You are on page 1of 17

Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H.

E-COMMERCE
TINJAUAN DARI PERSPEKTIF HUKUM

Pengertian E-Commerce
Electronic Commerce atau disingkat e-commerce adalah kegiatan-kegiatan bisnis
yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufactures), service
providers, dan pedagang perantara (intermediaries) dengan mengunakan jaringan-
jaringan komputer (computer networks), yaitu Internet. E-commerce sudah meliputi
seluruh spektrum kegiatan komersial.
Julian Ding dalam bukunya e-commerce: Law & Practice, mengemukakan bahwa
e-commerce sebagai suatu konsep tidak didefinisikan. E-commerce memiliki arti yang
berbeda bagi orang yang berbeda. Hal itu seperti kita mendefinisikan seekor gajah,
yaitu tergantung dari di bagian mana dari gajah itu kita lihat atau pegang, maka akan
berbeda pula definisi yang dapat diberikan.1 Julian Ding memberikan definisi
mengenai e-commerce sebagai berikut :
Electronic Commerce, or e-commerce as it is also known, is a commercial
transaction between a vendor and a purchaser or parties in similar contractual
relationships for the supply of goods, services or the acquisition of “rights”. This
commercial transaction is executed or entered into in an electronic medium (or
digital medium) where the physical presence of the parties is not required, and the
medium exist in a public network or system as opposed to a private network
(closed system). The public network or system must be considered an open system
(e.g. the Internet or the World Wide Web). The transactions are concluded
regardless of national boundaries or local requirements.
Meskipun istilah e-commerce baru memperoleh perhatian beberapa tahun terakhir
ini, tetapi e-commerce telah muncul dalam berbagai bentuknya sudah lebih dari 20
tahun. Teknologi Electronic Data Interchange (EDI) dan Electronic Funds Transfer
(EFT) diperkenalkan untuk pertama kalinya di akhir tahun 1970-an. Pertumbuhan dan
penggunaan Credit Cards, Automated Teller Machines, dan Telephone Banking di
tahun 1980-an juga merupakan bentuk-bentuk dari e-commerce.2
E-commerce merupakan bidang yang multidisipliner (multidiscip linary field) yang
mencakup bidang-bidang teknik seperti jaringan dan telekomunikasi, pengamanan,
penyimpanan dan pengambilan data (retrieval) dari multi media; bidang-bidang bisnis
seperti pemasaran (marketing), pembelian dan penjualan (procurement and
purchasing), penagihan dan pembayaran (billing and payment), dan manajemen
jaringan distribusi (supply chain management); dan aspek-aspek hukum seperti
information privacy, hak milik intelektual (intellectual property ), perpajakan
(taxation), pembuatan perjanjian dan penyelesaian hukum lainnya.3
Pada saat ini, kita menggunakan peralatan elektronik untuk melaksanakan transaksi
komersial sedemikian rupa sehingga kita merasa tidak perlu mengacuhkan implikasi-
implikasi yang akan ditimbulkannya. Misalnya penarikan uang dari ATM, membayar
bensin di pompa bensin dengan menggunakan ATM Cards atau Credit Cards atau
Debit Cards. Penggunaan ATM Cards atau Credit Cards di dalam perdagangan telah
menjadi suatu yang biasa karena kita tidak lagi merasa bahwa kegiatan-kegiatan
tersebut adalah sesuatu yang tidak biasa.

