You are on page 1of 33

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Refluks gastroesophageal atau gastroesophageal reflux (GER) adalah suatu keadaan kembalinya isi lambung ke esophagus dengan atau tanpa regurgitasi dan muntah. GER merupakan suatu keadaan fisiologis pada bayi, anak-anak dan orang dewasa sehat. GER bisa terjadi beberapa kali dalam sehari, dengan episode

terbanyak kurang dari 3 menit, dan muncul setelah makan dengan sedikit atau tanpa gejala. Berbeda dengan GER, jika refluks isi lambung menyebabkan gangguan atau komplikasi, inilah yang di sebut dengan GERD.1 Pada bayi, gejala berupa muntah yang berlebih yang terjadi pada 85% pasien selama seminggu pertama kehidupan, sedangkan 10% lainnya baru timbul dalam waktu 6 minggu. Tanpa pengobatan gejala akan menghilang pada 60% pasien

sebelum umur 2 tahun pada posisi anak sudah lebih tegak dan makan makanan padat, tetapi sisanya mungkin terus menerus mempunyai gejala sampai sekurang-kurangnya berumur 4 tahun.2 Sebuah penelitian di Inggris pada tahun 2000-2005 ditemukan 1700 anak dengan diagnosis GERD, dengan angka kejadian sekitar 0,84 per 1000 anak per tahun. Insiden rendah pada anak umur 1-12 tahun dan meningkat kejadiannya hingga berumur 16-17 tahun.3

Pada bayi dan balita, tidak ada gejala kompleks yang dapat menegakan diagnosis GERD atau memprediksi respon terhadap terapi. Pada anak yang lebih besar dan remaja, seperti pada pasien dewasa, anamnesa dan pemeriksaan fisik mungkin cukup untuk mendiagnosis GERD, jika terdapat gejala yang khas. Gejala dapat berupa mual, muntah, regurgitasi, sakit uluhati, gangguan pada saluran pernafasan dan gejalagejala lain.1 Sedangkan komplikasi pada GERD dapat berupa perdarahan, striktur, Barret esophagus yang dapat berkembang menjadi adenokarsinoma esophagus,

dimana semua komplikasi tersebut dapat menggangu pertumbuhan maupun perkembangan anak.4 1.2. Batasan Masalah Referat ini membahas mengenai patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) pada anak

1.3. Tujuan Penulisan Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) pada anak.

1.4. Metode Penulisan Penulisan referat ini berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada literatur-literatur yang berkaitan dengan patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) pada anak. Referat ini juga menggunakan bantuan mesin pencari elektronik pada situs Google yang menghubungkan dengan situs-situs lain yang berkaitan dengan GERD. Menggunakan kata kunci berupa

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dengan batasan kepustakaan mulai dari tahun 1991-2011.

1.5. Manfaat Penulisan Penulisan refrat ini diharapkan bisa bermanfaat dan memberikan pengetahuan tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) pada anak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang bermakna. Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux disease : a global evidence-based consensus), penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux

Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau

komplikasi.1 Komplikasi yang berat yang dapat timbul adalah Barrets esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esofagus.5,6

2.2 Epidemiologi

Gambar 2.1. Prevalensi GERD pada Studi berbasis Populasi di Asia.7 Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia.8,9 Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto

Mangunkusumo didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar dispepsia.6
GERD didefinisikan sebagai mengalami heartburn atau regurgitasi minimal setiap minggu. Studi dilakukan terhadap subyek yang sedang menjalani medical check-up.4

2.3 Etiologi dan Patogenesis

Gambar 2.2 Patogenesis terjadinya GERD.6 Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus.6

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg).6 Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi lower esophageal sphincter (LES) adalah posisi sfingter dalam abdomen, sudut insersi esofagus ke dalam lambung, dan tekanan sfingter. Peurunan spontan tekanan sfingter merupakan mekanisme utama refluks. Refluks melalui sfingter yang lemah kronis sering terjadi pada esofagitis, sedangkan refluks dengan tekanan yang normal terjadi apabila tekanan perut meningkat (batuk, menangis, buang air besar). Pada orang normal refluks biasa terjadi setelah makan, dan penelanan ludah untuk membersihkan sisa-sisa asam merupakan mekanisme yang penting untuk mencegah esofagitis. Kapasitas penampungan esofagus bayi yang kecil memberi kecendrungan untuk muntah, suatu masalah yang sangat kurang lazim pada remaja dan orang dewasa. Penderita dengan refluks tak normal dapat juga menampakkan pengurangan pengosongan lambung dan pengurangan pembersihan asam dari esofagus. Pemasangan pipa gastrotomi mendorong refluks, mungkin karena mengubah sudut masuknya esofagus kedalam lambung.7 Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1). Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra

abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.6 Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung.2 Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori. Hamada dkk menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap refluks hiatus hernia.9 Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau gas (non acid reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral.6

