You are on page 1of 21

KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya,

sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan referat Bedah dengan mengambil judul TRAUMA KEPALA Tugas ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan Ilmu Bedah di RSUD Soreang. Penyelesaian tugas ini juga tak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan hati saya haturkan ucapan terima kasih kepada pembimbing dr.Yeppy A.N., Sp.B, FINaCS, MM. Saya sangat menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, oleh karena itu saya berharap kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan tugas ini dan sebagai bekal saya untuk menyusun tugas-tugas lainnya dikemudian hari. Semoga referat ini banyak memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Soreang, 22 Juli 2013

ERMI ATIYAH

BAB I PENDAHULUAN Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat darurat suatu rumah sakit. No head injury is so serious that it should be despaired of, nor so trivial as to be lightly ignored, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat

mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh dkk, 2009). Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus (1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala disebabkan oleh terjatuh. Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anakanak bila dibandingkan dengan pasien dewasa. Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat kekerasan (Bener A dkk. 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TRAUMA KEPALA 2. 1 Definisi Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (Asrini, 2008 ). Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)

2.2 Epidemiologi Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia (Maas AIR dkk, 2008). Insiden cedera kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per 100.000 populasi (Lingsma HF dkk, 2010). Insiden cedera kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400 per 100.000 pasien per tahun (Moppett IK dkk, 2007). Langlois et al mendapatkan bahwa lebih dari 1,1 juta orang di Amerika Serikat menderita cedera kepala setiap tahunnya (Shiroma EJ dkk, 2010). Gururaj et al pada tahun 2004 mendapatkan bahwa insiden cedera kepala di India setiap tahunnya adalah 160 per 100.000 populasi (Critchley G dkk, 2009). Data dari kepolisian RI 2009 menyebutkan , sepanjang tahun itu terjadi sedikitnya 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya, artinya dalam tiap 9,1 menit sekali terjadi satu kasus kecelakaan. (Departemen perhubungan, 2010). Di Indonesia, sebagian besar (70%) korban kecelakaan lalu lintas adalah pengendara sepeda motor dengan golongan umur 15-55 tahun, dan cedera kepala merupakan urutan pertama dari semua jenis cedera yang dialami korban kecelakaan. Proporsi disabilitas
3

(ketidakmampuan) dan angka kematian karena kecelakaan masih cukup tinggi yaitu sebesar 25% dan upaya untuk mengendalikannya dapat dilakukan melalui tatalaksana penanganan korban kecelakaan di tempat kejadian kecelakaan maupun setelah sampai di sarana pelayanan kesehatan. Kejadian ini terjadi seiring meningkat pesatnya jumlah kendaraan bermotor di Indonesia. 2.3 Anatomi 1. Kulit Kepala (Scalp) Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : a. Skin atau kulit b. Connective Tissue atau jaringan penyambung c. Aponeurosis atau galea aponeurotika d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar e. Perikranium. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak. 2. Tulang Tengkorak Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan serebelum. 3. Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari

kranium. Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior

mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari cranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang subaraknoid. 4. Otak Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat

pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri. 5. Cairan serebrospinal Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid. 6. Tentorium Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). 2.4. Fisiologi Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain : 1. Tekanan Intra Kranial Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas seharihari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai

kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah

satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial (Lombardo,2003 ). 2. Hipotesa Monro-Kellie Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ). Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal (Lombardo, 2003).

2.5. Patofisiologi Trauma Kapitis Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci.

Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ). Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009). Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).

2.6. Klasifikasi Trauma Kapitis Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

1. Mekanisme Cedera Kepala Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan. 2. Beratnya Cedera Kepala Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :

3. Morfologi a. Fraktur Kranium Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window

10

untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.

Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut; 1. Gambaran fraktur, dibedakan atas : a. Linier b. Diastase c. Comminuted d. Depressed 2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas : a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak ) b. Basis cranii ( dasar tengkorak ) 3. Keadaan luka, dibedakan atas : a. Terbuka b. Tertutup

b. Lesi Intra Kranial 1. Cedera otak difus Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang

11

buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

2. Perdarahan Epidural Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi. 2.6. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain: 1. Pemeriksaan kesadaran Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat

12

GCS 9 13 GCS > 13

: cedera kepala sedang : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.

13

2. Pemeriksaan Pupil Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala. 3. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

14

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman laserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

2.7. Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974 (Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Sastrodiningrat, 2007 ). Sejak itu GCS merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera terutama sebelum mendapat obatobat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosa ( Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat, 2007). Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi prediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid ) mempunyai mortalitas 90 %. Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60 tahun merupakan kombinasi yang mematikan (Kelly dkk., 1996 dalam Sastrodiningrat, 2007).
15

Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting (American Association of Neurological Surgeons, 2000 dalam Sastrodiningrat, 2007). 2.8. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis a. X-ray Tengkorak Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. XRay tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of Labor and Employment, 2006).

b. CT-Scan Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam

Sastrodiningrat, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relative normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ). c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai

16

prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk, 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007). Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ). 2.9. Tatalaksana trauma kepala Penatalaksanaan cedera kepala ringan: Observasi atau dirawat di RS : - CT Scan tidak ada - Semua cedera tembus - Riwayat hilang kesadaran - Kesadaran menurun - Riwayat sakit kepala sedangberat - Intoksikasi alkohol atau obat2an - Kebocoran likuor - Cedera penyerta yg bermakna - Tidak ada keluarga di rumah - GCS < 15 - Defisit neurologis fokal Dipulangkan dari RS : - Tidak memenuhi kriteria rawat - Diskusikan kemungkinan kembali ke RS bila memburuk dan berikan lembar observasi - Jadwalkan untuk kontrol