Aspek-Aspek Hukum Dari E-Commerce


1. Berlakukah Hukum Bagi Dunia Maya (Virtual World)?
Dengan menggunakan jaringan Internet, tidak hanya sekadar data atau informasi
tertulis saja yang dapat diperoleh dan dipertukarkan, tetapi juga suara dan gambar.
Dalam kaitan itu, Internet sudah merupakan Integrated Services Digital Network
(ISDN). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dunia Internet disebut sebagai
“virtual world”, yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah
“dunia maya”, yang dilawankan dengan “real world ” atau “dunia nyata”, yaitu dunia
phisik tempat kita hidup.
Dunia maya ini telah mengubah kebiasaan banyak orang, yaitu orang-orang yang
dalam kehidupannya terbiasa menggunakan Internet. Berbelanja, mengirim surat,
mengirimkan surat lamaran kerja, berkirim photo, mencari informasi, melakukan
pembicaraan jarak jauh tidak ubahnya seperti sedang bertelepon, mengambil uang
dari bank, membuat design bangunan oleh arsitek, berkonsultasi tatap muka (yaitu
masing-masing pihak muncul gambarnya pada layar komputer mereka masing-masing
karena masing-masing komputer dilengkapi dengan kamera), melihat film, men-
dengarkan lagu-lagu CD, mendengarkan radio, dan lain-lain. Semua itu dapat mereka
lakukan melalui Internet. Praktis pada saat ini hampir semua kegiatan yang dapat
dilakukan di dunia nyata (real world ) dapat dilakukan didunia maya (virtual world).
Bahkan di dunia maya orang telah melakukan berbagai tindak kejahatan yang justru
tidak dapat dilakukan di dunia nyata.
Ada masalah serius yang tidak banyak memperoleh perhatian dengan serius.
Masalah itu adalah masalah hukum. Sangat menarik apa yang dikemukakan oleh
Karim Benyekhlef berikut ini:
“… Yet, one cannot claim to fully comprehend and understand this phenomenon if
one reduces it to only its technical component. Obviously the latter might seem
much more spectacular than its legal counterpart. However regardless of how
impressive electronic highways may become, it remains undeniable that their
integration and acceptance in the social and economic fabric will be dependent
notably on the legal guarantees they can provide. In other words, the consumer
will only be inclined to use these new services if they can offer a degree of legal
security comparable to that provided in the framework of traditional
operations.…”
Karim Benyekhlef berpendapat, bahwa seorang tidak dapat dikatakan sudah
memahami betul fenomena mengenai dunia maya apabila pemahamannya hanya
terbatas pada unsur–unsur teknik saja dari dunia maya itu, dan belum menyadari
tentang masalah-masalah hukum dari dunia maya itu.
Berbelanja atau melakukan transaksi di dunia maya melalui Internet sangat
berbeda dengan berbelanja atau melakukan transaksi di dunia nyata. Kenyataan ini
telah menimbulkan keragu-raguan mengenai hukum dan yurisdiksi hukum yang
mengikat para pihak yang melakukan transaksi tersebut. Ada sementara pihak yang
berpendapat, bahwa oleh karena transaksi tersebut terjadi di dunia maya, maka hukum
yang berlaku di dunia nyata tidak berlaku. Pendapat ini menjadi kuat karena pada
kenyataannya tidak ada pemilik tunggal dari Internet.4
Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, maka terdapat kebingungan
mengenai, apakah hukum perdata dan hukum pidana yang berlaku di dunia nyata
berlaku bagi Internet. Banyak pengguna Internet yang memiliki pandangan bahwa
dunia Internet tidak memiliki hukum, dan sebaiknya Pemerintah tidak boleh
mencampuri dan memasuki dunia Internet.5
Penulis tidak dapat menerima pandangan yang demikian itu. Dunia maya di mana
transaksi-transaksi e-commerce berlangsung adalah memang dunia yang lain dari
dunia nyata tempat kita sesungguhnya hidup, karena tempat di mana kita bernafas dan
merasakan kenikmatan dan kesakitan jasmaniah adalah di dunia nyata dan bukannya
di dunia maya. Tetapi di dunia maya, tempat manusia dapat berinteraksi di antara
sesamanya dan dapat melakukan berbagai perbuatan hukum, tidak mustahil manusia
melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang melanggar hak hukum dari orang lain.
Oleh sebab itu, di dunia maya perlu ada hukum dan perlu pula hukum tersebut dapat
ditegakkan apabila dilanggar. Tanpa adanya hukum di dunia maya dan tanpa dapat
ditegakkannya hukum itu apabila dilanggar, sudah barang tentu akan menimbulkan
keadaan yang kacau (chaos), persis seperti apabila hal itu terjadi di dunia nyata.
Pertanyaan yang timbul adalah, apakah hukum yang berlaku di dunia maya dan
hukum yang berlaku di dunia nyata harus berbeda? Apakah hukum di dunia nyata
secara otomatis berlaku bagi perbuatan-perbuatan hukum, baik perbuatan hukum
keperdataan maupun perbuatan hukum yang merupakan tindak pidana, yang
berlangsung di dunia maya? Apabila tidak demikian, apakah perlu dibuat hukum yang
khusus bagi kehidupan dunia maya?
Semua perbuatan hukum yang dilakukan di dunia maya, adalah perbuatan-
perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia-manusia yang berada di dunia nyata
dan perbuatan-perbuatan itu dilakukan sementara manusia-manusia itu berada di
dunia nyata, dan dilakukan di lokasi tertentu di dunia nyata. Hanya saja perbuatan-
perbuatan hukum tersebut dilakukan menggunakan media atau sarana Internet (yaitu
menggunakan komputer yang berada di dunia nyata). Jasmani manusia yang
melakukan perbuatan-perbuatan hukum tersebut tidak berada dan tidak hidup di dunia
maya. Mungkin kelak teknologi akan benar-benar dapat menciptakan makhluk-
makhluk maya, yaitu manusia -manusia maya dan binatang-binatang maya,
sebagaimana yang sering kita lihat di film-film, dan manusia-manusia maya ini yang
nantinya melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum itu tanpa perintah dan
kendali manusia yang berada di dunia nyata. Akan mungkinkah terjadi hal yang
demikian itu? Bagi kita yang hidup di dunia nyata, apabila memang telah muncul ma-
nusia-manusia maya seperti itu, kita tidak akan menganggap perlu, apakah di dalam
dunia maya terdapat hukum dan perlu menegakkannya apabila dilanggar sepanjang
perbuatan-perbuatan hukum itu tidak menjangkau atau memberikan dampak yang me-
rugikan bagi manusia-manusia di dunia nyata.
Penulis berpendapat bahwa oleh karena interaksi dan perbuatan-perbuatan hukum
yang terjadi melalui atau di dunia maya adalah sesungguhnya interaksi antara sesama
manusia dari dunia nyata, dan apabila terjadi pelanggaran hak atas perbuatan hukum
melalui atau di dunia maya itu adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia
dari dunia nyata dan hak yang dilanggar adalah hak dari manusia dari dunia nyata,
maka hukum yang berlaku dan harus diterapkan adalah hukum dari dunia nyata.
Pada saat ini, Internet packet dapat berkelana melalui jaringan yang dimiliki dan
dioperasikan oleh lima atau enam entities yang berbeda melalui jalan mereka masing-
masing sampai kepada tujuannya yang terakhir. Masing-masing Internet acces
provider memiliki kebijakannya sendiri yang mereka terangkan kepada pe-
langggannya sebelum mereka menandatangani perjanjian. Terdapat perbedaan-
perbedaan yang signifikan antara perjanjian yang dibuat antara on-line service
provider seperti CompuServe dan America Online , yang memiliki jaringannya
sendiri di samping menyediakan akses kepada Internet, dan Internet Service Provider
seperti Uunet dan PSInet yang lebih berorientasi komersial.6
Akses anda kepada Internet dapat diakhiri seketika oleh access provider yang
bersangkutan apabila anda melanggar syarat-syarat perjanjian. Di samping syarat-
syarat perjanjian tersebut, terdapat pula ketentuan-ketentuan yang menyangkut sopan
santun berkomunikasi melalui Internet yang disebut Netiquette, yaitu code of conduct
dari Internet. Aturan-aturan Netiquette dipatuhi secara sukarela oleh kebanyakan
pengguna Internet, karena mereka telah memahami dan menyetujui bahwa mereka
memfasilitasi penggunaan yang efisien dari jasa-jasa Internet dan meminimalkan
kesulitan-kesulitan yang timbul dari penyalahgunaan Internet. Netiquette telah
menjadi penting terutama sejak hukum yang tradisional belum disesuaikan terhadap
masalah-masalah baru yang timbul berkaitan dengan Internet dan jasa-jasa Internet
yang baru.7 Internet Service Provider (ISP) dapat pula menghentikan akses kita
kepada Internet apabila kita melanggar Netiquette , seperti mengirimkan banyak sekali
kemana-mana surat-surat atau brosur-brosur yang merupakan j u n k e-mail ke mana-
mana.8 Dalam praktik adalah biasa dilakukan oleh pihak yang merasa terganggu
untuk langsung menghubungi Internet Service Provider dari seseorang yang telah
mengganggunya, dan meminta agar ISP tersebut memutuskan hubungan si penggang-
gu apabila gangguan-gangguan tersebut terjadi.9
Transaksi-transaksi e-commerce menimbulkan berbagai pertanyaan atau masalah
yuridis, yaitu antara lain menyangkut10 :
1. penggunaan domain name;
2. alat bukti;
3. pengakuan “pemberitahuan e-mail” sebagai “pemberitahuan tertulis” (written
notice);
4. pembajakan Internet (Internet piracy) berkaitan dengan HAKI;
5. perlindungan bagi konsumen dalam transaksi e-commerce;
6. pajak atas transaksi e-commerce yang dilakukan oleh para pihak;
7. hubungan hukum antara pihak-pihak yang melakukan transaksi e-commerce;
8. perlindungan terhadap the right to privacy;
9. pilihan hukum (choice of law) yaitu pilihan mengenai hukum negara mana yang
akan diberlakukan dalam hal transaksi e-commerce merupakan transaksi antar
negara;
10. yurisdiksi peradilan (choice of forum) yaitu pilihan mengenai pengadilan mana
yang berwenang menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang melakukan
transaksi e-commerce.
Berbagai masalah tersebut dijelaskan secara singkat di bawah ini.

