You are on page 1of 26

1

TEORI AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM


HUKUM KEWARISAN ISLAM
OLEH
DRS. ISAK MUNAWAR, MH
I. PENDAHULUAN.
Hukum kewarisan Islam, adalah sebagai salah satu sistem hukum yang norma
dasarnya dibentuk sesuai sumbernya al-Quran dan al-Hadis, kedua sumber hukum
tersebut, yang secara khusus menunjuk ketentuan-ketentuan hukum kewarisan, oleh
cendekiawan muslim terdahulu diolah dan diramu serta dikontruksikan secara
sitematika melalui ijtihad dengan manhaj tertentu dan terbentuklah Fiqh al-Mawarits
yang berlaku bagi orang-orang muslim di dunia Arab pada khususnya dan di dunia
Islam pada umumnya.
Dengan demikian pembentukan Fiqh al-Mawarits tersebut telah lahir sejak zaman
turunnya ayat-ayat kewarisan yang kemudian diinterpretasikan serta diimplementasikan
oleh Rasulullah SAW sendiri dalam mengatur perpindahan kepemilikan harta kekayaan
pewaris kepada ahli warisnya. Pada masa awal pembentukan Fiqh al-Mawarits tidak
banyak ditemukan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat, walaupun
demikian apabila ada persoalan yang muncul ke permukaan, akan segera dilaporkan
kepada Rasulullah dan kemudian diputuskan oleh Rasulullah sendiri, setiap orang pada
waktu itu hanya bersikap mendengar dan mentaatinya saja (saminaa wa athanaa).
Pada masa selanjutnya, yaitu masa setelah Rasulullah meninggal dunia, baru
bermunculan masalah-masalah baru yang berkaitan dengan hukum kewarisan, yang
terkadang menjadi polemic dalam masyarakat pada waktu itu, salah satu contoh
misalnya pencakupan pengertian aulad terhadap cucu-cucu, masalah kalalah, masalah
musyarakah antara saudara-saudara dengan kakek, antara saudara kandung dengan
saudara seibu, masalah gharawain dan lain sebagainya. Dalam menghadapi masalah
tersebut para shahabat terutama dalam kalangan shahabat besar Khulafa al-Rasyidin
selain selalu berupaya memperhatikan ayat-ayat al-Quran tentang kewarisan dan
berupaya mengungkapkan hadits-hadits kauli yang pernah dinyatakan oleh Rasulullah
maupun putusan-putusan yang telah dijadikan sebagai yurisprudensi melalui
periwayatan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, para shabat juga tidak
jarang melakukan ijtihad tersendiri yang diikuti oleh shahabat-shahabat yang lainnya,
akan tetapi juga ijtihad tersebut sering berbeda dengan ijtihad shahabat yang lainnya
yang berakibat terjadi conplik yang berkepanjangan.
2

Ijtihad yang dilakukan ulama, baik dari kalangan shahabat, tabiin maupun
mujtahidin dalam mengisthinbatkan hukum adalah suatu upaya mengungkapkan norma
norma dasar hukum yang berkaitan dengan kasus tertentu, sesuai dengan ilmu
pengetahuan hukum yang dimilikinya, yang tidak jarang terpengaruh oleh miliu atau
situasi dan kondisi system kemasyarakatan yang berlaku secara regional pada waktu itu,
sehingga hukum yang tercipta dalam suatu situasi dan kondisi kemasyarakatan tertentu,
terkadang dirasakan tidak mencerminkan keadilan dalam situasi dan kondisi
kemasyarakatan yang lain.
Berbicara tentang ahli waris pengganti sebenarnya bukan persoalan baru, melainkan
telah dibahas oleh ulama terdahulu dengan menggunakan istilah lain dan hanya berlaku
bagi ahli waris tertentu saja yang berada pada peringkat (derajat) kedua setelah anak,
ayah, ibu dan saudara-saudara pewaris. Dengan demikian keberadaan teori ahli waris
pengganti adalah berada dalam ranah ijtihadiyah yang sangat memungkinkan
menghasilkan norma hukum yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan
pemikiran yang lainnya, antara satu daerah atau Negara dengan daerah atau Negara
yang lainnya.
Pembahasan teori ahli waris pengganti dalam artikel yang sangat singkat ini akan
dicoba menggunakan metoda komperatif antara pendapat tokoh pertama yang
mengungkapkan adanya teori ahli waris pengganti dalam system hukum kewarisan
Islam, yaitu Prof DR. Hazairin, SH dengan norma hukum yang dimuat dalam Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam
II. PEMBAHASAN.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa pembahasan artikel ini didasarkan pada
metoda komperatif antara ajaran hukum kewarisan yang diijtihadkan Hazairin dengan
norma hukum yang dimuat dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam berdasarkan
INPRES No. 1 Tahun 1991 dikaitkan dengan ajaran Fikih Waris Ahlu Sunnah wa Al-
Jamaah yang berkembang di Indonesia, baik keterkaitan secara langsung maupun tidak
langsung.
2.1 Teori Ahli Waris Pengganti Menurut Hazairin.
Ide reposisi dan rekontruksi hukum kewarisan Islam, telah lama menjadi
pembicaraan di kalangan ahli hukum Islam, paling tidak mulai dari pasca periode taklid
dan dimulainya periode tajdid (pembaharuan hukum Islam) di dunia hukum Islam
Internasional.
Yang menjadi persoalan besar dalam system kewarisan Islam sesuai ajaran ulama
ahli sunnah wa al-jamaah baik dari kalangan shahabat Nabi, maupun dari kalangan
3

ulama mujtahidin adalah tentang kewarisan terdapat sebagian ahli waris yang memiliki
hubungan kekerabatan dengan pewaris, sama sekali tidak mendapatkan hak waris
karena berjenis kelamin perempuan atau keturunan dari ahli waris yang berjenis
kelamin perempuan, begitu pula keturunan yang orang tuanya lebih dahulu meninggal
dunia lebih dahulu dari pewaris, terutama cucu laki-laki dan perempuan keturunan anak
laki-laki dan keturunan anak perempuan didiskriminasikan karena orang tuanya berjenis
kelamin perempuan, menurut pemikiran Hazairin sesuai ketentuan Surat al-Nisa ayat 32
dan ayat 33 seharusnya dalam ketentuan hukum kewarisan yang dikehendaki al-Quran
tidak ada diskriminasi itu, sebab menurut ayat al-Quran tersebut, masing-masing dari
para laki-laki dan para perempuan tersebut dapat diwarisi oleh orang-orang yang
memiliki hubungan darah, baik secara bunuwwah, ubuwwah maupun ukhuwwah.
Salah satu contoh system hukum kewarisan Islam yang dipelopori ahli sunnah wa
al-jamaah itu adalah ahli waris terdiri dari mantan istri, ibu dan paman-paman yang
terdiri dari saudara laki-laki kandung dari ayah pewaris dan saudara perempuan
kandung dari ayah pewaris, lihat gambar berikut:



A B C
(P) D

Keterangan gambar:
1. (P) sebagai pewaris.
2. A adalah paman laki-laki pewaris.
3. B adalah paman perempuan pewaris.
4. C adalah ibu pewaris
5. D adalah mantan istri pewaris.
Bagian masing-masingnya adalah:
a. Mantan istri mendapat 1/4 bagian. 1/4 x 12 = 3 bagian 3/12 harta warisan.
b. Ibu mendapat 1/3 bagian. 1/3 x 12 = 4 bagian. 4/12 harta warisan.
4

c. Paman (saudara laki-laki kandung ayah) mendapatkan sisa, yaitu 12/12- 7/12 =
5/12.
d. Paman (ammah) atau saudara perempuan kandung ayah dimasukan dalam kotak
dzaw al-arham, tidak dapat mewarisi bersama-sama saudaranya yang laki-laki.
Contoh lain misalnya ahli waris terdiri dari seorang ibu dan keturunan saudara
laki-laki kandung yang terdiri dari satu orang anak laki-laki dari saudara kandung dan
tiga anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, lihat gambar berikut:
A

