You are on page 1of 22

LAPORAN KASUS TEKNIK GA-TIVA

PADA PASIEN DISLOKASI SHOULDER DEXTRA

I.

Identitas Pasien
Nama Jenis kelamin Umur BB : Tn. A : Laki-laki : 52 th : 60, TB : 160, BMI = 23,43

Tanggal MRS

: 21 Oktober 2013 pukul 11.00 WITA

II. Anamnesis Keluhan Utama Anamnesis terpimpin : Nyeri pada bahu kiri :

Dialami sejak 1 minggu yang lalu, keluhan ini dirasakan sesaat setelah terjatuh dari kendaraan bermotor. Riwayat pingsan (-), riwayat mual (-), muntah (-). Sehari setelah kejadian pasien langsung membawa diri ke tukang urut dan telah diurut sebanyak 4 kali. Namun, tidak ada perubahan. Riwayat operasi sebelumnya (-), riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes mellitus disangkal. Sebelum dirawat inap, pasien kontrol di poli ortho. III. Pemeriksaan fisik B1 : RR= 16 x/menit, Vesikuler, gerakan dinding dada simetris B2 : TD= 110/70 mmHg, N=80x/menit, kuat angkat, regular, BJ: Bising (-) B3 : GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor 2,5 mm/2,5 mm B4 : Urin spontan, tidak terpasang kateter, produksi urin sukar dinilai B5 : Peristaltik (+) normal, Distensi abdomen (-), Defans muscular (-), Nyeri tekan (-) B6 : Ekstremitas dingin (-), udem (-), hematom (-),

IV. Pemeriksaan penunjang Laboratorium (16 /10/2013) Pemeriksaan WBC RBC Hb HCT PLT SGOT SGPT Ureum Creatinine GDS Foto Shoulder Dextra AP: Dislokasi caudal caput humeri dextra disertai fraktur avulsi tuberculum minor V. Diagnosis Dislokasi shoulder dextra Hasil 6 x 103 uL 4,35 x 106 uL 12,3 g/dL 38,2 % 294 x 103 uL 19 17 33 0,7 141 mg/dL Nilai rujukan 4.00-10.00 [103/uL] 4.00-6.00 [106/uL] 12.00-16.00 [g/dL] 37.0-48.0 [%] 150-400 [103/uL] 15-37 U/L 12-42 U/L 15-39 0,6-1,3 74-140 mg/dL

VI. Rencana Operasi Closed reduction

VII. Penatalaksanaan intraoperatif Kebutuhan cairan per 24 jam = 60x40= 2400/24 jam

= 100 cc/jam Kebutuhan cairan : 100 cc/ jam Penggantian cairan puasa : 8 x 100 = 800 cc Operasi sedang, sekuestrasi = 6 x 60 = 360 cc Jam I : 400 + 360+100 = 860 cc

EBV = 60 kg x 70 cc/kgBB = 4200 cc MABL = 901,6 cc a. Teknik Operasi : Closed reduction

b. Teknik Anestesi :GA-TIVA 1. Pasien posisi supine, terpasang IV line 18 G di tangan kanan. Pasang monitor, EKG, tensimeter, SpO2, dan stethoscope precordial. 2. Premedikasi: Fentanyl 60 mcg/IV, Ondansetron 4 mg/IV, midazolam 3 mg/IV 3. 4. Induksi: propofol 100 mg/IV Pemeliharaan Anestesi - O2 via nasal kanul 2 lpm 5. Kondisi pasien intraoperatif : - TD sistolik 93-150 mmHg - TD diastolik 63-90 mmHg - N 68-80 x/mnt - Urine tidak dinilai - Cairan : RL 860 cc

6. Pengakhiran Anestesi Operasi berjalan kurang lebih 40 menit. Operasi selesai dengan hemodinamik pasien stabil. Pasien ditranfer ke pacu

DISKUSI/PEMBAHASAN

I.

