Professional Documents
Culture Documents
1. Tinjauan Terhadap Gaya Hidup 1.1 Pengertian Gaya Hidup Istilah gaya hidup merupakan salah satu istilah yang popular pada zaman sekarang. Symbol-simbol modernisme bisa teridentifikasi lewat persoalan gaya hidup. Menurut Susanto (2003) gaya hidup adalah perpaduan antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku. Gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana membentuk image di mata orang lain, berkaitan dengan status sosial yang disandangnya. Untuk merefleksikan image inilah, dibutuhkan simbol-simbol status tertentu, yang sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Dalam struktur masyarakat modern, status sosial haruslah diperjuangkan
(achieved) dan bukannya karena diberi atau berdasarkan garis keturunan (ascribed). Selayaknya status sosial merupakan penghargaan masyarakat atas prestasi yang dicapai oleh seseorang. Jika seseorang telah mencapai suatu prestasi tertentu, ia layak di tempatkan pada lapisan tertentu dalam masyarakatnya. Semua orang diharapkan
15
mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih prestasi, dan melahirkan kompetisi untuk meraihnya.
Gaya hidup menurut Kotler (2002, p. 192) adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan lingkungannya. keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi dengan
Secara umum dapat diartikan sebagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini). Sedangkan menurut Minor dan Mowen (2002, p. 282), gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu.
Selain itu, gaya hidup menurut Suratno dan Rismiati (2001, p. 174) adalah pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat yang bersangkutan. Gaya hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan.
. Gaya hidup juga sangat berkaitan erat dengan perkembangan zaman dan teknologi. Semakin bertambahnya zaman dan semakin canggihnya teknologi, maka semakin berkembang luas pula penerapan gaya hidup oleh manusia dalam kehidupan
16
sehari-hari. Dalam arti lain, gaya hidup dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi yang menjalankannya. Dalam suatu masyarakat dimana persoalan gaya adalah segalanya dan di sisi lain perhatian ilmuwan, akademisi, masih tergolong langka, diperlukan penjelasan yang diharapkan bisa membantu kita dalam memahami seluk-beluk dan pernakpernik pertumbuhan gaya hidup dalam masyarakat. Di Indonesia kini urusan bergaya menjadi perhatian yang amat serius hampir bagi setiap orang. Masyarakat konsumen Indonesia tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti, Shopping Mall, indusrti waktu luang, industri mode atau fesyen (Distribution Outlet clothing) dan industri kecantikan, kuliner, kegandrungan terhadap merek asing, telpon seluler, dan tentu saja serbuan gaya hidup lewat industri iklan dan televisi yang sudah sampai ke ruangruang kita yang paling pribadi. Persoalan gaya hidup tidaklah sederhana seperti halnya potret kehidupan kelas menengah, dan kelas atas. Urusan gaya hidup bukan pula monopoli orang-orang yang berduit. Sebenarnya orang-orang kelas bawah pun dapat memakai model gaya hidup tertentu. Meskipun hanya bersandiwara, meniru-niru atau berpura-pura. Gaya hidup kini bukan lagi monopoli suatu kelas, tetapi sudah lintas kelas. Mana kelas atas, menengah,dan bawah sudah bercampur-baur dan terkadang dipakai berganti-ganti.
17
Gaya hidup yang ditawarkan lewat iklan misalnya menjadi lebih beraneka ragam dan cenderung mengambang bebas, sehingga tidak lagi milik eksklusif kelas tertentu dalam masyarakat. Chaney menunjukkan bahwa persoalan gaya hidup adalah persoalan yang sangat kompleks dan menuntut penjelasan dari berbagai disiplin akademis. Jika dibenturkan dengan karya Chaney dengan kehidupan sehari-hari betapa akan mencengangkannya bahwa ternyata pilihan gaya hidup yang kita buat dari sekian banyak pilihan model gaya hidup yang ditawarkan masyarakat adalah hasil dari pergulatan diri dalam pencarian identitas dan sensibilitas dengan lingkungan dimana kita hidup. Dalam karyanya gaya hidup dipahami Chaney sebagai proyek refleksif dan penggunaan fasilitas konsumen secara sangat kreatif. Ini mengingatkan kita pada pendapat Anthony Giddens bahwa dalam tatanan pacatradiional (modernitas), diri (self) menjadi suatu proyek refleksif. Menyintir pemikiran Giddens, Chaney menambahkan bahwa perkembangan gaya hidup dan perubahan struktural modernitas saling terhubung melalui reflektivitas institusional, pilihan gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas diri dan aktivitas keseharian.