(P)
B C D E

Keterangan gambar :
1. (P) adalah pewaris.
2. A adalah ibu pewaris.
3. B adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki pewaris.
4. C adalah anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris.
5. D adalah anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris.
6. E adalah anak perempuan dari saudara laki-laki pewaris.
Maka bagian masing-masingnya adalah:
a. Ibu mendapat 1/3 bagian dan.
b. Satu orang anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung mendapatkan sisa yaitu 2/3
bagian.
c. Tiga orang anak perempuan dari saudara laki-laki kandung dimasukan dalam kotak
dzaw al-arham, tidak dapat mewarisi bersama saudaranya itu.
Kasus lain misalnya ahli waris terdiri dari mantan istri, ibu, dua orang cucu laki-
laki dari anak laki-laki dan lima orang cucu laki-laki dan perempuan dari anak
perempuan, maka bagian masing-masing adalah:
a. Mantan istri mendapat 1/8 bagian. 1/8 x 24 = 3 bagian.. 3/24 harta warisan
b. Ibu mendapat 1/6 bagian.bagian. 1/6 x 24 = 4 bagian.. 4/24 harta warisa,
5

c. Dua orang cucu laki-laki dari anak laki-laki 24/24-7/24 = 17/24 harta warisan.
d. Lima orang cucu dari anak perempuan dimasukan ke dalam kotak dzaw al-arham,
mereka tidak dapat mewarisi bersama saudaranya dari anak laki-laki itu.
Dari ketiga kasus tersebut sangat terlihat pada kasus pertama tentang paman-
paman (saudara laki-laki kandung ayah dan saudara-saudara perempuan kandung ayah),
kedua-duanya memiliki hubungan kekerabatan yang sama dengan pewaris, baik dari sisi
derajatnya, arahnya maupun dari sisi kekuatan kekerabatannya, begitu pula pada kasus
kedua anak-anak saudara laki-laki kandung (laki-laki dan perempuan), mereka memiliki
hubungan kekerabatan yang sama dengan pewaris dari tiga sisi tersebut, begitu pula
pada kasus yang ketiga.Sebagian dari mereka tidak mendapatkan hak waris karena
berjenis kelamin perempuan. Atas kasus-kasus tersebut para ulama yang termasuk
dalam kalangan mujadid banyak yang mereposisikan kembali system hukum kewarisan
Islam model lama, dengan memberi hak kepada sebagian ahli waris dzaw al-arham ini
melalui teori washiat wajibah, sebagaimana yang diberlakukan di Negara-negara Timur
Tengah seperti Mesir, Syria, Tunisia, Maroko dan Pakistan walaupun dengan rincian
yang berbeda-beda.
1
Hazairin
2
menyatakan keadaan seperti kasus-kasus tersebut
bertentangan dengan fitrah yang ditanamkan Allah dalam sanu bari manusia, dan
ketentuan hukum kewarisan yang mencerminkan ketidak adilan ini tidak mungkin
berasal dari Hukum Allah Yang Maha Adil. Oleh karena itu Hazairin menawarkan teori
yang lebih tuntas dan komperhensif untuk memasukan ahli waris dzaw al-arham
sebagai bagian dari ahli waris yang sama-sama berhak mewarisi pewaris dalam keadaan
bila mereka memungkinkan dapat tampil sebagai ahli waris, yaitu melalui teori ahli
waris pengganti yang dinamakan Hazairin sebagai al-mawaly.
Ahli waris pengganti atau al-mawaly menurut Hazairin diistinbathkan dari Surat
al-Nisa ayat 33 yang berbunyi walikullin jaalna mawaliya mimma taraka al-
walidaani wa al-aqrabuun wa alladziina aqadat aimaanukum faatuuhun nashibahum
innallaha ala kulli syaiin syahiida
Ayat ini menurut Hazairin adalah merupakan rahmat yang sebesar-besarnya bagi
ummat manusia, jika tidak ada rahmat tersebut, maka apakah lagi dasar hukum yang
dapat disalurkan dari al-Quran untuk mendirikan hak kewarisan bagi lain-lain aqrabun
yang tidak tersebut dalam ayat-ayat kewarisan dalam al-Quran seperti paman dan bibi,
kakek dan nenek, cucu dan piut dan seterusnya.
3



1
Abu Bakar, Artikel: Prof. DR. Hazairin, SH Dan Pemikiran Hukum Kewarisan Bilateral, 2007 h.
10
2
Prof. DR.Hazairin, SH, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quiran dan Al-Hadits,
(Jakarta: Tintamas, 1982) halaman 29
3
Hazairin ibid.
6




Kemudian Hazairin mengilustrasikan ayat tersebut dengan pengertian bagi
mendiang anak, Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan
ayah atau ibu dan bagi mendiang aqrabun Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris
dalam harta peninggalan sesame aqrabunnya. Kalimat panjang ini bila dipendekan maka
artinya bagi mendiang anak dan mendiang keluarga dekat Allah mengadakan mawali
bagi harta peninggalan orang tua dan keluarga dekat. Kalimat ini pendek tapi kurang
jelas, bila diperpendek lagi maka artinya bagi setiap orang Allah mengadakan mawali
bagi harta peninggalan orang tua dan keluarga dekat. Kalimat yang pendek ini tidak
akan mengacaukan, jika orang langsung berfikir secara bertimbalan dalam setiap istilah
kekeluargaan, yaitu pewaris orang tua, maka hubungan yang bertimbalan yang langsung
bagi istilah itu adalah anak dan jika si pewaris keluarga dekat, maka hubungan
bertimbalang langsung dengan istilah itu adalah keluarga dekat pula. Kemudian
Hazairin menyimpulkan substansi mawali itu bukan anak atau saudara itu yang menjadi
ahli waris tetapi mawalinya, sehingga anak atau saudara itu mesti telah meninggal dunia
terlebih dahulu dari si pewaris, sebab jika anak atau saudara itu masih hidup, maka dia
sendiri yang menjadi ahli warisnya. Yang dimaksud dengan mengadakan mawali untuk
si fulan. menurut Hazairin ialah bahwa bagian si fulan yang akan diperolehnya,
seandainya dia hidup, dari harta peninggalan itu dibagikan kepada mawalinya itu, bukan
sebagai ahli warisnya tetapi sebagai ahli waris ahli waris bagi ibunya atau ayahnya yang
meninggalkan harta itu. Dari gambaran tersebut Hazairin menyimpulkan bahwa mawali
adalah ahli waris karena pergantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena
tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, ahli waris yang lain yang
bukan mawali adalah karena tidak ada penghubung antara dia dengan pewaris. Selain
itu yang menjadi mawali yang dikehendaki ayat al-Quran tersebut adalah baik yang
berhubungan melalui kelahiran maupun yang berhubungan darah menyamping. Untuk
menegaskan teorinya Hazairin memberikan gambaran sebagai berikut:

P



7


Keterangan : anak perempuan yang telah meniggal dunia.
Adalah pewaris.
Anak laki-laki masih hidup
anak laki-laki yang telah meninggal dunia
anak perempuan yang masih hidup.
Gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pewearis (P) mempunyai enam orang
anak , yaitu tiga orang anak perempuan A, B, dan C, tiga orang anak laki-laki D, E, F
dan G. dari ketiga anak perempuan tersebut dua diantaranya, yaitu A dan C telah
meninggal dunia mendahului pewarisnya A, juga meninggalkan ahli waris cucu laki-
laki H dari anak perempuannya I yang juga telah meninggal dunia lebih dulu dari pada
A selaku ibunya. C juga telah meninggal dunia lebih dulu dari pewaris (P), C sebelum
meninggal dunia memiliki dua orang anak, satu orang anak perempuan bernama J dan
seorang anak laki-laki bernama K, anak perempuan dari C yang bernama J selama
dalam ikatan perkawinannya dengan suaminya mempunyai seorang anak perempuan
yang bernama L, dan seorang anak laki-laki bernama M, M sebagai cucu laki-laki dari
pewaris (P) telah meninggal dunia lebih dahulu dari pada pewaris (P). anak perempuan
pewaris yang lainnya yaitu B, sekarang masih hidup mempunyai seorang anak laki-laki
dan cucu laki-laki dari anak laki-laki itu. Dari ketiga anak laki-laki pewaris tersebut
yang masih hidup sampai pewaris meninggal dunia dua orang, yaitu E dan F, E
mempunyai dua orang anak perempuan, yaitu N dan O, N yang sekarang masih hidup
memiliki seorang anak laki-laki yang juga masih hidup bernama P sedangkan O lebih
dahulu meninggal dunia dari pada pewaris dan ketika hidupnya mempunyai seorang
anak perempuan yang sekarang juga masih hidup bernama Q. Dan F sebagai anak laki-
laki pewaris yang sekarang masih hidup memiliki dua orang anak (cucu dari pewaris)
seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang kedua-duanya telah
meninggal dunia mendahului pewaris sebagai kakeknya.sedangkan D sebagai anak laki-
laki pewaris telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, ketika ia masih hidup
mempunyai dua orang anak (cucu dari pewaris) satu orang anak laki-laki yang
sekarang masih hidup dan mempunyai seorang anak perempuan dan telah meninggal
dunia, dan satu orang anak perempuan yang telah meninggal dunia mendahului pewaris,
ketika ia masih hidup mempunyai seorang anak perempuan yang sampai sekarang
masih hidup.
4


