You are on page 1of 16

REFERAT PENANGANAN ASMA AKUT BERAT

Dosen Pembimbing dr. Johannes R. S, Sp.P Disusun Oleh Elisabet Catherine Manurung (NIM 0961050024)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM PERIODE 22 JULI 2013 21 SEPTEMBER 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul PENANGANAN ASMA AKUT BERAT. Tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di Bagian Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Selain itu, untuk melatih para dokter muda dalam menyajikan beberapa tinjauan kepustakaan pada perkembangan ilmu kedokteran yang selalu berkembang.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Johannes R.S, Sp.P yang telah membimbing penulis selama menjalani kepaniteraan di bagian ilmu penyakit dalam. Atas bimbingannya, penulis mendapatkan pengetahuan baik secara teori maupun aplikasinya mengenai pulmonologi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk saran dan kritik yang diberikan, sehingga tugas referat ini dapat bermanfaat dengan baik.

Jakarta, 7 September 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI .. 1. Anatomi dan Fisiologi Paru ... 2. Definisi Asma ..... 3. Epidemiologi ...... 4. Faktor Pencetus ... 5. Faktor Risiko ... 6. Patofisiologi .... 7. Klasifikasi .. 8. Manifestasi Klinis ... 9. Diagnosis . 10. Penatalaksanaan .... DAFTAR PUSTAKA ......

1 2 3 3 3 4 4 5 6 7 8 9 15

1. Anatomi dan Fisiologi Paru1 Paru-paru terletak di samping mediastinum. Terdapat dua buah paru, masing-masing dibagi menjadi beberapa lobus dan masing-masing dipasok oleh 1 bronkus. Jaringan paru terdiri dari serangkaian saluran napas yang bercabang-cabang, yaitu alveolus, pembuluh darah paru, dan sejumlah besar jaringan ikat elastik. Satu-satunya otot didalam paru adalah otot polos di dinding arteriol dan bronkiolus. Paru menempati sebagian besar volume rongga toraks, dan struktur lain yang terdapat di dalamnya berupa jantung, pembuluh darah yang terkait, esophagus, timus, dan beberapa saraf. Dinding dada luar, dibentuk oleh 12 pasang costae yang melengkung dan menyatu di sternum di sebelah anterior dan vertebra torakalis di posterior. Selain itu, terdapat kantung tertutup berdinding ganda yang disebut kantung pleura, yang memisahkan tiap-tiap paru dari dinding toraks dan struktur disekitarnya. Permukaan pleura mengeluarkan cairan intrapleura sewaktu kedua permukaan saling bergeser satu sama lain saat gerakan bernapas. Kemudian terdapat diafragma, yang membentuk dasar rongga toraks berupa otot rangka yang berbentuk kubah yang memisahkan rongga toraks dari rongga abdomen. Pada mekanika pernapasan, udara bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah yaitu, menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan keluar paru selama proses bernapas dengan mengikuti penurunan gradien tekanan yang berubah antara alveolus dan atmosfer akibat aktivitas siklik otot pernapasan. 2. Definisi2 Asma merupakan penyakit kronik saluran napas yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari (PDPI, 2006; GINA, 2009). Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya. 3.Epidemiologi1,3 Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2003). Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause, perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi daripada dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan bahwa prevalensi dewasa lebih tinggi daripada anak.

4. Faktor Pencetus3 a. Alergen Alergen adalah zat-zat tertentu bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan serangan asma, misalnya debu rumah , tungau rumah, spora jamur, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya. b. Infeksi saluran napas Infeksi saluran napas terutama oleh bakteri influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma. Diperkirakan 2/3 pasien asma dewasa, serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran napas. c. Stress Psikologik Stress psikologik bukan berarti penyebab asma tetapi sebagai pencetus asma, karena banyak orang yang mendapat stress psikologik tetapi tidak menjadi penderita asma. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada seseorang yang kurang stabil kepribadiannnya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak. d. Olahraga / kegiatan jasmani yang berat Sebagian penderita asma akan mendapatkan asma apabila melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan jasmani terjadi setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olahraga. e. Obat-obatan Beberapa pasien asma sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicilin ,salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya. f. Polusi udara Pasien asma sangat peka terhadap udara debu, asap pabrik, /kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran sulfur dioksida dan oksida foto kemikal, serta bau yang tajam. 5. Faktor Risiko2 Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi untuk berkembang menjadi asma, yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, asap rokok, polusi udara, dan infeksi pernapasan (virus). Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma, Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma.
Bakat yang diturunkan : - Asma - Atopi/alergik - Hiperaktivitas bronkus - Jenis kelamin - Ras Pengaruh lingkungan : - Alergen - Infeksi pernapasan - Asap rokok/polusi udara

Asimptomatik atau asma dini

Manifestasi Klinis asma(Perubahan ireversibel pada struktur dan fungsi jalan napas)

Gambar : Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma Sumber : PDPI, 2006 6. Patofisiologi Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan. Pada asma alergik maupun non alergik dapat dijumpai adanya inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas. Oleh karena itu, terdapat 2 jalur untuk mencapai keadaan tersebut yaitu, jalur imunologis yang didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, dimana masuknya allergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (antigen Presenting Cells = sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan allergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel plasma membentuk IgE serta sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi. Mediator inflamasi seperti histamine, prostaglandin, leukotrin, platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin yang akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel radang, dan sekresi mucus sehingga akan menimbulkan hiperaktivitas saluran napas dan akan menyebabkan spasme otot bronkus serta obstruksi saluran napas sehingga terjadilah asma.

