You are on page 1of 6

BioSMART Voume 3, Nomor 2 Halaman: 7-12

ISSN: 1411-321X Oktober 2001

Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae UICC 524


The Isoflavone Biotransformation by Rhizopus oryzae UICC 524
TJAHJADI PURWOKO1, SUYANTO PAWIROHARSONO2, dan INDRAWATI GANDJAR3
2

Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, Puspitek Serpong 2 Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi FMIPA UI Jakarta
Diterima: 18 Juli 2001. Disetujui: 31 Agustus 2001

ABSTRACT
Soybean (Glycine max (L.) Merr.) is known to contain isoflavones. Four major forms of isoflavones are acetylglycosides, malonylglycosides, glycosides, and aglycones respectively. Rhizopus oryzae UICC 524 and Rhizopus microsporus var. chinensis UICC 521, are respectively produced the isoflavone aglycones isolated from soybean tempe. Soybean tempe is the most popular indigenous fermented food in Indonesia. The tempe samples were extracted with methanol and the extraction defeated with hexane. The isoflavone aglycones were isolated using column chromatography, and then analyzed using a gradient elution reverse phase of high-pressure liquid chromatography (HPLC). The profile of isolated isoflavone aglycones contains daidzein and genistein, and no factor2 (6,7,4-trihidroxyisoflavone) and glycitein were detected. The daidzein resulted from biotransformation of daidzin was dominant in both tempe samples. The isoflavone biotransformation activity was much greater by R. microsporus var. chinensis UICC 521 than R. oryzae UICC 524, except on 24 hours incubation. After 72 hours of incubation, the total isoflavone aglycones in tempe using R. microsporus var. chinensis UICC 521 was 721.6 g/g and when using R. oryzae UICC 524, was 268.2 g/g. Key words: daidzein; genistein; isoflavone; Rhizopus; tempeh.

PENDAHULUAN Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) telah lama dikenal masyarakat Asia, yang secara tradisional mengonsumsinya dalam berbagai bentuk olahan. Kedelai dapat langsung dikonsumsi (tanpa olahan), misalnya maotou dan toufen di Cina, serta edamame di Jepang. Kedelai dapat juga diolah, baik dengan fermentasi, misalnya natto dan miso di Jepang, serta tempe di Indonesia, atau tanpa fermentasi, misalnya touchang dan toufu di Cina, serta tahu di Indonesia (Kwon & Song, 1996). Komposisi nilai nutrisi kedelai adalah protein 46,1%, lemak 22,7%, dan karbohidrat 10,1% (Astuti, 1995). Lemak yang terkandung dalam kedelai, sebagian besar adalah asam lemak tak jenuh dan mengandung 15% asam lemak jenuh. Di samping itu, kedelai banyak mengandung kalsium, besi, seng, dan vitamin terlarut dalam lemak (Kwon & Song, 1996). Peterson & Barnes (1991) dan Lamartiniere dkk. (1996) melaporkan, kedelai dapat menurunkan

risiko terserang penyakit kanker, karena kedelai mengandung isoflavon yang mampu menghambat pertumbuhan sel kanker. Isoflavon juga bermanfaat sebagai antioksidan (Gyorgy dkk., 1964; Zilliken, 1982), antiatherosklerosis (Anthony dkk., 1996), antiosteoporosis (Blair, 1996), agen hipokolesterolemik (Clarkson, 1999), dan agen estrogenik (Eden dkk., 1996). Isoflavon yang ditemukan dalam kedelai, yaitu daidzein (7,4-dihidroksi isoflavon), genistein (5,7,4-trihidroksiisoflavon), dan glisitein (6metoksi- 7,4-dihidroksiisoflavon) (Gambar 1). Di samping itu ditemukan juga bentuk glikosida dari isoflavon tersebut, yaitu daidzin (daidzein 7-oglikosida), genistin (genistein 7-o-glikosida), dan glisitin (glisitein 7-o-glikosida), (Barz dkk., 1990). Kudou dkk. (1991) dan Wang dkk. (1998) melaporkan, terdapat bentuk malonilglikosida dan asetilglikosida yang juga ditemukan di kedelai, yaitu 6-o-malonildaidzin, 6-o-malonilgenistin, 6-o-malonilglisitin, 6-o-asetildaidzin, 6-oasetilgenistin, dan 6-o-asetilglisitin. Gyorgy dkk.
2001 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