2. Penggunaan Domain Name


Salah satu masalah hukum yang dihadapi oleh mereka yang bermaksud mendirikan
perusahaan dan berusaha di dunia maya ialah penentuan alamat, atau yang dalam
istilah Internet disebut domain name. Makin mirip domain name tersebut dengan
nama perusahaan atau merk barang yang dijual, makin mudah bagi pelanggan untuk
menemukan alamat atau domain name tersebut. Andaikata saja ada suatu bank di
Indonesia yang bernama “Bank Umum Indonesia” (BUI) dan web -site bank tersebut
menggunakan bui.com sebagai domain name, tentulah situs bank tersebut akan
mudah dan ditemukan orang daripada apabila bank tersebut menggunakan domain
name lain.
Sebelum suatu perusahaan menentukan suatu domain name tertentu, seyogianya
terlebih dahulu menghubungi InterNIC untuk mengecek apakah domain name yang
akan digunakannya itu telah digunakan oleh pihak lain. InterNIC adalah suatu
organisasi yang mendaftar domian names dan mengikuti perkembangannya melalui
suatu database searcher yang disebut Whois. Apabila nama yang diinginkan telah
didaftarkan oleh pihak lain, maka perusahaan tersebut harus menghubungi pihak lain
yang telah mendaftarkan nama tersebut dan menjajagi kemungkinannya, apakah
perusahaan tersebut dapat membeli hak penggunaan nama tersebut, atau mengambil
tindakan hukum terhadap pihak tersebut.
Sering terjadi praktik-praktik oleh para pihak-pihak tertentu untuk mendahului
mendaftarkan suatu domain name tertentu yang terkait dengan suatu perusahaan lain
tertentu. Tujuan pihak tersebut ialah dapat memperoleh keuntungan besar.
Keuntungan itu diperoleh dengan cara menjual domain name tersebut kepada
perusahaan yang seyogianya memiliki domain name tersebut. Praktik atau perbuatan
itu disebut cybersquatting. Pihak yang melakukan cybersquatting disebut
cybersquatter.
McDonald’s Corporation baru dapat memperoleh nama “McDonald’s ” setelah
berusaha membeli nama tersebut dari pihak lain yang telah mendaftarkan nama
tersebut mendahului McDonald’s Corporation. Harapan pihak tersebut ialah
memperoleh banyak keuntungan dari menjual nama tersebut kepada McDonald’s
Corporation.
Contoh lain adalah yang dialami oleh Panavision sebagaimana dalam perkara
yang diputuskan oleh pengadilan banding 9 th Circuit di Amerika Serikat pada tahun
1998, yaitu putusan perkara Panavision International, L.P. v. Toeppen. Dalam
perkara gugatan tersebut, Panavision menuduh Toeppen sebagai “cyber-pirate”, atau
perompak di dunia cyber. Cyber-pirate adalah pihak yang membuat berbagai domain
name di Internet, dan kemudian menjual domain name tersebut kepada pihak yang
seharusnya memiliki domain name tersebut. Gugatan yang diajukan oleh Panavision
ialah bahwa Toeppen telah mendaftarkan trademark (merek dagang dari Panavision)
sebagai domain name dari Toeppen, yaitu Panavision.com. Ketika Panavision
menemukan hal tersebut, Toeppen telah berusaha agar Panavision menyelesaikan
masalah tersebut dengan membayar kepadanya uang sebesar US $ 13.000 sebagai
pengganti dari domain name tersebut.
Kasus yang terjadi akhir-akhir ini yang dapat dikemukakan adalah kasus yang
terjadi di Republik Rakyat Cina dalam perkara Inter IKEA B.V. v. Cinet Information
Co. Ltd. Hakim telah memberikan kemenangan kepada IKEA. Putusan tersebut
dianggap sebagai suatu landmark decision, karena untuk pertama kalinya perusahaan
asing dimenangkan oleh Pengadilan setempat melawan suatu perusahaan Cina
berkaitan dengan kasus domain name 11 .
Inter IKEA (penggugat) adalah suatu perusahaan yang memiliki lebih dari 150
toko di 29 negara dan memiliki registered trade marks di 90 negara. Pada tahun 1983
perusahaan tersebut telah mendaftarkan “IKEA” dan merek-merek yang berkaitan
dengan itu pada kantor merek dagang (T rade Mark Office) di Republik Rakyat Cina.
Perusahaan tersebut telah membuka 2 toko dengan nama IKEA di Beijing dan
Shanghai pada tahun 1998. Namun demikian ketika perusahaan tersebut hendak
mendaftarkan domain name-nya di Internet di Cina, ternyata ikea.com.cn telah
terlebih dahulu didaftarkan oleh Cinet Information Co. Ltd (tergugat). Cinet telah
menyatakan bahwa perusahaan tersebut telah mendaftarkan domain name tersebut
untuk mengembangkan suatu voice mail service yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan furniture product dari penggugat.
IKEA menggugat Cinet dengan tuduhan bahwa Cinet telah melanggar Paris
Convention for the Protection of In dustrial Property dan melanggar Kitab Undang-
undang Hukum Perdata Republik Rakyat Cina. Iktikad jelek dari Cinet telah ternyata
dari kenyataan bahwa perusahaan tersebut telah mendaftarkan banyak domain name
lainnya dengan mengeluarkan merek-merek dagang ternama, yang tidak satupun
diantaranya digunakan secara aktif oleh perusahaan itu, termasuk “bacardi”,
“dunhill”, “lancome”, “philips” dan “rolex”.
Pengadilan telah mendukung gugatan tersebut dengan menyatakan bahwa hukum
membela dan melindungi persaingan sehat, oleh karena itu para operator seharusnya
mematuhi asas itikad baik dan bisnis etik lainnya. Merek “IKEA” sangat populer dan
terkenal di China, dan ejaan serta pengucapan nama yang didaftarkan oleh Cinet
serupa dengan registered trade mark dari penggugat. Menurut putusan Pengadilan,
perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh tergugat bukan saja melanggar ketentuan
Provesional Administrative Rules of Registration of Domain Name on the Internet of
China, tetapi juga melanggar Paris Convention for the Protection of Industrial
Property dan melanggar Undang-Undang Anti Persaingan Tidak Sehat dari Republik
Rakyat Cina (Anti-Unfair Competition Law of the People’s Republic of China). Oleh
karena tergugat telah merugikan hak-hak hukum dan kepentingan penggugat sebagai
pemilik merek dagang IKEA yang terkenal itu, maka berdasarkan ketentuan hukum
perdata tergugat harus bertanggung jawab. Oleh karena itu, pengadilan
memerintahkan agar pendaftaran ikea.com.cn yang dilakukan oleh Cinet harus
dibatalkan segera, dan perusahaan tersebut harus mengajukan permohonan untuk
pembatalan domain name tersebut dalam jangka waktu 10 hari setelah putusan
pengadilan, dan membayar ongkos perkara sebesar 1.000 Yuan.
Pada saat ini di Amerika Serikat sedang dibuat undang-undang mengenai
penggunaan domain names pada jaringan Internet dan melarang seseorang untuk
mendaftarkan suatu nama yang tidak seharusnya dimiliki oleh pihak tersebut. Pihak
yang mendaftarkan suatu nama harus dapat memberikan alasan mengapa pihak
tersebut ingin mendaftarkan nama tertentu itu. Di samping itu dilarang pendaftaran
berulang kali atas suatu nama yang serupa oleh suatu pihak yang sama.

3. Alat Bukti
Pada transaksi-transaksi yang tradisional, segala sesuatunya dilaksanakan dengan
menggunakan dokumen kertas. Dengan kata lain, transaksi-transaksi tersebut
merupakan paper-based transaction. Apabila terjadi sengketa di antara para pihak
yang bertransaksi, maka dokumen-dokumen kertas itulah yang akan diajukan sebagai
bukti oleh masing-masing pihak untuk memperkuat posisi hukum masing-masing. Hal
ini berbeda sekali dengan transaksi e-commerce. Transaksi e-commerce adalah
paperless transaction. Dokumen-dokumen yang dipakai bukanlah paper document
tetapi digital document. Seperti dikemukakan oleh Toh See Kiat, bahwa sampai bukti
tersebut di ”printed out” di dalam hard copy, bukti dari suatu komputer mudah sekali
menghilang, mudah diubah tanpa dapat dilacak kembali, tidak berwujud, dan sulit
dibaca.1 2
Sumber atau otentikasi dari bukti yang diterima oleh suatu sistem telematik dari
sistem telematik yang lain, tidak dapat dipastikan. Dengan kata lain, sulit dipastikan
mengenai otentikasinya.
Metode pengamanan dengan menerapkan cryptography system bermaksud
menjawab masalah tersebut. Namun perlu disadari mengenai sampai sejauh mana
undang-undang Indonesia telah mengakomodasi aspek-aspek hukum dari
cryptography system tersebut. Apakah pengadilan Indonesia dapat menerima data
atau informasi yang disampaikan dalam hard disk komputer atau dalam diskette, disc
(cakram), dan optic diskette (disket optik) dapat diakui sebagai alat bukti yang kuat?
Sampai sejauh ini Indonesia belum memiliki hukum tentang Internet (atau hukum
tentang e-commerce).