4
Hazairin, ibid, halaman 23-26
8

Silsilah keturunan tersebut agar dapat lebih dipahami dengan dirincikan sebagai
berikut:
Seorang pewaris bernama (P), mempunyai enam orang anak, yaitu tiga orang
anak perempuan dan tiga orang anak laki-laki:
1. A anak perempuan pewaris lebih dahulu meninggal dunia dari pada pewaris dan
ketika hidup mempunyai seorang anak perempuan yang bernama G dan juga telah
meninggal dunia dari pewaris, akan tetap ia meninggalkan ahli waris seorang anak
laki-laki yang bernama H.
2. B anak perempuan pewaris yang sekarang masih hidup, ia mempunyai seorang anak
laki-laki bernama I (cucu dari pewaris). Dan I mempunyai seorang anak laki-laki
yang bernama J (cicit dari pewaris)
3. C anak perempuan pewaris telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, ia
meninggalkan ahli waris dua orang anak, yaitu seorang anak perempuan yang masih
hidup bernama K dan cucu laki-laki dari K yang bernama L, dan seorang anak laki-
laki yang bernama M, M telah meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang
anak, satu orang anak perempuan bernama N dan satu orang anak laki-laki O,
kedua-duanya masih hidup.
4. D anak laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia mendahului pewaris, ia
meninggalkan ahli waris, dua orang anak, seorang anak laki-laki yang masih hidup
bernama P dan P mempunyai anak perempuan yang bernama Q yang telah
meninggal dunia mendahului pewaris, dan seorang anak perempuan yang telah
meninggal dunia mendahului pewaris bernama S dengan meninggalkan ahli waris
seorang anak perempuan yang masih hidup bernama R.
5. E anak laki-laki pewaris yang masih hidup, ia mempunyaik dua orang anak, satu
orang anak perempuan juga masih hidup bernama W. dan W mempunyai seorang
anak laki-laki juga masih hidup, dan satu orang anak perempuan bernama X telah
meninggal dunia mendahulu pewaris dan ia meninggalkan ahli waris anak
perempuan yang masih hidup.
6. F anak laki-laki pewaris yang sekarang masih hidup, mempunyai seorang anak laki-
laki bernama Y danY ini mempunyai dua orang anak, satu orang anak perempuan
bernama Z yang sekarang telah meninggal dunia, dan seorang anak laki-laki
bernama A dan juga telah meninggal dunia.
Dari gambar tersebut menurut Hazairin (P) meninggalkan dua macam ahli waris,
yaitu B, E, F sebagai anak yang berposisi dzaw al-qarabah dan beberapa aqrabun yang
disebut mawali, yaitu H, K, N, O, P, dan R
Bagian masing-masing ahli waris pengganti atau mawali menurut Hazairin sesuai
dengan jumlah bagian ahli waris yang digantinya dengan mempertimbangkan
kedudukan mereka masing-masing dalam jurai dan selanjutnya atas kesamaan
9

kedudukan, maka ahli waris pengganti laki-laki dengan ahli waris pengganti perempuan
2 : 1.
Hazairin juga mengemukakan contoh mawali bagi orang tua pewaris, misalnya
ahli waris terdiri dari duda, orang tua pihak ayah (kakek dan nenek) dan orang tua pihak
ibu (kakek dan nenek) perhatikan gambar di bawah ini:
A B C D



(P) E
Keterangan gamba:
1. (P) sebagai pewaris, tidak meninggalkan ahli waris lain kecuali A, B, C, D dan
E.
2. A dan B adalah kakek dan nenek pewaris dari pihak ayah yang berhak
menggantikan posisi ayah sebagai ahli waris.
3. C dan D adalah nenek dan kakek dari pihak ibu yang berhak menggantikan
posisi ibu sebagai ahli waris.
4. E adalah mantan suami (duda) pewaris.
Maka bagian masing-masingnya adalah :
a. Duda 1/2 bagian harta.
b. Kakek dari pihak ibu bersama nenek pihak ibu sebagai mawali dari ibu yang berhak
atas 1/3, maka untuk kakek 2/3 x 1/3 = 2/9 bagian harta, untuk nenek 1/3 x 1/3 = 1/9
bagian harta.
c. Kakek dari pihak ayah bersama nenek dari pihak ayah sebagai mawali ayah yang
berhak atas 1/6, maka untuk kakek mendapat 2/3 x 1/6 = 2/18 bagian harta dan
untuk nenek 1/3 x 1/6 = 1/18
Penyelesaian kasus tersebut, berpola pada penyelesaian menurut Ibnu Abas, hal
mana bagian 1/6 untuk orang tua pihak ayah itu, karena posisi ayah dalam kasus ini
akan menerima ashabah atau sama dengan 1/6 dan hal ini merupakan konsekwensi hak
10

kewarisan ashabah, dan penerimaan orang tua pihak ibu mendapat bagian 1/3, karena
ibu berposisi tidak ada keturunan pewaris atau saudara-saudara pewaris.
5

Sedangkan menurut mayoritas ulama
6
, penyelesaiannya tidak demikian,
malainkan hak ibu dalam posisi tidak ada keturunan dan tidak ada saudara, ia mewarisi
bersama ayah, duda atau janda, maka untuk ibu mendapat bagian 1/3 sisa setelah
diambil oleh duda dan janda itu dan ayah mendapatkan sisanya. Oleh karena itu kasus
tersebut bila diselesaikan menurut mayoritas ulama, kemudian bagian ayah dan ibu itu
diberikan kepada orang tua masing-masingnya, maka masing-masing mendapat bagian :
a. Duda mendapat 1/2 bagian harta atau 9/18 bagian harta.
b. Yang menjadi hak ibu 1/3 x 1/2 = 1/6, maka untuk kakek pihak ibu mendapat 2/3 x
1/6 = 2/18 bagian harta, untuk nenek pihak ibu 1/3 x 1/6 = 1/18 bagian harta.
c. Yang menjadi hak ayah mendapat sisa, yaitu 2/6 atau 1/3, maka untuk kakek pihak
ayah mendapat 2/3 x 1/3 = 2/9 atau 4/18 bagian harta dan untuk nenek pihak ayah
mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9 atau 2/18 bagian harta
Teori al-mawali atau ahli waris pengganti tersebut, sebenarnya bukanlah soal baru
dalam system hukum kewarisan, teori ini telah diakui dan diterapkan dalam hukum adat
terutama dalam masyarakat yang bercorak bilateral, dalam KUHPerdata
7
teori ini
disebut dengan plaatsvervuling, begitu pula dalam system kewarisan Islam
konpensional telah diakui adanya penggantian kedudukan ahli waris, hanya saja teori ini
tidak digunakan secara porporsional, hanya berlaku dalam kelompok ahli waris tertentu
saja, misalnya yang menjadi dasar hak kewarisan cucu laki-laki dari anak laki-laki atau
anak saudara laki-laki kandung, atau hak kewarisan kakek dari ayah, mereka
menyatakan liana ibna al-ibni bi manzilah al-ibni, liana ibna al-akh bimanzilah al-akh,
liana al-jad bimanzilah al-ab
8
bahasa sederhana dari dasar argumentasi ini tiada lain
adalah ahli waris pengganti.
Teori ahli waris pengganti juga dapat dipandang sebagai pemecahan masalah
keadilan dan menghindari diskriminatif terhadap kelompok ahli waris tertentu yang
berjenis kelamin perempuan, sehingga dengan demikian kelompok ahli waris yang
dinamakan dzaw al-arham dapat diangkat sebagai ahli waris yang sesungguhnya,
selama mereka memungkinkan dapat ditampilkan sebagai ahli waris, karena tidak sama-
sama mewarisi dengan orang-orang yang berada di atasnya atau tidak terdapat larangan
syara yang menghalangi penerimaan hak kewarisan.