2.4 Manifestasi Klinik Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrets esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.6 Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain.6,8 Kita harus ingat bahwa gejala tipical / khas (misalnya, heartburn, muntah, regurgitasi) pada orang dewasa tidak dapat langsung dinilai pada bayi dan anak-anak. Pasien anak dengan refluks gastroesophageal (RGE) biasanya menangis dan gangguan tidur serta penurunan nafsu makan. Berikut ini adalah beberapa dari tandatanda umum dan gejala refluks gastroesofagus pada populasi anak-anak:10 Tanda dan gejala gastroesophageal reflux pada bayi dan anak kecil : Tangisan khas atau tidak khas / gelisah Apnea / bradikardi

10

Kurang nafsu makan Peristiwa yang mengancam nyawa/ALTE (Apparent Life Threatening Event) Muntah Mengi (wheezing) Nyeri perut / dada Stridor Berat badan atau pertumbuhan yang buruk (failure to thrive) Pneumonitis berulang Sakit tenggorokan Batuk kronis Waterbrash Sandifer sindrom (yaitu, sikap dengan opisthotonus atau torticollis) Suara serak / laringitis

Tanda dan gejala pada anak yang lebih tua - Semua yang diatas, ditambah heartburn dan riwayat muntah, regurgitasi, gigi tidak sehat, dan mulut berbau (halitosis).10 Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES. 2 Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara gangguan tidur dan GERD.8 Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata

11

heartburn mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata yang sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam susunan kata-kata tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan angin yang merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi di Cina, banyak pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac chest pain atau dispepsia.8 Walaupun belum ada survei yang dilakukan, berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering ditemui di Indonesia. GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejalagejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur, penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial. Short-Form36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis kronik.11

2.5 Diagnosis Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas,

12

pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes supresi asam).6 American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah

mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang ada, merupakan poin untuk diagnosis, yaitu11 : a) Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris (termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko untuk Barrets esophagus, atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence : IV) b) Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi dugaan Barrets esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi displasia. (Level of Evidence : III) c) Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik khas maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk memantau pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas yang sedang menjalani terapi. (Level of Evidence : III)

13

d) Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan probe ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya pembedahan anti refluks. (Level of Evidence : III) Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association (AGA) menerbitkan American Gastroenterological Association Medical Position Statement on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD sebagai berikut13 : a) Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang normal (minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.) b) Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau malignansi. c) Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan gambaran endoskopinya normal.

14

d) Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless-pH dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan pada manometri.

2.6 Sistem Skala Gejala GERD berdasarkan Kuesioner Secara umum, skala pengukuran gejala dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, prediktif, atau evaluatif. Jika skala tersebut bertujuan diagnostik, maka kuesioner yang digunakan haruslah bersifat sangat spesifik terhadap jenis penyakit yang dimaksud, yang tergambar dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner, sekaligus mengeksklusikan penyakit lain dengan probabilitas prediksi yang tinggi.14 Selain karena gejala-gejala pada pasien GERD yang seringkali tidak menunjukkan gejala khas (heartburn, regurgitasi) sehingga menyulitkan untuk diagnosis akurat, banyak pasien GERD tidak memiliki kelainan gambaran endoskopi, sehingga evaluasi tingkat keparahan gejala, kualitas hidup serta respon terapi menjadi sangat penting. Kuesioner berisi gejala-gejala yang dinilai oleh pasien sendiri saat ini merupakan instrumen kunci pada berbagai penelitian klinis.14 Di antara banyak kuesioner diagnostik yang banyak digunakan adalah Questionnaire for the Diagnosis of Reflux Esophagitis (QUEST), Frequency Scale for the Symptoms of GERD (FSSG), Reflux Questionnaire (ReQuest), Reflux Disease Questionnaire (RDQ), dan yang baru dikembangkan tahun 2009 yaitu GerdQ Questionnaire.14-16

