You are on page 1of 24

Laporan Kasus

Complete Spinal Cord Injury (Frankel A) Setinggi Segmen T-9 dengan Fraktur Dislokasi Vertebrae Thoracal IX + Ulkus Dekubitus

Oleh: K M Azka Novriandi, S.Ked 04124705105

Pembimbing: Dr.Rendra Leonas, Sp.OT (K)Spine

DEPARTEMEN ILMU BEDAH RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG 2013

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus yang berjudul

Complete Spinal Cord Injury (Frankel A) Setinggi Segmen T-9 dengan Fraktur Dislokasi Vertebrae Thoracal IX + Ulkus Dekubitus

Oleh: K M Azka Novriandi, S.Ked 04124705105

telah dilaksanakan dan disetujui pada bulan September 2013 sebagai salah satu persyaratan guna mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior di

Bagian/Departemen Ilmu Bedah FK Unsri/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 19 Agustus 28 Oktober 2013.

Palembang, September 2013 Pembimbing,

Dr. Rendra Leonas, Sp.OT (K)Spine

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 IDENTIFIKASI a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Nama Usia Jenis Kelamin Kebangsaan Suku Status Pernikahan Pekerjaan Agama Alamat MRS No. Rekam Medis : Tn. Supian Effendi : 28 tahun : Laki-laki : Indonesia : Jawa : Menikah : Petani : Islam : Dusun IV Sekayu, Musi Banyuasin : 11 Juli 2013 : 737239

1.2 ANAMNESIS (Alloanamnesis dilakukan pada tanggal 15 September 2013) Keluhan Utama: Tidak dapat menggerakkan kedua tungkai bawah

Keluhan Tambahan: Rasa baal pada kedua tungkai bawah, tidak dapat merasakan BAK dan BAB, terdapat borok di bokong.

Riwayat Perjalanan Penyakit: 6 Bulan SMRS, penderita terjatuh dari pohon dengan ketinggian 9 meter dalam posisi terduduk. Setelah kejadian kedua tungkai bawah tidak dapat digerakkan. Pasien juga merasa baal pada kedua tungkai bawah, serta tidak dapat merasakan BAK dan BAB. 3 Bulan SMRS timbul borok di bokong

yang semakin membesar. Pasien kemudian berobat dan dirawat RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang karena keluhannya tidak berkurang.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK Status generalis Keadaan umum Kesadaran Pernafasan Nadi Tekanan Darah Suhu Kulit : : : : : : : sakit sedang compos mentis 20 x/menit 82 x/menit 110/70 mmHg 36,5C ulkus (d=10cm) di regio sakrum, ulkus (d=5cm) di regio SIAS Kepala Mata Hidung Telinga Mulut Tenggorokan Pupil Leher Kelenjar getah bening : : : : : : : : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-) Sekret (-) tidak ada kelainan tidak ada kelainan tonsil tidak hiperemis, T1-T1 isokor, reflek cahaya +/+ JVP (5-2)cm H2O tidak ada pembesaran KGB koli, aksila, maupun inguinal Thorak Jantung : : tidak ada kelainan Denyut gallop (-) Paru-paru Abdomen : : Vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-) Datar, lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+) normal. Anus Ekstremitas superior : : TSA Longgar tidak ada kelainan jantung 86x/menit, murmur(-),

Ekstremitas inferior Status lokalis Regio Ekstremitas Inferior Inspeksi Palpasi : :

lihat status lokalis dan neurologis

simetris, deformitas (-) edema pretibia (-)

Regio Sakrum Inspeksi : tampak ulkus (borok) dengan diameter 10 cm, tepi tidak rata, dasar otot, pus (+), darah (-) Palpasi Regio SIAS Sinistra Inspeksi : tampak ulkus (borok) dengan diameter 5 cm, tepi tidak rata, dasar otot, pus (+), darah (-) Palpasi Anus Status Neurologis Fungsi Motorik
Ekstremitas Superior Gerakan Kekuatan Tonus Refleks Fisiologis - Biceps - Triceps - Radius - Ulna Refleks Patologis - Hoffman Ttromner - Leri - Meyer Ekstremitas Inferior Gerakan Kekuatan Tonus Klonus - Paha - Kaki Kanan Cukup 5 Normal Normal Normal Normal Normal Negatif Negatif Negatif Kanan Tidak ada 0 Menurun (-) (-) Kiri Cukup 5 Normal Normal Normal Normal Normal Negatif Negatif Negatif Kiri Tidak ada 0 Menurun (-) (-)

nyeri tekan (-)

