You are on page 1of 19

PERLUASAN KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI Dimuat Oleh Yusa Dibrata PERLUASAN KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI (Sebuah

Tinjauan Filosofi Hukum Islam) Oleh : Ruslan H.R. *[1] I. Pendahuluan

Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, mengadakan acara Serasehan Sehari, dengan materi pembahasan sekitar makna dan jangkauan kedudukan ahli waris pengganti dalam sistem hukum waris Islam di Indonesia. Acara tersebut berlangsung pada hari Jumat, tanggal 31 Desember 2010, bertempat di aula pertemuan Kantor Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Serasehan ini dimaksudkan dalam rangka merealisir salah satu program kerja IKAHI Cabang PTA DKI Jakarta Periode 2010/2013, sekaligus diharapkan mengisi dan merangsang cakrawala dan wawasan berpikir para hakim Pengadilan Agama se-DKI Jakarta, sebagai suatu momentum kegiatan untuk menutup tahun 2010 dan menyambut tahun baru 2011. Serasehan dibuka oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta

Drs.Kholilurrahman,S.H.,M.B.A dengan peserta diikuti dari semua hakim tingkat banding dan sebagian hakim tingkat pertama Pengadilan Agama se-DKI Jakarta. Tampil sebagai pembawa materi adalah salah seorang hakim tinggi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, yang juga Ketua IKAHI Cabang PTA DKI Jakarta ; Drs.Edi Riadi,S.H.,M.H. Beliau dalam pemarannya mempersalahkan ada dua hal, yaitu ; 1. Mengapa putusan Mahkamah Agung, antara satu majelis hakim dengan majelis hakim lainnya berbeda (tidak sama), dalam hal penerapan hukum tentang ahli waris pengganti ? 2. Dapatkah dijadikan sumber hukum, hasil keputusan Rakernas Mahkamah Agung, yang pada dasarnya membatasi kedudukan ahli waris pengganti, hanya dalam tingkatan

kedudukan cucu mengganti kedudukan anak? Dari kedua permasalahan inilah yang menjadi kajian dalam tulisan ini, setidak-tidaknya dapat menampung berbagai pendapat dan argumentasi peserta yang berkembang dalam acara serasehan tersebut. Menyoroti jalannya acara serasehan, nampak sekali semangat dan antusias para peserta dalam memberikan kontribusi pemikiran yang sangat berharga dan variatif. Salah seorang peserta dari hakim tinggi PTA Jakarta, berpendapat bahwa kajian materi serasehan ini, sedikit kurang ilmiah kalau kita hanya mau menyoroti putusan Mahkamah Agung yang berbeda itu, karena perbedaan pendapat dalam memutus suatu perkara adalah suatu hal yang biasa dan lumrah dalam dunia peradilan. Beliau juga berpendapat dan mendukung pendapat Prof.Hazairin tentang makna dan kedudukan ahli waris pengganti, terutama dilihat dari makna ayat Walikullin jaalna mawaliya. Bahkan ayat ini bisa ditafsirkan lebih luas lagi, bahwa kata mawaliya di situ, bukan hanya dalam batas pengertian penggantian tempat ahli waris anak ke cucu (ke bawah), tetapi bisa juga meliputi penggantian tempat paman ke anaknya (ke samping). Pendapat lain yang berkembang dari hakim tingkat pertama, bahwa kedudukan ahli waris pengganti tidak perlu diperluas jangkauannya sampai garis keturunan ke samping, tetapi cukup dalam garis lurus keturunan ke bawah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 KHI, namun ia menyarankan agar lembaga Baitul Maal segera dibentuk dan diberdayakan, sehingga harta waris yang ada yang tidak merupakan bagian ahli waris lagi, dapat dimasukkan dan disimpan di dalam Baitul Maal, untuk dimanfaatkan nantinya, bagi kepentingan umat Islam. Ada pula peserta yang berpendapat bahwa jangkauan kedudukan ahli waris pengganti tidak hanya dalam batas garis keturunan lurus ke bawah yaitu antara anak dan cucu, tetapi dapat diperluas lagi ke samping tanpa ada pembatasan, sehingga nantinya tidak akan ditemukan lagi posisi dalam kedudukan dzawil arham. Dasar pemikiran dan pendapat mereka, ada yang berdasarkan dalil naqly dan adapula yang berdasarkan dali aqly. Nampaknya memang keputusan Rakernas Mahkamah Agung, sangat normatif dan tentu keputusan tersebut, diharapkan dan dikandung maksud adanya kepastian hukum. Akan tetapi