15

Sistem skala FSSG dikembangkan di Jepang11 dan banyak digunakan di berbagai negara di luar Jepang. FSSG terdiri dari 12 pertanyaan yang berhubungan dengan gejala-gejala yang tersering dialami oleh pasien, tidak hanya heartburn dan acid taste, tetapi juga gejala-gejala dispepsia seperti perut penuh dan merasa cepat kenyang. Diagnosis GERD dinyatakan dengan kuesioner ini pada nilai cut-off 8 poin.16 Tabel 2.1. Frequency Scale for the Symptoms of GERD17

16

Kuesioner GerdQ, yang dikembangkan oleh Jones dkk., termasuk kuesioner terbaru, yang diolah dari RDQ, Gastrointestinal Symptom Rating Scale (GSRS) dan Gastroesophageal Reflux Disease Impact Scale (GSIS). 18-20 GerdQ terdiri dari enam pertanyaan sederhana meliputi gejala refluks, dispepsia dan konsumsi obat untuk mengatasi gejala. Nilai cut-off untuk GerdQ adalah 8 poin yang merepresentasikan diagnosis GERD. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa GerdQ berpotensi sebagai alat bantu diagnostik GERD bagi dokter umum dengan akurasi yang sama dengan diagnosis yang dibuat oleh gastroenterologist.18 Tabel 2.2 Kuesioner GerdQ.18

2.7 Gambaran Endoskopi GERD Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan endoskopi, dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa

17

esofagus, serta dapat menyingkirkan kelainan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada endoskopi pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai Non-erosive Reflux Disease (NERD).6 Klasifikasi Los Angeles untuk diagnosis dan grading dari esofagitis refluks pertama sekali didiskusikan pada World Congress of Gastroenterology tahun 1994, kemudian dipublikasikan pada tahun1999. Sampai sekarang, klasifikasi Los Angeles ini adalah klasifikasi yang paling banyak digunakan oleh para endoskopis dibandingkan dengan klasifikasi lainnya yang terlebih dulu ada (Savary-Miller, Hetzel/Dent system, MUSE).21 Tabel 2.3 Klasifikasi Los Angeles.6

Namun demikian, beberapa kalangan menganggap tidak dimasukkannya perubahan mukosa esofagus minimal (minimal changes) ke dalam klasifikasi Los Angeles merupakan keterbatasan/kelemahan yang signifikan, terutama para

18

endoskopis di Jepang yang secara umum meyakini bahwa mereka dapat mengenali minimal changes tersebut. Hal ini menjadi latar belakang untuk dikembangkannya versi modifikasi dari klasifikasi Los Angeles yang secara luas digunakan oleh para endoskopis Jepang. Modifikasi klasifikasi Los Angeles ini tetap mempertahankan kriteria dan grading dari lesi mukosa, tetapi menambahkan grade M untuk minimal change, dan grade N untuk menamai gambaran yang tidak menunjukkan baik erosi maupun minimal change. Grade M merujuk pada eritema pada mukosa dan/atau mukosa berwarna putih keruh (whitish turbidity).21 2.8. Diagnosis Banding Beberapa diagnosis banding GERD, antara lain : a. Hiatus hernia22 Hernia hiatus adalah suatu kelainan anatomi dimana terdapat bagian dari lambung menonjol melalui diafragma masuk ke rongga thoraks. Pada keadaan normal, esofagus atau tabung makanan lewat turun melalui dada, dan memasuki rongga abdomen melalui lubang di diafragma disebut hiatus esophagus. Tepat di bawah diafragma, esofagus bergabung dengan lambung. Pada individu dengan hernia hiatus, pembukaan hiatus esofagus (hiatal opening) lebih besar dari

biasanya, dan sebagian lambung bagian atas masuk melalui hiatus ke rongga thoraks. Diperkirakan penyebab dari hiatus hernia adalah karena hiatus esofagus yang lebih besar dari normal, sebagai akibat dari terjadinya pembukaan besar