: :

nyeri tekan (-) TSA longgar

Refleks Fisiologis - KPR - APR Refleks Patologis - Babinsky - Chaddock - Oppenheim - Gordon - Schaeffer - Rossolimo - Mendel Bechtewer

Menurun Menurun (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

Menurun Menurun (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

Fungsi Sensorik Anestesi mulai dari ujung jari kaki hingga setinggi 3 - 4 jari di atas umbilikus Fungsi Vegetatif - Miksi - Defekasi

: Inkontinensia Uri : Inkontinensia Alvi

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 11 Juli 2013 Hemoglobin Hematokrit Leukosit Albumin Globulin Protein total Natrium Kalium : 13,7g/dl : 38% (13,2-17,3 g/dl) (43-49 %)

: 6,6.103/mm3 (4,5-11.103/mm3) : 3,6 g/dl : 3,4 g/dl : 7,0 g/dl : 144 mEq/L : 4,3 mEq/L (3,5 - 5,0 g/dl) (2,6 - 3,6 g/dl) (6,4 8,3 g/dl) (135 155 mEq/L) (3,5 5,5 mEq/L)

Tanggal 25 agustus 2013 Hemoglobin Hematokrit Leukosit Albumin Globulin Protein total : : 13,8g/dl 39% (13,2-17,3 g/dl) (43-49 %)

: 5,5.103/mm3 (4,5-11.103/mm3) : 3,8 g/dl : 3,2 g/dl : 7,0 g/dl (3,5 - 5,0 g/dl) (2,6 - 3,6 g/dl) (6,4 8,3 g/dl)

Natrium Kalium

: 143 mEq/L : 4,8 mEq/L

(135 155 mEq/L) (3,5 5,5 mEq/L)

Pemeriksaan Radiologi Rontgen Thoracolumbal AP/Lat tanggal 11 Juli 2013

Kesan: Fraktur kompresi vertebra thorakal IX

CT Scan pada tanggal 28 Agustus 2013 Hasil CT Scan Vertebral Sentrasi Th 9 potongan aksial, sagital. Tebal potongan 1cm dengan hasil sebagai berikut :

Hasil pemeriksaan : Tampak fraktur pada permukaan atas bagian depan corpus vertebra thorakal IX Corpus thorakal IX tampak bergeser ke belakang Tampak gambaran spinal stenosis setinggi Thorakal IX

Kesan : Tampak tanda-tanda penekanan spinal cord level Th IX

1.5 DIAGNOSIS KERJA Complete Spinal Cord Injury (Frankel A) Setinggi Segmen T-9 dengan Fraktur Dislokasi Vertebrae Thoracal IX + Ulkus dekubitus.

1.6 PENATALAKSANAAN IVFD RL gtt xx/menit Ceftriaxone 2x1 gr Ganti verban/ hari Diet Nasi Biasa Tatalaksana konsevatif dengan thorakolumbal sacral orthosis (TLSO)

1.7 PROGNOSIS Quo ad Vitam Quo ad Functionam : : Bonam Dubia at malam

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tulang Belakang Vertebra adalah pilar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan melindungi medulla spinalis. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea) (Jong WD, 2005).