permasalahan pun akan muncul, jika ahli waris pengganti dari cucu tidak ditemukan dalam kasus a quo. Dari pada diperankan posisi dzawil arham, lebih baik dan lebih tepat digunakan dan diperluas jangkauan makna ahli waris pengganti, tidak hanya dalam garis keturunan lurus ke bawah, tetapi juga meliputi dalam garis keturunan ke samping yang memang kadang sudah termasuk dalam kategori dzawil arham. Penulis yakin bahwa betapapun pendapat yang dikemukakan yang hanya berdasar pada ilmu pengantar ataupun sekedar teori-teori yang kita baca, melalui pendapat dari para ahli hukum, belum tentu akan dapat memecahkan dan menjawab permasalahan hukum yang berkembang atas perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita dewasa ini, sehingga mau tidak mau para praktisi hukum , khususnya para hakim Pengadilan Agama yang memang tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya, di mana mereka dituntut untuk dapat memberikan pelayanan hukum yang prima, kepada masyarakat pencari keadilan. Dan tentu kita sependapat bahwa seorang hakim sama sekali tidak boleh ia mengatakan bahwa hukumnya tidak ada atau belum diatur terhadap kasus yang dihadapi, karena ada asas dalam hukum acara perdata yang menyatakan ius curia novit, artinya; hakim dianggap tahu akan hukumnya. Dengan demikian sebagai seorang hakim yang cerdas, tentu ia akan berijetihad, mencari solusi terbaik dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Dan kalau hakim yang bersangkutan merujuk pada tujuan hukum Islam adalah menggapai kemaslahatan, maka kasus yang dihadapi tentu saja harus dilihat dan diukur kepentingan apa yang diinginkan, apakah termasuk dalam kategori almashlahatul dharuriyah, atau al-mashlahatul hajjiyah ataukah al-mashlahatul tashniyah ?. Sudah tentu hakim Pengadilan Agama masa kini, tidak akan hanya menggunakan pendekatan normatif saja, tetapi lebih mungkin ia pun akan menggunakan dan mengutamakan pendekatan filosofis dan atau pendekatan sosiologis. Terlepas dari semua itu, benar atau tidaknya pendapat para peserta dalam serasehan sehari itu, penulis ingin mengkaji permasalahan tersebut dengan mencoba melakukan pendekatan dari sudut pandang filosofi hukum Islam. Sebab penulis yakin bahwa pendekatan filsafat, khususnya filsafat hukum Islam, sangat bermakna dalam pengkajian suatu keilmuan, termasuk ilmu tentang hukum atau sangat mampu memecahkan berbagai permasalahan hukum

yang ada, bahkan akan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut, meskipun harus diakui di sana sini akan terjadi perbedaan-perbedaan pendapat , termasuk perbedaan pendapat dalam hal penerapan hukum tentang ahli waris pengganti dalam sistem hukum waris Islam. Semua permasalahan yang dihadapi oleh seorang hakim, Insya Allah akan diselesaikan sepanjang para hakim mau meningkatkan dan menggunakan kecerdasan intelektualnya yang dimiliki, dibarengi dengan kecerdasan emosional yang positif serta didukung dengan kecerdasan spritual yang memadai. II. Tentang Ahli Waris Pengganti. Masalah ahli waris pengganti, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut ; Ayat (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. Ayat (2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Ketentuan ini menjadi pegangan dan dijadikan sebagai hukum materiil bagi para hakim Pengadilan Agama di Indonesia. Akan tetapi dalam perkembangan hukum yang ada di tengah-tengah masyarakat Islam, muncullah keinginan baru, berikut adanya keinginan berbagai pihak dan pendapat tentang kemungkinan meluasnya makna dan kedudukan serta penerapan hukum tentang ahli waris pengganti tersebut. Menurut penulis, apapun pendapat dan argumentasi kita, semestinya lebih awal kita tidak bisa melepaskan diri dari pemaknaan hakikat hukum Islam itu sendiri, yang bersumber dari Al-Quran, As-Sunah dan ijetihad para ulama yang tentu diikuti oleh para tabie- tabiin. Hakikat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya; intisari atau dasar, ataukah kenyataan yang sebenarnya [2] Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, hakikat diartikan sebagai sesuatu yangtetap atau yang nyata atau yang sebenarnya. Hakikat adalah lafad