BioSMART Vol. 3, No. 2, Oktober 2001, hal. 7-12

(1964) menemukan isoflavon yang diisolasi dari tempe tradisional, yaitu faktor-2 (6,7,4-trihidroksiisoflavon). Kadar setiap jenis isoflavon dalam kedelai bervariasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar isoflavon, yaitu faktor genetik kultivar kedelai, lingkungan tempat tumbuh kedelai, dan proses pengolahan kedelai menjadi makanan dari kedelai (Wang dkk., 1998). Pada proses pembuatan isolat protein kedelai dari tepung kedelai, kadar isoflavon dalam isolat protein kedelai lebih kecil dibandingkan dalam tepung kedelai, karena sebagian isoflavon terbuang pada saat proses ekstraksi, presipitasi dan pencucian (Wang dkk., 1998). Tempe merupakan makanan tradisional masyarakat Indonesia dan terbuat dari kedelai yang difermentasi kapang genus Rhizopus. Steinkraus (1988) menyatakan, bahwa tempe adalah massa putih terselimuti miselium kapang dan merupakan hasil fermentasi kotiledon yang direndam, dikuliti, dan dimasak. Dilaporkan juga, kapang yang baik untuk membuat tempe adalah R. microsporus var. oligosporus dan R. oryzae. Zakiatulyaqin (1999) melaporkan, R. microsporus var. chinensis UICC 521 dapat melakukan biotransformasi isoflavon pada fermentasi tempe. Surbakti (1999) melaporkan, R. oryzae UICC 524 dapat melakukan fermentasi tempe lebih lama dibandingkan yang dilakukan R. microsporus var. oligosporus. Dilaporkan juga, bentuk dan aroma tempe hasil fermentasi R. oryzae UICC 524 dapat diterima konsumen. Akan tetapi, Surbakti (1999) tidak melaporkan aktivitas biotransformasi isoflavon oleh R. oryzae UICC 524. Tujuan penelitian adalah mengetahui potensi R. oryzae UICC 524 dalam melakukan biotransformasi isoflavon (isoflavon glikosida menjadi isoflavon aglikon) pada fermentasi tempe dan membandingkan dengan potensi R. microsporus var. chinensis UICC 521 pada kondisi lingkungan yang sama. BAHAN DAN METODE Bahan Kedelai [Merbabu] diperoleh dari pasar swalayan Mega M, Depok. Mikroorganisme, yaitu Rhizopus oryzae UICC 524 dan Rhizopus microsporus var. chinensis UICC 521 diperoleh dari koleksi UICC (University of Indonesia Collection Center), Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi FMIPA UI Jakarta. Medium, yaitu Potato Sucrose Agar (PSA) dibuat di laboratorium di atas.

Pelarut kimia, yaitu metanol dan heksana [Merck]. Adsorbent, yaitu poliamida CC-6 [MN] dan Lichrosorb RP-18 [Merck]. Eluent HPLC, yaitu asetonitril dan asam asetat [Lichrosorb]. Isoflavon standar, yaitu faktor-2, daidzein, glisitein, dan genistein diperoleh dari Laboratorium Teknologi Bioindustri, Pusat Penelitian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, Puspiptek-Serpong. Cara Kerja Pembuatan inokulum tempe Beras (15 g) dan akuades (15 ml) diletakkan dalam cawan petri, kemudian disterilisasi dalam autoklaf (121 C, 2 atm, 15 menit), sehingga menjadi nasi. Setelah dingin, nasi tersebut diinokulasi dengan 0,9 ml (3%) suspensi spora kapang ( 1x106 cfu/ml) (Zakiatulyaqin, 1999) dan diinkubasikan pada suhu 30 C sampai bersporulasi penuh ( 3 hari). Inokulum tempe dikeringkan dalam oven (40 C, 72 jam), kemudian diblender sampai menjadi bubuk. Bubuk inokulum tempe disimpan dalam cawan petri steril pada suhu 4 C. Perhitungan viabilitas spora inokulum tempe Perhitungan viabilitas spora dalam inokulum tempe dilakukan dengan cara yang sama seperti perhitungan viabilitas spora Rhizopus spp. Suspensi spora yang digunakan berasal dari 1 g inokulum tempe ditambah dengan 2 ml air steril. Pengenceran serial dimulai dari 10-2, 10-3, 10-4, sampai 10-5. Suspensi spora dari pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5, kemudian ditumbuhkan pada medium PSA. Pembuatan tempe Pembuatan tempe dilakukan menurut metode Siregar & Pawiroharsono (1997). Kedelai (500 g) direndam dalam air mendidih dan dibiarkan selama 12 jam pada suhu kamar ( 30 C). Kedelai dikuliti, dan dikukus selama 1 jam. Kotiledon kedelai (50 g) diletakkan dalam cawan petri dan disterilisasi dalam autoklaf (121 C, 2 atm, 15 menit). Setelah dingin, kotiledon tersebut diinokulasi dengan 0,15 g (0,3%) inokulum tempe ( 4x104 cfu/g) dan diinkubasikan pada suhu 30 C selama 24-72 jam sampai menjadi tempe. Ekstraksi tempe Ekstraksi tempe dilakukan menurut metode Siregar & Pawiroharsono (1997). Tempe (30 g) dipotong dengan ukuran 1x1x1 cm dan dikeringkan

