You are on page 1of 14

Mikropropagasi Kelapa Sawit guna Meningkatkan Produksi Kelapa Sawit sebagai Bahan Baku Minyak dan Biodiesel

Oleh: Tri Wahyu Setyaningrum 4401411148

ABSTRAK Kebutuhan dunia akan minyak (untuk makan, kosmetik,farmasi, minyak industri) dan bahan bakar terus meningkat. Pemilihan kelapa sawit (Elaeis guineesis jacq) sebagai bahan baku minyak bukan tanpa alasan. Kualitas minyak kelapa sawit adalah yang pertama, benarbenar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain, rendah kolesterol dan memiliki kandungan karoten tinggi. Sehingga cocok untuk digunakan sebagai bahan industri pangan. Selain itu, kelapa sawit yang merupakan penghasil minyak nabati memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar fosil mengingat kebutuhan minyak solar yang terus meningkat. Hal inilah yang menuntut adanya peningkatan produksi minyak kelapa sawit yang unggul dan berkualitas. Maka, untuk dapat meningkatkan produksi kelapa sawit yang unggul dan berkualitas tanpa menghabiskan banyak lahan, dapat menggunakan teknik kultur jaringan mikropropagasi. Mikropropagasi merupakan teknik kultur jaringan melalui perbanyakan bibit tanaman secara aseptik dalam media berisi nutrisi teroptimasi. Mikropropagasi adalah metode perbanyakan tanaman dengan memanfaatkan teknik in vitro. Langkah Mikropropagasi kelapa sawit adalah yang pertama,seleksi dan persiapan pohon induk, tahap ini dilakukan sebelum eksplan dilakukan perbanyakan. Yang kedua, tahap induksi (inisiasi), tahapan ini sangat penting untuk bagi keberhasilan mikropropagasi. Yang ketiga adalah tahap perbanyakan (multiplikasi), tujuan dari tahap ini adalah untuk memperoleh dan memperbanyak tunas. Yang keempat adalah persiapan planlet sebelum aklimatisasi (tahap untuk pengakaran). Yang terakhir yaitu tahap aklimatisasi, yaitu tahapan pemindahan planlet dari kondisi in vitro ke kondisi eks vitro. Kata kunci: kelapa sawit, minyak, biodiesel, mikropropagasi

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai penghasil komoditas kelapa sawit terbesar di dunia, yakni sekitar 25 juta ton per-tahun, memiliki potensi industri kelapa sawit yang kian prospektif. Hal ini tampak dari jumlah permintaan kelapa sawit yang terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk di dunia. Menurut Ahmad Suryana, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, pemintaan domestik atas kelapa sawit dapat meningkat sekitar 2,2 persen pertahun hanya dari sektor pangan (metrotvnews, Jumat, 30 November 2012 11:06 WIB). Hal ini tentu saja selaras dengan pertumbuhan areal perkebunan. Terbukti di tahun 2012 total area kelapa sawit pada 2012 juga mencapai 8,2 juta hektare (ha). Selain dipandang sebagai suatu keberhasilan, hal ini juga merupakan tantangan yang harus disikapi dengan arif dimana pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia berdampak merusak sumber daya alam dan kelestarian lingkungan hidup. Namun diluar dari permasalahan tersebut, manfaat dari kelapa sawit (Elaeis guineesis jacq) tidak dapat dipungkiri lagi. Kelapa sawit (Elaeis guineesis jacq) memiliki 2 manfaat pokok yaitu sebagai bahan baku pembuatan minyak yang unggul dan berkualitas dan juga dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif Biodisel. Selain 2 manfaat tersebut, kelapa sawit juga dapat dimanfaatkan sebagai nutrisi pakanan ternak dan bahan pupuk kompos (cangkang hasil pengolahan), sebagai bahan dasar industri lainnya (industri sabun, industri kosmetik, industri makanan), sebagai obat karena kandungan minyak nabati berprospek tinggi, serta sebagai bahan pembuat particle board (batang dan pelepah). Mengingat banyaknya manfaat kelapa sawit tersebut, maka diperlukan upaya untuk meningkatkan produksi kelapa sawit tanpa mengorbankan hutan tropis untuk perkebunan kelapa sawit. Banyak cara yang dapat dilakukan guna meningkatkan produksi kelapa sawit diantaranya adalah jalur bioteknologi pertanian. Program bioteknologi pertanian dititik beratkan pada konservasi kelapa sawit, peningkatan kualitas tanaman dan perbanyakan bibit-bibit bermutu kelapa

