pulau Jawa dengan

18

Sumatera dan Bali, melalui vaksinasi rabies missal hewan dan eliminasi missal anjing liar. b. Daerah tersangka rabies Adalah daerah yang telah ditemukan kasus rabies secara klinis dan epidemiologis, tetapi belum dikonfirmasi laboratorium dalam dua tahun terakhir, serta daerah yang berbatasan langsung dalam satu pulau dengan daerah tertular. Kegiatan di daerah ini sama dengan daerah yang dibebaskan dengan pemantauan dan penyelidikan yang lebih intensif. c. Daerah tertular rabies Kegiatan ini selain kampanye dan tatalaksana program umum adalah: Registrasi dan pengawasan HPR, dilaksanakan dengan penandaan kalung leher pada HPR terutama anjing, kucing, dank era, dimana pemilik mengerti dan bertaggung jawab atas peliharaannya. Vaksinasi HPR, dengan target 100% populasi anjing peliharaan. Pada daerah positif rabies, vaksinasi dilaksanakan pada ring vaksinasi dengan luas radius 10 km. Eliminasi/depopulasi HPR; targetnya adalah 100% anjing liar/tanpa pemilik yang jumlahnya diperkirakan sebesar 20% dari total populasi anjing. Observasi HPR, adalah kegiatan pengawasan HPR yang menggigit tanpa provokasi harus ditangkap dan diamati selama 14 hari oleh petugas dinas peternakan. Apabila dalam masa pengamatan tersebut anjing mati, maka harus diambil specimen otaknya dalam larutan buffer gliserin 50% untuk segera dikirim dan diperiksa oleh laboraturium yang ditunjuk. Apabila hewannya masih hidup, dapat diserahkan kepada pemiliknya setelah divaksinasi atau dimusnahkan bila tidak ada pemiliknya. Pengawasan lalu lintas hewan, setiap HPR yang mau memasuki suatu daerah harus divaksinasi dahulu. Pengawasan dan penertiban pemeliharaan HPR, dimana setiap HPR peliharaan harus divaksinasi teratur 3 tahun sekali dan setiap tahun di daerah tertular, bagi yang tidak bersedia harus dieliminasi.

19

Koordinasi antar daerah, daerah tertular baru yang sebelumnya bebas dinyatakan tertutup bagi lalu lintas keluar masuknya HPR selama 6 bulan dari kasus rabies terakhir.

5) Monitoring dan evaluasi a. Indikator pada hewan Jumlah hewan positif rabies Cakupan vaksinasi anjing Cakupan eliminasi anjing

b. Indikator pada manusia Input: jumlah VAR/SAR yang tersedia Indikator proses: % kasus gigitan HPR Indikator output: % jumlah kasus gigitan yang ditangani Jumlah rabies center yang tersedia Indicator outcome: jumlah lyssa (Widoyono, 2011).

2.14

Pemeriksaan Diagnostik

1. Diagnosa Lapangan Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi 2) Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi 3) Jumlah penderita gigitan oleh anjing. Penahanan dan observasi klinis selama 10 - 15 hari dilakukan terhadap anjing, kucing yang walaupun tampak sehat dan diketahui telah menggigit orang (sedangkan anjing atau kucing yang tidak ada pemiliknya dapat langsung dibunuh dan diperiksa otaknya). Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing menggigit lebih dari satu orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam masa observasi yang kemudian specimen otaknya diperiksa dilaboratorium hasilnya adalah positif rabies, selanjutnya indikasi kecenderungan rabies di lapangan tanpa adanya tindakan provokasi dapat ditentukan sebagai berikut : a. Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 25 %
20

b. Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 50 % c. Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 75 % d. Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi kemungkinan (positif) rabies 100 %.