ANESTESI UMUM INTRAVENA

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangna kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anesthesia yang ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi..2 Metode anesthesia umum dilihat dari cara pemberian obat dibagi menjadi : (1) Parenteral, baik intravena maupun intramuscular ,(2) Perektal, (3) Perinhalasi (melalui pernafasan).2 Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ masing masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya masing-masing.3 Pada umumnya sebagian besar obat anestesi intravena dapat digunakan untuk beberapa hal sebagai berikut : (1) obat induksi untuk anestesi umum; (2) obat tunggal untuk anestesi pada pembedahan-pembedahan yang singkat; (3) tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat; (4) obat tambahan untuk anestesi regional; (5) menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan saraf pusat (sedasi).1 Terdapat 3 cara pemberian anestesi intravena, sebagai berikut : (1) sebagai obat tunggal / suntikan intravena tunggal (sekali suntik) untuk induksi anestesi atau pada operasi-operasi pembedahan singkat hanya obat ini saja yang dipakai; (2) suntikan berulang, untuk prosedur yang tidak memerlukan anestesi inhalasi dengan dosis ulangan lebih kecil dari dosis permulaan sesuai kebutuhan; (3) lewat infus (diteteskan), untuk menambah daya anestesi inhalasi.1

PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. (3) I.1. Penilaian pra bedah I.1.1. Anamnesis Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan lebih baik. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya. (3) I.1.2. Masukan oral Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.(3) Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia. (3) I.1.4. Premedikasi Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi

diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya: Obat-obat yang sering digunakan: 1. Analgesik narkotik a. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB Fentanil merupakan

obat dari golongan opioid yang banyak dalam digunakan anestesi,

kekuatannya 100 X morfin. Dalam dosis kecil (1g/kgBB, IV) fentanil memiliki onset dan durasi kerja yang singkat (20-30 menit) dan menimbulkan efek sedasi sedang. Dalam dosis besar (50-150g/kgBB, IV) didapatkan sedasi yang dalam serta penurunan kesadaran, dan kadang didapatkan kekakuan otot dada. (4) Farmakokinetik. Farmakokinetik fentanil bervariasi pada tiap individu. Setelah pemberian melalui bolus intravena, konsentrasi plasma turun dengan cepat (waktu paruh distribusi sekitar 13 menit). Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam dan dapat memanjang hingga 7-8 jam pada beberapa pasien.(5) Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya hampir sama dengan morfin tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan

hidroksilasi, metabolit dapat didapatkan di darah dalam 1-2 menit setelah pemberian. Sisa metabolisme dieksresikan di urin dalam beberapa hari. (2) Farmakodinamik. Fentanil bekerja pada reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis untuk menurunkan rasa nyeri dan respons emosional terhadap nyeri. Sistem kardiovaskuler.

Kardiovaskular cenderung tidak mengalami perubahan signifikan setelah pemberian fentanil, namun kadang dalam dosis besar dapat

menyebabkan bradikardi yang memerlukan terapi atropin. Sistem pernafasan. Seperti analgesik opioid yang lain, fentanil mendepresi pernafasan bergantung dosis pemberiannya. Efek depresi pernafasan berlangsung lebih lama dari efek analgesiknya. (2) (4) Dosis. Fentanil dosis 1-3g/kgBB memiliki efek analgetik yang hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan dalam pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50150g/kgBB digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi dengan benzodiazepine dan anestetik inhalasi dosis rendah pada bedah jantung selain itu juga dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. (2) (4) Efek samping. Efek yang kurang disukai akibat pemberian fentanil adalah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian pelumpuh otot. (4) 2. Analgesik non narkotik Obat abakgesik antipiretik serta obat antiinflamasi nonsteroid (AINS), untuk memudahkan mari kita kelompokan jenisnya berdasarkan selektifitasnys. Antaralain; a. Ketorolak Ketorolak merupakan antigonis dengan poten efek

antiinflamasi sedang. Absorbsi

oral dan intramuskular berlangsung cepat mencapai puncak dalam 30-50 menit. Biaavailabilitas oral 80% dan hampir seluruhnya terikat protein. Ketorolak IM sebagai analgesik pasca bedah memeperlihatkan efektivitas sebanding morfin/petidin dosis

umum; masa kerja lebih panjang dan efek samping lebih ringan.