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG Bila kondisi membaik (90%) : Bila kondisi memburuk (10%) : Pulang dan kontrol Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

17

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA BERAT: Def: Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8) Pemeriksaan dan Penatalaksanaan : ABCDE Primary survey dan resusitasi Secondary survey dan riwayat AMPLE Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan perawatan definitive Bedah Saraf Reevaluasi neurologis: GCS Obat-obatan Tes diagnostik : CT scan Ventrikulografi Udara Angiogram Terapi Medikamentosa untuk cedera otak: 1.Cairan Intravena Cairan yang dianjurkan adalah larutan garam fisiologis / Ringers Lactate 2.Manitol Untuk menurunkan TIK yang meningkat. Dosis : 1 g/kgBB Indikasi :deteriorasi neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau hilangnya kesadaran saat pasien dalam Jangan beri manitol dosis tinggi pada pasien hipotensi 3.Furosemid diberi bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis : 0,3-0,5 mg/kgBB 4.Barbiturat menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. jangan beri pada pasien hipotensi atau hipovolemi 5.Antikonvulsan Epilepsi pascatrauma berkaitan dengan 3 faktor yaitu :
18

- kejang awal yang terjadi pada minggu pertama - perdarahan intracranial - fraktur depresi Fase akut : fenitoin dan fosfenitoin dengan dosis dewasa 1 g dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit diberi secara IV. Dosis pemeliharaan : 100 mg/8jam Invasif Kriteria sederhana sebagai patokan indikasi operasi adalah : 1. Lesi massa intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis tengah yang mmelebihi 5mm 2. Lesi massa ekstra aksial yang tebalnya melebihi 5 mm tabula interna tengkorak dan berkaitan dengan pereseran arteri serebri anterior atau media 3. Lesi massa ekstra aksial bilateral melebihi 5mm 4. Lessi massa intra aksial lobus temporalis menyebabkan elevasi hebat dari arteri serebri media atau mennyebabkan pergeseran garis tengah. 2.10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prognosis Cedera Kepala Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators (2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3 dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap sebagai 3.

19

DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons, 2004. Cedera Kepala dalam : American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. IKABI, 167 186. Asrini,S., 2008. Peranan Post Traumatic Amnesia (PTA) dan Parameter Laboratorium sebagai Prediktor Terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan Sedang. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik. Available from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789. [Accessed 13 Juli 2013] Bener A, Rahman YS, Mitra B. 2009. Incidence and severity of head and neck injuries in victims of road traffic crashes: In an economically developed country. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [Acessed 14 Juli 2013]. Brain Injury Association of Michigan, 2005. Traumatic Brain Injury ProviderTraining Manual. Michigan Department Of Community Health Burns, J.Jr., and Hauser, W.A., 2003. The Epidemiology of Traumatic Brain Injury :A Review. Epilepsia, Suppl 10 : 2-10. Critchley G, Memon A. Epidemiology of Head Injury in head injury: a multidisciplinary approach, ed. Peter C. Whitfield, Elfyn O. Thomas, Fiona Summers, Maggie Whyte and Peter J. Hutchinson. Cambridge University Press. 2009. P 1-9. Dahlan, M. Sopiyudin., 2008. Langkah-langkah Membuat Proposal PenelitianBidang Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Sagung Seto. Dawodu, S., T., 2009. Traumatic Brain Injury (TBI)-Definition, Epidemiology,Pathopysiology.Available from : www.medscape.com/viewarticle/706300 [Accesed 14 Juli 2013 ] Division of Workers Compensation, 2006. Traumatic Brain Injury MedicalTreatment Guidelines. State of Colorado Department of Labor and Employment Karbakhsh M, Zandi NS, Rouzrokh M, Zarei MR, 2009. Injury epidemiology in Kermanshah: the National Trauma Project in Islamic Republic of Iran. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed [Acessed 13 Juli 2013] Kirsch, T.D., and Lipinski, C.A., 2004. Head Injury. Dalam : Tintinalli, J.E., Kelen, G.D., and Stapczynski, J.S., Emergency Medicine A Compeherensive Study Guide. McGraw-Hill, 1557 1569. Lingsma HF, Roozenbeek B, Steyerberg EW, Murray GD, Maas AIR. Early prognosis in traumatic brain injury: from prophecies to predictors. Lancet Neurol. 2010; 9: 543-54. Lombardo, M.C.,2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam : Price, S.A., dan Wilson,L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
20

Maas AIR, Stocchetti N, Bullock R. Moderate and severe traumatic brain injury in adults. Lancet Neurol. 2008; 7: 728-41. Moppett IK. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and early management. Br J Anaesth. 2007; 99: 18-31. MRC CRASH Trial Collaborator, 2008. Predicting Outcome After Traumatic Brain Injury : practical prognostic models based on large cohort of international patients. BMJ, 336 : 425 429. Available from : http://www.bmj.com/cgi/content/full/bmj.39461.643438.25 Sjamsuhidajat R, dan Jong WD., 2003, Trauma dan Bencama: Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta; 89-117 Shiroma EJ, Ferguson PL, Pickelsimer EE. Prevalence of traumatic brain injury in an offender population: a meta analysis. J Head Trauma Rehabil. 2010; 27: 1-10.

21

You might also like