PURWOKO dkk. - Biotransformasi isoflavon oleh Rhizopus oryzae

dalam oven (40 C, 1 jam). Sampel tempe tersebut diblender, kemudian diekstraksi dalam 150 ml metanol selama 30 menit dengan magnetic stirrer. Ekstrak tempe disaring dengan kertas saring. Bagian padat diekstrak kembali dalam 30 ml metanol dengan magnetic stirrer selama 15 menit dan disaring. Kedua filtrat dikumpulkan dan dikeringkan dengan rotary evaporator [Buchii R140] (40 C, kondisi vakum). Residu dilarutkan dalam 10 ml metanol 50% dan 20 ml heksana, kemudian dikocok. Lapisan bawah yang merupakan ekstrak metanol tanpa lemak diambil dan dikeringkan dengan rotary evaporator (40 C, kondisi vakum). Residu dilarutkan dalam 15 ml metanol 30% dan disentrifugasi [Heitich EBA 8S] (5.000 g, 5 menit), kemudian supernatan diambil. Isolasi isoflavon aglikon Isolasi isoflavon aglikon menggunakan kromatografi kolom menurut metode Siregar & Pawiroharsono (1997). Ekstrak metanol (2 ml) dimasukan ke kolom (55x15 mm) yang berisi adsorbent poliamida CC-6. Proses kromatografi dimulai dengan mengalirkan 50 ml larutan eluent yang berurutan, yaitu metanol 30%, metanol 50%, dan metanol 70%. Fraksi larutan yang keluar dari eluent metanol 70% ditampung dan dikeringkan dengan rotary evaporator (40 C, kondisi vakum). Residu dilarutkan dalam 2 ml metanol dan disentrifugasi [Sigma 3M] (12.000 g, 5 menit). Supernatan diambil untuk analisis kuantitatif isoflavon aglikon. Analisis kuantitatif isoflavon aglikon Analisis jenis dan kadar masing-masing isoflavon aglikon menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) menurut metode Siregar & Pawiroharsono (1997). Sampel (20 l) dimasukkan ke kolom yang berisi adsorbent Lichrosorb RP-18 (250x5 mm). Proses kromatografi dimulai dengan mengalirkan gradient eluent asetonitril 20-60% dan asam asetat 3% dengan kecepatan 0,8 ml/menit. Komponen isoflavon aglikon sampel terdeteksi dengan penyerapan cahaya ultraviolet pada panjang gelombang () 261 nm. HPLC yang digunakan