Gambar 1. Anatomi Tulang Belakang Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada pandangan dari samping, pilar tulang belakang membentuk lengkungan atau lordosis di daerah servikal dan lumbal. Keseluruhan vertebra maupun masing-masing tulang vertebra berikut diskus intervertebralisnya merupakan satu kesatuan yang kokoh dengan diskus yang memungkinkan

11

gerakan antar korpus ruas tulang belakang. Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya semakin kecil (Jong WD, 2005). Secara umum, struktur tulang belakang tersusun atas dua yaitu : 1. Korpus vertebra beserta semua diskus intervetebra yang berada di antaranya. 2. Elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina, pedikel, prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis, ligamentum-ligamentum supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum flavum, serta kapsul sendi (Jong WD, 2005). Setiap ruas tulang belakang terdiri atas korpus di depan dan arkus neuralis di belakang yang di situ terdapat sepasang pedikel kanan dan kiri, sepasang lamina, 2 pedikel, 1 prosesus spinosus, serta 2 prosesus transversus. Beberapa ruas tulang belakang mempunyai bentuk khusus, misalnya tulang servikal pertama yang disebut atlas dan ruas servikal kedua yang disebut odontoid. Kanalis spinalis terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus neuralis di bagian belakang. Kanalis spinalis ini di daerah servikal berbentuk segitiga dan lebar, sedangkan di daerah torakal berbentuk bulat dan kecil. Bagian lain yang menyokong kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak yaitu ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum flavum, ligamentum interspinosus, dan ligamentum supraspinosus (Jong WD, 2005). Stabilitas tulang belakang disusun oleh dua komponen, yaitu komponen tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk satu struktur dengan tiga pilar. Pertama yaitu satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom di belakang kanan dan kiri yang terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Tulang belakang dikatakan tidak stabil, bila kolom vertikal terputus pada lebih dari dua komponen (Jong WD, 2005).

12

Gambar 2. Sendi dan Ligamen Kolumna Vertebra Medulla spinalis berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf yang menyampaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh. Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang diakibatkan. Misal, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal ini dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan tidak terdapat sensasi di bawah leher. Kerusakan yang lebih rendah pada tulang sakral mengakibatkan sedikit kehilangan fungsi (Jong WD, 2005). 2.2 Hubungan Tulang Belakang dan Medulla Spinalis

Gambar 3. Medulla spinalis dan tulang belakang (Greene,2004)

13

Panjang normal medula spinalis orang dewasa adalah 42-45 cm, pada bagian superior dilanjutkan oleh batang otak, dan bagian inferior dilanjutkan oleh konus medularis. Selama perkembangannya, kanalis sentralis mengalami perluasan kearah lateral pada dua bagian yaitu pembesaran servical (intumensensia servikalis) dan pembesaran lumbal (intumensia lumbalis) yang masing-masing membentuk pleksus brakhialis dan pleksus lumbosakral. Medula spinalis dibagi menjadi kira-kira 8 segmen servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen lumbal, 5 segmen sacral, dan beberapa segmen koksigeal yang kecil. Masing-masing segmen bervariasi dalam panjangnya, namun di dalam sumsum tulang belakang sendiri tidak ditemukan adanya batas-batas yang tegas di antara segmen-segmen tersebut (Felten dan Jozefowicz, 2003).

Gambar 4. Potongan melintang medulla spinalis (Gondim, 2013)

Potongan

melintang

dari

medulla

spinalis

tulang

belakang

memperlihatkan sulkus mediana dorsalis, kolumna dorsalis, kolumna lateralis, komissura putih ventralis, kolumna ventralis, fisura ventralis, fisura mediana ventralis, kolumna kelabu ventralis, komisura kelabu ventralis, kanalis sentralis, septum mediana dorsalis (Felten dan Jozefowicz, 2003). Masing-masing segmen medula spinalis mempunyai 4 akar serabut saraf yang terletak di daerah ventral dan dorsal medulla spinalis, masing-masing akar dibentuk oleh 1-8 serabut saraf. Pada akar dorsalis didapatkan ganglion

14

spinal yang berdekatan dengan akar ventralis, yaitu yang berisi badan-badan sel saraf. Akibat ada perbedaan dari kecepatan pertumbuhan antara sumsum tulang belakang dan tulang belakang, maka segmen tulang belakang mengalami pergeseran kearah atas dari vertebra yang bersesuaian, dengan ketidaksesuaian ini pada segmen paling bawah dibagian lumbosakral, akarakar saraf berjalan turun ke bagian bawah sumsum tulang belakang untuk membentuk kauda equina (Blumenfeld, 2003).