18
1.2. Industri Gaya Hidup dan Industri Penampilan Dalam abad gaya hidup, penampilan adalah segalanya. Perhatian terhadap urusan penampilan sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah. Urusan penampilan atau presentasi diri sudah lama menjadi perbincangan. Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Live (1959), mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari penampilan teatrikal yang diritualkan yang kemudian lebih dikenal dengan pendekatan dramaturgi. Kita bertindak seolah-olah di atas sebuah panggung. Dalam gaya hidup, penampilan justru mengalami estetisisasi, estetisisasi kehidupan sehari-hari. kamu bergaya maka kamu ada adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya, terkhusus bagi kaum remaja. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah penampilan. Diantaranya penampilan dalam pakaian yang bermerek tertentu. Menurut Chaney, penampakan luar menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan akan menjadi lebih penting daripada subtansi. Gaya dan desain menjadi lebih penting dari pada fungsi. Gaya menggantikan subtansi dan kulit akan mengalahkan isi. Chaney juga mengatakan bahwa pada akhir modernitas semua yang kita miliki akan menjadi budaya tontonan. Semua orang akan
19
menjadi penonton dan sekaligus ditonton. Disinilah gaya mulai menjadi modus keberadaan manusia modern. Kamu bergaya maka kamu ada, kalau kamu tidak bergaya siap-siaplah untuk dianggap tidak ada, diremehkan, diacuhkan atau mungkin dilecehkan. Slogan inilah yang menyebabkan orang sekarang perlu bersolek atau berias diri. Kini gaya hidup bukan lagi monopoli artis, model atau selebriti yang memang sengaja mempercantik diri untuk tampil di panggung. Tetapi gaya hidup sudah ditiru secara kreatif oleh masyarakat untuk kegiatan sehari-hari. Ketika gaya menjadi segala-galanya dan segala-galanya adalah gaya, maka perburuan penampilan dan citra diri juga akan masuk dalam permainan komsumsi. Kalau dalam gaya itu sendiri sudah melekat unsure permainan, maka sudah bisa dipastikan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup akan menjadi komoditi dan ajang permainan komsumsi. Komsumsi pun menjadi tontonan. Tak heran jika industri jasa yang memberikan layanan untuk mempercantik penampilan (wajah, kulit, tubuh rambut) telah dan akan terus tumbuh menjadi big business. Urusan bersolek tidak lagi urusan wanita, tetapi kaum pria pun perlu tampil dandy. Hal ini disebabkan akan tuntutan akan tampil beda. Urusan solek-bersolek kini tidak hanya di sekitar wilayah tubuh (body building) yang ditandai dengan menjamurya fitness centre atau pusat kebugaran dan menggejalanya kebiasaan berdiet atau operasi plastic di kalangan wanita atau pria
20
yang gelisah karena bentuk dan ukuran tubuhnya yang kurang ideal, tetapi industri nasehat yang berurusan dengan penampilan juga tak kalah hebatnya, bahkan hingga kepelosok pedesaan. Goffman menekankan bahwa dengan kehadiran orang lain, kita tidak lagi berdiam diri. Dengan merujuk pada sifat ekspresi tubuh yang senantiasa terbuka. Goffman menyebut ekpresi tubuh sebagai perilaku, yakni pakaian, aksesoris, sikap, pandangan, dan tanda-tanda lain yang mengkarakterkan individu tertentu. 2. Tinjauan Terhadap Pakaian Distro 2.1. Definisi Pakaian Distro
Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat berteduh/tempat tinggal (rumah). Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan menutup dirinya. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan seseorang yang memakainya. Perkembangan dan jenis-jenis pakaian tergantung pada adatistiadat, kebiasaan, dan budaya yang memiliki ciri khas masing-masing. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pakaian)
Istilah Distro sebenarnya merupakan singkatan dari distribution store atau distribution outlet. Distro ini merupakan jenis toko di Indonesia yang menjual pakaian dan aksesori yang dititipkan oleh pembuat pakaian, atau diproduksi sendiri.
21
Distro umumnya merupakan industri kecil dan menengah (IKM) yang sandang dengan merk independen yang dikembangkan kalangan muda.
Konsep Distribution Outlet clothing yang lebih dikenal dengan sebutan distro tersebut merupakan jenis usaha yang menyediakan berbagai pakaian casual, jaket, rok, pakaian-pakaian baik merek-merek non lokal maupun lokal seperti produk yang didatangkan dari Bandung dan lebih mengkhususkan segmen mereka pada kebutuhan anak-anak muda. Namun dalam penelitian ini jenis pakaian yang menjadi sasaran utama terutama untuk produksi bajunya. Distro umumnya merupakan industri kecil dan menengah (IKM). Mereka memproduksi pakaian atau aksesoris dengan merk independent dan dalam jumlah yang terbatas, ini dalam rangka mempertahankan eksklusifitas produknya.
Salah satu penyebab kehadiran distro adalah krisis moneter yang melanda Indonesia pada beberapa waktu lalu. Kondisi tersebut mengakibatkan harga produk sandang, pangan, dan papan yang melangit. Namun di sisi lain kondisi ini memicu banyak anak muda untuk menyediakan produk pakaian dengan harga yang terjangkau dan kualitas yang cukup baik.
Selain itu, distro menawarkan desain baru dan umumnya tidak memproduksi dalam jumlah massal. Karena itu, konsumen tidak perlu khawatir produk distro yang dibelinya pasaran. Hal pertama yang harus dimiliki ketika hendak membuat sebuah
22
distro adalah semangat dan idealisme yang tinggi untuk menjalankan bisnis independen ini.