adalah sistem fase balik (reverse phase) MerckHitachi model 6200A intellegent pump, model L4000 UV-detector, dan model D-2500 chromatointegrator. Jenis isoflavon aglikon sampel diketahui dengan melihat kesamaan waktu retensi peak sampel dengan peak isoflavon standar. Kadar isoflavon aglikon sampel diketahui dengan membandingkan luas peak isoflavon aglikon sampel dengan peak isoflavon standar yang telah diketahui kadarnya. Kadar ditulis dengan satuan mikrogram per gram berat kering (g/g). HASIL DAN PEMBAHASAN Pada proses ekstraksi tempe, pelarut yang digunakan tidak sepenuhnya metanol 100%, karena sampel tempe mengandung air dalam jumlah yang besar. Coward dkk. (1993) menyatakan, bahwa pelarut yang optimal untuk isolasi isoflavon adalah metanol 80%. Pengunaan kromatografi kolom sebelum analisis HPLC dimaksudkan supaya isoflavon glikosida terpisah dari isoflavon aglikon, karena senyawa isoflavon standar yang digunakan hanya isoflavon aglikon. Pada proses pembuatan tempe, kedelai direndam dalam air mendidih supaya isoflavon malonilglikosida dan asetilglikosida terdeesterifikasi menjadi isoflavon glikosida (Kudou dkk., 1991; Coward dkk., 1993). Di samping itu, supaya enzim -glukosidase yang ada di biji kedelai terdenaturasi, karena, pada umumnya, enzim terdenaturasi pada suhu 100 C. Oleh karena itu, biotransformasi isoflavon glikosida menjadi isoflavon aglikon oleh Rhizopus spp dapat dimaksimalkan. Pada tempe yang difermentasi R. oryzae UICC 524 dan R. microsporus var. chinensis UICC 521, dijumpai daidzein dan genistein, sedangkan faktor2 dan glisitein tidak terdeteksi (Tabel 2). Faktor-2 merupakan isoflavon aglikon yang diperoleh dari hidroksilasi daidzein atau demetilasi glisitein.

Tabel 1. Morfologi Tempe dengan inokulum R. oryzae UICC 524 dan R. microsporus var. chinensis UICC 521. Waktu 24 jam 48 jam 72 jam R. oryzae UICC 524 Miselium merata, warna putih, kotiledon terjalin, aroma khas tempe (suhu 32 C). Miselium padat, warna putih, kotiledon tertutupi miselium, aroma khas tempe (suhu 33 C). Muncul spora, warna putih dan hitam, tempe lunak dan berlendir (suhu 32 C) R. microsporus var. chinensis UICC 521 Miselium tipis, warna putih, kotiledon belum terjalin (suhu 32 C). Miselium padat, warna putih, kotiledon tertutupi miselium, aroma khas tempe (suhu 36 C). Muncul spora, warna putih dan hitam, tempe lunak (suhu 38 C).

10

BioSMART Vol. 3, No. 2, Oktober 2001, hal. 7-12

Tabel 2. Biotransformasi isoflavon oleh Rhizopus oryzae UICC 524 dan R. microsporus var. chinensis UICC 521 selama fermentasi tempe. R. oryzae UICC 524 Daid Glisi Genis (g/g) (g/g) (g/g) 72,0 75,2 145,5 160,5 165,0 40,0 td td td td 56,0 55,9 18,1 147,4 03,2 R. microsporus var. chinensis UICC 521 F-2 Daid. Glisi Genis Jumlah (g/g) (g/g) (g/g) (g/g) isoflavon (g/g) 48,0 72,0 40,0 56,0 216,0 td 75,2 td 55,9 131,1 td 146,2 td 59,5 205,7 td 229,1 td 199,7 428,8 td 395,5 td 326,1 721,6

Waktu Fermentasi Standar Perendaman 24 jam 48 jam 72 jam

F-2 (g/g) 48,0 td td td td

Jumlah isoflavon (g/g) 216,0 131,1 263,6 307,9 268,2

Keterangan: F-2 = Faktor-2, Daid = Daidzein, Glisi = Glisitein, Genis = Genistein, td = tidak terdeteksi.