yang digunakan untuk mengungkapkan makna yang ditentukan untuknya yang antara lain, baik dalam penggunaan kebahasaan, maupun dalam penggunaan syarak. [3]. Sehingga hakikat itu sendiri antara lain dapat digunakan dalam dua sisi, yaitu ; sisi bahasa, jika digunakan dalam konteks/istilah kebahasaan dan sisi syarak, jika digunakan dalam konteks/istilah syarak. Berdasarkan pengertian ini, ulama usul fikih menyatakan bahwa apabila ketentuan makna lafad itu digunakan dalam konteks kebahasaan, maka hakikat lafad harus digunakan sesuai dengan ketetapan kebahasaan. Misalnya, lafad Mawaaliya, dengan makna tempat. Jadi jika para ahli bahasa menggunakan lafad Mawaaliya, maka makna hakikatnya adalah penggantian tempat atau penggantian kedudukan. Demikian pula jika sumber lafad itu berdasarkan syarak dan digunakan dalam konteks syarak, maka makna hakikat dari lafad Mawaaliya, digunakan sesuai dengan ketetapan syarak. Di dalam pemaknaan dari segi syarak, maka kata Mawaliya itu dimaksudkan sebagai penggantian tempat ahli waris yang tadinya kedudukan anak, digantikan oleh cucunya dalam garis keturunan lurus ke bawah[4] Secara ontologis hakikat hukum Islam itu adalah Islam itu sendiri sebagai agama pamungkas yang menyempurnakan seluruh ajaran dalam agama yang diwahyukan oleh Allah. Hakikat sumber hukum Islam adalah Allah SWT yang berkedudukan sebagai pencipta hukum. Sebagai Zat yang Mahasempurna dan tidak ada yang tidak mungkin baginya, maka sangat tidak mungkin pula jika hasil ciptaanNya memiliki kelemahan dan kecacatan. Wahyu Allah dalam wujud al-Quran dan as-Sunnah adalah merupakan produk yang mutlak kebenarannya dan sangat sulit terbantahkan oleh siapapun dan kapanpun juga, karena Allah telah menjamin akan terpeliharanya wahyu tersebut. Kaitannya dengan wahyu yang di dalamnya termuat hukum-hukum syara, menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana dijelaskan oleh Juhaya S. Praja, bahwa yang dimaksud dengan alsyara bukan sekedar sesuatu yang dapat membedakan antara manfaat dan mudarat secara indrawi (al-hiss), tetapi dengan al-syara, manusia akan mampu membedakan perbuatan yang akan membawa pelakunya pada kebaikan atau pada keburukan dan kerusakan. Oleh karena itu al-syara memberi petunjuk dengan manfaat iman, tauhid, adil dan sebagainya, yang dapat dicapai dengan melaksanakan segala perintah yang tertuang dalam al-syara , membenarkan

Allah dan RasulNya beserta risalahnya dan sekaligus menaatinya[5] Ibnu Taimiyah, mengemukakan bahwa yang dimaksudkan al-syara itu antara lain , adalah ; 1. Al-Syara al-Munazzal, yaitu al-Quran dan as-Sunnah yang wajib diikuti. Termasuk kategori ini ialah pokok-pokok dan cabang-cabang ilmu agama (ushul al-din wa furuah), siasat para ulama, pengelola hukum, hukum keputusan para hakim (hukm al-hukkam). Yang lebih utama dari syariat yang diturunkan Allah dan yang merupakan suri teladan Rasulullah SAW adalah al-Quran dan as-Sunnah. 2. Al-Syara al-Muawwal, yaitu syara yang menjadi sumber ikhtilaf sebagai hasil ijtihad para ulama[6] Al-Syara al-Munazzal adalah wahyu al-Munazzal yakni al-Quran dan as-Sunnah wa al-Mutawatirah. Adapun al-Syara al-Muawwal adalah akal manusia, yang merupakan potensi terbesar bagi manusia untuk menggali kandungan makna, maksud dan hikmah yang terdapat dalam al-wahyu al-munazzal, meskipun cara kerja akal mengundang perbedaan pendapat. Akal tidak memiliki kemampuan menciptakan kebaikan atau keburukan, sebab yang menciptakan itu adalah Allah SWT. Akal hanya mampu membedakan dan memilih yang baik atau yang buruk. Ketika akal membedakan dan memilih, setiap manusia memiliki cara masing-masing dalam membedakan dan memilih, maka perbedaan pendapatpun tidak terhindarkan. Hal inilah yang kemudian dikatakan bahwa semua hasil ijtihad kebenarannya relatif atau nisbi. Adapun hakikat Islam itu sendiri adalah katauhidan. Sedangkan fenomena-fenomena Islam itu bisa dilihat dalam bentuk berbagai macam ibadah seperti; syahadat, salat, puasa, zakat dan haji. Fenomena-fenomena Islam dalam bentuk muamalah, misalnya waris mal waris, termasuk di dalam penggantian kedudukan ahli waris, perkawinan, hibah, wakaf dan sebagainya yang kesemuanya itu, telah diatur sebagaimana yang difirmankan oleh al-Hakim atau al-Syari, baik melalui al-Quran maupun melalui as-Sunah. Salah satu contoh wahyu yang difirmankan oleh Allah SWT di dalam surat an-Nisa ayat 11 dan 12 serta ayat-ayat