Dosis IM 30-60mg, IV 15-30 mg. efek sampingnya berupa nyeri ditempat suntikan, gangguan saluran cerna, kantuk, pusing , dan sakit kepala terjadi kira-kira 2 kali placebo. Karena ketorolak sangat selektif menghambat COX-1, maka obat ini tidak dilanjur dipakai lebih dari 5 hari karena kemungkinan tukak lambung. (1) (4) 3. Hipnotik Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB 4. Sedatif Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB Golongan benzodiazepin yang sering digunakan adalah adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Miloz).
Midazolam

Golongan

benzodiazepine

bekerja

sebagai

hipnotik,

sedative, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja sentral. Benzodiazepine bekerja pada reseptor GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut lorazepam > midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada reseptor GABA. (4) Farmakokinetik. benzodiazepines yang Ketiga banyak macam digunakan obat dalam golongan anestesi

diklasifikasikan sebagai berikut: 1.) Midazolam (short-lasting); 2.) lorazepam (intermediate-lasting); 3.) diazepam (long-acting), berdasarkan metabolism dan bersihan dari plasma. Rasio bersihan

midazolam berkisar antara 6-11 ml/kg/menit, sedangkan lorazepam 0.8-1.8 ml/kg/menit dan diazepam 0.2-0.5 ml/kg/menit. Walaupun terminasi kerja dari obat ini terutama dipengaruhi oleh redistribusi obat dari SSP ke jaringan lain setelah penggunaan untuk anestesi, pemberian berulang, atau infuse berkelanjutan, kadar midazolam dalam darah turun lebih cepat dibandingkan yang lain karena bersihan hati yang lebih besar.(5) Hasil metabolisme dari benzodiazepines menjadi penting. Diazepam membentuk 2 macam metabolit aktif yaitu, oxazepam dan desmethyldiazepam yang memperkuat dan memperpanjang efek obat. Midazolam

mengalami biotransformasi menjadi hydroxymidazolam yang memiliki potensi 20-30% dari midazolam. Metabolit-metabolit ini diekskresikan melalui urin dan dapat menyebabkan sedasi yang dalam pada pasien dengan gangguan ginjal. Pada pasien yang sehat, hydroxymidazolam lebih cepat diekskresikan dibanding midazolam. (4 )(5) Faktor yang mempengaruhi farmakokinetik dari

benzodiazepine antara lain usia, jenis kelamin, ras, induksi enzim, gangguan hepar & ginjal. Diazepam sensitive terhadap hal-hal tersebut di atas terutama usia, usia yang bertambah mengurangi kecepatan bersihan diazepam dari tubuh secara signifikan, hal ini juga didapatkan pada midazolam namun dalam derajat yang lebih rendah. Kebiasaan merokok sebaliknya mempercepat klirens diazepam. Klirens midazolam tidak dipengaruhi kebiasaan merokok tetapi konsumsi alcohol, pada pasien dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol klirens midazolam akan mengalami percepatan Farmakokinetik lorazepam tidak dipengaruhi usia, jenis kelamin ataupun gangguan ginjal. Ketiga obat ini dipengaruhi oleh obesitas. Volume distribusi meningkat akibat perpindahan dari plasma ke jaringan adipose. Walaupun tidak mempengaruhi klirens, namun waktu paruh menjadi lebih panjang, sehingga

pemulihan akan didapatkan lebih lambat pada pasien dengan obesitas. (3) (4) Midazolam dan diazepam memiliki onset yang lebih cepat yaitu 30-60 detik dibanding lorazepam (60-120 detik). Waktu paruh midazolam berkisar antara 2-3 menit, 2 kali lebih panjang dibanding diazepam, namun kekuatan lorazepam 6 kali lipat dari diazepam.
(6)