Pembentukan faktor-2 dilakukan bakteri (Barz dkk., 1990). Glisitein merupakan hasil biotransformasi glisitin. Pada kedelai strain Suzuyutaka, glisitin dan glisitein tidak ditemukan pada kotiledon kedelai, tetapi ditemukan di hipokotil (Kudou dkk., 1991). Oleh karena itu, faktor-2 dan glisitein juga tidak dijumpai pada hasil yang diperoleh dari penelitian ini. Biotransformasi daidzin menjadi daidzin dan genistin menjadi genistein oleh R. oryzae UICC 524 sebesar 145,5 g/g dan 118,1 g/g (fermentasi 24 jam), 160,5 g/g dan 147,4 g/g (fermentasi 48 jam), serta 165 g/g dan 103,2 g/g (fermentasi 72 jam). Biotransformasi daidzin menjadi daidzein dan genistin menjadi genistein oleh R. microsporus var. chinensis UICC 521 sebesar 146,2 g/g dan 59,5 g/g (pada fermentasi 24 jam), 229,1 g/g dan 199,7 g/g (fermentasi 48 jam), serta 395,5 g/g dan 326,1 g/g (fermentasi 72 jam) (Tabel 2). Ha dkk. (1992) dan Coward dkk. (1993) menyatakan, bahwa biotransformasi isoflavon glikosida (daidzin dan genistin) menjadi isoflavon aglikon (daidzein dan genistein) merupakan aktivitas enzim -glukosidase. Dilaporkan juga, enzim -glukosidase dihasilkan Rhizopus spp. dan ditemukan di biji kedelai. Biotransformasi daidzin menjadi daidzein lebih besar dibandingkan genistin menjadi genistein, pada kedua tempe yang difermentasi R.oryzae UICC 524 dan R. microsporus var. chinensis UICC 521 (Gambar 3). Hasil yang sama juga diperoleh Siregar & Pawiroharsono (1997) dan Zakiatulyaqin (1999). Kemungkinan, kedelai yang digunakan pada penelitian ini mengandung daidzin yang lebih banyak dibandingkan genistin. Biotransformasi isoflavon oleh R. oryzae UICC 524 sebesar 263,6 g/g (pada fermentasi 24 jam), 307,9 g/g (fermentasi 48 jam), dan 268,2 g/g

(fermentasi 72 jam). Biotransformasi isoflavon oleh R. microsporus var. chinensis UICC 521 sebesar: 205,7 g/g (fermentasi 24 jam), 428,8 g/g (pada fermentasi 48 jam), dan 721,6 g/g (fermentasi 72 jam) (Tabel 2). Biotransformasi isoflavon oleh R. microsporus var. chinensis UICC 521 lebih besar dibandingkan R. oryzae UICC 524, kecuali pada awal fermentasi (24 jam) terjadi hasil sebaliknya (Gambar 3). Suhu pertumbuhan optimum R. oryzae UICC 524, adalah 33 C (Surbakti, 1999). Suhu pertumbuhan optimum R. microsporus var. chinensis, adalah 40 C (Schipper & Stalpers, 1994). Karena suhu pertumbuhan R. oryzae UICC 524 lebih mendekati suhu kotiledon kedelai (saat inokulasi) dibandingkan R. microsporus var. chinensis UICC 521, maka kemungkinan periode lag phase R. oryzae UICC 524 lebih singkat dibandingkan R. microsporus var. chinensis UICC 521. Dengan demikian, produksi enzim -glukosidase R. oryzae UICC 524 lebih cepat dibandingkan R. microsporus var. chinensis UICC 521. Oleh karena itu, pada awal fermentasi, biotransformasi isoflavon oleh R. oryzae UICC 524 lebih besar dibandingkan R. microsporus var. chinensis UICC 521. Pada fermentasi 48-72 jam, pertumbuhan R. microsporus var chinensis UICC 521 sudah menyamai R. oryzae UICC 524 (lihat Tabel 1). Pada saat itu, enzim -glukosidase R. microsporus var. chinensis UICC 521 bekerja lebih baik dibandingkan R. oryzae UICC 524, karena menurut Barz dkk. (1990), enzim -glukosidase bekerja optimum pada suhu 45 C dan pH 7,5. Dilaporkan juga, aktivitas enzim -glukosidase R. oligosporus lebih besar dibandingkan R. oryzae dan R. stolonifer. Schipper & Stalpers (1994) menyatakan,

PURWOKO dkk. - Biotransformasi isoflavon oleh Rhizopus oryzae

11

800 700 Kadar isoflavon (ug/g) 600 500 400 300 200 100 0 0 jam 24 jam 48 jam 72 jam Waktu fermentasi

Daidzein UICC 524 Genistein UICC 524 Jml isoflavon UICC 524 Daidzein UICC 521 Genistein UICC 521 Jml isoflavon UICC 521

Gambar 1. Biotransformasi isoflavon oleh Rhizopus oryzae UICC 524 dan R. microsporus var. chinensis UICC 521 pada fermentasi tempe.