sawit. Peningkatan kualitas tanaman ditujukan pada peningkatan produktivitas, komposisi dan kandungan potensial dalam tanaman dan ketahanan terhadap hama dan penyakit. Bioteknologi pertanian kelapa sawit yang akan dikupas pada bagian pembahasan adalah teknologi mikropropagasi tanaman. Suatu teknologi perbanyakan bibit tanaman secara aseptik dalam media berisi nutrisi teroptimasi. Diharapkan dengan peningkatan produktivitas, komposisi dan kandungan potensial dalam kelapa sawit dan ketahanan terhadap hama dan penyakit mampu mengurangi penggunaan lahan serta pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tidak akan terjadi.

GAGASAN

Kebutuhan dunia akan minyak (untuk makan, kosmetik,farmasi, minyak industri) dan bahan bakar terus meningkat. Pemilihan kelapa sawit (Elaeis guineesis jacq) sebagai bahan baku minyak bukan tanpa alasan. Kualitas minyak kelapa sawit adalah yang pertama, benarbenar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi (Departemen perindustrian, 2007). Sehingga cocok untuk digunakan sebagai bahan industri pangan. Selain itu, kelapa sawit yang merupakan penghasil minyak nabati memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar fosil mengingat kebutuhan minyak solar yang terus meningkat. Hal inilah yang menuntut adanya peningkatan produksi minyak kelapa sawit yang unggul dan berkualitas.

Kelapa Sawit sebagai Bahan Baku Minyak Kelapa sawit sebagai bahan baku minyak tidak bisa dipungkiri lagi. Berbagai penelitian telah menunjukan bahwa kualitas minyak yang dihasilkan dari kelapa sawit berkualitas. Sebagai bahan baku minyak, Elaeis guineesis jacq.(kelapa sawit) secara morfologi buahnya memang mengandung minyak. Berikut ini adalah deskripsi kelapa sawit secara morfologi dan fisiologi: a. Daun Daunnya merupakan daun majemuk. Daun berwarna hijau tua dan pelapah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya sangat mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. b. Batang Batang tanaman diselimuti bekas pelapah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga menjadi mirip dengan tanaman kelapa. c. Akar Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi.

d. Bunga Bunga jantan dan betina terpisah dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar. e. Buah Menurut Departemen Perindustrian (2007), Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Buah terdiri dari tiga lapisan: a) Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin. b) Mesoskarp, serabut buah c) Endoskarp, cangkang pelindung inti. Inti sawit merupakan endosperm dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi.Oleh karena itu, bagian yang paling utama untuk diolah dari kelapa sawit adalah buahnya. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin. Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika.Buah diproses dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90C.Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur. Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos. Selain itu menurut Ardi Astianto (2011), abu boiler yang merupakan limbah padat pabrik kelapa sawit hasil dari sisa pembakaran cangkang dan serat di dalam mesin boiler, dapat diberikan sebagai pupuk bagi tanaman kelapa sawit. Hasil penelitian pada jurnal tersebut menunjukan bahwa peningkatan dosis abu boiler yang diberikan pada tanaman kelapa sawit menunjukan pengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman, pertambahan diameter bonggol, pertambahan jumlah daun, berat kering tanaman dan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter volume akar .