lainnya dan seterusnya, yang mengatur tentang tata cara pembagian harta warisan, jika sipewaris telah meninggal dunia. Pemahaman epistemologis terhadap hukum Islam adalah mempertanyakan asal muamalah ketetapan hukum itu berlaku bagi manusia. Oleh karena itu, sumber hukum Islam, bukan hanya al-Quran/wahyu, melainkan juga ada sumber-sumber lain yang diproduk oleh akal manusia. Realitas dari penetapan hukum yang digali oleh kekuatan akal manusia melahirkan berbagai metode dan pendekatan, sebagaimana ijtihad merupakan metode utama dalam istinbath hukum yang ditopang oleh berbagai pendekatan, seperti penafsiran al-Quran, pendekatan analogis atau qiyas dan ijema kaum mujahidin, seperti halnya pendapat Ibnu Masud yang menyamakan kedudukan anak perempuan sama dengan anak laki-laki, yang karena kata waladun dapat dimaknakan dan dimaksudkan anak laki-laki atau anak perempuan, sehingga berlakulah hukum qiyas, bahwa kalau saja anak laki-laki dapat menghijab/menghalangi paman, maka sudah tentu anak perempuanpun dapat menghijab/menghalangi paman. Sehingga apabila anak perempuan itu tunggal atau sendirian, maka otomatis ia dapat mewarisi sepenuhnya budel waris si pewaris, sama sebagaimana kedudukan anak laki-laki, yang berstatus sebagai ahli waris tunggal, walaupun dalam praktek pelaksanaan pembagian warisan itu, ada yang berpendapat bahwa bagian anak perempuan itu, tetap diberikan lebih dahulu, bagian warisnya dalam kedudukan sebagai zawil furud, yang hanya mendapatkan (seperdua) bagian dan selanjutnya akan ditambahkan (seperdua) bagian lagi dari budel waris tersebut sebagai bagian Rad. Alat yang diperlukan dalam mengistinbatkan hukum adalah kaidah-kaidah kulliyah dan kaidah ushuliyah, yang dapat kita fahami nash-nash al-Quran dan as-Sunnah melalui pemahaman linguistik unsur-unsur hukum di dalamnya. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan untuk masa kini, bagaimana kita memahami pengertian kata Mawaaliya itu, kita artikan sebagai penggantian tempat atau kedudukan sebagai ahli waris dari anak turun ke cucu atau dapat kita berkata cucu mengganti kedudukan anak yang berfungsi sebagai ahli waris dari pewaris. Secara filosofis, hukum Islam tidak dapat terlepas dari campur tangan manusia. Akal pikiran manusia sejak dahulu telah melakukan berbagai pendekatan untuk menggali

kandungan makna dan hikmah ayat-ayat al-Quran, bahkan banyak ulama yang belum merasa puas dengan adanya penjelasan hadis-hadis yang berfungsi menafsirkan ayat-ayat yang masih global dan ayat-ayat yang maknanya masih samar. Terbukti dengan banyaknya kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode penafsiran yang berbeda-beda, seperti Tafsir al-Manar yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha, yang menafsirkan al-Quran dengan sumber ar-rayu atau ijtihad atau disebut dengan tafsir bi ad-Dirayah. Tafsir al-Manar memakai metode tahlily atau analisis yang uraiannya mengintegralkan hubungan pemaknaan al-Quran dengan pendekatan ilmu sastra dan ilmu kemasyarakatan. Selain itu, terdapat pula tokoh ulama lain seperti Muhammad Ali Al-Shabuni misalnya beliau menafsirkan kata Mawaaliya itu adalah tempat kedudukan anak digantikan oleh cucunya untuk tampil menerima warisan dari pewaris[7] Dalam perspektif Filsafat Hukum Islam, al-Hakim atau al-Syari yang memiliki sifatsifat sempurna, tentu akan menciptakan hukum Islam dengan sempurna. Jika terdapat pandangan tentang ketidaksempurnaan hukum Islam yang tertuang dalam wahyuNya yang sakral, dengan penuh kepastian dapat dinyatakan bahwa pandangan dan pemahaman manusia atas wahyu dipenuhi dengan serta keterbatasan dan kekurangan, sehingga semua penafsiran al-Quran kebenarannya relatif. Kemutlakan hanya dimiliki Zat Allah dengan sifatsifatNya yang sempurna, sedangkan keterbatasan dan kelemahan dimiliki oleh makhluk ciptaanNya, termasuk tentunya segenap para peserta yang mengikuti serasehan ini, walaupun harus diakui bahwa mereka ini adalah manusia-manusia pilihan yang diciptakan oleh Allah SWT dan ditakdirkan untuk menjadi hakim dan sebagai penegak hukum dan keadilan di Indonesia. Argumen ontologis tentang hakikat al-Hakim yang menciptakan hukum Islam adalah ZatNya itu sendiri, sehingga manusia yang menaati hukum-hukum Allah, dinyatakan sebagai orang yang taat kepada Allah. Sebaliknya, orang yang tidak menaati atas hukum-hukum Allah adalah orang yang sesat, fasik dan kufur. Filosofi pertama objek kajian Filsafat Hukum Islam adalah kesadaran dalam keimanan manusia terhadap hukum-hukum yang diciptakan Allah dan ketaatan terhadap Allah sebagai al-Hakim, yang menciptakan hukum atau al-Syari (pembuat syara).