Karena berbeda dengan bisnis umum lainnya, bisnis clothing/distro membutuhkan idealisme tersendiri agar clothing/distro tersebut bisa memiliki visi dan karakter yang jelas. Selain itu usaha ini memiliki semangat kemandirian dan militansi yang tinggi untuk menjalankan bisnis independen ini.
Menurut pengelola distro Bandung Mode, Irvan Darwin, distro merupakan salah satu industri kreatif yang mungkin paling besar mendapatkan reaksi positif dari masyarakat. Indikasinya terlihat dari tingginya minat masyarakat membeli berbagai produk barang yang dititipkan di distro. Pakaian distro merupakan sebuah label yang melekat pada sebuah produk pakaian yang dibuat dan kemudian dipasarkan di suatu tempat tertentu dengan konsep tertentu. Jika merujuk pada pembahasan sebelumnya, pakaian distro merupakan dua buah frase yang memiliki dua makna yang terpisah. Pakaian merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi untuk melindungi dan menutup dirinya. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan seseorang yang memakainya. Perkembangan dan jenis-jenis pakaian tergantung pada adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya yang memiliki ciri khas masing-masing. Sementara distro merupakan tempat penitipan atau penjualan pakaian tersebut. Secara keseluruhan, pakaian distro bisa ditafsirkan sebagai alat untuk menutupi dan
23
melindungi diri manusia, dan sekaligus sebagai simbol status, jabatan atau kedudukan seseorang yang memakainya, dan dijual di suatu tempat yang disebut distribution store atau distribution outlet. 2.2. Ciri Fisik Pakaian Distro Pakaian distro dapat ditandai dengan memperhatikan beberapa ciri fisik antara lain : A. Jenis Kain yang Digunakan Pada umumnya pakaian distro menggunakan bahan dasar kain yang terbuat dari bahan - bahan seperti di bawah ini : 1. Cotton Bahan cotton terbagi dalam 2 jenis antara lain : a. Cotton Combed Jenis kain ini memiliki serat benang yang lebih halus dan hasil rajutan / penampilan lebih rata. b. Cotton Carded Jenis kain ini memiliki serat benang kurang halus begitu pula dengan rajutan dan penampilan bahannya kurang rata. Kedua jenis bahan ini memiliki kelebihan yakni keduanya bisa menyerap keringat dan tidak panas, karena bahan baku dasarnya adalah serat kapas.
24
2. TC (Teterton Cotton) Jenis bahan ini adalah campuran dari Cotton Combed 35 % dan Polyester (Teteron) 65%. Dibanding bahan Cotton, bahan TC kurang bisa menyerap keringat dan agak panas di badan. Kelebihannya jenis bahan TC lebih tahan shrinkage (tidak susut atau melar) meskipun sudah dicuci berkali-kali. 3. CVC ( Cotton Viscose) Jenis bahan ini adalah campuran dari 55% Cotton Combed dan 45% Viscose. Kelebihan dari bahan ini adalah tingkat shrinkage-nya (susut pola) lebih kecil dari bahan Cotton. Jenis bahan ini juga bersifat menyerap keringat. 4. Polyester Jenis bahan ini terbuat dari serat sintetis atau buatan dari hasil minyak bumi untuk dibuat bahan berupa serat fiber poly dan yang untuk produk plastik berupa biji plastik. Karena sifat bahan dasarnya, maka jenis bahan ini tidak bisa menyerap keringat dan panas dipakainya. B. Jenis Benang Pentingnya mengetahui tentang benang atas bahan kaos yang kita kehendaki adalah berkaitan dengan ketebalan atau gramasi bahan kaos itu sendiri. Beberapa jenis benang yang digunakan antara lain :
25
1. Benang 20S Biasanya dipakai apabila kita menghendaki ketebalan atau gramasi bahan kaos atara 180 sampai dengan 220 Gram/Meter persegi untuk jenis rajutan Single Knitt. 2. Benang 24S Biasa dipakai apabila kita menghendaki ketebalan atau gramasi bahan kaos antara 170 sampai dengan 210 Gram / meter persegi untuk jenis rajutan Single Knitt. 3. Benang 30S Biasa dipakai apabila kita menghendaki ketebalan atau gramasi bahan kaos antara 140 sampai dengan 160 Gram / meter persegi untuk jenis rajutan Single Knitt atau Gramasi 210 sampai dengan 230 Gram / meter persegi untuk jenis rajutan Double Knitt. 4. Benang 40 S Biasa dipakai apabila kita menghendaki ketebalan atau gramasi bahan kaos antara 110 sampai dengan 120 Gram / meter persegi untuk jenis rajutan Single Knitt atau Gramasi 180 sampai dengan 200 Gram / meter persegi untuk jenis rajutan Double Knitt.