Dari penjelasan di atas, terbukti bahwa kelapa sawit memiliki potensi tinggi sebagai bahan baku minyak yang berkualitas tinggi. Bahkan, limbah sisa pengolahan kelapa masih bermanfaat, maka tidak heran jika kebutuhan manusia terhadap kelapa sawit terus meningkat. Oleh karena itu, produksi kelapa sawit yang unggul dan berkualitas memang harus ditingkatkan.

Kelapa Sawit Sebagai Biodiesel Seperti penjelasan sebelumnya, kelapa sawit merupakan tanaman yang telah dibudidayakan secara intensif di Indonesia, khususnya dalam pembuatan CPO (crude plam oil) sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng, sabun di dalam negeri atau dieskpor. Oleh karena itu, bila ditinjau terhadap kesiapan ketersediaan bahan baku, maka kelapa sawit merupakan bahan yang paling potensial untuk dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Proses pembuatan minyak nabati dari kelapa sawit menjadi biodiesel bukan tidak mungkin. Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Martini Rahayu (2008P) minyak nabati yang merupakan trigliserida diolah melalui reaksi transesterifikasi dengan methanol akan menghasilkan, gliserin, metil stearate, metil oleate. Kemudian Metil oleate atau biodiesel dan gliserin dipisahkan melalui suatu tangki-pengendap. Setelah gliserin dipisahkan larutan dicuci dengan air selanjutnya didistilasi sehingga menghasilkan biodiesel sesuai standard yang diinginkan. Produk akhirnya yaitu biodiesel yang merupakan bahan bakar untuk mesin/motor menghasilkan emisi NOx lebih sedikit tinggi, tetapi emisi CO yang lebih rendah dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan dalam pemanfaatan BBM. Oleh karena itu, telah terbukti bahwa kemampuan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel sebagai pengganti bahan bakar fosil tidak diragukan lagi. Tetapi, berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Agus Sugiyono(2008), produksi CPO dari kelapa sawit untuk biodiesel tersebut diperuntukkan untuk keperluan non energi seperti bahan baku pembuatan minyak goreng, sabun dan ekspor, sehingga bila CPO yang ada dipergunakan sebagai bahan baku biodiesel dikhawatirkan akan dapat mengganggu pasokan non energi tersebut. Oleh karena itu diperlukan peningkatan kelapa sawit khusus untuk pasokan bahan baku biodiesel. Maka,

untuk dapat meningkatkan produksi kelapa sawit yang unggul dan berkualitas tanpa menghabiskan banyak lahan, diperlukan teknik kultur jaringan

mikropropagasi yang perlu dikembangkan lagi.

Mikropropagasi untuk Meningkatkan Produksi Kelapa Sawit yang Unggul dan Berkualitas. Dari kedua subbab mengenai kegunaan minyak sawit di atas, disimpulkan bahwa keunggulan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak dan biodiesel tidak bisa dipungkiri lagi. Maka, untuk memenuhi kebutuhan akan kelapa sawit, teknik Mikropropagasi sangat tepat untuk meningkatkan produksi kelapa sawit yang unggul dan berkualitas. Mikropropagasi merupakan teknik kultur jaringan melalui perbanyakan bibit tanaman secara aseptik dalam media berisi nutrisi teroptimasi.

Mikropropagasi adalah metode perbanyakan tanaman dengan memanfaatkan teknik in vitro. Mikropropagasi hanya akan berarti bila menggunakan bahan awal yang memadai. Oleh karena itu, pilihan atas tanaman induk perlu

dipertimbangkan dengan matang. Teknik kultur jaringan ini melalui berbagai tahapan: Tahap 1: Seleksi dan Persiapan Pohon Induk Tahap ini dilakukan sebelum eksplan dilakukan perbanyakan. Terdiri atas 2 tahap yaitu: 1. Seleksi pohon induk Berdasarkan buku keluaran Institut Pertanian Bogor, seleksi tanaman kelapa sawit unggul dilakukan dengan 2 cara yaitu Reciprocal Recurrent Selection (RRS) dan Family and Individual Palm Selection (FIPS). Pada setiap prosedur seleksi melibatkan dua populasi dasar, yaitu populasi dura dan populasi tenera/ pisifera. Pada prinsipnya metode pemuliaan RRSadalah memperbaiki secara serentak daya gabung (combining ability) dari dua grup individu A dan B yang dicirikan dengan : _ Grup A (Dura) meliputi jenis kelapa sawit yang menghasilkan tandan sedikit tetapi dengan tandan yang besar.