Secara epistimologis, sumber hukum Islam adalah Allah sebagai al-Hakim. Hukumhukum yang diciptakanNya dapat dipahami dengan berbagai metode dan pendekatan. Wahyu membicarakan peristiwa yang memiliki daya jangkau universal apabila dilihat dari penggunaan kalimat-kalimatnya, sehingga hukum-hukum Allah tidak mengenal istilah kedaluarsa. Hal tersebut terjadi karena kebenaran dalam hukum-hukum Allah seirama dengan fitrah alami dan fitrah manusiawi yang bergerak di atas hak pererogatif Allah. Sebaliknya, yang mungkir dari hukum-hukumnya senantiasa mengalami

keputusasaan, rasa takut, rasa ragu-ragu, rasa sepele (menganggap remeh), dan semakin melemah daya pikirnya, makin bingung dalam menyelesaikan masalah-masalah urusan duniawi, termasuk bagi seorang hakim di Pengadilan Agama yang akan memutus perkara waris mal waris, yang di dalamnya terdapat ahli waris pengganti, baik dalam posisi garis keturunan lurus ke bawah maupun garis keturunan ke samping. Fitrah manusia yang berjalan seirama dengan hukum-hukum Allah akan menemui jati dirinya sendiri yang awalnya tercipta dalam keadaan suci dari dosa. Oleh sebab itu hukum Islam yang diciptakan dengan iradah Allah, akan senantiasa mampu menjangkau kehidupan manusia, baik masa lalu, masa kini maupun masa yang akan datang, karena al-Hakim sebagai Zat yang Maha Mengetahui semua masa dan sekaligus sebagai pencipta masa itu sendiri. Zat yang menciptakan hukum sebagai peraturan hidup manusia adalah Zat yang mutlak yang keberadaannya tidak ditentukan atau bergantung pada yang lain. Dengan demikian Zat yang menciptakan kebenaran dan menetapkan yang benar dengan sendirinya adalah alHakim. Kebenaran yang tidak pernah butuh atas legalitas dari kebenaran buatan makhlukNya. Allah yang mengangkat manusia menjadi seorang Nabi dan Rasul yang menerima risalah dan firman-firmanNya yang tertuang dalam kitab suci Al-Quran, yang orisinalitasnya dijaga dan dipelihara secara langsung oleh pembuat hukum itu sendiri. Hukum tidak tercipta dan hadir dengan sendirinya, melainkan melalui proses tertentu yang berhubungan dengan kodrat alam dan kemanusiaan. Hukum yang merupakan sistem alam disebut dengan nature of law (hukum alam)[8] Hukum alam berjalan sesuai dengan fitrahnya. Fitrah yang paling mendasar dalam hukum alam adalah perubahan dan pergantian atau pengembangan hukum, termasuk ketentuan hukum waris yang di dalamnya termasuk hukum

tentang ahli waris pengganti. Tak ada sesuatu yang tetap di dalamnya, segala sesuatu akan berubah dan memudar, dan setelah itu mati. Akan tetapi kematian hanyalah perubahan dalam wujud lain yang tidak akan ada tanpa sebelumnya telah ada. Bagi umat manusia, Allah adalah subjek hukum sebagai pembuat hukum. Jika Allah dikatakan sebagai pelaku hukum yang diciptakanNya sendiri, Dia adalah Zat yang memiliki hakikat ZatNya sendiri. Zat yang memiliki sifat dan perilaku. Apabila manusia menyadari dan meyakini dengan semua fitrah alamiah ini, bahwa tiada hukum yang paling benar, kecuali hukum-hukum Allah. Perjalanan manusia akan senantiasa harus waspada dengan setiap perubahan dalam pola kehidupan yang fana, karena kefanaan berlaku bagi hukum Islam. Hukum yang dibuat oleh Allah adalah hukum-hukum yang siap untuk dipilih oleh manusia. Hukum tentang yang baik dan yang buruk, hukum tentang keadilan, hukum tentang mutlak dan nisbi, hukum tentang kepastian dan kemungkinan, dan sebagainya merupakan hukum-hukum Allah yang siap untuk dijadikan pilihan oleh manusia. Apabila seseorang memilih keadilan maka berlakulah hukum dan keadilan. Sebaliknya apabila seseorang memilih ketidakadilan maka berlakulah hukum ketidakadilan bagi dirinya. Kajian filsafat hukum Islam tentang pembuat hukum atau al-Hakim atau Allahberpautan dengan pemikiran filosifis tentang wujud Allah, sifat-sifat dan iradahNya. Hal ini sangat penting dikaji mengingat hukum Islam berbeda dengan hukum-hukum lain yang relatif dibuat oleh manusia. Di samping itu, hukum Islam sebagai syariat bukan sebatas bagaimana melaksanakannya tetapi secara langsung berhubungan dengan keyakinan atau keimanan manusia terhadap sumber-sumber hukum Islam itu sendiri. Hal ini karena tanpa didasari oleh keimanan, hukum Islam yang dimaksudkan tidak lebih dari aturan slogan belaka, yang tidak harus diamalkan. Hukum Islam yang diamalkan didasarkan pada adanya keimanan yang menimbulkan kesadaran dan ketaatan terhadap pencipta hukum itu sendiri, bahkan lebih jauh dari itu, terdapat keyakinan yang membangun niat para mukallaf bahwa melaksanakan hukum Islam merupakan ibadah yang dapat membawanya kedalam pembalasan pembuat hukum, berupa