2. Diagnosa Laboraturium 1) Pemeriksaan darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit 2) Glukosa darah (hipoglikemia merupakan predisposisi kejang N<200 mq/dl) 3) BUN jika meningkat mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nefro toksik akibat dari pemberian obat 4) Ketidakseimbang elektrolit merupakan predisposisi kejang, kalium (N 3,80 5,00meq/dl) dan natrium (N 135 -144 meq/dl). 5) Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang. 6) CT scan: menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. 7) Magnetic Resonance Imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah daerah otak yang itdak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT. 8) Pemindaian positron Emission Tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak. 9) Isolasi virus rabies : yang didapatkan dari specimen air liur, cairan serebrospinal, air mata, jaringan mukosa mulut atau urin penderita 10) FAT (fluorescent antibody test), adalah pemeriksaan berdasarkan antigen virus pada specimen tersebut di atas, hasilnya bias negatif bila antibody sudah terbentuk 11) Mikroskopis Seller, adalah pemeriksaan mikroskopis untuk menemukan negri body dimana negri body adalah tanda khas infeksi virus rabies pada sel tubuh 12) Biologis, adalah inokulasi specimen ke dalam jaringan otak tikus putih. Setelah tikus mati, dilanjutkan pemeriksaan ulang dengan metode FAT dan mikroskopis Seller.

21

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


3.1 Pengkajian 1. Identitas klien Meliputi nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur, alamat, asal kota, dan daerah, asal suku bangsa, nama orangtua dan pekerjaan orangtua. 2. Riwayat kesehatan a. Keluhan utama: Penyebab utama klien dibawa kerumah sakit. Biasanya pasien mengalami demam, nyeri kepala. Klien tidak mau makan, berat badan klien menurun, klien juga merasa mual kadang muntah, klien mengeluh nyeri pada luka gigitan, klien merasa lemah, panas tinggi > 380C denyut jantungnya 122x/menit. b. Riwayat kesehatan saat ini: Adanya tanda dan gejala klinis berupa demam, merasa mual dan muntah, murah terangsang (agitasi), hiperaktivitas, tidak dapat diam, menggigit, meracau (confusion), ataupun halusinasi. c. Riwayat penyakit dahulu: Apakah pasien pernah di gigit hewan (anjing) sebelumnya. d. Riwayat penyakit keluarga: Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang. 3. Pola fungsional Gordon a. Pola presepsi dan penanganan kesehatan Keluhan tentang badan menggigil, suhu umumnya meningkat 37,9oC atau lebih, sesak nafas karena terjadi peningkatan tingkat pernapasan, takikardi, ada atau tidaknya penanganan terhadap keluhan tersebut. b. Pola aktivitas-latihan Pasien menjadi hiperaktif, tidak dapat diam c. Pola nutrisi dan metabolic Kesulitan dalam menelan makanan, berat badan pasien menurun, mual dan muntah, porsi makan tidak dihabiskan, dan status gizi menurun. d. Pola eliminasi Adanya perubahan pola eliminasisepertipeningkatan air liur yang berlebihan.
22

e. Pola tidur dan istirahat Kesukaran untuk istirahat karena susah bernafas, demam. f. Pola konseptual-presepsi Adanya sesak nafas kesulitan saat bernafas, demam. g. Pola toleransi diri-koping stress Membicarakan masalah kesehatan dengan keluarga atau orang terdekat. h. Pola presepsi diri-konsep diri Perasaan cemas terhadap penyakit danklienkurangpahamterhadappenyakitnya. i. Pola peran hubungan Hubungan klien terhadap keluarga tetap harmonis, terganggunya peran dalam keluarga dan status pekerjaan. Adanya kesulitan untuk bekerja dalam kondisi sakit yang diderita. j. Pola seksual-reproduktif Kurang terpenuhinya pola seksual k. Pola nilai kepercayaan Masih lancarnya dalam melaksanakan ibadah dan aspek spiritual terpenuhi.