_ Grup B (Pisifera, Tenera) adalah kelapa sawit yang menghasilkan banyak tandan tetapi berukuran relatif kecil. Tanaman-tanaman didalam grup A disilangkan dengan tanaman dari grup B, dan hibrida yang dihasilkan kemudian ditanam di pengujian projeni (comparative trial/ progeny test). Pengujian yang dilakukan akan dapat mengklasifikasi tingkatan famili persilangan (lini) dan mengevaluasi daya gabung genitor-genitor pada famili tersebut yang pada akhirnya akan diperoleh suatu kombinasi hibrida yang terbaik. Pada waktu yang bersamaan, sejumlah tanaman pada masing-masing grup dikawinkan sendiri (selfing) dan disilangkan. Pemilihan pohon induk dilakukan sejak pembibitan hingga tanaman sudah menghasilkan. Pemilihan dilakukan baik secara populasi maupun individual dalam persilangan sehingga dapat diketahui karakternya. Pengamatan tersebut yaitu : a. Pembibitan : pertumbuhan (lilit batang, tinggi, jumlah daun, perakaran, bahan kering, keragaman, dan lain-lain). Pengukuran dilakukan secara individu seluruhnya atau sebagian yang mewakili. Pengukuran umumnya dilakukan satu kali sebulan sampai umur 12 bulan. Sifat sekunder lainnya pengamatan terhadap persentase abnormalitas, ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan lain-lain. b. Sebelum menghasilkan (umur 1-2.5 tahun di lapangan) : pertumbuhan vegetatif diukur berdasarkan parameter yang ditetapkan (tinggi, jumlah daun,panjang pelepah, lebar dan panjang anak daun, petiole, dan lain-lain). Perkembangan generatif (pengamatan kecepatan berbunga, legitimasi, sexratio.). Sifat sekunder lainnya seperti kepekaan terhadap hama dan penyakit, dan lain-lain. c. Sesudah menghasilkan (umur 2.5-9 tahun atau lebih) : pengamatan pertumbuhan vegetatif. pada Tanaman Menghasilkan (TM) dilakukan 6 bulan sekali. Disamping itu, dilakukan pengamatan khusus seperti stomata, kadar asimilasi, mitokondria, dan lain-lain. Pengamatan perkembangan generatif seperti penimbangan produksi tandan secara individual seminggu sekali, pengambilan contoh analisa tandan bagi pohon yang ditetapkan (dipilih) dan analisa komposisi minyak. Pengamatan lainnya adalah

kepekaan terhadap hama dan penyakit, toleransi terhadap lingkungan, dan lain-lain. 2. Persiapan Tahap ini dilakukan untuk mengatasi besarnya permasalahan kontaminasi oleh mikroorganisme, baik mikroorganisme penyakin maupun bukan penyebab penyakit. Misalnya dengan menanam tanaman induk di rumah kaca di bawah kondisi yang higienis: dapat secara nyata mengurangi resiko kontaminasi.