7.

Klasifikasi4,5,6

Klasifikasi asma menurut GINA tahun 2011 berdasarkan kontrol asma:

Klasifikasi berat serangan asma akut7 Gejala dan Tanda Sesak napas Posisi Cara berbicara Kesadaran Berat Serangan Akut Ringan Sedang Berat Berjalan Berbicara Istirahat Dapat tidur Duduk Duduk terlentang membungkuk Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Keadaan Mengancam Jiwa Mengantuk, gelisah, kesadaran menurun Bradikardia Torakoabdominal paradoksal

Frekuensi napas

<20 kali/menit

Nadi <100 Otot bantu napas dan retraksi suprasternal Mengi Akhir ekspirasi paksa APE >80 % PaO2 >80 mmHg PaCO2 <45 mmHg SaO2 >95 %

20-30 kali/menit 100-120 +

>30 kali/menit >120 +

Akhir ekspirasi 60-80 % 80-60 mmHg <45 mmHg 91-95 %

Inspirasi dan Silent chest ekspirasi <60 % <60 mmHg >45 mmHg <90%

8. Manifestasi Klinis4 Suatu studi menunjukkan bahwa asma disebabkan oleh berbagai hal antara lain gambaran klinis, beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik. Pada diagnosis asma yang didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejalanya berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. Riwayat penyakit/gejala : Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu Respons positif terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit : Riwayat keluarga (atopi) Riwayat alergi / atopi Penyakit lain yang memberatkan Perkembangan penyakit dan pengobatan

9. Diagnosis Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. Anamnesis Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu: 1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan 2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma 3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan berdahak yang berulang 4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari 5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik 6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
Pemeriksaan Fisik 2

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal (GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan. Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas, sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009).
Faal Paru Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Hal ini disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter yang tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu dalam menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma.

Adapun metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) Pemeriksaan Spirometri (2) Arus Puncak Ekspirasi (APE). (1) Pemeriksaan Spirometri Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyaknya penyakit paru-paru, dapat menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio VEP1/KVP (%). (2) Arus Puncak Ekspirasi (APE) Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter). Yang relative sangat murah, mudah dibawa dan tersedia di berbagai tingakat layanan kesehatan. Manfaat APE dalam diagnosis asma : - Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari atau respon terapi kortikosteroid (inhalasi/oral, 2 minggu) - Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variability APE harian selama 1-2 minggu. Variability juga dapat dugunakan menilai derajat berat penyakit. Cara pemeriksaan variability APE harian Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk mendapatkan nilai tetinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara : - Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai >20% menunjukkan sebagai asma .
APE malam APE pagi x 100% (APE malam + APE pagi)

Variability harian =

- Metode lain adalah nilai terendah APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari) 10. Penatalaksanaan 7,8 Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma sehari-hari yang kurang tepat. Dengan kata lain, penanganan asma ditekankan pada penanganan jangka panjang dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala dengan memberikan pengobatan yang tepat.

Penatalaksanaan Serangan asma di Rumah Sakit Serangan akut berat adalah gawat darurat dan membutuhkan bantuan medis segera, penanganan harus cepat dan dilakukan di rumah sakit/gawat darurat.
Penilaian awal Riwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1, saturasi O2). AGD dan pemeriksaan lain atas indikasi

Serangan Asma Ringan

Serangan Asma Sedang/Berat

Serangan Asma Mengancam Jiwa

Pengobatan awal - Oksigenasi dengan kanul nasal - Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi) setiap 20 menit dalam 1 jam atau agonis beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan) - Kortikosteroid sistemik pada : a. Serangan asma berat b. Tidak ada respon segera dengan pengobatan bronkodilator c. Dalam kortikosteroid oral Penilaian Ulang setelah 1 jam Pemeriksaan fisik, saturasi O2 dan pemeriksaan lain atas indikasi

Respon baik - Respon baik dan stabil dalam 60 menit - Px. Fisik normal - APE >70% prediksi/nilai terbaik - Saturasi O2 >90% (95% pada anak)

Respon tidak sempurna - Risiko tinggi distress - Px. Fisik : gejala ringan-sedang - APE >50% tetapi <70% - Saturasi O2 tidak perbaikan

Respon buruk dalam 1 jam - Risiko tinggi distress - Px. Fisik : berat, gelisah dan kesdaran menurun - APE <30% - PaCO2 >45 mmHg - PaO2 <60 mmHg

Pulang - Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta-2 - Membutuhkan kortikosteroid oral - Edukasi pasien berupa : A. Memakai obat yang benar B. Ikuti rencana pengobatan selanjutnya