26
C. Jenis-Jenis Sablon 1. Rubber Yang paling sering digunakan. Bisa untuk kaos berwarna gelap maupun terang karena sifatnya yang menumpang dan menutupi rajutan kain. Untuk sablon diatas dasar kain yg melar dibutuhkan cat rubber dengan ramuan khusus agar cat dapat mengikuti kelenturan kain dan berdaya tahan lama. 2. Pigmen Ini cat yang biasa dipakai untuk kaos berwarna terang karena sifatnya yg menyerap kedalam kain. 3. Plastisol Cat berbahan dasar minyak, dengan kemampuan istimewa untuk mencetak dot/raster super kecil dengan hasil prima. Tanpa limbah dan sangat irit. Sayangnya butuh invest yg banyak bila menggunakan cat ini karena untuk mengeringkannya dibutuhkan sinar infra merah. 4. Glow in the dark Cat yg menyala saat kaos berada ditempat gelap. Bisa rubber, pigmen maupun plastisol.
27
5.Reflektif Cat yang akan menyala jika kaos disinari oleh sebuah sumber cahaya. Dari 3M. 6. Discharge Cat dengan kemampuan menipiskan/menghilangkan warna dasar kaos kemudian diisi dengan warna baru sesuai dengan kebutuhan. 7. Flocking Cat dengan bentuk jadi seperti beludru. 8. Foam atau cat timbul Di dunia garment international biasa disebut dengan puff print. Ada rubber, ada juga plastisol, tapi bentuk timbul keduanya berbeda. 3. Tinjauan Tentang Remaja
Manusia selalu mengalami perubahan, baik itu perubahan yang bersifat fisik (bentuk tubuh) maupun yang bersifat nonfisik (sifat dan tingkah laku). Masa remaja merupakan masa yang pasti dialami oleh setiap orang. Pada masa ini, pola pikir kita mengalami peralihan dari pola pikir yang masih bersifat kekanak-kanakan menjadi pola pikir yang lebih dewasa. Setelah melewati masa remaja maka setiap orang akan memasuki sebuah tahapan atau fase yag disebut dengan fase pendewasaan. Di dalam
28
fase ini manusia mengalami perubahan pola pikir menjadi lebih matang secara bertahap.
Pada masa remaja biasanya setiap individu masih bingung dalam menentukan siapa sebenarnya dia (tahap pencarian jati diri) dalam artian masih mencari apa yang harus ia lakukan dalam kehidupannya. Pada masa inilah diperlukan penanaman nilainilai norma yang berlaku agar pada waktu menjalani fase pendewasaan tidak terjerumus kedalam jurang kesalahan yang dalam
Hurlock (1980) menjelaskan bahwa, remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik sehingga memperjelas pemahaman tentang remaja dan membantu dalam menghindari kekaburan menentukan masa remaja. Kemudian Sarwono (2008), mendifinisikan remaja sebagai individu yang tengah mengalami perkembangan fisik dan mental, beliau membatasi usia remaja ini antara 11-24 tahun dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. 2. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik). Dibanyak masyarakat indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil baligh baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria social). Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimum untuk memberikan kesempatan mereka mengembangkan dirinya setelah sebelumnya masih tergantung pada orang tua
3. 4.
29
Sedangkan H.H. Remmers & C. G. Hackeet (Alamsyah, 2004) mengemukakan : Remaja ialah masa yang berada diantara kanak-kanak dan masa dewasa yang matang. Ia adalah masa dimana individu tampak bukan anak-anak lagi, tetapi juga tidak tampak sebagai orang dewasa yang matang, baik pria maupun wanita Selanjutnya WHO (dalam Sarwono, 2008: 9) yang dikuti dari Muangman memberikan definisi yang lebih konseptual, bahwa remaja adalah suatu masa ketika: 1. Individu berkembang dari saat pertama kali in menunjukkan tandatanda seksual sekundernya samapi saat ia mencapai kematangan seksual. Inividu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanakmenjadi dewasa. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relative lebih mandiri.
2. 3.
Selain itu Piaget (Hurlock:1980,hal 206), mengemukakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. 4. Tinjauan Tentang Budaya Tanding (Counter Culture) John Milton Yinger, dalam bukunya Counter Culture (1982), mendefinisikan istilah budaya tandingan sebagai seperangkat norma dan nilai dari sebuah kelompok yang secara tajam bertentangan dengan norma dan nilai dominan dalam masyarakat dimana kelompok itu menjadi bagiannya.
30
Ditambahkan Yinger, budaya tanding memadukan tiga bentuk protes, yaitu penentangan terhadap nilai dominan, penentangan terhadap struktur kekuasaan, dan penentangan terhadap pola-pola komunikasi yang terperangkap dalam nilai-nialai dominan itu. Kekuasaan dominan biasanya melahirkan budaya bisu, budaya patuh, budaya tunduk, dan bahkan budaya ketakutan. Dengan demikian budaya tanding biasanya mencoba bersuara untuk menyampaikan gagasan alternatif untuk menjelaskan identitas, pikiran, gaya hidup, dan cita-cita masyarakat yang dipilihnya. Kemunculan budaya tanding identik dengan munculnya pilihan budaya dan gaya hidup generasi yang berbeda dan dalam tingkat tertentu berlawanan dengan generasi sebelumnya. Situasi yang sering diambil untuk menggambarkan hal itu adalah apa yang terjadi ketika para remaja menolak nilai, norma, dan perilaku budaya dominan orang tua yang mereka pandang hegemonik dan memberlakukan kebenaran tunggal serta tidak sangat sesuai dengan prinsip demokrasi dan kebebasan. Para remaja menggambarkan bentuk perlawanan dengan beragam pilihan diantaranya dengan menggunakan pakaian distro sebagai bentuk ketidakpuasan dengan peraturan dalam suatu komunitas yang dianggap mengganggu prinsip kebebasannya. Misalnya, di dalam lingkungan sekolah yang kesehariannya wajib menggunakan pakaian seragam. Hal inilah yang memunculkan titik bosan pada kaum remaja.