19

tersebut, bagian

dari lambung

masuk ke rongga

thoraks. Faktor

yang

berpotensi menyebabkan terjadinya hernia hiatus adalah: 1). Suatu pemendekan permanen pada esofagus (yang mungkin disebabkan karena inflamasi atau jaringan parut akibat refluks atau regurgitasi asam lambung) yang menyebabkan lambung tertarik keatas. 2). Perlekatan yang abnormal (longgar) dari esofagus ke diafragma sehingga esofagus dan lambung naik keatas. b. Akhalasia Merupakan suatu keadaan dimana tidak adanya relaksasi esophagus terminal. Spasme esophagus dapat menimbulkan sumbatan partial pada daerah perbatasan gaster-esophagus, dimana dengan Ba kontras, tampak adanya konstriksi esophagus bagian terminal dan bagian atasnya melebar. Keadaan ini sering ditemukan pada anak lebih besar , jarang pada bayi. Pengobatannya dengan melebarkan bagian yang mengalami konstriksi dan perlu tindakan berulang.23 c. Stenosis pylorus hipertrofi kongenital Pada penderita dengan stenosis pylorus terdapat muntah yang projektil terjadi pada umur lebih dari 1 minggu. Pada permulaan gejala muntah tidak mencolok tetapi pada usia lebih dari 1 minggu, muntah lebih sering dan lebih jelas. Gejalanya makin berat, berat badan tidak naik. Penyebabnya tidak jelas, diduga ada tendensi familier karena 1% dari penderita ternyata orang tuanya juga menderita kelainan yang sama. Beberapa peneliti menduga adanya hipertrofi otot

20

pilorus akibat adanya spasme otot. Pendapat sarjana lain adalah respon terhadap rangsangan atau iritasi terhadap n. vagus.23 d. Obstruksi / atresia duodenum Atresia duodenum adalah suatu keadaan kegagalan kanalisasi pada masa embrional disertai atresia di bagian usus lainnya. Gejala klinis yang sering terjadi adalah muntah-muntah yang mengandung empedu. Bila atresia di bawah ampula vateri, muntahnya berupa gumpalan susu atau muntahnya keruh. Gejala lainnya yaitu mekonium tidak keluar dalam waktu lebih dari 24 jam. Pada penderita atresia duodenum, distensi abdomen terjadi pada bagian atas. Bila penderita habis minum, tampak gerakan peristaltik melintasi garis tengah, dari kiri ke kanan. Dengan foto abdomen polos, tampak adanya gambaran Double buble yaitu tidak adanya gambaran udara di usus halus. Pengobatan definitif adalah operasi.23 e. Mekonium ileus Sering terjadi pada bayi dengan penyakit kista fibrosis yang dasar penyakitnya adalah perubahan pada jaringan pankreas, asini atropi dan inaktif, sehingga produksi enzim pankreas sangat berkurang. Juga disertai perubahan pada kelenjer yang memproduksi lendir dari saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Penyumbatan usus oleh mekonium memberikan gejala mekonium tidak keluar lebih dari 24 jam, perut gembung dan muntah-muntah yang makin lama makin sering dan makin kental sehingga bayi akan mengalami dehidrasi. Pada pemeriksaan dengan Ba kontras menunjukkan gambaran kolon dibawah

21

sumbatan mengecil. Pengobatan yang dikerjakan pada dasarnya simptomatik dengan pemberian enzim pankreas dan mengatasi masalah metabolik yang terjadi. Dapat dilakukan irigasi usus dengan gastroprafin untuk melunakkan mekoneum yang kental. Bila pengobatan tersebut gagal, maka dilakukan operasi.23 2.9. Penatalaksanaan GERD Penatalaksanaan GERD mencakup beberapa aspek, antara lain : a. Perubahan posisi Posisi terlentang mengurangi jumlah paparan asam lambung pada esofagus yang bisa dikteahui melalui pemeriksaan PH, dibandingkan dengan posisi telungkup. Akan tetapi, posisi telentang dan posisi lateral berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian sindrom bayi mati mendadak atau sudden infant death syndrome (SIDS). Oleh karena resiko tersebut, maka posisi telentang atau lateral tidak terlalu direkomendasikan untuk bayi dengan GERD, tetapi sebagian besar bayi usia dibawah 12 bulan lebih disarankan untuk ditidurkan dengan posisi telungkup.1 Bayi dengan GERD berat harus ditidurkan telungkup dengan posisi kepala lebih tinggi (30o). Setelah menetek atau minum susu formula bayi digendong setinggi payudara ibu, dengan muka menghadap dada ibu (seperti metoda kangguru, hanya baju tidak perlu dibuka). Hal ini menyebabkan bayi tenang sehingga mengurangi refluks.23

22

Gambar 2.3. Modifikasi posisi pada bayi.24

Gambar 2.4. Posisi telungkup dengan kepala ditinggikan.25

Cara menyusui : 23 a. Bayi hanya menetek pada satu payudara sampai habis b. Biarkan bayi terus menghisap (walaupun payudara telah kosong) sampai bayi tertidur. Selama bayi mengisap payudara, gerakan mengisap lidah bayi merupakan trigger terhadap kontraksi lambung, sehingga refluks tidak akan terjadi.