5
Drs. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Maarif, cet. II, 1981) halaman 239
6
Drs. Fatchur Rahman, ibid
7
KUHPerdata Pasal 841 sampai dengan Pasal 848
8
DR. Mushthafa Diba al-Bagha, Syarh Ilm al-Mawarits Al-Rahbiyah Fi Ilm al-Faraidh, (Libanon
Dar Kitab Bairut, tt), halaman 80
11

Pengelompokan ahli waris ke dalam dzaw al-arham oleh ulama-ulama terdahulu
adalah merupakan hasil ijtihad mereka dalam suasana kemasyarakatan sebagaimana
yang di klim Hazairin sebagai corak masyarakat patrilineal, sedangkan yang diinginkan
al-Quran adalah masyarakat yang bercorak bilateral yang menjadi pondasi
terbentuknya system kewarisan yang bilateral pula. Hasil ijtihad ulama terdahulu dalam
bidang hukum waris ini juga secara historis tidak semestinya dinafikan sebagai hukum
waris yang keliru atau tidak mencerminkan keadilan, sebab hukum waris Islam yang
adil pada masa itu adalah hukum waris yang bercorak sebagaimana adanya itu, hukum
waris Islam yang terbentuk oleh kalangan ulama masa silam harus dipandang sebagai
tolak ukur sejarah hukum yang meletakan batu pertama terbentuknya hukum waris
Islam tersebut yang harus di dalami dan dikaji secara mendetil dan kemudian
disempurnakan sesuai kehendak al-quran itu sendiri.
Ijtihad yang dilakukan Hazairin tentang istinbath hukum ahli waris pengganti
dalam al-Quran pun juga bukan berarti tidak terdapat kelemahan, Hazairin
mengistinbathkan ahli waris pengganti itu terutama melalui Surat al-Nisa ayat 33 yang
berbunyi walikullin jaalna mawaliya mimma taraka al-walidaani wa al-aqrabuun wa
alladziina aqadat aimaanukum faatuuhun nashibahum innallaha ala kulli syaiin
syahiida ayat ini diartikan Hazairin dengan penertian bagi mendiang anak, Allah
mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan ayah atau ibu dan bagi
mendiang aqrabun Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta
peninggalan sesama aqrabunnya. Ilustrasi yang digambarkan Hazairin tersebut terlihat
tidak memperhatikan struktur gramatik kebahasaan yang telah disepakati ahli-ahli
bahasa Arab, selain itu Hazairin juga tidak memperhatikan syiaq al-kalam (hubungan
paragraph susunan kalimat dengan susunan kalimat yang lainnya terutama susunan
kalimat sebelumnya).
Potongan ayat wa likullin jaalna mawalia oleh Hazairin diartikan bagi mendian
(almarhum) anak atau mendiang aqrabun Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris,
yang berarti substansi likullin itu menurut Hazairin anak dan saudara-saudara atau
kerabat-kerabaat yang telah meninggal dunia, arti yang demikian itu tidak terdapat satu
pun qarenah yang mendukungnya.
Untuk lebih mendalami pengertian ayat tersebut, memerlukan perbandingan
dengan ayat-ayat lain yang serupa, di antaranya:
1. aamana al-Rasuul bimaa unzila ilaihi min Rabbihi wa al-muminuuna kullun
amana billah wa malaaikatihi.. al-Baqarah 285.
2. wa al-rasikhuuna fi al-ilm yaquuluuna aamanna bihi kullun min indi
Rabbinaa Ali Imran 7.
3. wa in tushibhum hasanatun yaquuluu hadzihi min indillah wa in tushibhum
sayyiatun yaquuluu hadzihi min indika, qul kullun min indillah..al-Nisa 78
12

4. Likullin jaalnaa minkum syratan wa minhaaja .. al-Maidah 48
5. wa Zakariyya wa Yahya wa Isa wa ilyana kullun min al-shalihiin.. al-Anam 85.
6. wamaa min dzaabbatin fi al-ardhi illa ala Allahi rizquhaa wa yalamu
mustaqarruha wa mustaudaaha, kullun fi kitaabin mubiin.. Hud 6
7. wa sakhkhara al-syamsa wa al-qamar kullun yajrii liajalin musamma al-Radu 2
8. wa idza anamnaa ala al-insaan aradha wa naaa bijanaabihi wa idza
massahu al-sarru kaana yauusa qul kullun yamalu ala syaakilatihi al-Isra 84
9. wahua alladzi khalaqa allaila wa al-nahaara wa al-syamsa wa al-qamara kullun fi
falakin yasbahuun al-Anbiya 33
10. wa lahu man fi al-samaawati wa al-ardhi kullun lahu qanituuna al-Ruum 26
Dari kesepuluh ayat tersebut cukup menjadi perbandingan untuk mengetahui
secara lebih mendalam pengertian mana ayat tersebut di atas, pada ayat-ayat tersebut,
di dalamnya terdapat kalimat kullun menurut kaidah bahasa kalimat kul adalah
salah satu kalimat yang talazum idhafat atau mesti bergabung dengan kalimat yang lain,
sebagaimana kalimat badhun dan kalimat yang lainnya. Oleh karena itu ketika
kalimat kul tidak terdapat mudhaf ilaih atau kalimat yang disambungkannya, maka
pada kalimat itu ada yang dibuang sebagai kalimat yang disambungkannya itu, dan
kemudian digantikan dengan tanwin yang dinamakan tanwin iwadh yang menunjukan
bahwa pada kalimat tersebut ada yang dibuang dengan tujuan ijaz atau meringkas
redaksi. Sesuatu yang dibuang itu yang seharusnya disambungkan dengan kalimat kul
dan menjadi cakupan mana kul adalah sesuatu yang tidak keluar dari redaksi itu atau
terdapat dalam redaksi sebelumnya sebagai qarenah atau tanda-tanda. Dalam contoh
contoh tersebbut di atas misalnya pada ayat pertama kalimat yang dibuang adalah
kalimat pengganti atau dlamir yang harus dikembalikan kepada orang-orang yang
terdapat dalam redaksi sebelumnya. Oleh karena itu pengertian kullun dalam ayat
tersebut adalah mereka semuanya, yaitu Rasul dan orang-orang mumin
9
. pada ayat
kedua pengertian kullun adalah semuanya itu
10
, yaitu ayat muhkamat dan ayat
mutasyabihat, pada ayat ketiga pengertian kullun
11
adalah segala sesuatu yang
menimpa kamu, berupa kebaikan atau keburukan, pada ayat yang keempat pengertian
kullun itu adalah bagi setiap ummat pengikut Taurat, Injil dan al-Quran sesuai qarenah
yang berada pada ibarat ayat sebelumnya
12
, pada ayat kelima pengertian kullun adalah
semua mereka, yaitu Zakariyya, Yahya, Isa dan Ilyasa yang berada pada ibarat kalimat
sebelumnya pada ayat tersebut
13
. Pada ayat keenam pengertian kullun adalah seluruh
pengaturan rizki bagi binatang melata, penempatan kediamannya telah tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh al-mahfudh), pada ayat ketujuh pengertian kullun adalah
masing-masing matahari dan bulan itu berjalan sesuai waktu yang ditentukan, pada ayat