4. Pengakuan Pemberitahuan E-mail sebagai Pemberitahuan Tertulis


Dalam berbagai Undang-undang sering dimuat ketentuan yang mengharuskan adanya
“pemberitahuan tertulis” sebagai syarat perjanjian atau sebagai ketentuan
administratif yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak tertentu kepada pihak-pihak lain
atau instansi-instansi tertentu. Sehubungan dengan munculnya kehidupan dunia maya
dari Internet, maka timbul pertanyaan : Apakah “pemberitahuan e-mail” dapat meng-
gantikan fungsi “pemberitahuan tertulis” sebagaimana yang dimaksudkan dalam suatu
perjanjian atau dalam suatu peraturan perundang-undangan apabila dalam perjanjian
atau peraturan perundang-undangan tersebut disebutkan tentang adanya keharusan
menyampaikan “pemberitahuan tertulis”?
Undang-undang harus mengatur mengenai hal ini.

5. Pembajakan Internet (Internet Piracy)


Internet telah menimbulkan masalah baru dibidang Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI), copyright, trademark, patent, trade secret, dan moral right sangat
terpengaruh oleh Internet. Internet memiliki beberapa karakteristik teknis yang
membuat masalah-masalah HAKI tumbuh dengan subur.1 3 Salah satu masalah yang
timbul adalah berkaitan dengan pembajakan Hak Cipta. Sebagai contoh dapat
dikemukakan apa yang terjadi di Thailand, yaitu mengenai pembajakan mapping
products yang dikembangkan oleh Loxley Technology Ltd (Loxtech) yang telah
dibajak oleh Thaimapguide.com.1 4
Pengadilan HAKI Thailand (Thailand’s Intellectual Property and Trade Court)
akan memeriksa untuk pertama kalinya perkara yang merupakan pembajakan Internet
(Internet Piracy). Loxtech telah mendaftarkan gugatannya dengan dakwaan bahwa
Thaimapguide.com telah mencuri peta Thailand dari web sitenya. Loxtech telah
menuntut bahwa yang bersangkutan telah mengalami kerugian ekonomis yang
besarnya antara US$405.000 and US$1 million.
Loxtech adalah suatu perusahaan anak yang sepenuhnya dimiliki oleh Loxley Plc.,
yaitu suatu perusahaan telekomunikasi Thailand dan Internet Service Provider. Di
dalam gugatannya, Loxtech menuduh bahwa Thaimapguide.com telah mencuri
mapping database yang dimilikinya dan menggunakannya sebagai produknya sendiri.
Thaimapguide.com telah menolak tuduhan tersebut. Menurut Loxtech, lokasi-lokasi
yang ditunjukkan oleh Thaimapguide.com adalah serupa dengan yang dibuat oleh
Loxtech, dan mengemukakan bahwa pihaknya secara sengaja telah memasang jebak-
an untuk menangkap pihak-pihak yang melakukan pembajakan terhadap produknya.
Loxtech mengemukakan bahwa perusahaan tersebut telah memproduksi digital
mapping software, graphics dan databases selama 8 (delapan) tahun lamanya.
Perusahaan tersebut telah memproduksi dan menjual produk digital mapping yang
disebut Smart-MAP, yang menyediakan peta lengkap dari kota Bangkok dengan
memuat lebih dari 30.000 tempat yang patut dikunjungi (points of interest).
Thaimapguide.com mengemukakan bahwa perusahaan tersebut telah mengeluarkan
uang sebanyak US $ 250.000 untuk mengembangkan mapping product tersebut
dengan memperkerjakan 10 orang tenaga. Perusahaan tersebut mengemukakan bahwa
produk itu telah dikembangkannya dengan menggunakan mathematically-based
vector technology, sedangkan Loxtech menggunakan image-based technology. Ditam-
bahkan oleh Thaimapguide.com bahwa software dan domain name perusahaan
tersebut telah didaftarkan sebelum pendaftaran produk dari Loxtech.
6. Perlindungan Bagi Konsumen
Masalah hukum yang menyangkut perlindungan konsumen makin mendesak dalam
hal seorang konsumen melakukan transaksi e-commerce dengan merchant di negara
lain. Pada jual-beli jarak jauh seperti itu, kecurangan sering terjadi dan dengan
demikian konsumen harus dilindungi. 1 5 Kecurangan-kecurangan tersebut dapat terjadi
yang menyangkut keberadaan penjual, menyangkut barang yang dibeli, dan
menyangkut purchase order dan pembayaran oleh pembeli. Kecurangan yang
menyangkut keberadaan penjual misalnya bahwa penjual, yaitu virtual store yang
bersangkutan, merupakan toko yang fiktif. Yang menyangkut barang yang dikirimkan
oleh penjual misalnya bahwa barang tersebut tidak dikirimkan kepada pembeli, terjadi
kelambatan pengiriman yang berkepanjangan, terjadi kerusakan atas barang yang
dikirimkan atau barang yang dikirimkan cacat, dan lain-lain. Sedangkan yang me-
nyangkut purchase order dan pembayaran oleh pembeli disangkal oleh penjual
kebenarannya. Misalnya penjual hanya mengakui bahwa jumlah barang yang dipesan
kurang dari yang tercantum di dalam purchase order yang dikirimkan secara
elektronik dan atau harga per unit dari barang yang dipesan oleh pembeli dikatakan
lebih tinggi dari pada harga yang dicantumkan di dalam purchase order.
Dalam kaitan ini undang-undang harus dapat memberikan perlindungan kepada
konsumen yang beriktikad baik, seperti perlindungan yang diberikan kepada
konsumen yang melakukan jual-beli di dunia nyata. Mengingat Indonesia belum
memiliki Undang-undang tentang e-commerce, dan Undang-undang No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen tidak didasarkan pada telah adanya Undang-undang
tentang e-commerce atau Undang-undang tentang Internet yang berlaku di Indonesia,
maka Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen itu belum
sampai menyinggung pengaturan mengenai perlindungan konsumen dalam transaksi
e-commerce melalui Internet.