Tahap 2: Tahap Induksi (Inisiasi) Menurut Zulkarnain (2005), tujuan tahap ini adalah untuk mendapatkan kultur yang asenik. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pada tahap ini adalah faktor eksplan yang dikulturkan. Pada kebanya sistem mikropropagasi eksplan yang digunakan adalah tunas apikal(tunas aksilar). Laju keberhasilan pada tahap ini sangat ditentukan oleh: umur tanaman, induk darimana bahan eksplan diambil, umur fisiologi bahan eksplan, tahap perkembangan eksplan dan ukuran bahan eksplan. Menurut Neneng Garnita Wardjo (2006), tahap inisiasi dan proliferasi embrio yang optimum dengan teknik embriogenesis somatik memiliki potensi yang tinggi. Kultur inisiasi suspensi yang bersifat embriogenik dibuat dengan menggunakan kultur kalus embriogenik meremah yang diinisiasi dari potongan daun daun muda kelapa sawit. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Neneng(2006), medium yang paling optimum untuk menginduksi kalus embriogenik dari eksplan daun muda kelapa sawit Elaeis guineensis, Jacq. klon 635 adalah: 1. medium induksi kalus embriogenik(MIKE) dengan konsentrasi 2,4-D 100 ppm 2. medium MIS dengan konsentrasi 2,4-D 100 ppm. 3. Medium MPSI dengan konsentrasi 2,4-D 50 ppm Dari hasil penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa Kepadatan embrio yang paling optimum untuk proliferasi adalah 10 embrio/20 ml medium. Menurut Azlin Che Om (2009), pengenalan rhizobakteria diazotrofik

kepada jaringan kelapa sawit ketika proses mikropropagasi secara in vitro

membolehkan wujud interaksi asosiatif awal di antara sel tumbuhan dan bakteria. Di dalam hubungan asosiatif ini, diazotrof membekalkan tumbuhan perumah dengan fitohormon dan nitrogen terikat. Diazotrof tersebut berjaya meningkatkan pertumbuhan perumah (kelapa sawit) dan mengurangkan jumlah baja N yang diperlukan untuk pertumbuhan.

Tahap 3: Tahap Perbanyakan (multiplikasi), Tujuan dari tahap ini adalah untuk memperoleh dan memperbanyak tunas. Pada tahap ini, kultur asenik yang telah dihasilkan dati tahap inisiasi dipindahkan ke medium kaya akan sitokini untuk menghasilkan pucuk dalam jumlah yang besar.

Tahap 4: Persiapan Planlet sebelum Aklimatisasi (Tahap untuk Pengakaran) Tahap ini disebut juga tahap pretransplantasi. Tujuan tahap ini adalah untuk mempersiapkan plantlet guna dipindahkan dari lingkungan heterotrop buatan di dalam wadah kultur ke lingkungan kehidupan bebas yang otrotop di rumah kaca dan di lokasi akhirnya (di lapangan). Persiapan ini tidak saja berkaitan dengan pengakaran, tetapi juga berhubungan dengan mengubah sifat-sifat fisiologis plantlet sehingga fotosintesis serta penyerapan air melalui akar dapat dirangsang, dan pengembangan resistensi terhadap kerusakan jaringan serta resistensi terhadap serangan patogen. Tahap 5: Tahap Aklimatisasi Tahap aklimatisasi ini adalah tahapan pemindahan planlet dari kondisi in vitro ke kondisi eks vitro. Plantet-plantet yang telah berakar dan yang belum berakar dikeluarkan dari dalam wadah kultur. Kemudian dicuci bersih untuk membuang sumber kontaminasi. Lalu, plantet tersebutditanamkan pada medium tanah steril(di pasteurisasi) di dalam pot kecil dnegan cara seperti biasanya. Pada awalnya plantet harus dilindungi dari kerusakan dengan menempatkannya di bawah naungan atau tenda kelembaban tinggi/ semprotan embun. Dibutuhkan waktu beberapa hari sebelum terbentuknya akar-akar baru yang berfungsi. Suhu udara diusahakan sama seperti dalam ruang kultur dan intensitas cahaya (30 % dari cahaya lingkungan) juga merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan.

Nutrisi yang terdapat di dalam medium tanah juga dapat menjadi faktor pembatas pertumbuhan. Namun, pada prinsipnya, tidak ada nutrisiyang perlu diberikan ketika tanaman berada di bawah semprotan embun (3 sampai 4 minggu setelah transplantasi).