bahwa R. oligosporus dan R. microsporus var. chinensis merupakan satu species. Oleh karena itu, pada fermentasi 48-72 jam, aktivitas biotransformasi R. microsporus var. chinensis UICC 521 lebih besar dibandingkan R. oryzae UICC 524. Kadar isoflavon aglikon pada tempe yang difermentasi R. oryzae UICC 524 pada fermentasi 72 jam lebih kecil dibandingkan pada fermentasi 48 jam. Penurunan tersebut disebabkan penurunan kadar genistein (Gambar 3). Hal tersebut karena, menurut Barz dkk. (1990) Rhizopus spp. mampu melakukan transformasi genistein menjadi bentuk yang lain. Esaki dkk. (1998) melaporkan, Aspergillus saitoi mampu mengubah daidzein dan genistein menjadi 8-hidroksidaidzein dan 8hidroksigenistein pada kedelai yang difermentasi Aspergillus saitoi. Pada perendaman kedelai, terjadi biotransformasi isoflavon sebesar 131,1 g/g. Hasil tersebut lebih kecil dibandingkan yang diperoleh Ha dkk. (1992), yaitu 756 g/g. Kemungkinan besar perbedaan hasil tersebut terletak pada cara perendaman kedelai. Ha dkk. (1992) merendam kedelai dalam air pada suhu 50 C selama 6 jam. Perendaman kedelai dalam air pada suhu 50 C selama 6 jam, memungkinkan enzim -glukosidase yang ada di kedelai melakukan biotransformasi isoflavon. Pada penelitian ini, kedelai direndam dalam air mendidih, sehingga memungkinkan enzim glukosidase pada biji kedelai terdenaturasi. Kudou dkk. (1991) melaporkan, kadar isoflavon aglikon hasil ekstraksi kedelai pada suhu 80 C lebih kecil

dibandingkan hasil ekstraksi kedelai pada suhu kamar. Perendaman selama 12 jam pada suhu kamar, memungkinkan penurunan suhu air rendaman mencapai suhu kamar. Hal tersebut, memungkinkan mikroorganisme yang menghasilkan enzim -glukosidase masuk ke air rendaman, sehingga selama perendaman terjadi biotransformasi isoflavon. Biotransformasi isoflavon oleh R. microsporus var. chinensis UICC 521 sebesar 721,6 g/g, lebih besar dibandingkan hasil yang dilaporkan Zakiatulyaqin (1999), yaitu sebesar 101 g/g. Kemungkinan besar perbedaan hasil tersebut terletak pada cara pemisahan lemak dari ekstrak metanol. Zakiatulyaqin (1999) memisahkan lemak dari ekstrak metanol dengan cara membiarkan lemak mengendap pada suhu kurang dari 4 C. Secara alami, lemak mengendap apabila ekstrak metanol disimpan pada suhu kurang dari 4 C. Akan tetapi, isoflavon juga ikut mengendap, karena berat jenis isoflavon dan lemak lebih besar dibandingkan metanol. Pada penelitian ini, untuk mengurangi risiko kehilangan isoflavon, maka pemisahan lemak dilakukan dengan mencampurkan ekstrak metanol dengan heksana, karena heksana mampu mengikat lemak. KESIMPULAN Selama fermentasi tempe terjadi biotransformasi isoflavon glikosida menjadi isoflavon aglikon yang dilakukan R. microsporus var. chinensis UICC 521 dan R. oryzae UICC 524.