9
Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz I halaman 736
10
Ibid juz II halaman 11
11
Ibid juz II halaman 362
12
Ibid juz III halaman 129
13
Ib id juz III halaman 299
13

kedelapan pengertian kullun adalah tiap-tiap orang yang apabila diberikan kesenangan,
ia berpaling dan sombong dan apabila ditimpakan kesusahan ia putus asa, pada ayat
kesembilan pengertian kullun adalah masing-masing dari keduanya itu (matahari dan
bulan) beredar dalam garis edarnya, dan pengertian kullun pada ayat kesepuluh adalah
semua yang ada di langit dan di bumi tunduk kepada-Nya.
Dari perbandingan sepuluh ayat al-Quran tersebut, maka substansi yang dicakup
mana kullun adalah sesuatu yang terdapat dalam ibarat ayat itu atau pada ayat
sebelumnya, oleh karena itu orang-orang yang dicakup dalam kalimat likullin pada
Surat al-Nisa ayat 33 itu bukan sebagaimana yang ditafsirkan Hazairin, yaitu anak dan
saudara-saudara atau kerabat-kerabat yang telah meninggal dunia, bila dipahami bahwa
orang-orang yang tersimpul dalam kalimat kullun itu bertimbalan dengan ayat
setelahnya mimma taraka al-walidaani wa al-aqrabuun. Hal ini juga tidak sesuai
dengan tek ayat ini sebab yang dinyatakan meninggal itu bukanlah orang-orang yang
tersimpul dalam kalimat kullun melainkan orang tua dan aqrabun itu, dengan demikian
cara penafsiran ayat al-Quran tersebut yang dilakukan Hazairin adalah penafsiran yang
tidak berpijak pada manhaj atau metoda tafsir yang dibenarkan.
Siapakah gerangan yang dicakup dalam kalimat likullin tersebut, menurut penulis
qarenah yang paling dekat dengan ibarat ayat ini adalah ayat sebelumnya yaitu ayat 32
dari surat al-Nisa. Pada kedua ayat ini mula-mula Allah melarang bersikap iri hati
terhadap sebagian orang yang memiliki kelebihan mendapatkan karunia-Nya, karena
kelebihan itu sesuai dengan usaha yang diupayakannya, bagi para laki-laki mesti
mendapat bagian keuntungan dari segala yang diusahakannya begitu pula bagi para
perempuan mesti mendapat bagian keuntungan dari segala sesuatu yang diusahakannya,
kemudian agar usahanya itu mendapatkan keuntungan yang banyak, maka memohonlah
kepada Allah agar diberikan sebagian dari karunia-Nya.
Dalam ayat ini Allah mengecam terhadap laki-laki dan perempuan yang malas
bekerja dan malas berusaha mendapatkan rizqi, kemudian mereka iri hati terhadap
orang-orang yang sukses dalam usahanya. Bila mereka para laki-laki dan para
perempuan berkeinginan mendapatkan kesuksesan yang maksimal, mereka harus
berusaha dengan gigih dan kemudian berdoa, selain itu Allah juga menetapkan bagi
para laki-laki dan bagi para perempuan itu sebagai generasi penerus yang akan
mewarisi harta peninggalan orang tua dan kerabat-kerabat mereka dan orang-orang
yang sepertjanjian. Dari tafsir ini sesuai perbandingan dengan kesepuluh ayat tersebut di
atas, maka penulis yakin, sesuatu yang dicakup kalimat likullin itu adalah likulli imriin
minhum artinya setiap orang dari mereka para laki-laki dan para perempuan secara
keseluruhan (yang ada pada ayat sebelumnya) ditetapkan statusnya sebagai ahli waris
yang berhak menerima harta peninggalan orang tua dan kerabat-kerabatnya serta
seperjanjiannya.
14

Selain itu Hazairin juga menafsirkan jaalnaa mawaliya dengan pengertian bagi
mendiang (almarhum) anak atau mendiang aqrabun Allah mengadakan mawali sebagai
ahli waris, panafsiran seperti ini juga adalah penafsiran melenceng dari tek ayat, sebab
Hazairin menduga kuat bahwa orang-orang yang dicakup dalam kalimat likullin itu
berstatus sebagai pewaris, dan ahli warisnya mawali itu.
Kalimat mawalia adalah isim sifat yang berbentuk muntaha al-jamiy yang
bertimbangan dengan mafaila bentuk mufradnya maulin berwazan mufilun, yang
artinya orang yang layak, orang yang pantas dan orang yang berhak
14
. Orang-orang
yang layak atau orang-orang yang pantas atau orang-orang yang berhak dalam struktur
rangkaian kalimat tersebut adalah sebagai subjek yang diakhirkan dari predikat yang
terdapat dalam ayat sebelumnya yaitu para laki-laki dan para perempuan, kalimat
jaalna dalam ayat tersebut adalah suatu ketetapan yang diputuskan Allah dengan
menetapkan status mawaliya terhadap para laki-laki dan para perempuan tersebut,
dengan demikian pokok kalimat dari kedua ayat tersebut adalah lirrijaali wa linnisaai
mawaaliy mimma taraka al-walidaani wa al-aqrabuun..artinya ditetapkan bagi para
laki-laki dan bagi para perempuan sebagai orang yang berhak menerima dari harta
peninggalan orang tua dan kerabat-kerabatnya.
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya
15

-~- ;-~ Q- -- '-- _-'~ ;- ,-- = Q- --~ -'=- '-- Q- '-
-;- - ;,-- '-= Q- J-'-- '=~- : ] - ; - ' - - = J - - : - . Q- Q-
- - '-- : ~ - - . ,-,= Q- '- : Q- J~-- '- '- _-;- ;- Q- -~- ,-
'-- :
'---; - > ) - '- - - -- > ) - ... '-; --- ' '- '-- , ) = - V ) 4 (
'- : -;-- -- : ] ; - , -V - - ; - , - ' - - J-'-- ,--- Q- --,- --- ,- Q-
>-- : ;---- - '-- ')- - - ;)-,-- Q- -;-,- --- ,- '-- -;-,- -~- '--= .
Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa dengan masuknya jaalnaa pada
rangkaian kalimat tersebut, maka jumlahnya termasuk jumlah insyaiyah yang berasal
dari afal syuru yang kemudian dithalabiyahkan dalam rangkaian kalimat fa aatuuhum
nashibahum. Wallahu alam bi al-shawab.
Istinbath hukum untuk dijadikan dasar ahli waris pengganti menurut penulis
adalah dengan cara generalisasi hubungan kekerabatan antara pewaris dengan ahli
warisnya secara universal, sebagaimana yang dikehendaki al-Quran itu sendiri.
Misalnya dalam surat al-Nisa ayat 11 Allah menyatakan yuushikum Allhu fi
aulaadikum. Yang dimaksud aulad (anak)dalam ayat ini termasuk aulad al-aulad

14
Idris Al-Marbawy, Kamus Al-Marbawy, halaman 398
15
Tafsir Ibnu Katsir, juz II halaman 288
15

(cucu), hanya saja ketika aulad digunakan untuk cucu menurut ulama al-Syafiiyah
adalah mazajy mana pinjaman, sedangkan menurut ulama al-Hanafiyah mana syumul
atau mana cakupannya, artinya yang dimaksud anak dalam ayat ini termasuk cucu,
ulama juga memahami akhun termasuk anak-anaknya, memahami ayah termasuk
kakek, dan memahami ibu termasuk nenek. Oleh karena itu apabila diperhatikan
hubungan kekerabatan antara pewaris dengan ahli waris dalam kelompok nasabiyah,
tidak terlepas darti tiga garis merah hubungan kekerabatan, dua kekerabatan hubungan
secara vertical, dari atas ke bawah antara ayah atau ibu (orang tua) dengan anak, cucu,
cicit dan seterusnya terdapat hubungan kekerabatan nasabiyah al-bunuwwah, dari
bawah ke atasdari anak ke orang tua, kakek, nenek, piut dan seterusnya terdapat
hubungan kekerabatan nasabiyah al-ubuwwah, sedangkan hubungan pewaris dengan
ahli waris secara horizontal hanya satu garis kekerabatan nasabiyah, yaitu hubungan
kekerabatan nasabiyah al-ukhuwwah antara pewaris dengan saudara-saudaranya
termasuk anak-anaknya dalam semua jenjang, baik hubungan tersebut diikatkan melalui
ayah-ibu (kandung), melalui ayah saja, melalui ibu saja, dan jenjang seterusnya yang
dikitatkan melalui kakek-nenek (kandung), melalui kakek atau nenek saja dan
seterusnya, sedangkan hubungan pewarisan bukan nasab dihubungkan melalui ikatan
zaujiah atau perkawinan antara suami istri perhatikan gamgar di bawah ini :
A B C D