Sama seperti onset, durasi kerja juga bergantung

kelarutan dalam lemak dan kadar dalam darah. Redistribusi midazolam dan diazepam lebih cepat dibanding lorazepam yang kemungkinan diakibatkan dari kelarutan dalam lemak lorazepam yang lebih rendah. Sehingga durasi kerja lorazepam lebih panjang dibanding diazepam dan midazolam. (2) (4) Farmakodinamik. Benzodiazepine menimbulkan efek amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan sedasi tanpa efek analgetik. Bergantung dari dosisnya, juga menurunkan kebutuhan oksigen otak dan aliran darah ke otak serta laju metabolism otak. Midazolam dan diazepam bergantung dari dosisnya juga memiliki efek proteksi dari hipoksia serebral. Efek perlindungan midazolam didapatkan lebih nyata dari diazepam. Sistem kardiovaskuler. Perubahan yang mungkin paling jelas adalah penurunan tekanan darah yang ringan akaibat penurunan resistensi vaskular sistemik. Efek ini didapatkan sedikit lebih nyata pada pemberian midazolam namun perubahan tekanan darah ini kurang lebih sama seperti pemberian thiopental. Bahkan dosis 0.2mg/kgBB dilaporkan aman untuk induksi pada pasien dengan stenosis aorta. Benzodiazepine tidak mempengaruhi mekanisme refleks homeostatik, oleh karena itu hemodinamik relatif stabil. Sistem pernafasan. Seperti kebanyakan obat anestesi intravena lainnya, obat golongan benzodiazepine juga mendepresi pusat pernafasan, menurunkan frekuensi nafas serta volume tidal. Puncak depresi pernafasan setelah pemberian midazolam (0.13-0.2 mg/kg) terjadi dalam 3

10

menit dan berlangsung kurang lebih selama 60-120 menit. Waktu pemberian juga mempengaruhi onset depresi pernafasan, semakin cepat obat diberikan, semakin cepat terjadi depresi pernafasan. Depresi pernafasan setelah pemberian midazolam akan tampak lebih nyata dan berlangsung lebih lama pada pasien PPOK. Opioid dan benzodiazepine secara sinergis memperkuat depresi pernafasan walaupun bekerja melalui mekanisme yang berbeda.(6) Sistem otot rangka. Bekerja di tingkat supraspinal dan spinal, menimbulkan penurunan tonus otot rangka, sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka. (1) Dosis. Benzodiazepin digunakan untuk tujuan sedasi sebagai premedikasi, selama pemberian regional atau anestesi local, ataupun setelah operasi. Selain itu juga untuk mengurangi kecemasan, efek amnesia dan peningkatan ambang batas kejang, untuk keperluan ini benzodiazepine diberikan secara titrasi. Dosis untuk induksi yang dianjurkan adalah 0.05-0.15 mg/kgBB untuk midazolam dengan dosis ulangan 0.05mg/kgBB bila diperlukan, 0.3-0.5mg/kgBB untuk diazepam dengan dosis ulangan

0.1mg/kgBB bila diperlukan, dan 0.1 mg/kgBB untuk lorazepam dengan dosis ulangan 0.02mg/kgBB bila diperlukan. Untuk mendapatkan efek sedasi dosis berulang yang dianjurkan untuk midazolam adalah 0.5-1mg, 2mg untuk diazepam, dan 0.25mg untuk lorazepam. (1) Efek samping. Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan

trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 - 1 mcg/kg/menit. (1) 5. Anti emetic

11

a. Ondancentron Antagonis 5HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika. Mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan dengan mengantagoniskan reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor zone di area posttrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Pada pemberian oral obat ini diabsorpsi secara cepat. Kadar maksimum tercapai setelah 1-1.5 jam terikat protein plasma sebanyak 70-76% dan wktu paruhnya 3 jam. Dosisnya 0.1-0,2 mg/KgBB. (4) b. Simetidin dan Ranitidin Farmakokinetik: bioavaibilitas simetidin sekitar 70% sama dengan setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diperlambat dengan makanan, sehingga diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pascamakan. Absorpsi simetdidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke SSP. Sekitar 50-80% dari dosisIV, dan 40% oral, simetidin diekskresikan dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2jam.
(4)

Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan memanjang pada orangtua dan pada pasien penyakit gagal ginjal. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 1-3jam setelah penggunaan 150mg ranitidin oral dan yang terikat protein pasma 15%. Metabolisme lintas pertamanya di hepar. Diekskresikan terutama diginjal sisanya pada tinja. (1) (4) Farmakodinamik. Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung sehingga pemberian simetidin atau ranitidin sekresinya dihambat. Simetidin dan

12

ranitidin juga mengganggu volurme dan lambung.