Pengujian keabnormalitasan kultur jaringan 1. Menurut Gustaaf A Wattimen dkk (2010) menyatakan bahwa analisis abnormalitas tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) hasil kultur jaringan dengan teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dimana dengan teknik ini DNA diekstraksi dari daun muda sebanyak 0,3 g dari tiap klon percobaan, berdasarkan jurnal terdapat klon enam MK normal dan

abnormal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesamaan genetik serta pengelompokan antar genotipe normal dan abnormal dalam klon yang sama maupun antar klon, serta menetapkan pita DNA penciri untuk abnormalitas dengan RAPD. Mencegah penguapan pada saat reaksi berlangsung maka contoh dilapisi dengan 25mL mineral oil, 2. Endang Yuniastuti (2005) menyatakan bahwa pengujian keabnormalitasan kultur jaringan dilakukan metode Amplified Fragment Length

Polymorphism(AFLP) yaitu suatu metode untuk menganalisis normal dan abnormal pada klon kelapa sawit. AFLP merupakan kombinasi dari metode RAPD dengan RFLP yang dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik melalui penggandaan fragmen DNA yang dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi dengan menggunakan primer spesifik. Berbeda halnya dengan metode RAPD yang mengekstraksi daun muda dari kelapa sawit, pada metode AFLP DNA diisolasi dari buah muda dan juga daun muda klon MK 152, MK 209, dan MK 212 yang masing masing terdiri atas genotip normal, berbuah abnormal, dan berbunga jantan steril. Percobaan mencakup (i) seleksi primer AFLP yang mampu menghasilkan pita yang polimorfis, (ii) analisis kemiripan genetik, UPGMA, komponen utama dan pita pembeda antar genotip normal dan abnormal.

Menurut Neneng Garnita Wardjo (2006) dalam skripsinya yang berjudul Inisiasi dan Proliferasi Embrio Globular Kelapa Sawit (Elaeis guineesis jacq), manfaat dari Mikropropagasi Kelapa Sawit adalah: 1. Tanaman yang homogen 2. Produksi tandan buah segar yang lebih tinggi 3. Menghasilkan bibit unggul dalam waktu yang relatif cepat dan dalam jumlah yang banyak Jika 3 manfaat di atas dapat terpenuhi maka akan meningkatkan produktivitas tanaman Kelapa Sawit yang unggul dan berkualitas. Apalagi didukung dengan produksi jumlah buah yang banyak dalam 1 tumbuhan maka tidak akan adalagi pengalihan fungsi hutan tropis menjadi perkebunan kelapa sawit karena lahan yang diperlukan bisa diminimalisir.

DAFTAR PUSTAKA

Astianto, Ardi. 2011. Pemberian berbagai Dosis Abu Boiler pada Pembibitan Kelapa Sawit. Om, Azlin Che dkk. 2009. Microbial Inoculation Improves Growth of Oil Palm Plants (Elaeis guineensis Jacq.) Tropical Life Sciences Research 20(2).71 77 Rahayu, Martini. 2008. Teknologi Proses Produksi Biodiesel. Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak. 17-27

Sektetariat Jenderal Departemen perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit. Jakarta: Departemen perindustrian. Sugiyono, Agus. 2008. Peluang Pemanfaatan Biodiesel dari Kelapa Sawit sebagai Bahan Bakar Alternatif Pengganti Minyak Solar di Indonesia. Prospek Pengembangan Bio-fuel sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak. 29-39 Wardjo, neneng garnita 2006. Inisiasi dan Proliferasi Embrio Globular Kelapa Sawit (Elaeis guineesis jacq). Bandung: Institut Teknologi Bandung. Wattimen, Gustaaf A dkk. 2010. Abnormality of Flowers and Fruits in Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq) Clones Based on of Morphology, Biochemistry and Genomic analysis. Yuniastuti, Endang. 2005. Analisis AFLP pada Abnormalitas Klon-klon Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.). Hasil Kultur Jaringan Berbuah Normal dan Abnormal. Agrosains7 (1). 7:12. Zulkarnain. 2005.Potensi bioteknologi tanaman untuk mendukung revitalisasi pertanian. Jambi: Universitas Jambi.

You might also like