You are on page 1of 5

A. Staphylococcus aureus Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah.

Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994). Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada vena, trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya endokarditis, osteomielitis akut hematogen, meningitis atau infeksi paru-paru (Warsa, 1994; Jawetz et al., 1995). Kontaminasi langsung S. aureus pada luka terbuka (seperti luka pascabedah) atau infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka) dan meningitis setelah fraktur tengkorak, merupakan penyebab infeksi nosokomial (Jawetz et al., 1995). Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S. aureus. Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 g/gr makanan. Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertaidemam (Ryan, et al., 1994 ; Jawetz et al., 1995). Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anak-anak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran darah (Jawetz et al., 1995). B. Staphylococcus epidermidis (Staphylococcus albus) Infeksi S. epidermidis berhubungan dengan perangkat intravaskular (katup jantung buatan, hunts, dll), tetapi biasanya terjadi pada sendi buatan, kateter, dan luka besar. Infeksi kateter bersama dengan kateter-induced UTI menyebabkan peradangan serius dan sekresi nanah. Septicaemia dan endokarditis termasuk penyakit yang berhubungan dengan S. epidermidis. Gejala yang timbul adalah demam, sakit kepala, dan kelelahan untuk anoreksia dan dyspnea. Septicaemia terjadi akibat infeksi neonatal, terutama ketika bayi lahir dengan berat badan sangat rendah, sedangkan endokarditis adalah infeksi katup jantung dan bagian lapisan dalam dari otot jantung. S. epidermidis dapat mencemari peralatan oerawatan pasien dan permukaan lingkungan.

C. Streptococcus Streptokokus Grup A dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Paling banyak dijumpai adalah radang tenggorokan dan infeksi kulit (impego atau pioderma). Penyakit lainnya termasuk demam Scarlet (ICD-10 A38), infeksi nifas (ICD-10 085), septikemia, erisipelas, selulitis, mastoiditis, otitis media, pneumonia, peritonsilitis, infeksi luka dan yang jarang terjadi yaitu necrotizing fasciitis, demam rematik dan toxic shock like syndrome. Jika terjadi suatu KLB (Kejadian Luar Biasa), maka salah satu bentuk klinis sering kali lebih dominan. Penderita dengan radang tenggorokan yang disebabkan Streptokokus ditandai dengan munculnya demam secara tiba-tiba, sakit pada tenggorokan, tonsillitis exudativa atau faringitis dan terjadi pembesaran kelenjar limfe leher bagian depan. Faring, kripte tonsil, dan palatum molle berwarna merah dan bengkak, mungkin timbul petekie berlatar belakang warna kemerahan dan menyebar. Gejala klinis yang timbul dapat minimal (sedikit) atau tidak ada sama sekali. Dapat terjadi otitis media atau abses peritonsiler, dan setelah 1 5 minggu kemudian dapat muncul glomerulonefiritis akut (rata-rata = 10 hari) atau demam rematik akut (rata-rata = 19 hari). Pada demam rematik dapat muncul Chorea Sydenham beberapa bulan setelah infeksi Streptokokus, penyakit jantung rematik terjadi beberapa hari atau minggu setelah infeksi streptokokus akut. Infeksi kulit oleh Streptokokus (pioderma, impetigo) biasanya menyerang di bagian superficial kulit dan dapat berkembang menjadi bentuk vesikuler, pustuler dan berkrusta. Ruam Scarlatiniform jarang terjadi dan tidak mengakibatkan demam rematik, namun glomerulonefiritis dapat terjadi 3 minggu setelah infeksi kulit. Demam scarlet adalah salah satu bentuk dari infeksi Streptococcus dengan ciri ruam pada kulit, ini terjadi apabila infeksi disebabkan oleh Streptococccus yang menghasilkan eksotoksin pirogenik (toksin eritrogenik) dan penderita disensitisasi namun tidak kebal terhadap toksin tersebut. Gejala klinis yang khas pada demam scarlet antara lain meliputi semua gejala yang ada pada radang tenggorokan yang disebabkan oleh Streptococcus (atau gejala infeksi pada luka, pada kulit atau pada infeksi nifas), strawberry tongue dan exanthem. Ruam biasanya berupa eritema, punctata, memucat jika ditekan, sering teraba (seperti ampelas) dan muncul paling sering pada leher, dada, bahu, lipat ketiak, daerah inguinal, permukaan bagian dalam dari paha. Ciri khas dari demam scarlet adalah ruam tidak pada muka, namun pipi terlihat merah dan disekitar mulut terlihat pucat. Demam tinggi, mual dan muntah sering meyertai infeksi yang berat. Selama masa konvalesen terjadi deskuamasi kulit pada ujung jari tangan dan kaki, jarang terjadi pada daerah yang luas pada tubuh dan bibir, termasuk telapak tangan dan telapak kaki, deskuamasi terlihat jelas pada eksantem yang berat. Case Fatality Rate (CFR) di beberapa tempat kadang-