(1) (4)

kadar pepsin cairan

Dosis. Anatagonis reseptor H2 satu kali sehari pada malam hari diberikan untuk mengatasi gejala akut tukak lambung. Untuk premedikasi biasanya digunakan ranitidin 50-150mg. Efek samping. Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus. Kehilangan libido dan impoten. (4) OBAT INDUKSI ANESTESI INTRAVENA PROPOFOL Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profil fenol yang banyak dipakai sebagai obat anestesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Bentuk fisik berupa cairan berwarna putih seperti susu, tidak larut dalam air dan bersifat asam. Dikemas dalam bentuk ampul, berisi 20 ml/ampul (1ml = 10 mg).2 Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
7

Preparat propofol dapat ditumbuhi oleh bakteri,

oleh karena itu diperlukan teknik yang steril dalam menggunakan propofol. Preparat propofol juga ditambahi dengan 0,005% disodium edelate atau 0,025 sodium metabisulfite untuk membantu menekan tingkat pertumbuhan bakateri.5

13

A. Mekanisme Kerja Propofol bekerja dengan memfasilitasi dari inhibisi neurotransmiter yang diperantarai oleh GABA.5 B. Farmakokinetik 1. Absorbsi Propofol hanya diberikan secara intravena untuk induksi general anestesia dan untuk sedasi sedang sampai dalam. 5 2. Distribusi Kelarutan lemak yang tinggi dari propofol menyebabkan onset kerjanya yang cepat yang hampir sama cepatnya dengan thiopental tersadar setelah pemberian dosis tunggal juga cepat akibat paruh waktu distribusinya yang sangat cepat (2-8 menit). 5 3. Metabolisme Bersihan propofol melewati aliran darah hepar, menyatakan adanya metabolisme ekstrahepatik. Laju bersihan yang tinggi (10 kali lebih cepat daripada thiopental) mungkin menyebabkan penyembuhan yang cepat setelah diberikan melalui tetesan infus. Konjugasi di hepar menghasilkan metabolit yang tidak aktif dan dieliminasi lewat ginjal. 5,10 4. Ekskresi Walaupun metabolit propofol terutama diekskresi lewat urine namun penyakit ginjal kronis tidak mempengaruhi obat utamanya. 5 C. Efek pada Sistem Organ 1. Kardiovaskuler Efek yang utama adalah menurunkan tekanan darah arteri selama induksi anestesi. Penurunan tekanan arteri diikuti oleh penurunan COP hingga 15 %, stroke volume 25 %, tahanan sistemik vaskuler sekitar 15-25 %. Vasodilatasi muncul karena penurunan aktivitas simpatis, dan efek langsung pada mobilisasi Ca intrasel otot polos. Denyut jantung tidak ada perubahan yang berarti karena propofol juga menghambat barorefleks,

14

menurunkan respon takikardi terhadap hipotensi, terutama kondisi normokarbi atau hipokarbi. 5 2. Respirasi Seperti barbiturat, propofol mengakibatkan depresan respiratori yang menyebabkan apnea. Walaupun dengan dosis subanestetik, infus propofol mencegah arus ventilatori hipoksik dan menekan respon normal terhadap hiperkarbi.5 Walaupun propofol dapat menyebabkan pelepasan histamin, induksi dengan propofol pada pasien dengan wheezing pada pasian asma atau nonasma dibandingkan barbiturat tidak merupakan kontraindikasi. 5 3. Otak Propofol menurunkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Pada psien dengan peningkatan tekanan intrakranial, propofol dapat

menyebabkan reduksi CPP (<50 mmHg). Propofol dan tiophental dapat memproteksi otak selama terjadi iskemia fokal. Uniknya propofol mempunyai efek antipruritik. Propofol juga menurunkan tekanan intraokuler.5 E. Dosis dan Penggunaan Propofol 5