23

c. Hindari perlakuan yang kasar atau tergesa-gesa atau perlakuan yang tidak perlu. d. Setelah menyusui, bayi jangan langsung ditidurkan. Bayi baru ditidurkan dengan posisi kepala lebih tinggi dan miring ke sebelah kiri, paling cepat setengah jam setelah menyusu atau minum susu formula.

Gambar 2.5. Posisi setelah menyusui pada bayi.26

e. Hindari paparan asap rokok dan konsumsi kopi pada ibu (caffein yang berlebihan pada ibu mempengaruhi terjadinya GERD pada bayi). f. Hindari pemakaian baju yang ketat.

Penambahan agen pengental seperti beras sereal pada susu formula tidak mengurangi durasi pH < 4 (index refluks) yang terukur pada saat monitoring pH esofagus, tetapi bisa menurunkan frekuensi dari kejadian regurgitasi. Studi dengan kombinasi pH/MII menunjukkan bahwa tinggi refluks esofagus berkurang

24

dengan pemberian susu formula yang lebih kental meskipun dengan pemberian ini tidak akan mengurangi frekuensi dari refluks.1 Di Amerika serikat, beras sereal adalah agen pengental yang paling sering ditambahkan pada susu formula. Susu formula yang dikentalkan dengan beras sereal menurunkan volume regurgitasi tetapi bisa menyebabkan batuk selama pemberian. Susu formula yang dikentalkan dengan sereal bila diberikan melalui botol dot maka lubang pada dot harus dilebarkan sehingga susu yang dikentalkan tersebut bisa keluar dengan lancar. Intake energi yang berlebih adalah masalah yang sering terjadi pada pemberian susu formula yang dikentalkan dengan sereal. Pengentalan 20 kcal/ons susu formula dengan 1 sendok makan beras sereal untuk setiap ons nya bisa meningkatkan densitas energi hingga 34 kcal/oz (1,1 kcal/mL). Pengentalan dengan 1 sendok makan per 2 ons susu formula meningkatkan densitas energi hingga 27 kcal/oz (0,95 kcal/mL).1

Gambar 2.6. Formula pengental makanan komersial.27

25

b. Perubahan pola hidup pada anak dan dewasa Pada anak yang lebih besar, tidak ada bukti yang jelas tentang pengurangan konsumsi makanan-makanan tertentu. Pada dewasa, obesitas, makan berlebih, dan makan pada malam hari sebelum tidur berhubungan dengan timbulnya gejala GERD. Posisi tidur telentang atau posisi tidur pada sisi kiri dan atau peninggian kepala tempat tidur, bs mengurangi gejala refluks.1 c. Farmakologi Agen farmakologi utama yang biasanya digunakan untuk mengatasi GERD pada anak adalah agen buffering asam lambung, pertahanan mukosa, dan agen antisekretorik lambung. Potensi efek samping dari penekanan sekresi asam lambung, termasuk peningkatan resiko pneumonia community-acquired dan infeksi saluran pencernaan, perlu diimbangi dengan manfaat terapi.1 Pada bayi yang didiagnosa GERD, diperlukan manajemen pengobatan yang tepat. Obat penekan asam lambung berguna dalam mengobati esofagitis yang disebabkan oleh refluks asam, bisa digunakan sebagai terapi tunggal maupun kombinasi dengan agen prokinetik. Antagonis reseptor H2 famotidine, nizatidine) (H2RAs; eg, ranitidine, cimetidine,

dan penghambat pompa proton inhibitors (PPIs; eg,

omeprazole, esomeprazole, lansoprazole) terbukti efektif dalam penatalaksanaan GERD. Sejumlah studi telah mendemonstrasikan efektivitas dari H2RA pada orang dewasa dengan reflux, dan 3 uji coba acak terkontrol pada anak menunjukkan bahwa H2RA efektif dalam mengurangi gejala dan menyembuhkan esofagitis.28

