You are on page 1of 4

Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada

Universitas Airlangga untuk digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

Tim Peneliti : Prof. Dr. Agung Pranoto, dr.,MSc.Sp.PD-KEMD

Diabetes Mellitus di Indonesia, Permasalahan dan Penatalaksanaannya


Abstrak : Diabetes Mellitus di Indonesia, Permasalahan dan Penatalaksanaannya

Agung Pranoto Pusat Diabetes & Nutrisi RSUD Dr Soetomo-FK UNAIR

Latar Belakang

Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia, sekitar tahun 1980-an didapatkan prevalensi DM sebesar 1.5-2.3 % pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6.1 %. Walaupun demikian, prevalensi DM di daerah rural ternyata masih rendah. Di Tasikmalaya didapatkan prevalensi DM sebesar 1.1 %, sedang di kecamatan Sesean suatu daerah sangat terpencil di Tanah Toraja didapatkan prevalensi DM hanya 0.8 %. Di daerah Jawa Timur, perbedaan urban-rural ini tidak begitu tampak. Di Surabaya pada penelitian epidemiologis yang dikerjakan di Puskesmas perkotaan mencakup penduduk di atas 20 tahun (1991), didapatkan prevalensi sebesar 1.43 %, sedang di daerah rural pada suatu penelitian yang mencakup penduduk di atas 20 tahun (1989) juga didapatkan prevalensi yang hampir sama yaitu 1.47 %. Hasil penelitian epidemiologis di Jakarta (daerah urban) membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari 1.7 % pada tahun 1982 menjadi 5.7 % pada tahun 1993 serta kemudian pada tahun 2001 di Depok, sub-urban Jakarta menjadi 12.8 %. Demikian pula prevalensi DM di Ujung Pandang (daerah urban), meningkat dari 1.5 % pada tahun 1981 menjadi 2.9 % pada tahun 1998. Dalam Diabetes Atlas 2000 (International Diabetes Federation) tercantum perkiraan penduduk Indonesia di atas 20 tahun sebesar 125 juta dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4.6 %, diperkirakan pada tahun 2000 pasien DM akan berjumlah 5.6 juta. Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4.6 % akan didapatkan 8.2 juta pasien diabetes, suatu jumlah yang sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis / subspesialis. Semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, harus ikut serta dalam usaha menanggulangi masalah DM ini. Tentu saja program untuk mencegah dan menanggulangi timbulnya

Page 1

Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

Tim Peneliti : Prof. Dr. Agung Pranoto, dr.,MSc.Sp.PD-KEMD

ledakan DM ini harus sudah dimulai dari sekarang. Diabetes mellitus dapat menyerang warga segala lapisan umur dan sosial ekonomi.

Di Indonesia saat ini masalah DM belum menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas SDM, terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya. Dalam strategi pelayanan kesehatan bagi pasien diabetes, yang seyogyanya diintegrasikan ke dalam pelayanan kesehatan primer, peran dokter umum sangat penting. Kasus diabetes sederhana tanpa penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum. Apalagi kalau kemudian kadar glukosa darah ternyata terkendali baik dengan pengelolaan di tingkat pelayanan kesehatan primer. Tentu saja harus ditekankan pentingnya tindak lanjut jangka panjang pada para pasien diabetes tersebut. Pasien diabetes yang potensial akan menderita penyulit DM perlu secara periodik dikonsultasikan kepada dokter ahli terkait ataupun kepada tim pengelola DM pada tingkat lebih tinggi di rumah sakit rujukan. Kemudian mereka dapat dikirim kembali kepada dokter yang biasa mengelolanya. Demikian pula pasien diabetes yang sukar terkendali kadar glukosa darahnya, pasien diabetes dengan penyulit, apalagi penyulit yang potensial fatal, perlu dan harus ditangani oleh instansi yang lebih mampu dengan peralatan yang lebih lengkap, dalam hal ini Pusat Diabetes di Fakultas Kedokteran / Rumah Sakit Pendidikan / RS Rujukan Utama. Diabetes mellitus adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang berperan dalam pengelolaannya tidak hanya dokter, perawat dan ahli gizi, tetapi lebih penting lagi keikutsertaan pasien sendiri dan keluarganya. Edukasi kepada pasien dan keluarganya akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan DM. Karena itu perlu dibentuk perkumpulan pasien diabetes, yang tentu akan sangat membantu meningkatkan penetahuan mereka tentang DM dan memikirkan kepentingan mereka sendiri semaksimal mungkin. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna untuk menekan angka penyulit, diperlukan suatu standar pelayanan minimal bagi pasien diabetes. Penyempurnaan dan revisi berskala standar ini perlu disesuaikan dengan kemajuan-kemajuan ilmu mutakhir, kondisi dan masukan dari para pengelola DM, sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien diabetes. Tantangan dalam pengobatan DM meliputi pencegahan primer, sekunder, pencegahan tersier, dan penanganan komplikasi baik akut dan kronik. Beberapa pedoman dan target terapi pengelolaan dapat menjadi acuan pengelolaan DM antara lain ADA (2004,2006,2008) , Perkeni (2006), AACEE (2008). Peran metformin dalam berbagai tantangan pengelolaan DM akan disampaikan singkat pada makalah ini. Perjalanan Klinik DMT2 Pasien DMT2 umumnya memiliki gangguan fungsi sekresi insulin dan aksi insulin. Gangguan fungsi sekresi insulin dapat bermanifestasi melalui 3 mekanisme antara lain: (Mayfield & White, 2004; Skyler, 2004) Penumpulan atau hilangnya respon insulin tahap pertama, sehingga sekresi insulin telambat dan gagal untuk mengembalikan lonjakan gula darah prandial pada waktu yang normal. Penurunan sensitifitas insulin sebagai respon terhadap glukosa, sedemikian rupa sehingga hiperglikemia gagal memberikan stimulasi terhadap respon insulin yang wajar Secara umum penurunan kapasitas sekresi insulin terjadi secara progresif, makin lama sakit DM
Page 2

Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

Tim Peneliti : Prof. Dr. Agung Pranoto, dr.,MSc.Sp.PD-KEMD

maka makin berat proses DM nya. Sebelum diagnosis DMT2 ditegakkan dan pemberian terapi dimulai, sebenarnya sel beta Pankreas memproduksi insulin berlebihan untuk mengakomodasi resistensi insulin, tetapi pada akhirnya sel beta Pankreas diganti dengan jaringan amyloid, dan produksi insulin mengalami penurunan. Pada saat diagnosis DMT2 ditegakkan, sebenarnya fungsi sel beta Pankreas yang normal tinggal 50%. Penelitian The United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) mendemonstrasikan bahwa dengan berjalannya waktu fungsi sekresi insulin terus mengalami penurunan, meskipun pasien menjalani terapi diit, olahraga, metformin, sulfonylurea, atau insulin (UKPDS Study Group, 1995). Penurunan kapasitas sekresi insulin adalah proses yang dinamis dan bukan statis, sedemikian rupa sehingga hiperglikemia kronis akan memberikan dampak terganggunya proses sekresi insulin yang dikenal dengan fenomena glucose toxicity. Pada DMT2 . kontrol glikemik yang dekompensasi terjadi pula secara bersamaan dengan penurunan respon sekresi insulin. Hal terpenting adalah respon endogen insulin dengan beban makanan dapat mengalami perbaikan dengan koreksi dari hiperglikemia. Dengan demikian pencapaian kontrol glukosa darah normal akan memfasilitasi kontrol glukosa darah dalam jangka panjang (dikutip: Hendromartono, 2004; Mayfield & White, 2004; Skyler, 2004; Askandar & Agung, 2005). Pasien DMT2 umumnya juga mengalami gangguan aksi insulin (resistensi insulin) pada sel-sel target. Keadaan ini secara umum akan meningkatkan kebutuhan insulin. Seperti halnya sekresi insulin, gangguan aksi insulin ini merupakan proses yang dinamis dan tidak statis. Hiperglikemi kronik akan meningkatkan gangguan aksi insulin, yang merupakan bentuk manifestasi lain dari toksisitas glukosa. Dengan demikian, keadaan dekompensasi kontrol glikemik selalu disertai pula dengan penurunan aksi insulin. Hal yang penting lainnya adalah aksi insulin pada sel-sel target akan mengalami perbaikan yang bermakna jika hiperglikemia dapat dikoreksi Mayfield & White, 2004; Skyler, 2004). Tantangan pencegahan primer DMT2 Pencegahan primer DMT2 berdasarkan kenyataan bahwa (a) DMT2 merupakan penyakit dimana genetik memegang peran penting (b) pengobatan yang ada dewasa ini kenyataannya hanya bisa mencegah sebagian daripada bebrbagai macam komplikasi DM (c) DM merupakan penyakit yang progresif, (d) pencegahan sekunder sangat mahal, (e) factor risiko dan natural history DMT2 telah dikenali. Meskipun demikian pencegahan primer DMT2 belum popular pada praktek medis sehari-hari. Paradigma pencegahan primer DMT2 pada saat ini mendapatkan berbagai macam sanggahan pertanyaan antara lain “ Apakah DMT2 dapat benar-benar dicegah”, “ Apakah modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologi dapat menurunkan frekuensi DM pada kelompok risiko tinggi, “Apakah pencegahan DMT2 dapat efektif pada berbagai kelompok etnis? Apakah semua individu yang mempunyai keluarga DM memerlukan pencegahan primer? Pada masa sekarang bukti yang kuat menunjukkan bahwa DM dapat dicegah. Pada tahun 2001, studi Diabetes Prevention Study (DPS) yang dilakukan di Finlandia memberikan hasil yang positif (Tuomilehto et al., 2001). Sekelompok individu dengan Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) secara random mendapatkan perlakuan intervensi gaya hidup, dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selama 3,2 tahun pengamatan, insidens DM pada kelompok intervensi intensif menunjukkan penurunan insidens 58 % dibandingkan dengan kelompok control, sehingga penelitian harus dihentikan lebih dini. Sebagai akibatnya, studi Diabetes Prevention Program (DPP) yang sedang berjalan di Amerika dilakukan analisis interim, dan pada tahun 2002 dilaporkan menghasilkan kesimpulan yang serupa seperti studi di Finlandia (Knowler et al., 2002). Penelitian tersebut melibatkan total sejumlah 3234 orang dari 27 pusat penelitian dengan masa pengamatan rerata 2,8 tahun. Studi tersebut memperbandingkan intervensi intensif gaya hidup dengan kontrol gaya hidup standard, didapatkan hasil penurunan insidens sebesar 58 %. Hasil penelitian lainnya yang menunjang adalah dari penelitian non-randomized di Malmo (Eriksson
Page 3