31
Istilah budaya tanding, terjemahan counter-culture, berawal dari Amerika Serikat pada 1960-an. Demikian populer istilah itu sehingga Oxford English Dictionary menambahkannya sebagai idiom Inggris sejak akhir kurun itu atau awal 1970-an. Kamus tersebut merumuskan counter-culture, atau counterculture dalam ejaan Anglo-Amerika, sebagai mode of life deliberately deviating from established social practices. Jadi, budaya tanding mengacu pada gaya hidup yang menyimpang dari praktik sosial yang telah mapan.
Secara sosiologis budaya tanding mencerminkan konflik antargenerasi di Amerika ketika anak-anak muda menolak nilai, norma, dan perilaku budaya dominan kaum tua yang mereka pandang hegemonik dan memberlakukan kebenaran tunggal. Gerakan itu melibatkan mahasiswa Kiri Baru dan kaum bohemian yang gandrung membaca Hesse, Freud, dan Marx, menikmati musik jazz, lagu folk, dan menenggak narkoba dan mengulum seks bebas, tetapi juga menggalang protes politik. Mereka mengembangkan sikap egalitarian dan menolak etos rakus kapitalisme seperti terungkap dalam Americas Uncivil Wars karya Mark Hamilton Lytle terbitan 2006.
Dalam sejarah Indonesia counter culture banyak sekali muncul pada masa Kolonialisme,dimana seluruh Nusantara memiliki counter culture sendiri sendiri sesuai dengan sifat perlawanan yang bersifat regional. Dalam kesusastraan Indonesia modern, Djenar Maesa Ayu adalah seorang yang dianggap menggusung counter culture. Dalam peta konfliktualnya, rancang tanding budaya (counter culture)
32
mengisyaratkan wajah perlawanan (resistensi) terhadap relasi kebudayaan yang asimetris, berat sebelah. Perjalanan kebudayaan (dan lebih luas dari itu adalah peradaban ; Pen) memang tak melulu lurus(linier) dan elegan sebagaimana sering diperkirakan. Seringkali ada darah yang tertumpah, seringkali ada tragedi yang turut terlibat. Menurut Hans Sebald dalam Soerjono Soekanto (1990:92) budaya tandingan bisanya timbul karena terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut : 1. Suatu bagian dari masyarakat atau kelompok sosial tertentu sedang mengahadapi masalah yang bukan merupakan persoalan yang dihadapai oleh warga-waraga lainnya. 2. Menurut Rubington dan Weinher budaya tandingan harus mencerminkan Sebuah cara pemahaman dan penentuan yang lazim dari pikiran, perasaan, dan tindakan dalam suatu kelompok orang yang mempunyai teman sebaya yang menyimpang dan berhubungan dengan wakil dunia yang umum. Anggota-anggota kelompok sosial yang menimbulkan budaya tandingan mempunyai taraf keterlibatan tertentu yang dianggap signifikan. 3. Adanya suatu lembaga total (total institution) yang menangani mereka, seperti yang diungkapkan oleh Erving Goffman (suatu tempat tinggal dan bekerja di dalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus
33
dari masyarakat yang lebih luas untuk jangka waktu tertentu, bersamasama menjalani hidup yang terkungkung dan diatur secara formal). 5. Masyarakat Modern dan Masyarakat Konsumer Masyarakat adalah sekelompok individu yang sama identifikasinya, teratur sedemikian rupa di dalam menjalankan segala sesuatu yang diperlukan untuk kehidupan bersama secara harmonis. Sementara Masyarakat modern merupakan sekumpulan individu yang sebagian besar anggotanya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang mengikuti setiap perkembangan zaman, kebudayaan dan berbagai simbol kekinian. (Kamanto Sunarto: 2004) Konsep modernisasi dalam arti khusus didefinisikan dalam tiga cara : historis, relative, dan analisis. Dari ketiga definisi tersebut, defenisi untuk analisis lebih khusus dari pada kedua definisi di atas, yakni melukiskan dimensi masyarakat modern dengan maksud untuk ditanamkan dalam masyarakat tradisional atau masyarakat pra-modern. Sebagian analisis memusatkan perhatian pada aspek structural. Neil Smelser misalnya, melukiskan modernisasi sebagai transisi multidimensional. Modernisasi meliputi kemampuan yang besar untuk menyusaikan diri dengan perkembangan masa mendatang; luasnya bidang perhatian dan berkembangnnya
34