kenikmatan surga setelah berakhir kehidupan duniawi. Dengan pemahaman di atas, obyek filsafat hukum Islam yang pertama dan sumber hukum Islam adalah pembuat hukum Islam itu sendiri. Dengan demikian filsafat wujud tentang al-Hakim, menjadi prioritas kajian filsafat hukum Islam, karena landasan utama paradigma filosofi tentang sumber Hukum Islam adalah permasalahan yang berkaitan dengan akidah, yakni keimanan dalam hakikat ketauhidan, baik dalam tauhid uluhiyah maupun tauhid rububiyah. Tauhid uluhiyah yang menjadi sendi dasar keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, mebuka jalan pertama menuju keayakinan tiada hukum yang mutlak benarnya, kecuali hukum-hukum yang datang dari Allah. Adapun tauhid rububiyah menyatakan bahwa keyakinan tentang penguasa tunggal yang senantiasa menjaga dan memelihara wahyu sebagai sumber hukum Islam dan yang menciptakan seluruh alam dengan segala kebutuhan makhlukNya. Dengan demikian, tauhid rububiyah adalah prinsip yang memperkuat pernyataan bahwa tiada hukum yang terjaga dan terpelihara, kecuali adalah hukum-hukum Allah dan tiada hukum yang benar-benar membawa kemaslahatan dunia dan akhirat kecuali hukum-hukum Allah. Menurut Prof.Dr.Juhaya S.Praja bahwa tauhid sebagai prinsip umum dalam hukum Islam, menyebabkan bahwa semua manusia ada di bawah suatu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah)[9] Prinsip ini dapat dipahami dari firman Allah SWT yang antara lain disebutkan di dalam surat Ali Imran ayat 64, yang artinya ; Katakanlah (Muhammad), Wahai ahli kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempesekutukanNya dengan sesuatupun dan bahwa kita kita tidak menjadikan satu sama lain Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka); Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim[10] Berdasarkan prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Ibadah dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah SWT sebagai manifestasi pengakuan atas ke MahaesaanNya dan manifestasi kesyukuran kepadaNya. Dengan demikian tidak boleh sama sekali saling mempertuhankan sesama manusia dan/atau sesama

makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendakNya. Dengan prinsip ini pula, menghendaki dan mengharuskan manusia untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah (al-Quran dan asSunnah). Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum berdasarkan hukum-hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikategorikan ke dalam kelompok orang yang kafir dalam arti orang yang menutupi atau mengingkari kebenaran dan juga sebagai orang yang zalim dalam arti orang yang membuat ketetapan hukum berdasarkan hawa nafsu dan merusak orang lain dan dapat pula dikategorikan sebagai orang fasik dalam arti orang yang tidak memiliki konsistensi dalam bertauhid. Penerapan hukum ahli waris pengganti dalam hukum Islam, tidak terlepas dari prinsip dan nilai-nilai keadilan yang ada dalam Islam. Sebagaimana diketahui bahwa keadilan merupakan prinsip utama yang kedua dalam Islam setelah ketauhidan. Untuk lebih jauh memahami tentang makna keadilan ini dihubungkan dengan penerapan ahli waris pengganti, penulis ada baiknya memaparkan lebih dahulu tentang konsepsi nilai-nilai keadilan dalam Islam.

III.