4. Pemeriksaan fisik 1) Pemeriksaan tanda tanda vital Terlebih dahulu perlunya pemeriksaan tanda-tanda vital:tekanan darah (TD), nadi, Respiratory Rate(RR) dan suhu penting untuk dilakukan untuk mengetahui tanda awal ketidak stabilan hemodinamik tubuh, gambaran dari tanda vital yang tidak stabil merupakan indikasi dari peningkatan atau penurunan kondisi perfusi jaringan. Suhu : lebih dari 38OC Frekuensi pernapasan : lebih 30 x/menit Tekanan darah :kurang dari 90/60 mmHg Nadi : diatas 120x/menit

2) Pemeriksaan Fisik Head To Toe a. Kepala: Rambut: kotor, berminyak, rontok, dan bau.
23

Mata: Sklera tidak jernih, konjungtiva anemis, merespon berlebihan terhadap cahaya, seperti mengantuk, pupil: bentuk bulat, isokor, warna gelap, reaksi: miosis, reaksi pupil sama besar, bulat dan bereaksi terhadap cahaya, palpebra normal.Telinga: bereaksi berlebihan dengan suara yang keras.

Hidung: tidak ada gangguan. Telinga: Bereaksi berlebihan dengan suara yang keras. Mulut: bau, kebersihan gigi dan mulut tidak terawat.

b. Leher: Vena Jugularis: Terjadi pembesaran Kelenjar tiroid dan paratiroid: tidak ada kelainan.

c. Dada/pernapasan: Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : bentuk dada, jejas, ekspansi paru, menggunakan alat pernapasan : benjolan dan pembengkakan

: seperti ada cairan/ pekak : bunyi abnormal seperti ada sekret karena pasien susah untuk

menelan air liur. d. Abdomen: Inspeksi Auskultasi Palpasi Perkusi : jejas, bentuk dada, asites : bising usus, bunyi tambahan : pembengkakan : bunyi pekak

e. Extremitas atas dan bawah: Nyeri pada saat mau berjalan Udema

f. Tanda-tanda vital Suhu diatas normal Pernapasan meningkat diatas normal Denyut jantung takikardi Tekanan darah Denyut nadi

g. Hasil pemeriksaan kepala


24

Frontal: menonjol, rata Bentuk umum kepala

h. Reaksi pupil Ukuran Reaksi terhadap cahaya Kesamaan respon

i. Tingkat kesadaran Kewaspadaan: responterhadap panggilan Iritabilitas Letargi dan rasa ngantuk Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain

j. Aktivitas kejang Jenis Lamanya

k. Fungsi sensoris Reaksi terhadap nyeri Reaski terhadap suhu Reaski terhadap bunyi Reaski terhadap cahaya

3.2 Aplikasi NANDA, NOC, dan NIC NANDA 1. Hipertermi NOC IER:dalam diharapkan Termoregulasi Indikator: Tidak adanya sakit kepala Tidak adanya ngilu pada otot Tidak adanya iritabilitas Tidak adanya perasaan rentang NIC yang Pengobatan demam: Aktivitas: Pantau suhu berkali-kali jika

diperlukan Adakan pemantauan suhu secara berkelanjutan, jika diperlukan Pantau warna kulit dan suhu Pantau tekanan darah, nadi dan

25

mengantuk Tidak adanya perubahan Tanda-tanda vital Indikator: Suhu tubuh Denyut jantung Ritme jantung Denyut nadi radial Tingkat pernafasan Ritme nafas Tekanan sistol darah Tekanan diastol darah Tekanan nadi

pernafasan, jika diperlukan Pantau untuk penurunan tingkat kesadaran Pantau aktivitas berlebihan Pantau intake dan output Pantau selalu suhu untuk mencegah indikasi hipotermia

warna kulit Tidak adanya kejang pada otot

Monitor tanda-tanda vital Aktivitas : Monitor tekanan darah, temperatur, status respirasi Monitor irama paru-paru Monitor bunyi jantung Identifikasi penyebab terjadinya

perubahan tanda-tanda vital

2. Pola

nafas Status respirasi : Ventilasi Kriteria Hasil :