2.3 Fraktur Vertebra Torakalis Penyebab tersering cedera torakolumbal adalah jatuh dari ketinggian serta kecelakaan lalu lintas. Jatuh dari ketinggian dapat menimbulkan patah tulang vertebra tipe kompresi. Pada kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi dan tenaga besar sering didapatkan berbagai macam kombinasi gaya, yaitu fleksi, rotasi, maupun ekstensi sehingga tipe frakturnya adalah fraktur dislokasi (Jong WD, 2005). Terdapat dua tipe berdasarkan kestabilannya, yaitu: Cedera stabil : jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan

pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur adalah contoh cedera stabil. Cedera tidak stabil : cedera yang dapat bergeser dengan gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek. Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligamen posterior. Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur yamg harus dipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior), kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior). Pembagian kolumna vertebralis adalah sebagai berikut :

15

1. kolumna anterior yang terbentuk dari ligament longitudinal dan 2/3 bagian anterior dari corpus vertebra, diskus dan annulus vertebralis. 2. kolumna media yang terbentuk dari 1/3 bagian posterior dari corpus vertebralis, diskus dan annulus vertebralis. 3. kolumna posterior arkus yang tulang terbentuk posterior, dari pedikulus, sendi-sendi dan

permukaan, supraspinosa.

ligamen

interspinosa

Gambar 5. Kolumna vertebralis Berdasarkan mekanisme cederanya, dapat dibagi menjadi: 1. Fraktur kompresi (Wedge fractures) Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya.

16

Gambar 6. Fraktur kompresi 2. Fraktur remuk (Burst fractures) Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinalis. Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. Tepi tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisis atau gangguan syaraf parsial. Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI, fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan.

Gambar 7. Fraktur remuk 3. Fraktur dislokasi Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau akar syaraf yang rusak.

17

Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi, penekanan, rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati lamina dan seringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut syaraf.

Gambar 8. Fraktur dislokasi 4. Cedera pisau lipat (Seat belt fractures) Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tibatiba mengerem sehingga membuat vertebra dalam keadaan fleksi, dislokasi fraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction. Kombinasi fleksi dan distraksi dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan membentuk pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada bagian kolumna anterior vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan dapat hancur selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil.

18

Gambar 9. Seat Belt Fraktur 2.4 Trauma Medulla Spinalis Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian (PERDOSI, 2005). Manifestasi Klinis Cedera pada segmen servikal di atas T1 medulla spinalis menyebabkan kuadriplegia dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Level tulang vertebra yang mengalami cedera adalah dimana tulang tersebut yang mengalami kerusakan, menyebabkan cedera pada medulla spinalis. Level kelainan neurologis dari cedera ini dapat ditentukan hanya dengan pemeriksaan klinis. Cedera medulla spinalis juga dapat dikategorikan sebagai paraplegia tidak komplit, paraplegia komplit, kuadriplegia tidak komplit dan kuadriplegia komplit. Setiap fungsi sensoris atau motoris di bawah level cedera merupakan cedera yang tidak komplit, seperti sensasi atau gerakan volunter pada ekstremitas bawah dan sacral sparing (sensasi perianal, kontraksi sphincter ani secara volunter, atau fleksi jempol kaki volunter). Diagnosis klinik adanya fraktur thorakolumbal didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kecurigaan yang tinggi akan adanya cedera pada vertebra pada pasien trauma sangat penting sampai kita mengetahui secara tepat bagaimana mekanisme cedera pasien tersebut. Setiap pasien dengan cedera tumpul diatas klavikula, cedera kepala atau menurunnya kesadaran, harus dicurigai adanya cedera cervical sebelum curiga lainnya. Dan setiap pasien yang jatuh dari ketinggian atau dengan mekanisme kecelakaan high-speed deceleration harus dicurigai ada cedera thoracolumbal. Selain itu patut dicurigai pula adanya cedera medulla