Tentang Keadilan Keadilan adalah kata dasar dari kata adil yang terambil dari bahasa Arab al-adlu, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adil diartikan (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang[11] Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim dengan kata al-mizan yang berarti keseimbangan atau moderasi. Kata keadilan dalam al-Quran kadang-kadang sama pula dengan pengertian alqist, atau al-mizan dan dapat pula dijumpai dalam surat ke 42 al-Syura ayat 17 dan surat ke 57 al-Hadid ayat 25. Qisth arti asalnya adalah bagian (yang wajar dan patut). Ini tidak harus

mengantarkan adanya persamaan. Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu kata qisth lebih umum dari kata adl, dan karena itupula ketika al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya. Perhatikan surat an-Nisa (4) ayat 135. Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh karena itu, mizan adalah alat untuk menimbang . Namun dapat pula berarti keadilan, karena bahasa seringkali menyebut alat untuk makna hasil penggunaan alat itu[12] Term keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi keadilan dalam hukum Islam, meliputi berbagai aspek kehidupan. Apalagi dalam bidang dan sistem hukumnya. Dengan demikian konsep keadilan yang merupakan prinsip kedua setelah tauhid meliputi keadilan dalam berbagai hubungan; hubungan antara individu dengan dirinya sendiri; hubungan antara individu dengan manusia dan masyarakatnya; hubungan antara individu dengan hakim dan yang berperkara serta hubungan-hubungan dengan berbagai pihak yang terkait[13] Persamaan yang merupakan makna asal kata adil itulah yang menjadikan pelakunya tidak berpihak , dan pada dasarnya pula seorang yang adil berpihak kepada yang benar, karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian ia melakukan sesuatu yang patut, lagi tidak sewenang-wenang. Adil yang berarti sama, memberi kesan bahwa adanya dua pihak atau lebih, karena jika hanya satu pihak saja tidak akan mungkin terjadi persamaan. Oleh sebab itu adil adalah salah satu sifat yang harus dimiliki oleh manusia, termasuk di dalamnya hakim dalam menerapkan hukum tentang ahli waris pengganti itu, yang konotasi tujuannya tidak lain adalah menegakkan hukum dan keadilan. Secara etimologis, al-adlu, berarti tidak berat sebelah, tidak memihak atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-musawah). Istilah lain dari al-adlu adalah alqistu, al-mitslu (sama bagian atau semisal). Secara terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau

berpegang kepada kebenaran[14] Keadilan lebih dititikberatkan pada pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya. Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi dan hak waris, wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu hukum berdasarkan amanah, harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya. Berbuat adil itu sesungguhnya lebih mendekatkan ketakwaan seseorang kepada Allah. Allah SWT disebut juga sebagai Yang Maha Adil dan Bijaksana terhadap semua hambaNya, karena Allah SWT tidak mempunyai kepentingan apapun dari perbuatan yang dilakukan oleh hambaNya. Jika manusia berbuat kebaikan, maka tidak akan mempengaruhi KemahaadilanNya. Demkian juga jika manusia berbuat zalim kepadaNya. Apa yang diperbuat oleh manusia, apakah kebaikan atau kezaliman, hasilnya akan diterima dan dirasakan oleh manusia itu sendiri. Bagaimana implementasi keadilan dari sudut pandang filsafat hukum Islam, dalam sistem pembagian waris atas dasar ahli waris pengganti yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat ? Memang harus diakui bahwa keadilan (filosofis) itu merupakan cita-cita sosial dan sekaligus sebagai salah satu dari tiga tujuan hukum, di samping tujuan hukum dalam makna kepastian hukum (normatif) dan dalam makna kemanfaatan (sosiologis), akan tetapi apapun tujuan hukum itu, namun ide tentang keadilan tidak pernah objektif. Dia selalu bersifat subjektif, tidak terkecuali dalam hukum. Beni Ahmad Saebani (Tulisan tentang Keadilan Ilahi dan Majalah Amanah, 1994: 36 mengatakan ; jika di dunia ada keadilan objektif, maka sifat adilnya Allah ternodai. Karena hanya Allah Yang Maha Adil, keadilan duniawi senantiasa subjektif. Seseorang yang telah mendapatkan keadilan duniawi , hanya merasakan keadilan menurut penilaian dirinya sendiri, sehingga boleh jadi keadilan itu tidak terasa oleh orang lain. Keadilan subjektif dan relatif merupakan bukti adanya keadilan mutlak dan jagad transendental, karena apabila keadilan terpenuhi seluruhnya di dunia, dalam keyakinan beragama tidak akan ada hari pembalasan di