26

Antagonis reseptor histamin H2 secara kompetitif menghambat aksi histamin pada reseptor histamin H2 pada sel parietal lambung. Obat ini sangat selektif pada reseptor histamin H2 dan memiliki sedikit atau tanpa efek pada reseptor histamin H1. Sel parietal memiliki reseptor untuk histamin, asetilkolin, dan gastrin, yang semuanya dapat merangsang sekresi asam hidroklorida ke dalam lumen gaster. Antagonis reseptor histamin H2 menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh reseptor histamin, tapi tidak memiliki efek pada sekresi asam yang dihasilkan oelh asetilkolin atau gastrin.23 Obat yang termasuk golongan ini adalah Cimetidin, Ranitidine, Famotidine, dan Nizatidine. Antagonis reseptor histamin H2 dapat menurunkan penyerapan obat yang memerlukan suasana asam (ketokonasol, itrakonasol). Simetidin menghambat enzim sitrokom P-450 dan memiliki potensi untuk berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh isoenzim ini (misalnya fenitoin, propanolol, teofilin, warfarin).23 Ranitidin dan famotidin tampaknya sama efektifnya dengan simetidin dan nizatidin. Suatu penelitian mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik ranitidin (5mg/kg) pada bayi berusia 6 minggu sampai 6 bulanyang menderita refluks gastroesofageal yang diberi ranitidin dengan dosis 5 mg/kg BB, ternyata pH esofagus paralel dengan konsntrasi ranitidin dalam pH dan pH dalam lambung tetap diatas 4 selama 9 jam setelah pemberian obat ini. Pada pasien anak-anak berumur 6 bulan sampai 13 tahun dan mengalami esofagitis yang refrakter dengan dosis normal ranitidin adalah 8 mg/kg/hari. Penggunaan ranitidin dosis tinggi (20 mg/kg/hari) dapat mengurangi gejala dan memberikan penyembuhan.23

27

Inhibitor

pompa

proton

terikat

dengan

hydrogen/potassium

adenosine

triphospatase, suatu enzim yang berperan sebagai pompa proton pada sel parietal, karena itu dapat menghambat pertukaran ion yang merupakan langkah akhir pada sekresi asam hidroklorida. Obat ini menghambat sekresi asam tanpa memandang apakah distimulasi oleh histamine, asetilkolin, atau gastrin. Untuk sekresi dari sel parietal inhibitor pompa proton memerlukan aktivasi dalam lingkungan. Supaya makanan tidak dapat mempengaruhi absorpsi dan konsentrasi puncak obat dalam plasma, obat ini paling baik diminum sekitar 30 menit sebelum makan. Obat ini kurang efektif selama kondisi puasa saat kondisi asam lebih rendah.23 Inhibitor pompa proton dinonaktifkan oleh asam lambung. Oleh karena itu obat ini diformulasi dengan enteric coating, sehingaa obat ini mampu melewati lambung dalam keadaan utuh dan memasuki usus, dimana PH nya kurang asam dan obat diserap. Inhibitor pompa proton memiliki elimanis waktu paruh yang pendek namun durasi aksi yang panjang karena ikatan dengan pompa proton irreversibel dan penghentian aktifitas farmakologi memerlukan sintesis enzim yang baru. Inhibitor pompa proton tidak mempengaruhi motilitas lambung atau sekresi enzim lambung yang lainnya.23 Inhibitor pompa proton dapat berinteraksi dengan obat yang memerlukan lingkungan asam untuk penyerapan (misalnya ketokonazol, itrakonazol). Inhibitor pompa proton dimetabolisme oleh sitokrom P-450 2C19 dan 3A4 secara bervariasi dan dapat berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim ini.23

28

Omeprasol dan lansoprasol golongan inhibitor pompa proton telah diijinkan penggunaanya oleh FDA pada pasien anak. Keduanya tersedia dalam bentuk kapsul yang mengandung granula salut enteric. Lansoprasol juga tersedia dalam bentuk granual untuk penggunaanya dalam suspense oral dan secara oral dalam betuk talet yang mengandung mikrogranula salut enteric. Oleh karena itu obat ini tidak boleh dikunyah, harus ditelan dalam bentuk utuh karena akan menurunkan efektifitasnya. Esomeprasol (bentuk isomer S dari omeprasol) tersedia sebagai kapsul yang mengandung enteric coated pellet , dan rabeprasol, sedangkan pantoprasol tersedia dalam bentuk enteric coated tablets.23 Pantoprasol, rabeprasol, dan esomeprasol tidka dibenarkan penggunaanya oleh FDA pada anak-anak. Saat ini percobaan klinis pada pasien anak-anak sedang dilaksanakan.23 Omeprasol dan lansoprasol sebaiknya diminum dengan sedikit jus buah yang agak asam (jus apel, jeruk) atau yoghurt. Pada penelitian yang dilakukan pada pasien anak-anak yang menderita esofagitis yang resisten terhadap antagonis reseptor histamin H2, omeprasol efektif dalam memeperbaiki gejala dan menyembuhkan esofagitis. Pengobatan selama 8 minggu dengan omeprasol 40 mg/hari/1,73 m2 luas permukaan tubuh atau ranitidin dosis tinggi (20 mg/kg/hari) mengurangi paparan asam pada esofagus dan mempercepat kesembuhan pada 25 orang bayi dan anak-anak yang berusia 6 bulan sampai 13 tahun dengan refluks esofagitis yang berat. Dosis omeprasol yang diperlukan untuk menyembuhkan esofagitis kronik dan berat pada pasien anak-anak adalah 0,7-3,5 mg/kg/hari).23