TEKNIK ANESTESI UMUM INTRAVENA Teknik Anestesi Umum Intravena.: 1. Persiapan pasien

15

2. Persiapan alat (STATICS) 3. Persiapan obat: (premedikasi, induksi, maintaince) 4. Berikan premedikasi 5. Induksi Persiapan Pasien 1. Anamnesa 2. Instruksi: pasang IV line, monitor Persiapan Alat Persiapan alat terdiri dari STATICS : Scope : laringoskop yang terdiri dari blade dan lampu, stetoskop; Tube : ETT yang nonkingking tiga nomor; Airway : pipaoroparing dan pipa nasoparing; Tape : plaster untuk fiksasi ETT; Intraducer : mandrin; Connector : penghubung pipa dengan mesin anestesi; Suction. Selain yang tersebut di atas, terdapat alat anestesi dan monitor sebagai perangkat utama. Disiapkan pula trakeotomi set bilamana terjadi keadaan darurat. Persiapan obat 1.Premedikasi. o Analgesik: fentanyl/ petidin/morfin o Sedatif: midazolam,/ diazepam/ dehydrobenzodiazepin o Hipnotik: ketamin/ pentotal o Antikolinergik: SA o Anti emetik: ondancetron/ ranitidin, 2. Induksi: propofol/ pentotal/ ketamin Pemberian premedikasi Premedikasi dapat dilakukan diruangan maupun di ruang OK, melalui oral (efek tercapai 1-2jam), Intramuskular (efek tercapai 30-40menit), dan Intravena (efek tercapai 2-3menit) Premedikasi digunakan sesuai tujuan; 1) Untuk menenangkan pasien (sedasi) berikan Midazolam (0,1 mg/KgBB) / Diazepam (0,1 mg/KgBB) / DBP 0,1 mg/KgBB. 2) Untuk mengurangi nyeri (analgetik) digunakan fentanyl 1-3 mcg/KgBB / petidin 1-2 mg/KgBB / morfin 0,1 mg/KgBB

16

3) Bila tensinya meningkat dapat diberikan Clonidin HCl (Catapress) 4) Bila mual muntah dapat diberikan ondancentron/ ranitidin/ simetidin. Induksi Induksi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar. Induksi intravena adalah induksi yg suntikan ke intravena, disuntikan perlah-lahan dengan kecepatan antara 30-60 detik.. Obat pilihannya. Propofol (2-2,5 mg/KgBB) / ketamin (1-2 mg/KgBB) / pentotal (4-6mg/KgBB) / golongan benzodiasepin; diazepam (0,05-0,2 mg/KgBB) / midazolam (0,15-0,3 mg/KgBB). Cek refleks bulu mata untuk penilaian adekuat obat tersebut. Kemudian berikan

II. DISLOKASI SHOULDER Dislokasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pergeseran secara total dari permukaan sendi. Dislokasi ditandai dengan keluarnya bongkol sendi dari mangkok sendi atau keluarnya kepala sendi dari mangkoknya. Bila hanya

sebagian yang bergeser disebut subluksasi dan bila seluruhnya disebut dislokasi. (Apley, 1995). Sendi Bahu merupakan salah satu sendi besar yang paling sering berdislokasi. Ini disebabkan karena beberapa faktor, dangkalnya mangkuk sendi glenoid; besarnya rentang gerakan; keadaan yang mendasari misalnya ligamentosa yang longgar atau displasia glenoid; dan mudahnya sendi itu terserang selama aktivitas yang penuh tekanan pada tungkai atas (Apley, 1995) a. Etiologi dislokasi Dari segi Etiologi, Dislokasi dapat disebabkan oleh: Cedera olah raga. Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.

