You are on page 1of 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. ETIOLOGI 1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax. 2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.

ANATOMI Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk. Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus.

Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru paru normal, hanya ruang potensial yang ada. Diafragma muskular bagian kartilago lumbalis, perifer bawah kosta, dan bagian berasal iga dari dari bagian dari

keenam vertebra lengkung muskuler tendo

lumbokostal, melengkung sentral.

membentuk Nervus motorik

frenikus dari

mempersarafi berperan dalam ventilasi paru paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.

interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut

PATOFISIOLOGI Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).

INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN. 1. Pengelolaan penderita terdiri dari : a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation. b. Resusitasi fungsi vital. c. Secondary survey yang terinci. d. Perawatan definitif. 2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya. 3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin. 4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum. 5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma trauma yang bersifat khusus.

KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX A. Trauma dinding thorax dan paru. 1) Fraktur iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga ke 4 sampai ke 9 )

2) Flail chest. Flail chest biasa terjadi karena trauma tumpul misalnya pada kejadian kecelakaan lalu lintas, dimana terjadi fraktur iga multiple pada dua tempat yang menyebabkan suatu segmen dinding dada terlepas dari kesatuannya sehingga beberapa iga menusuk ke dalam paru dan menyebabkan rasa nyeri saat benapas. Pada flail chest terjadi pernapasan paradoksal artinya pada saat inspirasi dada yang sakit tidak akan mengalami pengembangan dan pada saat ekpirasi justru mengalami pengembangan, hal ini disebabkan oleh karena pada saat inspirasi iga yang patah akan tertarik ke dalam menusuk paru karena tekanan negatif dalam rongga pleura, dan saat ekspirasi iga yang patah akan terdorong keluar karena tekanan positif dalam rongga pleura. Penderita akan menjadi sesak napas karena gerakan pernapasan paradoksal tersebut menimbulkan rasa nyeri saat inspirasi sehingga penderita tidak dapat bernapas dalam padahal pada saat tersebut penderita sangat membutuhkan zat asam/oksigen, lama kelamaan penderita akan menjadi sianosis, paru dapat mengalami atelektasis karena tidak mengembang/kolaps, hipoksia, dan hiperkapnia, laju pernapasan dapat mencapai 40x/menit atau lebih (bila pasien tidak pingsan/sadar, sedangkan bila dalam keadaan tidak sadar, pasien tampak berupaya bernapas dengan keras tetapi hanya sedikit udara yang dikeluarkan/mengalir; juga dapat dilihat gerakan napas paradoksal) Penanganan pada kejadian flail chest yang pertama kali dilakukan adalah dengan memfiksasi iga yang patah agar tidak bergerak, dapat dipakai kasa yang ditutup plester yang kuat atau dapat juga dengan menggunakan traksi pada tulang iga yang patah. Prinsip dari pertolongan pada flail chest adalah mencegah gerakan iga yang tidak beraturan pada saat gerakan pernapasan berlangsung, sehingga iga tidak menusuk ke paru dan tidak timbul rasa sakit dan akhirnya penderita dapat bernapas dengan normal kembali, mengurangi ruang rugi (dead space) pada pernapasan serta menangani contusio paru yang terjadi akibat trauma. Rasa sakit dapat dihilangkan dengan pemberian analgetik

3) Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu. 4) Pneumotoraks dikibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul.Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru

yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube lpada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk. 5) Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound ) Defek atau luka yang besar plada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa pnutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.

Pneumothorax terbuka. Mediastinum bergerak dari kiri kekanan dan sebaliknya (gerak bandul). A. Inspirasi : udara masuk melalui luka dan menggeser mediastinum kesisi yang sehat krn tekanan inspirasi tidak seimbang dikiri dan kanan B. Ekspirasi : udara keluar dari luka, mediastinum pindah ke sisi yang luka. Pernapasan disisi yang tidak luka tentu terganggu dan ventilasi jauh dari 6) Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral. Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vnea jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding

dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax jug adapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosisi merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat membedakan keduanya. Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi plneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris. 7) Hemothorax. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma

tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus dipertimbangkan. 8) Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Penyebab hemothoraks biasanya adalah trauma pada dinding dada, dimana pada pasien dengan hemothoraks biasa tidak merasa nyeri kecuali pada luka yang ada pada dinding dada tersebut. Luka di pleura viseralis pada umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Pada rongga thoraks dapat terkumpul banyak darah sehingga gejalagejala yang terlihat pada pasien dengan hemothoraks adalah anemia, syok hipovolemik, sesak napas, pekak pada perkusi, suara napas berkurang, dan CVP tidak meninggi (tetap normal). Diagnosa banding hemothoraks adalah semua kelainan yang menyebabkan perdarahan dari sumber non-trauma di rongga dada, seperti : cedera akibat tindakan bedah, aneurisma aorta yang pecah, hemothoraks spontan, keganasan, infark paru, TBC paru, periarteritis nodosa. Hemothoraks sendiri dibagi menjadi 3 derajat berdasarkan bayangan cairan yang ada tampak pada foto rontgen dan pekak pada perkusi ketika pemeriksaan fisik, antara lain :

Tabel 1. Derajat hemothoraks dan penanganannya Besarnya Bayangan foto Rontgen Penanganan Pemeriksaan fisik

Ukuran

Kecil

0-15%

Pekak sampai Iga IX. Pekak sampai Iga VI. Pekak sampai kranial, Iga IV.