Manajemen Jalan Nafas Aktivitas: Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan lendir nafas Pantau status pernafasan dan melakukan pengisapan

tidak efektif

Pasien menunjukkan polanafas yang efektif Ekspansi dada simetris Tidak ada bunyi nafas Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal Tidak ada bunyi

oksigenasi sesuai dengan kebutuhan Auskultasi mengetahui ventilasi Siapkan pasien untuk ventilasi jalan nafas untuk

adanya

penurunan

tambahan Kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal


26

mekanik bila perlu

Berikan kebutuhan

oksigenasi

sesuai

3. Nutrisi kurang Status nutrisi dari kebutuhan tubuh indikator Asupan zat gizi Asupan makanan dan cairan Energi Indeks masa tubuh Berat badan

Bantuan penambahan berat badan Aktivitas: Menimbang berat badan pasien pada jarak waktu tertentu, jika diperlukan Mendiskusikan kemungkinan

penyebab rendahnya berat badan Memantau mual dan muntah Mengontrol konsumsi kalori harian Anjurkan kalori Menunjukkan bagaimana cara meningkatkan intake

Intake Makanan Dan Cairan Indikator Intake makanan di mulut Intake di saluran makanan Intake cairan di mulut Intake cairan

meningkatkan intake kalori Memberi variasi nutrisi makanan yang tinggi kalori

Pengontrolanberatbadan Indikator: Mengontrol berat badan Mempertahankan kalorioptimal harian Menyeimbangkan dengan intake kalori Memilih nutrisi makanan dan snack Menggunakan suplemen latihan intake

Mempertimbangkan

makanan

utama pasien, jika diatur oleh pilihan sendiri, budaya, dan agama

Manajemen Nutrisi Aktivitas: Mengontrol makanan/cairan dan penyerapan menghitung

intake kalori harian, jika diperlukan Memantau makanan ketepatan untuk urutan memenuhi

nutrisi jika diperlukan Makan sebagai respon makan Mempertahankan pola makan

kebutuhan nutrisi harian Menentukan jumlah kalori dan jenis

27

yang dianjurkan Memelihara makanan penyerapan

zat makanan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, ketika berkolaborasi dengan ahli makanan, jika diperlukan Menetukan makanan pilihan dengan mempertimbangkan agama Menetukan kebutuhan makanan budaya dan

saluran nasogastric Monitor Nutrisi Aktivitas: Timbang berat badan klien Monitor kehilangan dan

pertambahan berat badan Monitor respon emosi klien

terhadap situasi dan tempat makan Monitor interaksi orang tua dan anak saat makan Jadwalkan perawatan, dan

tindakan keperawatan agar tidak mengganggu jadwal makan Monitor turgor kulit Monitor adanya mual dan muntah Monitor protein, hematokrit. Monitor elektrolit Monitor pilihannya
28

nilai

albumin,

total dan

hemoglobin

nilai

limfosit

dan

menu

makanan

dan

Manajemen Cairan Aktivitas: Hitung haluran Pertahankan intake yang akurat Monitor hasil lab. terkait retensi cairan (peningkatan BUN, Ht ) Monitor TTV Monitor adanya cairan indikasi (seperti

retensi/overload

:edem, asites, distensi vena leher) 4. Resikocedera Kontrol Risiko Memantau lingkungan Memantau factor resiko strategi factor Manajemen Lingkungan resiko Aktivitas: Jauhi senjata yang potensial dari lingkungan klien ( bendatajam , jerat , dan lain lain) Pantau keamanan alat alat yang dibawa pengunjung ke sekitar klien Instruksikan petugas kontrol paparan mengenai klien Berikan pasien ruangan sendiri untuk pengunjung yang dan lain

perilaku pribadi Mengembangkan

kontrol risiko yg efektif Menyesuaikan strategi kontrol risiko yg dibutuhkan Melakukan strategi risiko Menghindari ancaman kesehatan Berpartisipasi dlm skrining untuk mengidentifikasi risiko Menggunakan sesuai kebutuhan Menggunakan dukungan pribadi sistem utk yankes yg

