You are on page 1of 10

HTN - KEWARGANEGARAAN (8/6 12) Kewarganegaraan Pasal 26 UUD 45: (1) WN = orang Indonesia asli dan orang asing

g yang disahkan UU (2) Penduduk = WNI dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia Orang Indonesia Asli kalau dirujuk berdasarkan ciri-ciri dari bentuk fisik akan sulit ditentukan, mis, orang keturunan arab, orang papua, dsb. Maka untuk definisi Orang Indonesia Asli kita harus melihat I.S. (Indische Staatsregeling) pasal 163, dimana penduduk Indonesia dibedakani menjadi 3 golongan: I. Golongan Eropa (Belanda, Eropa) II. Golongan Timur Asing (tionghoa, Arab, dan sebangsanya/serumpunnya) III. Pribumi (orang indonesia asli) : mereka yang bukan gol. Cina/Arab/Beranda/Eropa. Maka orang Papua, yang bentuk fisiknya berbeda, termasuk orang Indonesia asli. Golongan III otomatis menjadi warga negara begitu Indonesia merdeka. Bagi golongan I dan II bisa menjadi warga negara jika menginginkan untuk menjadi warga negara dan memenuhi syarat. I.S. masih tetap dipakai sepanjang untuk melaksanakan UUD dan belum ada peraturan baru yang menggantikannya (aturan peralihan pasal 2). Surat keterangan kewarganegaraan dulu wajib dimiliki bagi golongan Tionghoa tapi tidak bagi orang/keturunan Arab, hal ini ada kaitannya dengan G-30 S/PKI, dimana Indonesia pada saat itu poros pemerintahannya memang condong ke negara Cina. Hal ini mengakibatkan orang Tionghoa memiliki dua kewarganegaraan dan ada pembedaan terhadap orang Tionghoa/Cina. Orang Cina memiliki dwi kewarganegaraan karena mereka menganut bahwa dimanapun mereka dilahirkan, asalkan keturunan Tionghoa/Cina, maka mereka otomatis warga negara Cina (ius sanguinis). Persyaratan presiden dulu Pasal 6 UUD 45 (sebelum amandemen UUD 45 III) orang Indonesia asli. Siapapun boleh menjadi presiden, asalkan: Orang Indonesia sejak lahir Tidak pernah berkhianat kepada negara Tidak pernah menerima KWN lain atas keinginannya sendiri (berbeda jika KWN tersebut dihadiahkan, misalnya, Habibie diberi kehormatan sebagai warga negara Jerman karena berjasa dalam hal teknologi kapal terbang) PRINSIP KEWARGANEGARAAN 1. Prinsip Ius Soli Berdasarkan tempat kelahirannya. Yang menganut asas ini a.l. Amerika, Eropa, Indonesia. Siapapun yang lahir di suatu negara akan memiliki kewarganegaraan negara tersebut. 2. Prinsip Ius Sanguinis Berkaitan dengan pertalian darah dengan orang tua (genetik). Cina, misalnya, dimanapun orang Cina dilahirkan, maka ia akan dianggap warga negara Cina. Indonesia juga menganut asas ini.

Banyak kasus di Indonesia dimana jika seorang ibu berkewarganegaraan Indonesia dan anaknya tidak lahir di Indonesia, maka anak tersebut dideportasi saat kembali ke Indonesia, hal ini karena Indonesia menganut asas keturunan dimana yang diakui adalah status suami, jadi kewarganegaraan anak akan ikut suami (ini sebelum UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 disahkan). Seorang perempuan yang menikah dengan pria warga negara asing, kalau si istri selama satu tahun tidak menyatakan diri setia kepada Indonesia, maka akan otomatis gugur kewarganegaraanya. Artinya, jika ia kembali ke Indonesia, akan diusir/dideportasi. UU Kewarganegaraan RI UU No. 12 Tahun 2006 menggantikan UU No. 3/1976 yang sebelumnya menggantikan UU No.62/1958. UU ini memudahkan kasus-kasus dalam perkawinan campuran (beda KWN). Pengertian kawin campuran sekarang berbeda dengan dulu. Dulu yang termasuk perkawinan campuran adalah perkawinan beda warga negara, beda agama, suku. UU No.12/2006 pasal 1, Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan RI melalui permohonan. Jadi, orang luar yang ingin memiliki kewarganegaraan Indonesia harus mengikuti proses pewarganegaraan.

WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ius soli atau prinsip ius sanguinis. Yang dimaksud dengan ius soli adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ius sanguinis mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah. Berdasarkan prinsip ius soli, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia. Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless). Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ius sanguinis yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka. Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ius soli sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan

permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah. Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ius soli, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ius soli, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i) kewarganegaraan karena kelahiran atau citizenship by birth, (ii) kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau citizenship by naturalization, dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau citizenship by registration. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia, sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim dipahami selama ini. Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebabsebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia. Lagi pula sebab-sebab hilangnya status kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik, karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya sebagai warganegara Indonesia. Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut

sudah semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga terhindar dari kemungkinan menjadi stateless atau tidak berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa. Di samping itu, dalam proses perjanjian antar negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral bertentangan, yaitu prinsip ius soli dan prinsip ius sanguinis sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus stateless tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing. Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ius sanguinis, mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali. KEWARGANEGARAAN ORANG CINA PERANAKAN Orang-orang Cina peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang Cina, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan nonpribumi untuk membedakan penduduk keturunan Cina dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina, dan lain sebagainya. Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu sreg dengan sebutan Tionghoa itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia keturunan Cina. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah Tionghoa itu malah lebih distingtif atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan Cina dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah Tionghoa itu sendiri terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan dengan

kelompok masyarakat di luar keturunan Cina. Tiongkok atau Tionghoa itu sendiri mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan negara-negara di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah Cina yang dianggap cenderung merendahkan dengan perkataan Tionghoa yang bernuansa kebanggaan bagi orang Cina justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain, penggunaan istilah Tionghoa itu sendiri juga dapat direspons sebagai kejumawaan dan mencerminkan arogansi cultural atau superiority complex dari kalangan masyarakat Cina peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan mengenai adanya superiority complex penduduk keturunan Cina dipersubur pula oleh kenyataan masih diterapkannya sistem penggajian yang double standard di kalangan perusahaan-perusahaan keturunan Cina yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis Cina. Karena itu, penggunaan kata Tionghoa dapat pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang menghambat upaya pembauran tersebut. Oleh karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan Cina dan warga keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat nondiskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu lagi menyebut dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja warga keturunan yang lahir di Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka dapat mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan. Proses pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan pergaulan antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu dikembangkan dengan cara asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga pendidikan, medium pemukiman, medium perkantoran, dan medium pergaulan social pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan pendidikan dan perkantoran tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis. Lembaga lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan bagi berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang melibatkan pihak etnis keturunan Cina dengan etnis lainnya. Jika seandainya semua orang melakukan perkawinan bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa setelah satu generasi atau setelah setengah abad, isu etnis ini dan apalagi isu rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di persada nusantara ini. PEMBARUAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang

Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan sebagai warganegara Indonesia. Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai Warga Negara Asli. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warganegara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai Warga Negara Asli. Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian Warga Negara Indonesia asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini. HAK ASASI MANUSIA Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, and legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan, dalam perkembangan relanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy), dan dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara dan mekanisme hubungan antar lembaga negara. Penandatanganan Magna Charta pada 1215 oleh Raja John Lackland biasa dianggap sebagai permulaan sejarah perjuangan hak asasi manusia, meskipun sebenarnya, piagam ini belumlah merupakan perlindungan hak asasi manusia seperti yang dikenal sekarang. Dari segi isinya, Magna Charta hanya melindungi orang-orang yang masuk kategori freeman sehingga kaum budak tidak termasuk di dalamnya. Akan tetapi, jika dilihat dari segi perjuangan hak-hak asasi manusia, Magna Charta - setidak-tidaknya menurut orang Eropa diakui sebagai yang pertama dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia seperti yang dikenal sekarang. Setelah Magna Charta (1215), tercatat pula penandatanganan Petition of Rights pada 1628 oleh Raja Charles I. Apabila pada 1215 raja berhadapan dengan kaum bangsawan dan gereja sehingga lahirlah Magna Charta, pada 1628, Raja berhadapan dengan Parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (House of Commons). Oleh karena itu, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,