E F
G H

A I (P) C J B

X Z
R K W
L
M
N O S
16

Keterangan gambar:
1. Hubungan nasab bunuwwah antara pewaris dengan ahli waris adalah:
a. Antara (P) sebagai pewaris dengan K sebagai anak laki-laki, dengan L
sebagai cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan M sebagai cicit laki-laki
dan dengan N, O, dan S sebagai anak dari cicit itu.
b. Antara (P) sebagai pewaris dengan R sebagai anak laki-laki.
c. Antara (P) sebagai pewaris dengan W sebagai anak perempuan.
2. Hubungan nasab ubuwwah antara pewaris dengan ahli waris adalah :
a. Antara (P) sebagai pewaris dengan E sebagai ayah, dengan A sebagai kakek
dari ayah dan dengan B sebagai nenek dari ayah.
b. Antara (P) sebagai pewaris dengan F sebagai ibu, dengan C sebagai kakek
dari dari ibu dan dengan D sebagai nenek dari ibu..
3. Hubungan nasab ukhuwwah antara pewaris dengan ahli waris adalah
a. Antara (P) sebagai pewaris dengan I dan J sebagai saudara laki-laki dan
perempuan kandung, yang dihubungkan melalui E dan F (ayah-ibu) beserta
anak-anaknya X dan Z.
b. Antara (P) sebagai pewaris dengan G sebagai paman yang dihubungkan
melalui A dan B (kakek-nenek) dari ayah.
c. Antara (P) sebagai pewaris dengan H sebagai bibi yang dihubungkan melalui
C dan D (kakek-nenek) dari ibu.
4. Hubungan ikatan zaujiyah antara (P) sebagai pewaris dengan C sebagai mantan
istri atau I dengan A dan antara J dan B
2.2 Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasa Hukum Islam.
Ahli waris pengganti yang dikonsepsikan Hazairin tersebut adalah merupakan
reposisi pembaharuan hukum Islam dalam bidang kewarisan, saya selaku praktisi
hukum memberikan apresiasi yang sangat mendalam terhadap upaya beliau yang sangat
gigih, untuk mengungkapkan misteri hukum waris Islam yang dirasakan adanya
ganjalan pada sebagian ajarannya yang nampaknya menurut pengamatan Hazairin tidak
memenuhi aspek keadilan dan diskriminasi. Banyak kasus terjadi di masyarakat Islam
Indonesia seorang hanya mempunyai keturunan waris seorang diri, yaitu cucu dari anak
perempuannya yang telah meninggal dunia lebih dulu, dan ia mempunyai adik dan
kakaknya sebagai calon ahli warisnya, ia menyadari bahwa cucunya itu tidak akan
mendapatkan hak waris sedikitpun dari harta yang selama hidup dikumpulkannya, agar
17

cucu ini memiliki seluruh harta kekayaannya, kemudian orang itu menghibahkan
seluruh hartanya kepada cucu tersebut. Sikap orang tersebut dapat dibaca sebagai sikap
ketidak setujuan terhadap hukum waris Islam yang menyingkirkan cucu itu dari hak
kewarisan. Padahal apabila cucu ini ditampilkan sebagai ahli waris pengganti yang
menggantikan ibunya itu, mungkin orang tersebut tidak akan bersikap seperti itu.
Ada satu kasus tetangga yang sangat mengganggu pikiran saya, seorang
meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris anak-anak paman kandung pewaris,
terdiri dari tiga anak laki-laki paman, dan seorang anak perempuan paman, kondisi dari
keempat anak paman ini berbeda sangat jauh, 3 orang anak lak-laki paman adalah
termasuk orang yang berhasil dari sisi ekonomi, sementara anak perempuan dari paman
itu sangat miskin, ia seorang janda ditinggal mati suaminya, tidak memiliki kekayaan
selain sebuah rumah panggung kira-kira 3 x 4 M2 yang sudah lapuk, ketika pembagian
waris dilakukan yang dipimpin oleh ustad setempat, satu orang anak perempuan paman
ini hanya duduk termenung saja tanpa mendapatkan apapun, karena ia dzaw al-arham,
sementara ketiga anak kali-laki paman itu berpesta pora mendapatkan harta warisan
yang cukup banyak. Anak perempuan paman ini mengadu kepada saya dan ia bertanya,
kenapa saya tidak mendapatkan sedikitpun dari harta warisan itu, padahal saya
membutuhkan untuk makan sehari-hari katanya. Pada waktu itu saya tidak dapat
menjawab sedikitpun, atas pertanyaannya, hanya yang ada dalam pikiran saya waktu itu
adalah inilah suatu kedhaliman yang nyata, dan hal ini tidak mungkin bersumber dari
ketentuan hukum Allah yang Maha Adil. Kasus tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:



(P)

Keterangan gambar:
1. Adalah pewaris, tidak ada ahli waris lain kecuali keempat anak paman
tersebut, karena semuanya telah meninggal dunia lebih dulu.
2. Adalah anak laki-laki paman.
3. Adalah anak perempuan paman.
18

Keempat anak paman itu semuanya memiliki hubungan kekerabatan yang sama
dengan pewaris, baik kekuatan kekerabatannya, jauh dekatnya (derajat) dan arahnya
sama-sama berada dalam garis kekerabatan ukhuwwah dalam dua tingkat, seharusnya
bila digunakan teori ahli waris pengganti, keempat anak paman ini menggantikan
kedudukan paman yang menerima ashabah, yang dalam kasus ini menerima seluruh
harta keponakannya, kemudian dibagikan kepada mereka dengan perbandingan 2 : 1,
sehingga untuk satu orang anak laki-laki paman mendapat 2/5 bagian dari harta
peninggalan dan untuk satu orang anak perempuan paman mendapat 1/5 bagian harta
peninggalan.
Teori ahli waris pengganti tersebut, kenyataannya dapat diterima oleh semua
ulama Indonesia secara aklamasi dengan sedikit perombakan tentang besaran yang
menjadi hak kewarisan ahli waris pengganti itu dan lahirlah ketentuan Pasal 185 yang
terdiri dari dua ayat, yaitu:
1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada sipewaris, maka kedudukannya
dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
Ketentuan hukum yang dimuat dalam Pasal 185 tersebut, paling tidak terdapat
empat bagian garis hukum yang harus di garis bawahi, yaitu siapa saja ahli waris yang
dapat digantikan kedudukannya itu, siapa saja yang menjadi ahli waris pengganti itu,
apakah cara penggantian kedudukan ahli waris itu bersifat imperative atau fakultatif
(alternative), dan derajat yang bagimana yang dikehendaki ketentuan trersebut.
Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KHI sebagaimana tersebut di atas ahli waris
yang diganti itu adalah ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris.
Ahli waris dalam ayat tersebut nampaknya sangat jelas adalah seluruh ahli waris
posisinya dapat digantikan apabila ia lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris, akan
tetapi sesuai teori hukum kewarisan secara logis terdapat ahli waris yang posisinya tidak
dapat digantikan, karena keadaan dari ahli waris itu sendiri, hal ini terjadi dalam
hubungan pewaris dengan ahli warisnya melalui jalur al-zaujiah atau perkawinan antara
suami dengan istri, karena adanya saling mewarisi antara suami istri itu apabila diantara
suami istri itu ada yang meninggal dunia lebih dahulu dari yang lainnya, suami
meninggal dunia lebih dahulu dari pada istrinya, maka istri menjadi ahli warisnya dan
apabila istri meninggal dunia lebih dahulu dari suami, maka suami yang menjadi ahli
warisnya. Oleh karena itu dalam kasus suami istri tidak mungkin diterapkan teori ahli
waris pengganti. Dengan demikian ahli waris yang dapat digantikan posisinya adalah
hanya berlaku dalam hubungan kekerabatan nasabiyah saja, yaitu hubungan bunuwwah
(keturunan pewaris), ubuwwah (orang tua pewaris, yaitu ayah dan ibu, kakek dan nenek
dari dua jurusan) dan ukhuwwah (saudara-saudara pewaris, baik yang dihubungkan
19