7. Perpajakan
Perekonomian Internet akan berdampak pada kehidupan ekonomi dalam beberapa
aspek. Antara lain adalah dampak dari transparannya harga-harga yang dipasarkan
melalui Internet. Para konsumen melalui Internet mampu untuk membandingkan
harga suatu barang yang ditawarkan bukan saja oleh beberapa toko atau perusahaan
yang menawarkan barang yang sama di suatu negara, tetapi juga di beberapa negara
di luar negara konsumen yang bersangkutan. Misalnya saja harga CD yang
ditawarkan dan dijual di Indonesia dapat dibandingkan oleh konsumen Indonesia
dengan harga CD yang ditawarkan di Amerika Serikat. Calon pembeli tentunya akan
membeli barang yang lebih murah. Sudah barang tentu calon pembeli tersebut harus
memperhitungkan harga barang tersebut dengan ditambah biaya pengirimannya.
Pembelian barang dari luar negeri akan menimbulkan dampak terhadap penerimaan
pajak. Di Eropa hal ini telah timbul sebagai masalah yang cukup signifikan berkenaan
dengan penerimaan pajak pertambahan nilai (value-added tax).1 6
Pada bulan Juni 2000, European Commision, mengusulkan undang-undang yang
mendefinisikan digital products, seperti software dan video programming yang di
downloaded oleh komputer sebagai services (jasa-jasa) dan bukan sebagai goods
(barang-barang). Negara-negara Eropa mengandalkan pajak atas konsumsi (taxes on
consumption) lebih banyak daripada yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Pada
umumnya di Eropa, jasa-jasa dipajaki di negara asal (country of origin ). Dengan
demikian negara-negara Eropa tidak akan memperoleh pajak pendapatan dari jasa-
jasa yang masuk ke Eropa dari luar berkenaan dengan e-commerce 1 7 .
The US International Revenue Code (IRC) pada dasarnya memberikan dua kriteria
untuk menentukan yurisdiksi Amerika Serikat dalam mengenakan pajak pendapatan
orang asing, atau dengan menggunakan kriteria ketiga yang ditentukan di dalam
perjanjian antar negara (treaties). Dasar pemajakan yang pertama adalah sumber
pendapatan (source of income). Menurut IRC, pendapatan kotor orang asing dikenai
pajak sebesar 30% withholding tax, apabila sumber pendapatannya berada di Amerika
Serikat. Kriteria kedua tidak terletak pada apakah pendapatan tersebut berasal dari
Amerika Serikat, tetapi didasarkan pada apakah pendapatan tersebut berkaitan secara
efektif dengan pelaksanaan perdagangan atau bisnis di Amerika Serikat. Kriteria
yang ketiga, yaitu yang berdasarkan perjanjian antar negara, didasarkan pada tempat
kedudukan pihak asing yang bersangkutan.
Kalau pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak didasarkan pada asal sumber
pendapatan, timbul masalah apabila pendapatan itu diperoleh dari transaksi e-
commerce. Dalam suatu transaksi e-commerce adalah sulit untuk menentukan di mana
transaksi e-commerce itu berlangsung. Apabila pajak yang harus dibayar oleh wajib
pajak didasarkan pada tempat kedudukan pembayar pajak, adalah sulit untuk
menentukan di mana tempat kedudukan dari wajib pajak. Apabila misalnya suatu toko
maya (virtual store) yang dimiliki oleh orang Indonesia, yang situsnya didaftarkan
sebagai suatu dot com, maka oleh karena cyberspace adalah borderless, di manakah
tempat kedudukan yang sebenarnya dari toko maya tersebut? Lebih lanjut masalah
yang timbul ialah : Negara mana yang berhak memungut pajak yang harus dibayar
oleh toko maya milik orang Indonesia tersebut? Indonesia atau Amerika Serikat?
Mengingat hal-hal tersebut di atas, di dalam perjanjian transaksi e-commerce
hendaknya secara jelas ditentukan mengenai besarnya witholding taxes yang harus
dibayar, dalam mata uang apa witholding taxes itu harus dibayar, siapa yang harus
membayar pajak tersebut, dan kepada negara mana pajak tersebut harus dibayar.

8. Hubungan Hukum Para Pihak


Hukum harus dapat menegaskan secara pasti hubungan-hubungan hukum dari para
pihak yang melakukan transaksi e-commerce. Dalam kaitan ini, hukum Indonesia
belum mengatur. Mari kita ambil contoh di bawah ini, yaitu dalam hal e-commerce
dilaksanakan dengan menggunakan charge card atau credit card sebagai alat
pembayaran.
Misalnya bank yang menjadi penerbit kartu (card issuer) dari suatu charge cards
atau credit cards dihadapkan kepada suatu kasus di mana pemegang kartu (card
holder) menolak bertanggung jawab atas pelaksanaan pembayaran atas beban charge
card atau credit card miliknya dengan alasan barang yang dibeli mengandung cacat.
Kasus ini menimbulkan masalah hukum mengenai : Apakah pembayaran yang
dilakukan dengan suatu charge card atau credit card merupakan pembayaran mutlak,
ataukah merupakan pembayaran bersyarat kepada penjual barang. Jelas peraturan per-
undang-undangan Indonesia belum mengatur hal ini.
Di Inggris hal ini sudah diatur, yaitu berdasarkan putusan pengadilan dalam
perkara In Re Charge Services Limite d (1986). Perkara tersebut berisi suatu analisis
yuridis mengenai hubungan-hubungan hukum yang tercipta apabila suatu card
digunakan untuk melakukan pembayaran. Dalam putusan ini, yang merupakan
leading case di Inggris, Millet J., yaitu hakim yang memeriksa perkara ini,
memutuskan bahwa “payment by a charge card or a credit card was an absolute and
not a conditional payment to the retailer”. Dari putusan pengadilan itu dapat
diketahui bahwa menurut hukum Inggris pembayaran yang dilakukan oleh suatu
charge card atau credit card merupakan pembayaran mutlak dan bukan merupakan
pembayaran bersyarat kepada penjual barang. Selain asas yang telah dikemukakan di
atas, Millet J. telah meletakkan pula asas lain dengan mengemuakan pendapat bahwa
pada penggunaan kartu, secara serentak berkerja 3 (tiga) perjanjian yang satu sama
lain saling terpisah, yaitu :
1. Perjanjian penjualan barang dan/atau jasa antara pedagang dan pemegang kartu.
2. Perjanjian antara pedagang dan perusahaan penerbit kartu, yang berdasarkan
perjanjian itu pedagang yang bersangkutan setuju untuk menerima pembayaran
yang mengunakan kartu itu.
3. Perjanjian antara perusahaan penerbit kartu dan pemegang kartu, atau pemegang
rekening, yang berdasarkan perjanjian itu pemegang kartu menyetujui untuk
melunasi pembayaran yang telah dilakukan oleh penerbit kartu kepada penjual ba-
rang dan/atau jasa berkenaan dengan penggunaan kartu oleh pemegang kartu yang
bersangkutan.
Masalah hukum lain sehubungan dengan pembayaran dengan menggunakan
charge card atau credit card ialah yang menyangkut pertanyaan, apakah pemegang
kartu (card holder) mempunyai hak untuk membatalkan pembayaran yang telah
dilakukannya, dengan meminta agar supaya perusahaan penerbit kartu (card issuer)
tidak melaksanakan pembayaran atas tagihan yang dilakukan oleh pedagang yang
menerima pembayaran dengan kartu itu. Sekali lagi, apabila sengketa tersebut
muncul di Indonesia, maka tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat diacu
untuk menjawab persoalan ini. Juga belum ada yurisprudensi yang dapat dijadikan
pegangan.
Di Inggris, masalah ini sudah terjadi dengan adanya case law sehubungan dengan
putusan perkara American Express Europe Limited v McCluskey, yang diputuskan
oleh High Court pada 7 Mei 1986. Berdasarkan putusan itu ditetapkan ketentuan yang
menentukan bahwa “… the cardholder had no right to stop the amount of the
transaction being charged to his account ... Once the card had been used for the
purchase of goods or services there came into being a charge incurred on the card
which could not be stopped”.18
Inggris sebagai negara yang mendasarkan sistem hukumnya pada common law,
sehingga dengan demikian putusan-putusan pengadilan tersebut di atas merupakan
hukum yang mengikat bagi transaksi yang menggunakan kartu, juga mempunyai
Consumer Credit Act. 1974 (CCA), suatu peraturan perundang-undangan yang
berlaku juga untuk mengatur pembayaran dengan credit card. CCA hanya berlaku
sepanjang debitornya adalah perorangan atau suatu partnership . Perjanjian-perjanjian
kredit dengan perusahaan-perusahaan (companies) tidak termasuk yang diatur oleh
undang-undang ini. Undang-undang ini berlaku untuk perjanjian-perjanjian credit
card sepanjang jumlah pinjamannya kurang dari £15.000.1 9
Di Amerika Serikat, ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
Electronic Funds Transfer (EFT), termasuk payment cards, yaitu Electronic Funds
Transfer Act yang diundangkan pada tahun 1978. Peraturan perundang-undangan ini
menetapkan ketentuan-ketentuan yang menyangkut :
– syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam rangka penerbitan kartu;
– syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dengan EFT;
– ketentuan yang menentukan bahwa terminal harus memberikan tanda terima
tertulis bagi transaksi yang dilakukan apabila nasabah yang bersangkutan
memintanya;
– bahwa bertanggungjawab nasabah terbatas hanya pada penggunaan kartu itu oleh
yang tidak berhak;
– penerbitan dari EFT cards harus melakukan penelitian atas terjadinya kesalahan
dalam jangka waktu tertentu.
Di samping Electronic Fund Transfer Act 1978 tersebut, di Amerika Serikat telah
dibuat undang-undang lain mengenai funds transfers. Undang-undang baru itu, yang
final draft-nya, rampung pada Agustus 1989, telah dimasukkan sebagai Article 4A
dari Uniform Commercial Code (UCC). Di dalam undang-undang itu funds transfers
didefinisikan sebagai “unconditional credit transfers initiated by a direction to a bank
to pay money”. Article 4A berlaku hanya bagi wholesale wire transfers, yaitu bukan
consumer transfers yang diatur oleh Electronic Funds Transfer Act. Misalnya,
Fedwire, Clearing House Interbank Payment System (CHIPS), Society for Worldwide
Interbank Financial Transfers (SWIFT), Telex dan Book Transfers. Ketentuan-
ketentuan dari Article 4A itu adalah ketentuan-ketentuan generik dan berlaku bagi
bermacam-macam sistem Funds Transfers. 2 0