kenyataan ini memperlihatkan bahwa perjuangan hak-hak asasi manusia memiliki korelasi yang erat sekali dengan perkembangan demokrasi karena perjuangan hak-hak asasi manusia itu pada akhirnya berkaitan dengan soal jauh dekatnya rakyat dengan ide demokrasi. Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights yang ditandatangani oleh Raja Williem III pada 1689 sebagai hasil dari pergolakan politik yang dahsyat yang biasa disebut Glorious Revolution. Glorious Revolution ini tidak saja mencerminkan kemenangan parlemen atas raja, tetapi juga menggambarkan rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights itu yang berlangsung tak kurang dari enam puluh tahun lamanya. Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu. Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial (contrat social). Perbedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut, teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional. Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya homo homini lupus, bellum omnium comtra omnes. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut `Leviathan' yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul buku. Keadaan seperti itulah yang, menurut Hobbes, mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hakhaknya kepada penguasa. Itu sebabnya pandangan Thomas Hobbes disebutkan sebagai teori yang mengarah kepada pembentukan monarki absolut. Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Yang diserahkan, menurutnya, hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masingmasing individu. John Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai Second Treaties of Civil Government yang juga menjadi judul bukunya. Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetujan antarindividu tadi (pactum unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan, yakni life, liberty serta estate, logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing individu. Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian harusdijadikan landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. sebagaimana yang kemudian terlihat dalam Declaration of Independence Amerika Serikat yang pada 4 Juli 1776 telah disetujui oleh Congress yang mewakili tiga belas negara baru yang bersatu.

PEMILU Pemilihan Umum disebut juga dengan Political Market (Dr. Indria Samego). Artinya bahwa pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu/masyaarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak social (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propganda, iklan politik melalui media massa cetak, audio (Radio) maupun audio visual (televisi) serta media lainnya seperti, Spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antar pribadi yang berbentuk face to face (tatap muka) atau lobby yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platform, asas, ideology serta janji-janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih sehingga pada pencoblosan dapat menentukan pilihanya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislative maupun eksekutif. TUJUAN Menurut rumusan penjelasan UU No. 15 tahun 1969, tentang Pemilihan Umum, yang masih berlaku sampai tahun Pemilu 1997, disebutkan bahwa tujuan pemilu adalah : Dalam mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita Revolusi Kemerdekaan RI Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana tersebut dalam Pancasila dan UUD 1945, maka penyusunan tata kehidupan itu harus dilakukan dengan jalan Pemilihan Umum. Dengan demikian, diadakan pemilihan umum tidak sekedar memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/ perwakilan, dan juga tidak memilih wakil-wakil rakyat untuk menyusun negara baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawa isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan, mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan NKRI bersumber pada Proklamasi 17 Agustus 1945 guna memenuhi dan mengemban Amanat Penderitaan Rakyat. Pemilihan Umum adalah suatu alat yang penggunaannya tidak boleh mengakibatkan rusaknya sendi-sendi demokrasi dan bahkan menimbulkan hal-hal yang menderitakan rakyat, tetapi harus menjamin suksesnya perjuangan orde baru, yaitu tetap tegaknya Pancasila dan dipertahankan UUD 1945. Makna yang tersimpul dalam tujuan pemilu di atas merupakan fundamen pelaksanaan demokrasi di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan tujuan Pemilihan Umum menurut Undang-Undang No. 12 tahun 2003, tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD adalah : Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun Tujuan Pemilihan Umum menurut Undang-Undang No. 23, tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yaitu : Pemilu Presiden dan Wakil presiden diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil presiden yang memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintah negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ASAS PEMILIHAN UMUM

Mengenai asas pemilu di Indonesia dikenal ada beberapa asas pemilu yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Pemilu yang berlaku di Indonesia. Asas Asas pemilu tersebut adalah meliputi : a) Asas pemilu menurut UU No. 15 tahun 1969, adalah sebagai berikut : a) Umum Artinya semua WN yang telah berusia 17 tahun atau telah menikah berhak untuk ikut memilih dan telah berusia 21 tahun berhak di pilih. b) Langsung Artinya rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya tampa perantara dan tampa tingkata. c) Bebas Artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya tampa adanya pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapapun/dengan apapun. d) Rahasia Artinya rakyat pemilih di jamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya atau kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot). b) Asas pemilu menurut UU No. 3 tahun 1999, adalah sebagai berikut : Dalam UU No. 3 /1999, ini terdapat penambahan dua asas pemilu yaitu, Jujur dan Adil. Adapun lengkapnya adalah : a) Jujur Dalam penyelenggaraan pmilu, penyelenggaraan pelaksana, pemerintah dan partai politk peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. b) Adil Dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilihan dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun. c) Langsung

You might also like