Fisioterapi

Sedang

15-35%

Aspirasi dan transfusi.

Besar

>35%

WSD dan transfusi.

Pada Hemothoraks WSD dipasang serendah mungkin, biasanya antara ICS VII atau VIII. Pada hemothoraks yang lebih dari 1.500cc maka harus segera dilakukan torakotomi untuk menghentikan perdarahan yang ada atau bila perdarahan yang keluar setelah pemasangan WSD adalah 100cc/jam selama 6 jam atau lebih maka juga merupakan indikasi untuk melakukan tindakan torakotomi dengan segera. Perdarahan tersebut diatas biasanya berasal dari pembuluh darah yang ada di sela-sela iga. Sedangkan bila sumber perdarahan berasal dari paru bagian bawah maka biasanya akan berhenti dengan sendirinya pada saat telah dilakukan dekompresi dari cavum pleura dengan pemasangan WSD, hal ini menyebabkan pengembangan kembali paru-paru yang kemudian akan menekan perdarahan yang terjadi. Pemeriksaan foto Rontgen dapat membantu menegakkan diagnosa dan menentukan tindakan yang harus diambil. Foto rontgen paling baik diambil pada posisi lateral decubitus (kanan/kiri tergantung dari letak hemothoraks), karena pada posisi foto tegak (up-right) biasanya darah baru terlihat setelah diafragma. > dari 400-500 cc karena tertutup oleh

Penanganan dari hemothoraks akibat trauma harus memperhatikan tiga hal yaitu berapa banyak perdarahan yang terjadi, apakah perdarahan tersebut terus berlangsung dan bila perdarahan telah berhenti dan membentuk gumpalan, kapan bekuan darah tersebut harus dievakuasi. Bila hemothoraks hanya kecil (tampak sudut costofrenikus sedikit tumpul atau sedikit menonjol) maka tidak perlu dilakukan evakuasi dan cukup hanya di follow-up dengan melakukan foto rontgen serial dengan interval waktu tertentu. Tetapi ketika hemothoraks yang ada melebihi sulcus costofrenikus atau diserta dengan adanya pneumothoraks maka harus dipasang WSD untuk mengeluarkan cairan yang ada di cavum pleura. WSD lebih efektif bila ditambah dengan alat hisap untuk mengeluarkan bekuan darah. Bila ternyata perdarahan berlangsung terus menerus dan tidak terjadi mekanisme pembekuan maka tindakan torakotomi harus segera dilakukan. 9) Cedera trakea dan Bronkus. Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas. Empisema mediastinal dan servical dalam atau pneumothorax dengan kebocoran udara masif. Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa endotrakea ( melalui kontrol endoskop ) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan mencegah aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax atau pneumothorax.

B. Trauma Janung dan Aorta 1) Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik. Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisi, distensi vena leher tidak

ditemukan bila keadaan penderita hipovlemia dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai keadaan lain. Pemerikksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi (lihat Bab 5, Trauma abdomen, V.F, Studi diagnostik spesifik pada trauma tumpul). Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adaah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan indiksi untuk melakukan tindakan

perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan. Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated

needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia. 2) Kontusio Miocard . Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin bervariasi dari ptekie epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural. Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan perubahan gelombang T ST yang non spesifik atau disritmia. Adapun penatalaksanaan berupa suportif. 3) Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium. Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma. Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang multipel, sinus takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dpat disebabkan adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya disrtimia akut, dan

harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.

PENATALAKSANAAN TRAUMA THORAX Prinsip

Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary survey - secondary survey)

Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)

Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah : portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.

Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa.

Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma.

Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).

Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation) merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular.

PRIMARY SURVEY Airway Assessment :


perhatikan patensi airway dengar suara napas perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada

Management :

inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas

re-posisi kepala, pasang collar-neck lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)

Breathing Assesment

Periksa frekwensi napas Perhatikan gerakan respirasi Palpasi toraks Auskultasi dan dengarkan bunyi napas

Management:

Lakukan bantuan ventilasi bila perlu Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open pneumotoraks, hemotoraks, flail chest

Circulation Assesment

Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi Periksa tekanan darah Pemeriksaan pulse oxymetri Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)

Management

Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines Torakotomi emergency bila diperlukan Operasi Eksplorasi vaskular emergency

DAFTAR PUSTAKA
1. Gopinath N, Invited Arcticle Thoracic Trauma, Cardiovascular Surgery Vol. 20, Number 3, 144-148. 2. Viano D, Lau I, Asbury C. Biomechanics of the human chest, abdomen and pelvis in lateral impact. Accid Anal Prev 1989;21:553 74. 3. Kleinman PK, Schlesinger AE. Mechanical factors associated with posterior rib fractures: laboratory and case studies. Pediatr Radiol 1997;27:87 91. 4. S. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 7181. 5. Zuckerman S. Experimental study of blast injuries to the lungs. Lancet 1940;2:219 24. 6. Hooker DR. Physiological effects of air concussion. Am J Physiol 1924;67(2):219 74. 7. Wightman JM, Gladish SL. Explosions and blast injuries. Ann Emerg Med 2001;37:664 78. 8. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 7181. 9. Mosby Inc. Elsevier Chapter 26. Thoracic Trauma. 2007 10. Dave Lloyd, MD. Thoracic Trauma. Indian Journal of Thoracic and

www.doh.wa.gov/hsqa/emstrauma/OTEP/thoracictrauma.ppt 11. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. 1997

You might also like