19

spinalis, jika pasien datang dengan nyeri pada leher, tulang belakang dan gejala neurologis pada tungkai. 13 Pemeriksaan klinik pada punggung hampir selalu menunjukkan tandatanda fraktur yang tak stabil namun fraktur remuk yang disertai paraplegia umunya bersifat stabil. Sifat dan tingkat lesi tulang dapat diperlihatkan dengan sinar-X, sedangkan sifat dan tingkat lesi saraf dengan CT atau MRI. Pemeriksaan neurologik harus dilakukan dengan amat cermat. Tanpa informasi yang rinci, diagnosis dan prognosis yang tepat tidak mungkin ditentukan. Pemeriksaan rektum juga harus dilakukan. Pemeriksaan tentang tanda-tanda shock juga sangat penting. Diagnosis ditegakkan dengan foto rontgen proyeksi antero-posterior dan lateral, dan bila perlu tomografi. Rontgen tulang belakang dilakukan untuk melihat kerusakan vertebra (rontgen bagus untuk menunjukkan tulang tetapi tidak untuk jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang). Jika pasien memiliki gejala atau terdapat trauma sumsum tulang belakang, dilakukan CT-Scan atau MRI yang akan menunjukkan lebih detail dibanding rontgen. CT scans lebih baik daripada MRI dalam menunjukkan tulang, sedangkan MRI biasanya lebih baik dalam menunjukkan jaringan lunak seperti sumsum tulang belakang. Semua tindakan diagnostik tersebut dikerjakan tanpa memindahkan atau mengubah posisi penderita. Mielografi dikerjakan pada penderita dengan gangguan neurologik, seperti kelumpuhan, tetapi pada foto polos maupun tomografinya tidak tampak fraktur. Grading system pada cedera medulla spinalis : 1. a. b. c. d. e. Klasifikasi Frankel : Grade A : motoris (-), sensoris (-) Grade B : motoris (-), sensoris (+) Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+) Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+) Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

20

2. a. b. c. d. e.

Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association) Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral Grade B : hanya sensoris (+) Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3 Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3 Grade E : motoris dan sensoris normal

2.5 Penatalaksanaan Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang belakang. Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras. Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita yang patut dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila terdapat kelemahan pada ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan

21

jalan napas dan sirkulasi.Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan kain untuk menyangga leher pada saat pengangkutan. Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologik dapat dilakukan. Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari akibat hematom retroperitoneal sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung. Pemasangan kateter tetap pada fase awal bertujuan mencegah terjadi pengembangan kandung kemih yang berlebihan, yang lumpuh akibat syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga berguna untuk memantau produksi urin, serta mencegah terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering. Perhatian perlu diberikan untuk mencegah terjadinya pneumoni dan memberikan nutrisi yang optimal.

22

BAB III

Analisis Kasus

Seorang laki-laki berusia 28 tahun, masuk rumah sakit pada tanggal 11 Juli 2013 dengan dengan keluhan utama tidak dapat menggerakkan kedua tungkai bawah. Pada anamnesis lebih lanjut, didapatkan informasi riwayat perjalanan penyakit, yaitu 6 Bulan SMRS, penderita terjatuh dari pohon dengan ketinggian 9 meter dalam posisi terduduk. Setelah kejadian kedua tungkai tidak dapat digerakkan. Pasien juga merasa baal pada kedua tungkai, serta tidak dapat merasakan BAK dan BAB. 3 Bulan SMRS timbul borok di bokong yang semakin membesar. Pasien kemudian berobat dan dirawat RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang karena merasa kondisinya tidak membaik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tidak ada kelainan pada status generalis. Pada pemeriksaan status lokalis inspeksi di regio sakrum dan region SIAS sinistra menunjukkan adanya ulkus dekubitus. Pada cedera medulla spinalis terjadi gangguan sirkulasi darah ke substansia grisea medulla spinalis yang dapat menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi perdarahan. Hal-hal tersebut menyebabkan kerusakan mielin dan akson. Selain itu, pasien ini telah mengalami tekanan imobilisasi yang lama (berbaring 4 bulan) sehingga jaringan otot, dan suplai darah bergeser ke arah yang lebih rendah dan terjadi peningkatan gesekan. Pada daerah yang tertekan terjadi peregangan dan mikrosirkulasi serta iskemia jaringan yang berlanjut pada nekrosis kulit dan ulkus dekubitus. Pemeriksaan status neurologis didapatkan fungsi motorik ekstremitas inferior 0, dengan fungsi sensorik ekstremitas inferior anestesia setinggi 3-4 jari di atas umbilikus, serta pasien juga mengalami inkontinensia urin et alvi. Hal ini menunjukkan telah terjadi trauma medulla spinalis total pada pasien karena pasien kehilangan fungsi motorik, sensorik, bahkan otonom sepenuhnya dibawah T-9. Apabila diklasifikasikan sesuai dengan Frankel