potensi empati dan situasi terhadap orang lain; berkembangnya apresiasi kemajuan diri, mobilitas dan meningkatnya perhatian pada masa kini sebagai dimensi waktu yang bermakna dari kehidupan manusia (Eisenstadt, 1983:226) Dalam masyarakat modern kemudian muncul masyarakat baru yang menurut Piliang dalam Featherstone (2001) disebut sebagai masyarakat konsumer, yakni masyarakat yang menciptakan nilai-nilai yang berlimpah ruah melalui barang-barang konsumer, serta menjadiakan proses komsumsi sebagai aktivitas kehidupan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa masyarakat konsumer tersebut sebenarnya merupakan tipe masyarakat yang sengaja diciptakan oleh kelompok kapitalisme melalui sebuah mekanisme rekayasa kebutuhan. Motifnya sangat jelas semakin konsumtif masyarakat, semakin cepat pula laju perputaran uang dan barang dalam pasar, yang berarti semakin maksimal kentungan yang diperoleh. Dalam masyarakat konsumer, konsumsi bukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan semata tetapi lebih dari itu konsumsi merupakan pemenuhan hasrat (desire). Pada konteks ini kebutuhan manusia memiliki batas tetapi sebaliknya hasrat tidak terbatas dan terus menerus merasa kurang. Hasrat dalam dimensi kebutuhan Maslow identik dengan kebutuhan akan aktualisasi diri. Hasrat dalam diri manusia tidak bisa terbatasi karena selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh apa yang disebut mesin hasrat (Jacques Lacan dan Baudrillard dalam Effendy :2004)
35
Hasrat yang tak putus merupakan hasil rekayasa kebutuhan yang halus dan cerdik yang menggunakan beberapa sarana. Sarana yang paling banyak digunakan adalah sejumlah media massa. Tanpa kita sadari media massa telah hadir dengan berbagai iklan. Menurut Baudrillard dalam Effendy (2004), penonton tak lebih dari sekumpulan mayoritas yang diam. Secara garis besarnya iklan memainkan peranan dominan dalam proses pembentukan/penciptaan kebutuhan-kebutuhan baru. Iklan telah membuat kita hanyut dalam sebuah budaya baru yang disebut budaya konsumtif. Dalam masyarakat konsumtif (masyarakat konsumer) ini, konsumsi mengambil alih kedudukan produksi. Masyarakat terpukau dengan godaan ideologi iklan. Beli lebih banyak, miliki lebih banyak dan nikmati lebih banyak. Secara gamblang ideologi iklan kurang lebih dapat digambarkan seperti pernyataan ini Seseorang dipandang berhasil, dianggap ada, bernilai dan berkualitas ketika mampu mengkonsumsi lebih banyak. Berbeda dengan masyarakat tradisional masyarakat modern tidak
mengkonsumsi barang berdasarkan nilai guna dan nilai tukarnya. seperti yang digambarkan Karl Marx dewasa ini nilai tukar dan dan nilai guna tidak lagi bisa dijadikan sebagai alat analisa kondisi sosial masyarakat. Menurut Baudrillard kejayaan nilai-tanda dan nilai-simbol ditopang oleh meledaknya mana dan citra oleh perkembangan teknologi dan media masa. Objek konsumsi tidak lagi sekedar
36
didasarkan pada manfaat dan harga seperti yang dijelaskan marx pada masyarakat modern tetapi lebih dari itu menandakan status, pretisen dan kehormatan. Mike Featherstone (2001) melihat konsumerisme dalam tiga dimensi yaitu pertama, dia melihat konsumerisme sebagai tahapan atau cara tertentu perkembangan kapitalis. Kedua, konsumerisme sebagai persoalan yang lebih bersipat sosiologis, yakni mengenai hubungan antara penggunaan benda-benda dan cara-cara melukiskan status. Fokusnya adalah mengenai cara-cara yang bebeda ketika orang-orang menggunakan benda-benda untuk menciptakan ikatan ataupun perbedaan sosial. Dan yang ketiga, konsumerisme sebagai kreaktivitas praktik-praktik konsumen. Secara sosiologis gaya menjadi upaya individu untuk melukiskan statusnya. Seorang anak muda melukiskan dirinya, melukiskan status kemudaannya dengan cara
6. Sosialisasi
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman nilai atau transfer nilai atau nilai dari satu generasi ke generasi lainnya dalam kelompok masyarakat. Sosialisasi juga bisa diartikan sebagai sebagai suatu proses dimana individu mulai menerima dan menyesuaikan diri terhadap adat istiadat suatu golongan tertentu dan lambat laun menjadi bagian dari golongan tersebut.