melalui ayah-ibu atau kandung, melalui ayah saja maupun melalui ibu saja, atau
dihubungkan melalui kakek-nenek pihak ayah, melalui kakek pihak ayah, melalui nenek
pihak ibu, dihibungkan melalui kakek-nenek pihak ibu, melalui kakek pihak ibu dan
melalui nenek pihak ibu.
Menurut ketentuan pasal tersebut, menyatakan dapat digantikan oleh anaknya.
Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa orang-orang yang dapat ditampilkan
sebagai ahli waris pengganti itu adalah keturunan-keturunan dari ahli waris itu, tidak
berlaku bagi para leluhur pewaris, dengan demikian ahli waris pengganti dalam
ketentuan ini hanya yang berada dalam jalur hubungan bunuwwah dan ukhuwwah saja,
sebab suatu hal yang tidak mungkin adanya ahli waris pengganti dari keturunan
ubuwwah, sebab ketika orang tua meninggal dunia keturunan dari orang tua itu telah
ditampilkan sebagai ahli waris. Apabila ketentuan orang-orang yang berhak menjadi
ahli waris pengganti itu hanya pada tahap keturunan, yang berarti tidak berlaku untuk
jalur hubungan nasab ubuwwah, tetap saja akan terjadi ketidak adilan dan diskriminasi.
Pada jalur ubuwwah itu juga sebenarnya terdapat ahli waris pengganti yang
menggantikan kedudukan kewarisannya, akan tetapi ahli wari pengganti dalam jalur ini
bukanlan keturunanya, melainkan para orang tua yang berada pada garis vertical ke
atas, yaitu kakek dan nenek dalam seluruh tingkatan. Oleh karena itu bila ayah lebih
dahulu meninggal dunia maka yang menduduki posisi ayah itu adalah kakek dan nenek
pewaris dari ayahnya itu, bila ia dapat ditampillkan sebagai ahli waris, begitu pula ibu
pewaris dapat digantikan oleh kakek dan nenek dari pihak ibu itu. Dengan dasar seperti
ini juga akan menghapus istilah kakek atau nenek ghair shahih, dan patokan hak
kewarisannya bukanlah pada dasar ghair shahih itu melainkan selama mereka tidak
terdinding oleh orang tua pewaris yang sejalur dengan mereka dan hubungannya lebih
dekat dengan pewaris.
Kata dapat dalam ayat tersebut menunjukan bahwa pemuatan teori ahli waris
pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam, nampaknya tidak digeneralisasikan sebagai
sebuah teori yang berlaku secara menyeluruh dan komperhensif, sebab dengan adanya
kata dapat berkonsekwensi penggunaan teori ahli waris pengganti itu bersifat
fakultatif (alternative) atau bukan suatu keharusan untuk dilaksanakan, pelaksanaannya
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan disesuaikan dengan karakteristik kasus
itu sendiri.
Selain itu, yang perlu mendapatkan perhatian dari ketentuan hukum tersebut
adalah adanya batasan bagian hak kewarisan ahli waris pengganti yang dimuat pada
ayat (2) pasal tersebut, yaitu Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti ketentuan ini adalah suatu
ketentuan yang bersifat multi tafsir, karena dalam system kewarisan Islam penyeleksian
ahli waris dijaring melalui teori kekuatan kekerabatan, tingkatan atau derajat
kekerabatan dan arah (jihat) kekerabatan itu.
20

Derajat dalam teori hukum waris adalah suatu hubungan kekerabatan nasab antara
pewaris dengan ahli waris, dilihat dari jauh dektnya hubungan itu, atau juga dapat
dinyatakan tingkatan hubungan antara pewaris dengan ahli waris, derajat paling tinggi
adalah hubungan kewarisan yang langsung antara pewaris dengan ahli waris atau
keterikatan hubungan itu tidak diikatkan melalui yang lain. Derajat kedua adalah
hubungan ahli waris dengan pewaris yang diikatkan melalui satu orang yang lain.
Derajat ketiga adalah hubungan ahli waris dengan pewaris yang diikatkan melalui dua
orang yang lain. Derajat keempat adalah hubungan ahli waris dengan pewaris yang
diikatkan melalui tiga orang yang lain. Derajat kelima hubungan ahli waris dengan
pewaris yang diikatkan melalui empat orang. Derajat keenam adalah hubungan ahli
waris dengan pewaris yang diikatkan melalui lima orang yang lain dan seterusnya.
Contoh penderajatan dalam hubungan kekerabatan, baik yang dihubungkan dengan
nasab garis vertical, maupun garis horizontal, sebagaimana dapat dilihat gambar
berikut:
A B

C D E F G H
I J K
L M N O


P Q R S T U

V W X Y A B C D

E F G H I

J K
21


Keterangan gambar:
1. Jenis kelamin laki-laki, dan jenis kelamin perempuan.
2. M sebagai pewaris.
3. Pewaris mempunyai anak tiga orang, dua orang laki-laki Q dan T, satu anak
perempuan S.
4. Pewaris mempunyai cucu enam orang, yaitu V, X, anak laki-laki dari Q, dan Y, A,
B anak dari S, dan D anak dari T.
5. Pewaris mempunyai lima orang cicit, yaitu E anak dari V, dan F anak dari Y, dan
G anak dari A dan H dan I anak dari B
6. Pewaris mempunyai dua orang anak dari cicit, yaitu J dan K
7. Pewaris lahir dari orang tua, ayah J dan ibu K.
8. Saudara kandung pewaris adalah N dan O.
9. E dan F adalah kakek dan nenek pewaris dari pihak ayah,
10. G dan H adalah kakek dan nenek pewaris dari pihak ibu.
11. I adalah satu orang paman pewaris (saudara kandung ayah pewaris).
12. A dan B buyut pewaris dari ayah.
13. C dan D adalah saudara-saudara dari kakeknya ayah pewaris.
Dari gambar tersebut dapat diketahui orang-orang (ahli waris) yang menduduki
derajat yang sama adalah:
A. Derajat pertama adalah derajat paling tinggi, yaitu hubungan kekerabatan nasabiyah
antara pewaris dengan ahli waris secara langsung atau tidak diikatkan dengan orang
lain, yang dalam hal ini adalah anak-anak Q, S, dan T ayah dan ibu pewaris yaitu J
dan K.
B. Derajat kedua adalah hubungan ahli waris dengan pewaris diikatkan dengan satu
orang yang lain, yaitu enam orang cucu-cucu pewaris, yaitu V, X, Y, A, B C dan
D mereka hubungannya dengan pewaris karena adanya keterikatan dengan anak-
anak pewaris, yang sederajat dengan mereka ini adalah saudara-saudara pewaris,
yaitu N dan O dan kakek- nenek baik dari ayah maupun dari ibu, yaitu E, F dan G,
H yang hubungannya dengan pewaris diikat oleh ayah dan ibu.
C. Derajat ketiga adalah hubungan ahli waris dengan pewaris diikatkan dengan dua
orang yang lain, yaitu A dan B hubungannya dengan pewaris diikat dengan E-F dan
J-K (ayah-ibu dan kakek-nenek) pewaris. Yang mendudiki posisi derajat yang sama
adalah I paman pewaris yang dihubungkan melalui orang yang sama, lima orang
cicit yang dihubunghkan dengan pewaris melalui cucu dan anak.
D. Derajat keempat adalah hubungan ahli waris dengan pewaris diikatkan dengan tiga
orang yang lain, yaitu ahli waris C dan D saudara-saudara kakek pewaris yang
dihubungkan dengan pewaris melalui A-B (buyut), E-F ( kakek nenek) dan J-K
22