23

Classification maka truma medulla spinalis pada pasien ini termasuk kategori Frankel A, yaitu fungsi motorik tidak ada dan fungsi sensorik tidak ada. Pemeriksaan penunjang laboratorium, dalam hal ini darah rutin dan kimia darah tidak menunjukkan adanya kelainan. Pada rontgen thorakolumbal AP/Lat tanggal 11 Juli 2012 didapatkan gambaran kompresi dan dislokasi pada vertebra thorakal IX. Pasien selanjutnya juga menjalani pemeriksaan CT-Scan untuk melihat kerusakan tulang lebih jelas. Dari pemeriksaan CTScan tanggal 28 Agustus 2013 ditemukan tampak fraktur pada permukaan atas bagian depan corpus vertebra thorakal IX, corpus thorakal IX tampak bergeser ke belakang, tampak gambaran spinal stenosis setinggi Thorakal IX. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosis pasien ini adalah Spinal Cord Injury Frankel A dan Fraktur Dislokasi Vertebra Thorakal IX + Ulkus Dekubitus. Penatalaksanaan pada pasien saat ini adalah IVFD RL gtt xx/menit, antibiotik ceftriaxone 2x1 gr, ganti verban setiap hari untuk perawatan ulkus dekubitus, dan diet nasi biasa agar asupan nutrisi pasien tetap terjaga. Selanjutnya pasien di berikan penatalaksanaan konservatif dengan

thorakolumbal sacral orthosis. Berdasarkan literature, fraktur dislokasi merupakan fraktur yang tidak stabil, seharusnya pasien diberikan tatalaksana operatif namun melihat keadaan klinis pasien yang sudah dapat mobilisasi dan juga tidak mengeluh adanya nyeri punggung lagi maka tatalaksana dapat kita berikan dengan konservatif. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, sedangkan quo ad functionam malam. Prognosis ditentukan dari luas lesi (pada pasien ini trauma medulla spinalis komplit), tindakan dini (penatalaksaan pasien ini terlambat), dan komplikasi penyulit dalam hal ini ulkus dekubitus.

24

DAFTAR PUSTAKA

Blumenfeld H. 2002. Neuroanatomy Through Clinical Cases. Sanauer Assiciates, Inc. Boos N. dan Aebi M. 2008. Spinal Disorders: Fundamental of Diagnosis and Treatment. Springer. Dennis H. H. dan Tak H. H. 2011. A Review of Thoracolumbar Spine Fracture Classifications. Journal of Orthopaedics and Trauma. Vol 1. Singapore Gondim F. A. 2013. Topographic and Functional Anatomy of The Spinal Cord. Tersedia dalam: http://emedicine.medscape.com/article/1148570-

overview, diakses tanggal 20 Juli 2013 Greene W. B. 2006. Netters Orthopaedics (1st Edition). Elsevier. U.S. A Sjamsuhidajat R. Dan Jong W. D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah (edisi ke-2). EGC, Jakarta, Indonesia. Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran (edisi ke-6). Terjemahan oleh: Liliana Sugiharto, dkk. EGC, Jakarta, Indonesia.

You might also like