Terkait dengan konsep sosialisasi George Hebert Mead dalam Kamanto Sunarto (2004) berasumsi bahwa manusia yang baru lahir belum mempunyai diri,
37
manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan masyarakat lain. Menurut Mead manusia berkembang melalui tiga tahap yakni play stage, game satage, dan generalized other. Pada tahap play stage manusia harus mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat. Melalui proses ini manusia mengenal dan mempelajari peran yang harus dijalankannya dan peran yang harus dijalankan oleh orang lain, setelah melewati proses tersebut seorang individu dapat berinteraksi dengan individu lain. Pada tahap game stage, manusia selain telah mampu mengetahui peran yang harus dijalankannya, juga harus mengetahui peran yang harus dijalankan oleh orang di sekitarnya. Tahap ketiga manusia diasumsikan telah mampu mengambil peran atau melakoni peran orang lain yang ada di sekitarnya.
Sosialisasi pada dasarnya memang sering dikategorikan oleh sejumlah sosiolog menjadi inti dari teori tentang peranan (role theory). Dalam proses ini individu diajarkan tentang peran-peran yang harus dijalankan. Sosialisasi selalu terkait dengan source atau sumber dan recive atau penerima. (Ritzer : 2004) Dalam masyarakat berbagai hal mampu dijadikan sebagai sarana komunikasi. Perangkatperangkat kebudayaan yang hadir dalam kehidupan masyarakat secara nyata menjadi salah satu bentuk proses sosialisasi. Proses sosialisasi tidak hanya mencakup pembicaraan seputar anak tetapi juga tentang manusia secara keseluruhan yang hidup dalam ruang-ruang sosial.
38
Sosialisasi terjadi dimulai dari sosialisasi primer yang dimulai ketika individu masih berujud bayi . Melalui tahap inilah individu mulai belajar dari setiap perilaku yang diperhatikan oleh individu lain di sekelilingnya. Pembentukan suatu perilaku dari individu bermula dari aktivitas melihat, kemudian meniru sikap dan perilaku individu lainnya.
Terkait dengan proses sosialisasi Broom dan Selznick memandang tiga proses penting yang dianggap sebagai faktor pembentuk tingkah laku manusia, diantaranya Pertama, Dalam proses sosialisasi manusia mendapatkan bayangan dirinya. Bayangan ini timbul setelah memperhatikan cara orang lain memandang dan memperlakukan dirinya. Kedua, sosialisasi juga mendorong terbentuknya kedirian yang ideal, dimana seorang individu mampu mengetahyui dengan pasti bagaimana sikap dan perilaku yang harus dia lakukan untuk mendapatkan pujian da rasa cinta dari orang lain. Ketiga, sosialisasi membantu terbentuknya suatu ego.
Charles H. Cooley dalam Kamanto Sunarto (2004) menganggap bahwa konsep diri seorang manusia berkembang melalui interaksinya dengan orang lain, hal ini oleh Cooley dinamakan looking-glass self. Looking-glass self ini juga terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama seorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya, pada tahap berikutnya seseorang mempunyai persepsi terhadap penilaian orang lain terhadap penampilannya. Dan pada tahap yang
39
terakhir seseorang memiliki perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya.
7. Interaksi Sosial
Interaksi sosial yang dimaksudkan di sini adalah hubungan sosial yang terbangun secara dinamis yang menyangkut hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Senada dengan itu Alvin dan Helen Gouldner (1980) dalam menjelaskan interaksi sosial sebagai aksi dan reaksi diantara orang-orang. Disini tidak menitik beratkan pada bagaimana model hubungan tersebut, baik itu sipatnya harmonis maupun disharmonis, secara langsung melakukan tatap muka ataupun melalui simbolsimbol.(Soekanto : 2001) Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling berinteraksi, oleh sebab itu kita sebagai masyarakat harus memahami pengertian dari Interaksi sosial. Banyak ahli sosiologi sepakat bahwa interaksi sosial adalah syarat utama bagi terjadinya aktivitas sosial dan hadirnya kenyataan sosial. Ketika berinteraksi, seseorang atau kelompok sebenarnya tengah berusaha atau belajar bagaimana memahami tindakan sosial orang atau kelompok lain. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial yang mereka lakukan. (Narwoko & Suyanto : 2007)
40
Charles P. Loomis dalam Soekanto (2001) mencantumkan empat ciri penting dari interaksi sosial yakni jumlah pelakunya lebih dari satu orang, ada komunikasi baik secara langsung atau menggunakan simbol-simbol, ada suatu dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini dan yang akan datang yang menentukan sifat dan aksi yang sedang berlangsung, dan adanya suatu tujuan tertentu
Pada dasarnya manusia memang memiliki sipat dasar yakni keinginan untuk hidup secara bersama dan dalam menjalani hidup secara bersama-sama tersebut terbangun suatu hubungan timbal balik. Melalui hubungan inilah manusia menyampaikan maksud, keinginan dan tujuan masing-masing. Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk tindakan-tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma sosial. Menurut Soerjono Soekanto (2001) Interaksi sosial merupakan hubunganhubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorang, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antar orang - perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial yang ada tidak menutup kemungkinan menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan mencakup semua bagiannya yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan lain-lain, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. (Soekanto, 2001).