9. Perlindungan Terhadap The Right To Privacy


Pada Internet, e-mail tidak bersifat pribadi dan juga tidak terlindung secara aman.
Kebanyakan pengguna beranggapan bahwa berkomunikasi melalui e-mail adalah
seperti berkomunikasi melalui telepon, yaitu pribadi dan aman (private and secure).
Menurut ketentuan hukum, e-mail tidak bersifat pribadi. Catatan-catatan suatu e-mail
dicatat masing-masing pada server pengirim dan server penerima. Di Amerika catatan
tersebut dapat dipakai sebagai bukti di muka pengadilan. Hal ini pernah terjadi pada
pengadilan kasus Oliver North dan Rodney King. 2 1 Penghapusan catatan e-mail tidak
membuat hapusnya catatan tersebut. Backup tapes yang biasanya ada pada server,
tetap mencatat isi pesan e-mail itu, baik yang dihapus maupun yang tidak dihapus.2 2
Sudah barang tentu sepanjang catatan itu tidak rusak karena diserang virus.
Adalah menarik untuk mengetahui apa yang telah terjadi terhadap Colonel Oliver
North. Ketika Colonel Oliver North diperiksa berkaitan dengan Iran Contra Affair,
dia dengan sangat hati-hati telah menghancurkan dokumen-dokumen dan
menghapuskan dari komputernya isi e-mail yang dapat dijadikan bukti kuat untuk
mempersalahkan dia. Namun, tanpa disadari olehnya, pesan-pesan elektronik yang
dikirimkan dengan menggunakan IBM Professional Office System (PROFS) itu selalu
memiliki backup berupa backup tapes. Untuk keperluan pemeriksaan tersebut, isi e-
mail yang telah dihapuskan itu kemudian dapat dipanggil kembali dari backup tapes
tersebut.2 3
Bahaya lain dari e-mail, yaitu bahaya yang tidak terdapat pada voice
communication, adalah kemampuannya untuk secara mudah disebarkan kepada
populasi yang luas. Voice mail system seringkali incompatible , yaitu antara sistem
yang satu dengan sistem yang lain tidak serasi sehingga sistem yang satu tidak dapat
berhubungan atau tidak dapat dihubungkan dengan sistem yang lain. Tetapi pada
format Internet mail, adalah sebaliknya, yaitu telah distandardisasi dan dapat di-
kirimkan kepada daftar penerima (mailing list) yang luas hanya dengan menekan
beberapa key dari komputer yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu benar disadari
oleh mereka yang berkomunikasi melalui email bahwa komunikasi yang sedang
berlangsung mungkin dirasakan hanya diketahui oleh kedua belah pihak saja ketika
komunikasi itu berlangsung, tetapi ternyata terbuka secara umum.
Sehubungan dengan tidak terjaminnya privacy dan security dan berkomunikasi
menggunakan email, maka perlu adanya undang-undang yang melindungi right to
privacy bagi para pengguna Internet.

10. Pembatasan Tanggung Jawab


Dalam perjanjian transaksi e-commerce sebaiknya dipikirkan untuk dimuat klausul
mengenai pembatasan tanggung jawab dari para pihak. Pembatasan ini penting agar
supaya jelas bagi para pihak batas – batas dari tanggung jawab masing-masing pihak.
Namun yang penting diperhatikan adalah jangan sampai pembatasan tanggung jawab
itu, misalnya berupa klausul-klausul eksemsi (exemption clauses atau disclaimer),
melanggar asas kepatutan yang berlaku pada hukum yang dipilih oleh para pihak
untuk diterapkan dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka.
Pembatasan tanggung jawab tersebut dapat pula menentukan batas jumlah ganti
kerugian yang harus dibayar oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain apabila
timbul sengketa. Dengan demikian para pihak sudah sejak dini mengetahui berapa
besar kemungkinan masing-masing pihak harus menanggung kewajiban pembayaran
ganti kerugian apabila pihaknya cidera janji dan kemudian diputuskan oleh
pengadilan untuk membayar sejumlah ganti kerugian kepada pihak penggugat.

11. Pilihan Hukum (Choice of Law)


Sekali seseorang mendirikan suatu perusahaan dan berusaha secara elektronik, maka
perusahaan dan usaha itu tidak berlangsung hanya sebatas negara dimana perusahaan
itu didirikan. Perusahaan akan melakukan usaha-usahanya melewati semua batas ne -
gara yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, hubungan-hubungan hukum yang terjadi
karena transaksi e-commerce bukan saja akan merupakan hubungan-hubungan
keperdataan nasional yang tunduk pada hukum perdata dari suatu negara tertentu,
dalam hal Indonesia tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia,
tetapi merupakan hubungan-hubungan keperdataan internasional yang termasuk
dalam ruang lingkup Hukum Perdata Internasional.
Apabila timbul suatu perselisihan yang menyangkut suatu transaksi e-commerce di
antara orang-orang atau badan-badan hukum yang berkedudukan di Indonesia dan
transaksi itu berlangsung di Indonesia, sedangkan untuk transaksi tersebut para pihak
sebelumnya tidak membuat perjanjian di antara mereka, maka masih mudah bagi
hakim untuk menentukan atau bagi para pihak untuk melakukan kesepakatan di
kemudian hari setelah timbulnya perselisihan itu, agar perselisihan tersebut
diselesaikan menurut hukum Indonesia. Namun bagaimanakah halnya apabila tran-
saksi e-commerce tersebut berlangsung di antara pihak-pihak yang merupakan
penduduk dua negara yang berbeda? Sebagai contoh misalnya, toko buku Grame dia
di Jakarta memesan buku-buku dari Amazon.com di Amerika Serikat melalui
Internet, ternyata kemudian buku-buku tersebut tidak pernah dikirimkan atau tibanya
sangat terlambat, atau dikirim dengan salah alamat, yaitu misalnya menyimpang ke
alamat lain, bahkan alamat lain itu ada di negara lain, misalnya ke Kuala Lumpur. Ke
pengadilan mana Gramedia harus melakukan gugatannya? Ke pengadilan Indonesia
atau ke pengadilan Amerika? Hukum mana yang harus diberlakukan oleh hakim,
apakah hukum Indonesia ataukah hukum Amerika?
Apabila yang diberlakukan adalah hukum dari negara di mana perbuatan itu
dilakukan, akan sulit sekali untuk menentukan di negara mana perbuatan itu
dilakukan. Apakah perbuatan itu dilakukan di Indonesia atau di Amerika Serikat.
Mengingat transaksi itu terjadi di dunia maya (virtual world atau cyberspace) yang
tidak mengenal batas negara, maka sulit menentukan di negara mana peristiwa hukum
itu terjadi. Karena transaksi tersebut terjadi di dunia maya, maka transaksi itu tidak
dapat dikatakan terjadi di Amerika Serikat atau terjadi di Indonesia. Transaksi itu
telah terjadi tidak di negara manapun juga, tetapi terjadi di ”antah berantah ”.
Apakah seyogianya hukum yang berlaku ditentukan berdasarkan hukum negara
dari tergugat, ataukah berdasarkan hukum negara dari penggugat? Atau apakah
seyogianya didasarkan kepada hukum negara dari penjual, atau apakah akan
didasarkan hukum negara dari pembeli? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan
masalah-masalah yang terletak dalam bidang Hukum Perdata Internasional.
Masalah–masalah yang disebutkan di atas akan dapat dipecahkan apabila antara
pembeli, dalam hal kasus diatas adalah toko buku Gramedia, dan penjual, dalam hal
kasus diatas adalah Amazon.com, dibuat perjanjian yang didalamnya dimuat klausul
yang menentukan hukum dari negara mana yang akan diberlakukan apabila timbul
perselisihan di antara mereka kelak. Namun pada pemesanan barang yang dilakukan
oleh konsumen perorangan (bukan pedagang) kepada penjual, biasanya pemesanan itu
tidak berdasarkan perjanjian. Dalam hal tidak ada perjanjian, maka masalah-masalah
tersebut di atas pasti akan muncul.