12

BioSMART Vol. 3, No. 2, Oktober 2001, hal. 7-12 Gyorgy, P., K. Murata and H. Ikehata. 1964. Antioxidants isolated from fermented soybeans (tempeh). Nature. 203: 870-872. Ha, E.Y.W., C.V. Morr and A. Seo. 1992. Isoflavone aglucones and volatile organic compounds in soybeans; Effects of soaking treatment. J. Food Sci. 57: 414-417. Kudou, S., Y. Fleury, D. Welti, D. Magnolato, T. Uchida, K. Kitamura and K. Okubo. 1991. Malonyl isoflavone glycosides in soybean seeds (Glycine max Merrill). Agric. Biol. Chem. 55: 2227-2233. Kwon, T.W. and Y.S. Song. 1996. The role of soybean in oriental food systems. Proceeding of the international soybean processing and utility. 8-13 January 1996. Bangkok. Lamartiniere, C.A., W.B. Murrill and N.M. Brown. 1996. Genistein suppresses chemically-induced mammary cancer. Proceeding of the 2nd International Symposium on the Role of Soy in Preventing and Treating Chronic Disease. 15-18 September 1996. Brussels. Peterson, G. and S. Barnes. 1991. Genistein inhibition of the growth of human breast cancer cells: Independence from estrogen receptors and multidrug resistance gene. Biochem. Biophys. Res. Comm. 179: 661-667. Schipper, M. A. A. and J. A. Stalpers. 1994. A revision of the genus Rhizopus. II. The Rhizopus miccrosporus group. Studies in Mycology. 25: 20-34. Siregar, E. and S. Pawiroharsono. 1997. Inocula formulation and its role for biotransformation of isoflavonoid compounds. Proceeding of International Tempe Symposium. 13-15 July 1997. Denpasar. Steinkraus, K. H. 1988. Manufacture of tempe-tradition and modern. Proceeding Workshop on Tofu and Tempe Processing. 8-12 November 1988. Bogor. Surbakti, S. Br. 1999. Isolasi dan identifikasi Rhizopus spp. dari tempe yang diproduksi secara tradisional dan pembuatan tempe kedelai dengan beberapa usar Rhizopus sp. asal Irian Jaya. Tesis Magister Sains. Depok: Program Studi Biologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Wang, C., Q. Ma, S. Pagadala, M. S. Sherrard and P. G. Krishnan. 1998. Changes of isoflavones during processing of soy protein isolates. J. Am. Oil Chem. Soc. 75: 337-341. Zakiatulyaqin. 1999. Potensi Rhizopus microsporus v. Teigh UICC 520 dan UICC 521 dalam melakukan fermentasi tempe dan biotransformasi isoflavon. Tesis Magister Sains. Depok: Program Studi Biologi Program Pasca-sarjana Universitas Indonesia. Zilliken, F.W. 1982. Isoflavones and related compounds, methods of preparing and using antioxidant compositions containing same. US Patent. 4,366,082. 18 hlm.

Aktivitas biotransformasi isoflavon oleh R. microsporus var. chinensis UICC 521 lebih besar dibandingkan R. oryzae UICC 524. Aktivitas biotransformasi isoflavon dipengaruhi suhu pertumbuhan kapang. Daidzein yang merupakan hasil biotransformasi daidzin lebih besar dibandingkan genistein yang merupakan hasil biotransformasi genistin pada kedua tempe yang difermentasi R. microsporus var. chinensis UICC 521 dan R. oryzae UICC 524. DAFTAR PUSTAKA
Anthony, M.S., T.B. Clarkson and J.K. Williams. 1996. Effects of soy isoflavones on atherosclerosis: Potential mechanisms. Proceeding of the 2nd International Symposium on the Role of Soy in Preventing and Treating Chronic Disease. 15-18 September 1996. Brussels. Astuti, M. 1995. New products development of tempe. Prosiding Simposium Pengembangan Industri Makanan dari Kedelai. 23 September 1995. Jakarta. Barz, W.H., G. Boger-Papendorf and H. Rehms. 1990. Characterization of glycohydrolases, phosphatases and isoflavone metabolism in tempe-forming Rhizopus-strains. Proceeding of the 2nd Asian Symposium on Non-salted Soybean Fermentation. 13-15 February 1990. Jakarta. Blair, H.C. 1996. Action of genistein and other tyrosine kinase inhibitors in preventing osteoporosis. Proceeding of the 2nd International Symposium on the Role of Soy in Preventing and Treating Chronic Disease. 15-18 September 1996. Brussels. Clarkson, T.B. 1999. Are isoflavones the hipocholesterolemic components of soy protein? Proceeding of the 3rd International Symposium on the Role of Soy in Preventing and Treating Chronic Disease. 31 October- 3 November 1999. Washington DC. Coward, L., N.C. Barnes, K.D.R. Setchell and S. Barnes. 1993. Genistein, daidzein and other -glycoside conjugates: Antitumor isoflavones in soybean foods from American and Asian diets. J. Agric. Food Chem. 41: 1961-1967. Eden, J., D. Knight and R. Mackey. 1996. Hormonal effect of isoflavones. Proceeding of the 2nd International Symposium on the Role of Soy in Preventing and Treating Chronic Disease.15-18 September 1996. Brussels. Esaki, H., H. Onozaki, Y. Morimitsu, S. Kawakishi and T. Osawa. 1998. Potent antioxidative isoflavones isolated from soybeans fermented with Aspergillus saitoi. Biosci. Biotechnol. Biochem. 62: 740-746.

You might also like