41
George Herbert Mead (dalam Narwoko dan Suyanto, 2007), juga tak ketinggalan dalam memberikan asumsi-asumsinya terkait dengan konsep interaksi sosial. Menurut Mead agar interaksi sosial bisa berjalan dengan tertib dan teratur dan agar anggota masyarakat bisa berfungsi secara normal, maka yang diperlukan bukan hanya kemampuan untuk bertindak sesuai dengan konteks sosialnya, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menilai secara objektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang orang lain. Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih, di mana perilaku atau tindakan seseorang akan mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki perilaku atau tindakan individu lain atau sebaliknya. Sebuah interaksi dapat terjadi apabila salah seorang (individu) melakukan aksi dan melakukan balasan dengan bereaksi, sehingga terjadi interaksi. Jika salah satu pihak melakukan aksi dan pihak yang lain tidak melakukan reaksi, maka tidak akan terjadi interaksi. Jadi interaksi sosial itu, merupakan dasar dari suatu proses sosial, tanpa ada interaksi sosial tidak mungkin terjadi suatu kehidupan bersama. Jadi, interaksi sosial merupakan syarat utama untuk terjadinya proses sosial.
Penggunaan pakaian distro juga bisa disebut sebagai hasil dari interaksi seperti yang dikatakan David Chaney bahwa manusia abad modern menentukan pilihan gaya berdasarkan filosopy kamu bergaya maka kamu ada . hal ini
42
dipertegas oleh argumen Herbert Blumer bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki sesuatu tersebut baginya.
W.I. Thomas dalam Kamanto Sunarto memberikan definisi yang berbeda tentang interaksi. Menurutnya interaksi tidak hanya sekedar memberi tanggapan terhadap rangsangan yang diterima melainkan melalui suatu tahap
mempertimbangkan dan menilai, rangsangan dari luar diseleksi terlebih dahulu melalui proses definisi dan penafsiran situasi.
Pakaian
distro
merupakan
sebuah
simbol
yang
digunakan
untuk
mengungkapkan kedirian. Secara objektif kedirian dapat dikatakan sebagai kesadaran terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain. Pada hakikatnya kesadaran diri secara objektif inilah yang memunculkan istilah aku dan kamu. Kedirian secara subyektif memiliki pandangan lain yakni bahwa tidak seorang pun yang bisa meninjau dirinya sendiri dengan sempurna. Beberapa tokoh yang meneliti masalah kedirian ini diantaranya George Herbert Mead, Sigmun Freud dan Cooley bersepakat bahwa kedirian itu bersipat sosial, kedirian membutuhkan masyarakat untuk bisa menjelaskanya secara sempurna, dan kesadaran individu lahir sebagai akibat pergaulannya dengan orang lain. Dalam proses interaksi ada beberapa faktor yang berpengaruh diantaranya :
43
1. Imitasi Imitasi merupakan metode untuk mentransfer isi kebudayaan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Imitasi merupakan perilaku yang terbentuk melalui proses peniruan. Imitasi bisa terjadi karena objeknya unik dan menarik, terlalu sering diinderai atau lain sebagainya. Imitasi merupakan salah satu konsep kunci dalam proses pencitraan khususnya terhadap pakaian distro. Dalam proses imitasi ini ada pihak yang yang dijadikan model untuk ditiru dan pihak yang melihat, mempelajari dan kemudian meniru. Menurut Gabriel Tarde (Yusuf : 2000) dalam (Soekanto : 2001) berpendapat bahwa masyarakat tiada lain dari pengelompokan manusia dimana seorang individu mengimitasi sesuatu dari yang lain dan sebaliknya, bahkan masyarakat baru menjadi masyarakat yang sebenarnya, jika telah mampu mengimitasi kegiatan manusia lainnya. Imitasi tidak berlangsung dengan sendirinya (otomatis), namun ada faktor lain yang ikut berperan, ada faktor sikap menerima, sikap mengagumi apa yang diimitasi. Hal-hal yang diimitasi, biasanya berupa ucapan, kata-kata, tingkah laku dan lain-lain. Di lapangan pendidikan, mengimitasi merupakan contoh yang baik, misalnya mengimitasi watak dan kepribadian seseorang. Imitasi juga dapat menimbulkan kebiasaan, karena hasil imitasi tersebut sering dilakukan dan mewarnai pola hidupnya.
44
2. Sugesti Faktor sugesti berlaku apabila seseorang memberi pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi tetapi titik tolaknya berbeda. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi, hal mana menghambat daya berfikirnya secara rasional. 3. Identifikasi Faktor identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan orang lain. Misalnya cara-cara seorang anak belajar norma-norma sosial dari orang tuanya, dikarenakan ia menyadari bahwa dalam kehidupan, ada norma-norma dan peraturan yang harus dipatuhi, maka ia mempelajarinya. Seluruh sistem norma, sikap dan tingkah laku orang tuannya dijadikan norma-norma, cita-cita dari anak itu sendiri, juga sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. 4. Simpati Faktor Simpati juga memegang peran dalam interaksi sosial, sebab simpati merupakan perasaan rasa tertarik kepada orang lain, maka timbul bukan secara logisrasional, namun atas dasar emosional atau perasaan.