29

Inhibitor pompa proton lebih efektif daripada antagonis reseptor histamine H2 dalam mengurangi sekresi asam, mengurangi gejala RGE, dan emnyembuhkan esofagitis. Inhibitor pompa proton juga lebih efektif daripada antagonis reseptor histamine H2 dalam mempertahankan remisi.23 Perbaikan gejala bergantung pada dosis, dosis yang lebih tinggi dikaitkan dengan perbaikan gejala yang lebih cepat. Namun, studi mengenai lansoprazol juga menunjukkan bahwa bayi yang lebih muda dari 10 minggu mempunyai

farmakokinetik yang berbeda dan memerlukan dosis yang lebih rendah dan efek samping yang mungkin lebih umum terjadi dibanding pada bayi yang lebih

muda dari 28 hari. Beberapa studi melaporkan bahwa PPI adalah pengobatan yang efektif untuk esophagitis akibat refluks, tetapi belum ada studi yang

menunjukkan keunggulan H2RA dengan dosis yang tinggi.28 Agen Prokinetik meningkatkan gerakan peristaltik esofagus, mempercepat

pengosongan lambung, dan meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian distal. Cisapride efektif dalam menurunkan refluks, namun obat tersebut telah ditarik dari pasaran karena efek toksik pada jantung berpotensi menyebabkan kematian dan tersedia hanya dalam protokol penggunaan yang terbatas. Metoclopramid adalah obat antidopaminergik dan kholinomimetik yang telah digunakan oleh medis pada pengelolaan kasus GERD.28 Cisaprid merupakan campuran agen seratonergic yang memfasilitasi pelepasan asetilkolin pada sinaps dalam pleksus mienterikus sehingga meningkatkan pengosongan lambung dan esofagus, serta gerakan peristaltik saluran cerna. Setelah

30

diketahui bahwa cisapride bisa menyebabkan pemanjangan inteval QT pada EKG, sehingga meningkatkan angka kematian mendadak. Oleh karena itu obat ini penggunaanya terbatas pada program-program yang diawasi oleh ahli

gastroenterologi anak untuk percobaan klinis.1 Antasid menetralisir asam lambung, dan sodium alginate melindungi mukosa esophagus dengan membentuk suatu gel pada permukaan. Sukralfat (suatu kompleks aluminium dari sucrose sulfat) terikat pada dan melindungi mukosa esofagus. Efikasi obat ini pada anak-anak yang mengalami refluks estrofageal belum diketahui dengan pasti. Obat ini tidak dibenarkan penggunaan pada bayi dan aank oleh FDA dalam pengobatan RGE. Penggunaan antacid yang mengandung aluminium dalam jangka panjang harus dihindari karena resiko toksisitas aluminium. Obat ini dapat digunakan secara intermitten untuk meredakan gejala RGE pada anak yang berumur lebih besar.23 Jika bayi yang sering muntah dengan berat badan tidak bertambah, maka penting untuk melakukan evaluasi dignostik lebih lanjut. Pemeriksaan untuk menemukan penyebab muntah (seperti pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, bikarbonat, nitrogen urea, kreatinin, alanin aminotransferase, amonia, glukosa, urinalisa, keton urin dan reduksi, dan skrining galaktosemia dan penyakit maple sugar urine. Pemeriksaan anatomi saluran gastrointestinal atas juga dianjurkan. Jika tidak ditemukan kelainan, tatalaksana termasuk terapi medis, rawat inap dan biopsi endoskopi. Rawat inap untuk observasi interaksi orangtua-anak dan mengoptimalkan tatalaksana. Biopsi endoskopi bermanfaat untuk menemukan adanya esofagitis dan