Dirawat di RS - Inhalasi agonis beta-2 anti kolinergik - Kortikosteroid sistemik - Aminofilin drip - Terapi O2 pertimbangkan kanul nasal atau masker venturi - Pantau APE, saturasi O2, nadi, kadar teofilin

Dirawat di ICU - Inhalasi agonis beta-2 anti kolinergik - Kortikosteroid IV - Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi SC/IM/IV - Terapi O2 menggunakan masker venture - Aminofilin drip - Mungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik

Pulang Bila APE >60% prediksi/terbaik. Tetap berikan pengobatan oral atau inhalasi

Perbaikan

Tidak perbaikan

Dirawat di ICU Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam

Penatalaksanaan di Rumah Kemampuan penderita untuk dapat mendeteksi dini perburukan asma nya adalah penting dalam keberhasilan penanganan serangan akut. Bila pasien dapat mengobati dirinya sendiri pada saat serangan dirumah, maka pasien tidak hanya mencegah keterlambatan pengobatan tetapi juga meningkatkan kemampuan untuk mengontrol asmanya sendiri.
Penilaian berat serangan Klinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah, APE <80% nilai terbaik/prediksi

Terapi awal Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (setiap 20 menit, 3x dalam 1 jam), atau bronkodilator oral

Respon baik Gejala (batuk/berdahak/sesak/mengi) membaik Perbaikan dengan agonis beta-2 & bertahan selama 4 jam. APE >80% prediksi/nilai terbaik

Respon buruk Gejala menetap atau bertambah berat : - Tambahkan kortikosteroid oral - Agonis beta-2 diulang

- Lanjutkan agonis beta-2 inhalasi setiap 3-4 jam untuk 24-48 jam Alternatif : bronkodilator oral setiap 6-8 jam - Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis tinggi (bila sedang menggunakan steroid inhalasi) selama 2 minggu, kemudian kembali ke dosis sebelumnya

Segera ke dokter/IGD/RS

Hubungi dokter untuk instruksi selanjutnya Gambar : Algoritma penatalaksanaan asma di rumah

Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobatan
SERANGAN Ringan - Aktivitas relative normal - Berbicara satu kalimat dalam satu napas - Nadi <100 - APE >80% Sedang - Jalan jarak jauh timbul gejala - Berbicara beberapa kata dalam satu napas - Nadi 100-120 - APE 60-80% PENGOBATAN TEMPAT PENGOBATAN

- Terbaik : Di rumah Inhalasi agonis beta-2 - Alternatif : Di praktek Kombinasi oral agonis beta-2 dan dokter/Klinik/Puskesmas teofilin - Terbaik : Gawat darurat/ RS klinik, Nebulasasi agonis beta-2 tiap 4 Praktek dokter, Puskesmas jam - Alternatif : Agonis beta-2 subkutan Aminofilin IV Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan

Berat - Sesak saat istirahat - Terbaik : Gawat darurat/ RS klinik - Berbicara kata perkata dalam Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 satu napas jam - Nadi >120 - Alternatif : - APE <60% Agonis beta-2 SC/IV Adrenalin 1/1000 0,3 ml SC Aminofilin bolus dilanjutkan drip Oksigen Kortikosteroid IV Mengancam Jiwa - Kesadaran - Seperti serangan akut berat Gawat darurat/RS ICU berubah/menurun - Pertimbangkan intubasi dan - Gelisah ventilasi mekanis - Sianosis - Gagal napas

Pengobatan Berdasarkan Derajat2 Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi: 1. Asma Intermiten a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan

2. Asma Persisten Ringan

a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside : 200400 g/hari Fluticasone propionate : 100250 g/hari Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotriene modifiers b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu 3. Asma Persisten Sedang a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside: 400800 g/hari Fluticasone propionate : 250500 g/hari Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas lambat Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari) Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau Agonis -2 kerja singkat oral, atau Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat

Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah

4.

Asma Persisten Berat

Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas

DAFTAR PUSTAKA

1.

Sherwood L. Sistem Pernapasan. Dalam: Santosa BI, editor. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2004:410-60.

2. Mangunnegoro H, Widjaja A, Kusumo D, et. Al. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Edisi 2. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006:16-74. 3. Sundaru H, Sukanto. Adma Bronkial. Dalam: Sundoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et. Al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta Pusat: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009:410-60 4. Bateman ED, et al. Global strategy for asthma management and prevention. Global Initiative for Asthma; 2011. 5. Swidarmoko B. Penatalaksanaan Asma Akut (Menurut GINA 2006). Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/53261330/Penatalaksanaan-Asma-Akut-GINA-2006/ 19 Agustus 2013. 6. Fauci AS, Brunwald E, Kasper DL, Hauser Sl, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th edition. USA: The McGraw-hill Companies, inc; 2008. (e-book) 7. Antariksa B. Diagnosis dan penatalaksanaan asma. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran respirasi FKUI-RS. Persahabatan. 8. Sukmana N. Penatalaksanaan Asma Akut Berat. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/104430094/Penatalaksanaan-Asma-Akut-Berat/ 19 Agustus 2013.

You might also like