kadang mencapai lebih dari 3%. Demam scarlet mungkin diikuti dengan gejala sisa yang sama dengan radang tenggorokan yang disebabkan oleh Streptococcus. Erisipelas adalah selulitis akut ditandai dengan demam, gejala umum, leukositosis dan lesi kulit berwarna merah, lunak, edematus, sering dengan peninggian kulit dengan batas jelas. Pada bagian tengah lesi cenderung lenyap pada saat bagian tepi meluas. Muka dan kaki adalah bagian tubuh yang paling sering terkena. Penyakit ini sering kambuh kembali dan lebih banyak menyerang wanita dan gejala menjadi lebih berat jika disertai dengan bakteriemia, dan pada orang dengan debilitas. Case Fatality Rate (CFR) sangat bervariasi tergantung pada bagian tubuh yang terserang dan adanya komplikasi. Erisipelas karena streptokokus grup A berbeda dengan erisipeloid yang disebabkan oleh Erysipelotrhix rhusiopathiae yaitu infeksi lokal pada kulit, merupakan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan yaitu menginfeksi orang-orang yang menangani ikan air tawar atau kerang, babi yang terinfeksi, kalkun dan jarang infeksi berasal dari kambing, sapi, ayam atau burung. Selulitis Perianal yang disebabkan Streptokokus grup A diketahui lebih sering terjadi pada akhir akhir ini. Infeksi Streptokokus masa nifas/demam nifas adalah penyakit akut, biasanya muncul panas disertai dengan gejala lokal dan umum serta tanda-tanda invasi bakteri pada saluran genitalia dan kadang-kadang bakteri masuk dalam aliran darah pada penderita post partum atau post abortus. Case Fatality Rate (CFR) pada demam nifas ini bisa ditekan serendah mungkin bila mendapat pengobatan yang kuat. Infeksi streptokokus masa nifas mungkin disebabkan oleh organisme selain Streptokokus hemolitikus; gejala klinisnya akan nampak sama, yang berbeda adalah pada sifat bakteriologis dan epidemiologinya (penyakit oleh Stafilokokus). Toxic Shock Syndrome (TSS) yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A di AS meningkat sejak tahun 1987. Gejala klinis yang menonjol adalah hipotensi dan salah satu dari gejala berikut yaitu kerusakan ginjal; trombositopenia; Disseminated Intravascular Coagulation/DIC; peningkatan SGOT atau peningkatan kadar bilirubin; sindroma gagal pernafasan pada orang dewasa; ruam eritematus makuler menyebar atau nekrosis jaringan lunak (necrotizing fasciitis) oleh media dinamakan flesh-eating bacteria. TSS dapat muncul dalam bentuk sistemik ataupun lokal (tenggorokan, kulit, paru) Streptokokus grup lain dapat juga menyebabkan penyakit pada manusia. Streptokokus Beta-hemolitik grup B sering ditemukan pada vagina dan dapat menyebabkan sepsis neonatal dan meningitis supurativa pada neonatus (lihat tentang infeksi streptokokus grup B, pada neonatus dibawah) dan juga dapat menyebabkan infeksi pada saluran kencing, endometritis post partum dan penyakit sistemik lainnya pada orang dewasa, terutama pada penderita diabetes mellitus. Sedangkan organisme grup D (termasuk enterokokus), baik yang hemolitik maupun yang nonhemolitik, sebagai penyebab endokarditis bakteriil sub akut dan penyebab infeksi saluran kencing. Grup C dan G menyebabkan KLB tonsilitis biasanya ditularkan melalui makanan. Peran organisme ini terhadap

timbulnya kasus sporadis belum diketahui dengan jelas. Glomerulonefritis muncul setelah infeksi grup C, namun sangat jarang terjadi pada infeksi grup G. Grup G dan Grup C tersebut sama-sama tidak menyebabkan demam rematik. Infeksi grup C dan G lebih sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Streptokokus Alfa-hemolitik juga sering dapat menyebabkan terjadinya endokarditis bakteriil sub akut. D. Corynebacterium diphtheria Difteria merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Lesi primer biasanya terdapat pada tenggorokan atau nasofaring dan dicirikan dengan adanya penyebaran pertumbuhan pseudomembranosa keabu-abuan. Bakteri berbiak pada tempat tersebut, dan mengeluarkan eksotoksin yang dibawa oleh darah ke berbagai jaringan tubuh, menyebabkan hemoragik dan kerusakan nekrotik pada berbagai organ. Strain C. diphtheriae toxigenik dan nontoxigenik dapat menyebabkan penyakit, hanya strain yang menghasilkan toksin yang menyebabkan manifestasi sistemik yang sering berhubungan dengan penyakit yang berat atau mematikan. E. Clostridium tetani Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Penyebaran toksin Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut : 1. Masuk ke dalam otot Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat. 2. Penyebaran melalui sistem limfatik Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik. 3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah. Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis

optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat. 4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP) Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor. F. Clostridium botulinum Bakteri Clostridium Botulinum memiliki bentuk spora. Spora ini dapat bertahan dalam keadaan dorman selama beberapa tahun dan tahan terhadap kerusakan. Jika lingkungan di sekitarnya lembab, terdapat cukup makanan, dan tidak ada oksigen, spora akan mulai tumbuh dan menghasilkan toksin. Beberapa toksin yang dihasilkan bakteri Clostridium botulinum memiliki kadar protein tinggi yang tahan terhadap pengrusakan oleh enzim pelindung di usus. Jika makan makanan yang tercemar, racun masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan, menyebabkan foodborne botulism. Sumber utama botulisme ini adalah makanan kalengan. G. Clostridium perfringens lewat luka/ trauma jaringan spora tumbuh menjadi sel vegetatif meragikan karbohidrat jaringan membentuk gas, Gas yg dihasilkan adalah CO2 dan H2 peregangan jaringan (bengkak) gangguan aliran darah. Sekresi toksin menyebabkan nekrosis & enzim hialuronidase mempercepat penyebaran infeksi, anemia hemolitik, toksemia berat, kematian

You might also like