31

untuk menyingkirkan penyebab lain yang menimbulkan muntah dan tidak bertambahnya berat badan. Untuk meningkatkan asupan kalori pada bayi dilakukan dengan meningkatkan densitas formula, dan penggunaan tube nasogastrik atau transpilorik. Terapi bedah jarang dilakukan. Follow-up diperlukan untuk memastikan penambahan berat badan yang adekuat.29 Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gambaran klinis dan lokalisasi dari nyeri esofagus lebih kurang sama, tapi pada anak yang lebih kecil gambaran klinis dan lokasi nyeri mungkin atipik. Regurgitasi dari asam lambung ke mulut bisa terjadi. Intervesnsi awal dari perubahan pola hidup, menghindari faktor pencetus, ditambah penggunaan terapi farmakologi selama 2-4 minggu dengan H2RA atau PPI direkomendasikan. Jika tidak ada perbaikan, maka selanjutnya anak bisa ditangani oleh ahli gastroenterologi untuk biopsi dengan endoskopi saluran cerna atas. Jika terjadi perbaikan, terapi bisa dilanjutkan hingga 2-3 bulan, jika gejala berulang ketika terapi dihentikan, sebaiknya dilakukan endoskopi untuk mengetahui tingkat keparahan dari esofagitis.29 Para ahli menyarankan bahwa pada bayi dan anak dengan esofagitis,efektivitas terapi bisa dipantau dengan melihat perbaikan gejala, kecuali untuk pasien dengan esofagitis erosif, endoskopi berulang dianjurkan untuk memastikan penyembuhan. Jika pasien tidak berespon terhadap terapi, terdapat 2 kemungkinan yang bisa menjelaskan hal tersebut: diagnosis tidak benar atau penatalaksanaan yang inadekuat. Kemungkinan adanya diagnosa lain, seperti esofagitis eosinofilik harus

dipertimbangkan.29

32

Jika manifestasi klinis dan histopatologi berhubungan dengan diagnosa refluks esofagitis, maka sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap kemanjuran terapi. Monitoring pH esofagus pada saat pasien menjalani terapi bisa menginformasikan apakah diperlukan penggunaan obat untuk menurunkan sekresi asam lambung. Jika diagnosa tidak jelas, monitoring pH esofagus pada saat pasien tidak menerima terapi mungkin berguna karena berdasarkan hasil studi esofagitis biasanya berkaitan dengan GER.29 2.10. Komplikasi GERD Komplikasi yang sering ditumbulkan pada GERD, antara lain : a. Esofagitis dan sekuelenya striktur, Barret Esofagus, adenocarcinoma Esofagitis bisa bermanifestasi sebagai irritabilitas, anak tidak mau makan, nyeri pada dada atau epigastrium pada anak yang lebih tua, dan jarang terjadi hematemesis, anemia, atau sindrom Sandifer. Esofagitis yang berkepanjangan dan parah dapat menyebabkan pembentukan striktura, yang biasanya berlokasi di distal esophagus, yang menhasilkan disfagia, dan membutuhkan dilatasi esophagus yang berulang dan fundoplikasi. Esofagitis yang berlangsung lama juga bisa menyebabkan perubahan metaplasia dari epitel skuamosa yang disebut dengan Barret Esofagus, suatu precursor untuk terjadinya adenocarcinoma esophagus.4

33

b.

Nutrisi Esofagitis dan regurgitasi bisa cukup parah untuk menimbulkan gagal tumbuh karena deficit kalori. Pemberian makanan melalui enteral (nasogastrik atau nasoyeyunal atau perkutaneus gastric atau yeyunal) atau pemberian melalui parenteral terkadang dibutuhkan untuk mengatasi deficit tersebut.4

c.

Extra esophagus GERD dapat menimbulkan gejala pernapasan dengan kontak langsung terhadap refluks dari isi lambung dengan saluran pernapasan (aspirasi atau mikroaspirasi). Seringnya, terjadi interaksi antara GERD dan penyakit primer saluran pernapasan, dan terciptalah lingkaran setan yang semakin memperburuk kedua kondisi tersebut. Terapi untuk GERD harus lebih intens (biasanya melibatkan PPI) dan lama (biasanya 3 sampai 6 bulan).4

2.11. Prognosis

Prognosisnya baik, Banyak bayi mengalami refluks ringan, hanya sekitar 1 : 300 hingga 1 : 1000 mengalami refluks berarti dan mengalami komplikasi. Pada 5 % kasus terjadi pembentukan striktur, lemah akibat malnutrisi dan pneumonia menyebabkan kematian kepada 5% kasus lainnya.7

You might also like