12. Yurisdiksi Pengadilan (Choice of Forum)


Kesulitan-kesulitan yang timbul apabila terjadi sengketa antara para pihak di dalam
transaksi e-commerce, bukan saja menyangkut pilihan hukum yang akan diterapkan
untuk dijadikan dasar menyelesaikan sengketa yang timbul, tetapi juga mengenai
pilihan pengadilan yang akan memeriksa sengketa tersebut. Hal itu dapat dihindari
apabila para pihak menentukan di dalam perjanjian di antara mereka pengadilan mana
yang mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul di kelak
kemudian hari berkenaan dengan pelaksanaan dan penafsiran perjanjian di antara
mereka.
Para pihak dapat pula menentukan di dalam perjanjian itu bahwa sengketa yang
mungkin timbul di kelak kemudian hari diselesaikan oleh suatu badan arbitrase, baik
badan arbitrase institusional maupun badan arbitrase ad hoc. Klausul dalam perjanjian
yang mengatur mengenai hal ini disebut arbitration provisions atau klausul arbitrase.

Undang-undang Telekomunikasi Indonesia


Pada tanggal 8 September 1999, suatu undang-undang telekomunikasi yang baru bagi
Indonesia telah lahir. Undang-undang tersebut ialah Undang-undang No. 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi. Undang-undang baru tersebut merupakan penganti dari
undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi. Sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangannya, undang-undang
tersebut dilahirkan sebagai konsekwensi dari adanya perubahan mendasar dalam
penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi yang memerlukan
penataan dan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional. Bila
dibandingkan dengan Amerika Serikat yang sudah demikian maju di bidang
telekomunikasi, penggantian undang-undang telekomunikasi Indonesia dengan
undang-undang yang baru itu tidaklah terlalu ketinggalan, karena Amerika Serikat
baru di tahun 1996 memiliki undang-undang telekomunikasi baru, yaitu dengan
diundangkannya Telecommunications Act of 1996.
Pada tanggal 12 Juli 2000 The European Commission telah mengusulkan undang-
undang yang bertujuan untuk tercapainya liberalisasi di bidang jasa-jasa
telekomunikasi di Uni Eropa (European Union). Tujuan dari The European
Commission ialah untuk mendorong pertumbuhan tersedianya high-speed Internet
access dan a lightly regulated competitive marketplace for information services. Usul
dari The European Commission kepada Parlemen Eropa dan Dewan Eropa (European
Coun cil) berkenaan dengan undang-undang itu termasuk data protectio n, liberalisasi
di bidang telekomunikasi, kebijakan yang menyangkut radio spectrum. Rancangan
undang-undang tersebut sampai sekarang belum disetujui dan diundangkan. Dengan
demikian dapat dikatakan Indonesia telah mendahului Uni Eropa.
Apabila kita baca ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi yang disebutkan di atas itu, maka tak diragukan lagi
pengiriman dan penerimaan informasi melalu Internet termasuk yang dicakup dalam
ruang lingkup undang-undang ini. Menurut Pasal 1 ayat (1) undang-undang tersebut,
telekomunikasi diberi pengertian sebagai berikut :
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari
setiap informasi dalam bentuk, tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan
bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
Undang-undang tersebut bertujuan untuk mengendurkan regulasi di bidang
telekomunikasi. Undang-undang tersebut bertujuan untuk menghilangkan barriers to
market entry, dan menciptakan level playing-field yang sama dan adil (fair) dalam
bidang telekomunikasi.
Sekalipun undang-undang ini bertujuan untuk menghilangkan barriers to market
entry, atau dengan kata lain bertujuan untuk menghilangkan terjadinya monopoli di
bidang telekomunikasi seperti yang selama ini berlangsung, namun larangan
monopoli di bidang telekomunikasi tidak segera diberlakukan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Dirjen Postel, duopoli dan ekskulivitas masih berlaku sampai 2002
dan 2003. Sampai tahun itu masyarakat masih harus menerima kenyataan untuk hanya
dapat memperoleh pelayanan dari Indosat dan Satelindo untuk SLI, sedangkan untuk
hubungan tetap dalam negeri dari PT. Telkom.24
Namun, undang-undang ini sama sekali tidak menyentuh secara khusus atau secara
eksplisit hal-hal yang menyangkut pengiriman dan penerimaan informasi melalui
Internet, seperti pengiriman informasi melalui e-mail atau transaksi bisnis berupa e-
commerce. Undang-undang itu tidak menyangkut pengaturan mengenai aspek-aspek
pengamanan terhadap pengiriman dan penerimaan pesan melalui Internet, yaitu
cryptosystem, dan pengaturan mengenai digital signature atau electronic signature
untuk dokumen-dokumen elektronik (electronic documents) atau dokumen-dokumen
digital (digital documents).
Kalau membaca pasal-pasal Undang-undang Telekomunikasi dan Penjelasan dari
masing-masing pasal tersebut, tidak terdapat nuansa yang jelas bahwa undang-undang
ini memang bermaksud dengan sengaja melingkupi juga pengiriman dan penerimaan
informasi secara elektronik melalui Internet. Namun seperti dikemukakan di atas,
apabila di baca ketentuan Pasal 1 ayat (1) mengenai pengertian telekomunikasi, maka
jelas pengiriman dan penerimaan informasi melalui Internet adalah juga tercakup di
dalamnya.
Menyambut lahirnya Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
Jonathan Parapak mengemukakan bahwa penyelenggaraan Internet, yang dulu hanya
berkonsentrasi pada jasa non dasar, kini sudah dapat menyalurkan Voice Over
Internet Protocol (VOIP), atau telepon Internet dari terminal Internet atau dari
terminal mana saja yang secara teknis dapat terhubung dengan Internet.25 Dengan
pernyataannya itu, Parapak sependapat dengan penulis bahwa Undang-undang
Telekomunikasi sekalipun tidak secara spesifik menyebutnya demikian, adalah
melingkupi pula telekomunikasi melalui Internet.
Oleh karena Undang-undang Telekomunikasi belum secara spesifik mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan telekomunikasi melalui Internet, maka di samping Undang-
undang No. 36 Tahun 1999 tersebut, Indonesia masih memerlukan Undang-undang
Internet (Law of Internet) atau Undang-undang Siber (Cyberlaw). Undang-undang
Internet merupakan undang-undang yang khusus mengatur mengenai pengiriman dan
penerimaan pesan elektronik melalui Internet. Apabila Undang-undang Internet
tersebut dihubungkan dengan Undang-undang No. 36 Tahun 1999, maka Undang-
undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi akan merupakan lex generalis,
sedang Undang-undang Internet yang masih akan dilahirkan, merupakan lex specialis
dari Undang-undang Telekomunikasi tersebut.
Adalah menarik untuk mengetengahkan di sini beberapa hal penting dari Undang-
undang Telekomunikasi yang erat kaitannya dengan Internet. Hal-hal tersebut antara
lain adalah :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Telekomunikasi menentukan bahwa
“Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Peme-
rintah”. Baik di dalam Batang Tubuhnya maupun di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat
(1) tidak ada penjelasan apapun mengenai apa yang dimaksudkan dengan
“dikuasai oleh Negara”.
2. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) yang menentukan bahwa “Atas kesalahan dan atau
kelalaian penyelenggara telokomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-
pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
penyelenggara telekomunikasi”. Pasal ini mengatur mengenai tort liability dari
pihak penyelenggara telokomunikasi.
3. Adalah menarik pula ketentuan yang diberikan oleh Pasal 15 ayat (2). Menurut
Pasal 15 ayat (2) itu, “penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi
dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan
dan atau kelalaiannya”. Bunyi Pasal 15 ayat (2) yang demikian itu dapat menim-
bulkan kerancuan dalam penafsirannya berkenaan dengan beban pembuktian.
Apakah dengan adanya ketentuan Pasal 15 ayat (2) itu, pihak penggugat tidak
perlu membuktikan bahwa terjadinya kerugian adalah akibat dari perbuatan
penyelenggara telekomunikasi, karena pihak penyelenggara telekomunikasi adalah
pihak yang harus membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh
kesalahan atau kelalaiannya. Selama ini, suatu pihak yang mengalami kerugian
yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian pihak lain dapat mengajukan ganti
rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi pihak yang mengajukan gugatan
harus dapat membuktikan bahwa kerugian itu merupakan akibat dari perbuatan
pihak tergugat. Berhubung dengan rumusan Pasal 15 ayat (2) itu pertanyaan yang
timbul ialah “Apakah Pasal 15 ayat (2) bertujuan untuk mengalihkan beban
pembuktian yang menurut Pasal 1365 KUH Perdata adalah beban penggugat
kepada tergugat?”.