Dokumen Artikel Penelitian ini milik penulis/peneliti yang diserahkan sebagian (judul dan Abstrak) hak ciptanya kepada Universitas Airlangga untuk digunakan referensi dalam penulisan artikel ilmiah.

Tim Peneliti : Prof. Dr. Agung Pranoto, dr.,MSc.Sp.PD-KEMD

& Lindgarde, 1991), dan penelitian Chinese Da Qing study (Pan et al., 1997), kedua penelitian tersebut juga dengan subyek GTG, hasilnya juga mengindikasikan bahwa intevensi gaya hidup dapat menurunkan risiko DMT2. Intervensi farmakologis juga menunjukkan hasil yang menjanjikan. Hasil penelitian DPP juga menunjukkan bahwa pasien yang mengkonsumsi metformin (dan gaya hidup standard), dibandingkan dengan kelompok gaya hidup standard, didapatkan penurunan DM sebesar 31 %

(Knowler et al., 2002). Penelitian STOPP-NIDDM yang dilakukan di Kanada, Israel, dan Eropa meliputi subyek sebesar 1429 orang (rerata umur 54,5 tahun, semuanya dengan GTG), secara random menerima acarbose atau placebo, dilakukan pengamatan rerata selama 3,3 tahun, dilaporkan penurunan insidens DM sebesar 25 % (Chiasson et al., 2002). Pada penelitian TRIPOD dengan subyek wanita DM Gestasional secara acak dengan desain buta ganda menerima obat troglitazone , waktu pengamatan 30 bulan, didapatkan hasil DM pada kelompok troglitazone dapat turun sebesar 55 % (12,1% versus 5,4%). Penelitian dari China lainnya menunjukkan bahwa penggunaan acarboses dan metformin dapat menurunkan risiko kejadian DM pada subyek GTG yang kurus (Wenying et al., 2001). Penelitian XENDOS (Xenical in the Prevention of Diabetes in Obese Subjects) menggunakan obat penurun berat badan Orlistat dibandingkan dengan terapi gaya hidup untuk mencegah DMT2, dengan masa pengamatan 4 tahun (Torgerson et al., 2004). Individu-2 dengan BMI > 30 kg/m2 , umur antara 30 – 60 tahun dimana 21 % mengalami GTG pada saat awal penelitian, menerima konsultasi gaya hidup setiap 2 minggu selama 6 bulan pertama dilanjutkan dengan kkonsultasi bulanan pada tahap berikutnya. Pada masa pengamatan 4 tahun pada kelompok placebo penurunan berat badan rerata 3 kg, sedangkan kelompok orlistat 5,8 kg. Pada kelompok placebo angka cumulative incidence 9,0 % sedangkan pada kelompok orlistat 6,2 kg, dengan penurunan risk reduction 37 %. Penelitian yang terakhir, studi DREAM (Diabetes Reduction Assessment with Ramipril and Rosiglitazone Medication), jumlah subyek penelitian 5269 orang, menunjukkan bahwa rosiglitazone dosis 8 mg/hari pada subyek prediabetes (GTG dan/atau Gangguan Toleransi Puasa) sangat efektif untuk menurunkan risiko DM sebesar 60%. Berbagai hasil penelitian diatas menunjukan bahwa DMT2 sebenarnya dapat dilakukan pencegahan melalui modifikasi gaya hidup ataupun intervensi farmakologis. Keyword : DMT2, HBA1c, Algoritma Terapi

Page 4

You might also like