17

Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga seperti benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin Patologis : terjadinya tear ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang.(Sufitmi, 2004)

Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada bagian lengan. Humerus terdorong kedepan , merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi. Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur. Mesti jarang, prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah ; lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi di bawah karakoid). b. Klasifikasi dislokasi 1. Dislokasi anterior Dislokasi anterior disebut juga sebagai dislokasi pregnoid, subkorakoid dan subklavikuler. Dislokasi bahu anterior merupakan kondisi dimana keluarnya caput humeri dari cavitas artikulare sendi bahu yang dangkal. Dislokasi sendi bahu anterior biasanya terjadi setelah cedera akut karena lengan dipaksa berabduksi, berotasi eksterna dan ekstensi sendi bahu. 2. Dislokasi posterior Dislokasi posterior lebih jarang ditemukan dan biasanya disebabkan karena trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi interna. 3. Dislokasi inferior atau luksasi erekta Kaput humerus mengalami jepitan di bawah glenoid dimana lengan mengarah ke atas sehingga terjadi dislokasi inferior. 4. Dislokasi disertai dengan fraktur tuberositas mayor humerus Jenis ini biasanya adalah dislokasi tipe anterior disertai fraktur. Apabila reposisi pada dislokasi, biasanya fraktur akan tereposisi dan melekat kembali pada humerus. Closed reduction Ekstremitas superior (Shoulder)

18

Penatalaksanaan

kasus

dislokasi

anterior

bahu

dilakukan

secara

konservatif dan operatif. Terapi cedera ini secara konservatif sering memberikan hasil yang memuaskan bila tidak disertai cedera lain didaerah tersebut seperti fraktur pada caput humeri atau tuberculum majus dan cedera neuromuscular. Pilihan terapi konservatif berupa reposisi tertutup dengan manuver Kocher (siku posisi 90 dan dilakukan traksi sesuai garis humerus. Lakukan rotasi lateral, kemudian adduksi lalu lakukan rotasi medial abduksi), immobilisasi dengan verban Velpeau atau collar cuff selama lebih kurang 3 minggu.

19

Reduksi dislokasi harus segera dilakukan untuk kasus dislokasi anterior bahu yang baru terjadi. Reduksi segera ini dapat dilakukan dengan 2 metode (Crenshaw, 1992 ; Rasjad, 2007) : 1. Metode Stimson Metode ini mudah dilakukan dan tidak memerlukan anestesi .Penderita diminta tidur telungkup dengan lengan yang terkena dibiarkan menggantung ke bawah dengan memberikan beban tergantung dari kekuatan otot si penderita yang diikatkan pada pergelangan tangan. Pada saat otot bahu dalam keadaan relaksasi, diharapkan terjadi reposisi akibat berat lengan yang tergantung disamping tempat tidur tersebut. Metode ini dilakukan selama 1015 menit (Wibowo, 1995)

Cara reposisi dislokasi bahu dengan metode Stimson 2. Metode Hippocrates Metode ini dilakukan jika metode stimson tidak memberikan hasil dalam waktu 15 menit. Reposisi dilakukan dalam keadaan anestesi umum. Lengan pasien ditarik kearah distal punggung dengan sedikit abduksi, sementara kaki penolong berada diketiak pasien untuk mengungkit kaput humerus kearah lateral dan posterior. Setelah reposisi, bahu dipertahankan dalam posisi endorotasi dengan penyangga ke dada selama paling sedikit 3 minggu.

20

Untuk kedua metode ini, pasien diminta mengabduksikan lengannnya secara lembut kemudian lakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak ada saraf aksilaris atau muskulokutaneus yang cedera. Lakukan kembali pemeriksaan Rontgen untuk konfirmasi.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208

2. Fentanyl.

Available

at:

http://www.webmd.com/pain-

management/fentanyl. Accessed on 23 October 2013. 3. Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivan-

propofol-343100#0. Accessed on 23 October 2013


4. Sandham J. Total Intravena Anesthesia. May 2009. Available at

http://www.ebme.co.uk/arts/tiva/index.php. accessed on 23 October 2013.


5. Hong LY, et al. Predictive performance of Diprifusor TCI system in patients

during upper abdominal surgery under propofol/fentanyl anesthesia.


Available at

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1390758/pdf/JZUSB060043.pdf. accessed on 23 October 2013.

22

You might also like