Undang-undang Internet Atau Undang-undang Siber Bagi Indonesia


Akhir-akhir ini telah banyak bermunculan berbagai commercial web -site dan berbagai
portal di Internet di Indonesia yang menawarkan berbagai barang dan jasa kepada
masyarakat atau para konsumen. Indonesia sampai sekarang bukan saja belum
memiliki undang-undang tentang Internet yang antara lain mengatur transaksi-
transaksi e-commerce, bahkan rancangan undang-undangnya pun belum dimulai
pembuatannya. Sementara itu negara-negara tetangga kita telah memiliki undang-
undang tersebut. Apabila Indonesia tidak segera berupaya untuk menyusun undang-
undang tersebut dan sementara itu transaksi e-commerce yang dilakukan oleh orang-
orang Indonesia dengan toko-toko Internet atau toko-toko maya (virtual stores) makin
marak, maka dikhawatirkan sekali keamanan bagi para konsumen. Oleh karena itu
seyogianya Pemerintah secepat mungkin mengambil langkah-langkah kearah
penyusunan RUU tentang e-commerce. undang-undang yang disebut Cyberlaw.

Unifikasi Hukum Internet Dunia


Berkenaan dengan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, terutama mengenai hukum
yang diberlakukan bagi para pihak yang bertransaksi melalui Internet, menurut hemat
penulis perlu dilakukan harmonisasi atau unifikasi hukum Internet diantara negara-
negara di dunia yang diberlakukan bagi transaksi-transaksi yang dilakukan di dunia
maya dengan membuat konvensi internasional. Dengan adanya harmonisasi atau
unifikasi hukum tersebut, maka tidak perlu lagi timbul keraguan atau ketidakpastian
mengenai hukum negara mana yang diberlakukan dan di pengadilan negara mana
gugatan tersebut harus diajukan apabila timbul sengketa antara para pihak yang
melakukan suatu transaksi e-commerce.
Usaha ke arah tersebut telah dirintis oleh United Nations Commision on
International Trade Law (UNCITRAL), yaitu suatu Komisi dibawah PBB. Komisi
tersebut telah membuat UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce,
sebagaimana model tersebut telah disetujui berdasarkan General Assembly Resolution
No. 51/162 tanggal 16 Desember 1996. Model tersebut kemudian telah ditambah
dengan dimasukkannnya Article 5 BIS pada tahun 1998.
UNCITRAL Model itu telah menjadi dasar pembuatan undang-undang e-
commerce atau cyber law dari banyak negara, antara lain Electronic Transaction Act
of Singapore dan undang-undang sejenis dari Malaysia.?

Catatan :
1 Julian Ding. E-commerce: Law & Practice. Malaysia: Sweet & Maxwell Asia, 1999, p. 25.
2 Nabil R. Adam, Oktay Dogramaci, Aryya Gangopadhyay & Yelena Yesha. Electronic Commerce : Technical, Business,
and Legal Issues. Prentice Hall PTR, 1999, p. xi.
3
Nabil R. Adam et al., Op. cit. p. xi.
4
Baca pula: Magdalena Ye’il. Op. cit. p. 197.
5 Baca pula : Magdalena Ye’il. Ibid., p. 199.

6 Baca pula: Magdalena Ye’il. Ibid., p. 197.

7 F. Lawrence Street dan Mark P. Grant. Op. cit. p. 4.

8 Baca pula: Magdalena Ye’il. Op. cit., p. 197.

9 Baca pula: Magdalena Ye’il. Loc. cit.

10 F. Lawrence Street dan Mark P.Grant. Op. cit., p. 4 – 9.

11 BNA International Inc., London. World Internet Law Report. Vol 1, Issue 12. September 2000. hal. 10.

12 Toh See Kiat. Law of Telematic Data Interchange. Singapore : Butterworths Asia, 1992. p. 224 et al. Baca pula Sutan

Remy Sjahdeini. Bank Indonesia Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundangan Perbankan. Pidato Pengukuhan
Sebagai Guru Besar Dalam Mata Pelajaran Ilmu Hukum Perbankan pada Fakultas Hukum Airlangga di Surabaya
pada tanggal 16 November 1996. hal. 18
13
George B. Delta & Jeffrey H. Matsuura. Law of The Internet. Aspen Law & Business. 2000. p. 5-3.
14
BNA International Inc., London. Ibid.. hal. 8-9.
15
Ejan Mackaay, Daniel Poulin and Pierre Trudel (eds). The Elctronic Superhighway: The shape of technology and the Law
to Come, The Hague/London/Boston: Kluwer Law International, 1995, p. 105.
16 International Harold Tribune, No. 36,569 (Cetakan Indonesia), 29 September, 2000.

17 International Harold Tribune, Ibid.

18 Peter E. Sayer. Credit Cards and The Law. London : Fourmat Publishing. 1988. p. 13

19 Peter E. Sayer. Ibid, hal. 16 - 18.

20 Ernest T. Patrikis, Thomas C. Baxter & Jr. Raj K. Bhala. Wire Transfers (A Guide to U.S. and International Laws
Governing Funds Transfers). USA : Federal Research Bank of New York. 1993, p. 3
21 Magdalena Ye’il. Op. cit., p. 207.

22 Magdalena Ye’il. Loc. cit.

23 Eoghan Casey. Digital Evidance and Computer Crime, San Diego: Academic Press, 2000, p.5.

24 Jonathan Parapak. Era Baru Telematika Indonesia, Harian Bisnis Indonesia, 28 September 2000.
25
Jonathan Parapak. Ibid.

You might also like