kesehatan informasi

keamanan

menghindari

kesempatan

adanya perilaku kekerasan kepada orang lain Sediakan perlengkapan makan dari plastic Memelihara bentuk daerah yang aman ( kamar pengasingan ) kepada pasien ketika ia mengamuk

mengontrol risiko

29

Pantau kesehatan

perubahan

status Pencegahan Jatuh Aktivitas: Identifikasi defisit kognitif atau fisik pasien yang berpotensi untuk jatuh Monitor berjalan ambulasi Pertahankan penggunaan alat bantu jalan Instruksikan pasien untuk meminta bantuan gerakan Gunakan tkhnik yang tepat untuk memindahkan pasien dari dank ke tempat tidur , toilet, kursi roda dan sebagainya Tempatkan tempat tidur mekanis pada posisi terendah dengan menggunakan gaya, dan keseimbangan daya

kelemahan

5. ResikoInfeksi

Status Infeksi: Proteksi Infeksi Demam Nyeri Gejala pada pencernaan Lemah Gangguan kognitif Kolonisasi daerah luka Aktivitas: Monitor tanda-tanda dan gejala sistemik dan local dari infeksi Monitor terinfeksi Batasi pengunjung Inspeksi kulit dan membrane daerah yang mudah

mukosa yang memerah, panas, atau

30

kering Tingkatkan intake nutrisi cukup Beri agen imun Ajari keluarga tentang tanda dan gejala dari infeksi dan kapan yang

mereka dapat melaporkan untuk mendapatkan perawatan kesehatan Ajari keluarga bagaimana

menghindari infeksi

31

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Penyakit tersebut ditandai dengan disfungsi hebat susunan saraf pusat dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Banyak komplikasi yang terjadi pada pasien rabies yaitu gangguan neurologi, pituitary, pulmonal, kardiovaskular dan lain-lain. Rabies merupakan penyakit yang mematikan jika tidak segera diberi tindakan medis yang tepat. Adapun gejala klinis pada manusia terdiri dari 4 stadium, yaitu periode prodromal, fase ensefalitis, manifestasi disfungsi dan stadium koma. Sedangkan pada hewan seperti anjing dan kucing ada 3 fase, yaitu fase prodormal, fase eksitasi, dan fase paralisa. Pencegahan terhadap rabies dapat dilakukan dengan cara penanganan luka secara cepat & tepat dan vaksinasi. 4.2 Saran Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas penulis ingin memberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Agar perawat sebagai insan kesehatan dapat memahami dengan baik mengenai rabies dan asuhan keperawatan pada pasien yang terkait sehingga bisa mengaplikasikan pengetahuan tersebut dengan bijak dan benar di lapangan nantinya 2. Kepada pembaca agar mewaspadai penyakit rabies dan agar lebih memahami tentang gejala, pencegahan, cara penularan dan pengobatan rabies 3. Kepada teman-teman mahasiswa keperawatan agar dapat menggali pengetahuan lebih dalam lagi mengenai rabies dan asuhan keperawatannya.

32

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B.T. (2007). Pencegahan dan pengendalian rabies. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2013 dari http://books.google.co.id/books?id=xoR9qZI2t8C&pg=PT41&dq=rabies+adalah&hl=en&sa=X&ei=ZcoYUumMGcnDrAe_3oCIAw&ve d=0CDMQ6AEwAQ Arvin, B.K. (1999). Ilmu kesehatan anak nelson. Volume 2. Edisi 15. Jakarta: EGC Harrison. (1995). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, edisi 13 vol 2. Jakarta: EGC Noer, M.S. (1996). Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid I edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Soeharsono. (2002). Zoonosis: penyakit menular dari hewan ke manusia. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2013 dari Widoyono. (2011). Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasan. Jakarta: Erlangga www.library.usu.ac.id

33

You might also like