(ayah ibu). Yang menduduki posisi derajat yang sama adalah J dan K yang
dihubungkan dengan pewaris melalui cicit, cucu dan anak.
Dari gambaran tersebut, dapat diketahui hubungan kekerabatan dari setiap arah
(bunuwwah, ubuwwah dan ukhuwwah), tenyata pada satu kasus tertentu akan
berkumpul pada derajat yang sama. Sedangkan menurut teori keutamaan hukum
kewarisan Islam walaupun mereka menduduki posisi derajat yang sama tetap saja
memiliki garis keutamaan yang berbeda, karena arah bunuwwah lebih diutamakan dari
pada ubuwwah dan ukhuwwah, dan arah ubuwwah diutamakan dari pada ukhuwwah.
Dengan demikian yang dimaksud sederajat dalam ketentuan tersebut hanya dapat
diposisikan dalam arah yang sama dengan ahli waris yang diganti itu dengan ketentuan
apabila ahli waris itu seluruhnya ahli waris pengganti, maka mereka mendapatkan hak
waris sesuai dengan bagian hak waris yang diganti.
Contoh-contoh kasus ahli waris pengganti diantaranya ahli waris terdiri dari ibu,
mantan istri, satu orang anak perempuan, satu orang cucu perempuan dari anak laki-laki
dan satu orang cucu perempuan dari anak perempuan, lihat gambar berikut:
A B


C D

E F G H I

J K

keterangan gambar:
1. A adalah ayah pewaris telah meninggal dunia lebih dahulu.
2. B adalah ibu pewaris.
3. C sebagai pewaris.
4. D mantan istri pewaris.
23

5. E suami F anak perempuan pewaris keduanya telah menininggal dunia.
6. G anak perempuan pewaris.
7. H anak laki-laki pewaris mempunyai istri I dan mempunyai seorang anak
perempuan K
Maka bagian masing-masingnya adalah:
1. Mantan istri mendapat 1/8 bagian. 1/8 x 24 = 33/24 harta atau 9/72 harta
2. Ibu mendapat 1/6 bagian. 1/6 x 24 = 4 4/24 harta atau 12/72 harta.
3. Satu orang anak perempuan 1/2. X 24 = 12/24 harta atau 36/72 harta
4. Satu orang cucu perempuan dari anak laki-laki, seharusnya mendapatkan sisa harta
bersama-sama dengan cucu perempuan dari anak perempuan dengan perbandingan
2 : 1, untuk satu orang cucu perempuan dari anak laki-laki adalah 2/3 x 5/24 = 10/72
harta dan untuk satu cucu perempuan dari anak perempuan mendapat 1/3 x 5/24 =
5/72
Pada kasus tersebut ahli waris pengganti tidak memungkinkan diberikan bagian
maksimum yang sama dengan anak perempuan, selain derajatnya berbeda juga akan
berakibat menghabiskan harta untuk dzaw al-furudh, sedangkan bila diperhitungkan
dengan cara ashabah antara satu anak perempuan, satu orang cucu perempuan dari anak
laki-laki dan satu orang cucu perempuan dari anak perempuan, maka bagian cucu
perempuan dari anak laki-laki akan melebihi bagian anak perempuan itu dan dalam hal
ini tidak diperkenankan sesuai ketentuan tersebut di atas.
Contoh lain misalnya, ahli waris terdiri dari kakek dan nenek dari pihak ayah,
kakek dan nenek dari pihak ibu, satu orang anak laki-laki, dua orang cucu dari anak
perempuan, laki-laki dan perempuan, lihat gambar berikut:
A B C D


E

G H F

24

Keterangan gambar:
1. A dan B adalah nenek dan kakek pihak ibu pewaris.
2. C dan D adalah nenek dan kakek pihak ayah pewaris.
3. E adalah pewaris.
4. F anak laki-laki pewaris.
5. G cucu perempuan dari anak perempuan pewaris.
6. H cucu laki-laki dari anak perempuan pewaris.
Maka bagian masing-masing ahli waris tersebut adalah :
1. kakek dari ayah 2/3 x 1/6 = 2/18 atau 6/54 harta.
2. nenek dari ayah 1/3 x 1/6 = 1/18 atau 3/54 harta.
3. kakek dari ibu 2/3 x 1/6 = 2/18 atau 6/54 harta.
4. nenek dari ibu 1/3 x 1/6 = 1/18 atau 3/54 harta
5. anak laki-laki dan cucu-cucu mendapatkan sisa 18/18 6/18 = 12/18,
6. untuk anak laki-laki 2/3 x 12/18 = 24/54 bagian harta.
7. untuk dua orang cucu perempuan mendapat 1/3 x 12/18 = 12/54 harta
Contoh kasus yang lain misalnya ahli waris terdiri dari dua orang saudara laki-laki
kandung pewaris (A dan B), satu orang saudara perempuan seibu (C), dua orang cucu
perempuan dari anak laki-laki (D dan E), tiga orang cucu perempuan dari anak
perempuan (F, G dan H), perhatikan gambar di bawah ini:








Maka bagian masing-masingnya adalah
25

1. saudara-saudara pewaris terhijab karena belum kalalah.
2. untuk D mendapat 1/2 x 2/3 = 2/6 atau 6/18 bagian harta.
3. untuk E mendapat 1/2 x 2/3 = 2/6 atau 6/18 bagian harta.
4. untuk F mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9 atau 2/18 bagian harta.
5. untuk G mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9 atau 2/18 bagian harta.
6. untuk H mendapat 1/3 x 1/3 = 1/9 atau 2/18 bagian harta.
Contoh kasus yang lain misalnya, ahli waris terdiri dari dua orang anak
perempuan dari saudara laki-laki, ibu dan mantan istri. maka bagian masing-masingnya
adalah:
1. mantan istri 1/4 bagian atau 3/12 bagian harta.
2. ibu 1/6 bagian atau 2/12 bagian harta .
3. dua orang anak perempuan dari saudara laki-laki mendapat sisa 12/12 5/12 = 7/12

III KESIMPULAN
Dari hal-hal yang telah yang telah diuraikan tersebut di atas, penulis menyimpulkan
sebagai bertikut:
1. Teori ahli waris pengganti adalah sebagai salah satu teori yang dapat dijadikan dasar
hukum untuk mendudukan para kerabat nasabiyah sebagai ahli waris yang berada
dalam derajat kedua, ketiga dan seterusnya.
2. Pergantian kedudukan sebagai ahli waris, dari ahli waris yang diganti yang telah
meninggal dunia lebih dahulu adalah merupakan ranah ijtihadiyah yang mungkin
terjadinya perbedaan pendapat, untuk mencapai kemashlahatan, yang didalamnya
mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, bagi masyarakat muslim Indonesia
harus tetap berpegang pada ijma ulama Indonesia yang dimuat dalam Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam.
3. Bagian ahli waris pengganti disesuaikan dengan bagian ahli waris yang diganti,
dengan batasan tidak melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dalam satu arah
dengan ahli waris yang diganti.

IV DAFTAR PUSTAKA
1. DR. Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu (Bairut: Dar Al-Fikr, Cet.
III, 1989) Juz VIII.
26

2. DR. Mushthafa Dib al-Bagha, Syarah Ilm Al-Warits Al-Rahbiyah Fi Ilm Al-Faraidh,
(Bairut Libanon, Dar Katib wa kitab, tth)
3. Prof. DR. Hazairin, SH, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran Dan Al-
Hadits, (Jakarta, Tintamas, 1982)
4. Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Alam Al-Arabi: Daar Al-Fatah, Jilid III, tth)
5. Drs. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, Al-Maarif, Cet. II 1981).
6. Abu Al-Fidaa Ismail bin Umr bin Katsiir Al-Quraisyi Al-Damsyiqy, Tafsir Al-
Quran al-Adhim Al-Syahir bi Tafsir Ibnu Katsir, (Dar Thayyibah Linasyir wa Al-
Tauzi, Cet. II, 1999).
7. Prof. R. Subekti, SH & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
(Jakarta: PT Pradnya Paramita, cet. XXIV, 2002).
8. INTRUKSI PRESIDENT No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

You might also like