akhirat[15] Cita-cita tertinggi dalam hukum adalah menegakkan hukum dan keadilan, tetapi yang menerapkan hukum dan keadilan bukanlah sekedar teks-teks umum, melainkan melalui proses oleh manusia yang menerima sebutan atau gelar dalam profesi sebagai hakim, advokat/pengacara/penasihat hukum, polisi dan sebagainya. Mereka itu semua membaca, menghafal pasal-pasal tentang hukum, menafsirkan hukum dengan logika dan reosening hukum di hadapan persidangan pengadilan. Aka tetapi sayang sekali terkadang mereka, hukum dapat diputar balik, fakta dapat ditiadakan atau di ada-adakan dan keadilan sebagai tujuan hukum akhirnya selalu bersifat subjektif dan rasanya berbeda-beda, bergantung pada lidah siapa yang mengucapkannya. Oleh karena itu, bertindak mengupayakan hukum dan menerapkan hukum secara yuridis praktis adalah usaha yang terbaik memperoleh rasa keadilan. Cita-cita yang mendasar dari tegaknya hukum akan menjadi tema sosial paling penting. Harus diakui sebagai fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, bahwa ternyata tidak semua putusan atau penetapan lembaga peradilan mempertontonkan rasa keadilan masyarakat. Menurut Ibnu Qayyim, identitas hukum Islam adalah adil, memberi rahmat, maslahat dan mengandung hikmah yang banyak bagi kehidupan. Dengan demikian setiap hal yang merupakan kesesatan atau zalim, tidak memberi rasa keadilan, jauh dari rahmat, menciptakan kemafsadatan, bukan merupakan tujuan hukum Islam[16] Dengan pemikiran di atas, lalu apa yang dimaksud dengan tujuan hukum Islam itu ? Hal ini dipertanyakan, karena hukum Islam tidak secara otomatis sebagai hukum yang berlaku daam kehidupan politik bernegara. Terkadang, banyak orang yang menganggap bahwa hukum Islam dan pelaksanaannya bersifat individual, sehingga manakala seseorang tidak peduli dengan hukum Islam, ia memandang hal itu sebagai hal yang pribadi. Terlebih lagi, apabila orang yang dimaksudkan adalah orang yang kurang paham tentang hakikat hukum Islam dan kewajiban untuk mengamalkannya.

Asy-Syatibi mengatakan bahwa tujuan syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan tersebut didasarkan kepada lima hal yang mendasar, yaitu; 1. Memelihara agama (hifzh ad-din) 2. Memelihara jiwa (hifzh an-nafs) 3. Memelihara akal (hifzh al-aql) 4. Memelihara keturunan (hifzh an-nashl) 5. Memelihara harta kekayaan (hifzh al-mal)[17] Keterkaitan dengan ahli waris pengganti ini, nampaknya tidak terlepas dari jangkauan tujuan hukum Islam dalam makna memelihara agama, memelihara keturunan dan memelihara kekayaan Asy-Syatibi mengatakan bahwa lima tujuan syariat yang telah dikemukakan di atas, berfokus pada tiga peringkat kebutuhan, berdasarkan skla prioritasnya, yaitu ; 1.Kebutuhan dharuriyah 2.Kebutuhan hajjiyah dan 3.Kebutuhan tahsiniyah. Kebutuhan dharuriyah, artinya kebutuhan utama yang menjadi skala prioritas yang paling esensial terhadap lima tujuan syariat tersebut, yaitu ; memelihara agama, memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta. Kebutuhan hajjiyah, bukan merupakan kebutuhan esensial , melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidup. Apabila tidak terpenuhi kebutuhan hajjiyah tidak akan mengancam terganggunya kebutuhan pokok tersebut, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Akan tetapi, karena mukallaf tidak sanggup memenuhi kebutuhan hajjiyahnya, dalam hukum Islam ada keringanan yang disebut dengan rukhsah. Adapun kebutuhan tahsiniyah adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan taraf hidup

manusia dan martabatnya di mata Allah, sesuai dengan ketaatannya. Aturan-aturan yang bersifat dharuriyah dimaksudkan untuk menegakkan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Kebutuhan hajjiyah ditujukan untuk menghilangkan kesulitan di dalam pelaksanaannya, karena hukum Islam tidak menghendaki kesulitan yang tidak wajar, termasuk tentunya bagi orang-orang yang hidup menderita kemiskinan karena tidak memiliki harta, padahal di sana mereka sesungguhnya mempunyai hak warisan yang memadai. Hukum Islam tidak menghendaki kesempitan pada manusia yang pada hakikatnya sebagai makhluk yang lemah (al-insan dhaifun). Hukum Islam yang berkaitan dengan kebutuhan tahsiniyah, ditujukan untuk mengendalikan kehidupan manusia agar selalu harmoni, serasi dan penuh dengan nilai-nilai estetika, sehingga terjaminlah manusia pada dirinya dari perilaku dan akhlaknya yang terpuji. Dengan demikian kehidupan masyarakat terasa lebih damai dan sejahtera. A.Djazuli menambahkan tujuan syariat Islam, yakni memelihara umat atau hifzh al-ummah min janib al-wujud.[18] Di dalam hubungannya antar umat, yang dilihat bukan kemaslahatan muslim secara individu atau keluarga, melainkan kemaslahatan muslim secara kelompok. Al-Quran tidak hanya melihat seorang muslim, melainkan sebagai umat, sebagaimana disebutkan di dalam surat Ali Imran ayat 110, yang artinya ; Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat baik) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik[19] Tujuan hukum Islam dari aspek syari tersebut di atas, tidak terlepas dari cita-cita untuk memperoleh kemaslahatan. Semua hukum Islam yang diproduk atas dasar kemaslahatan dapat ditinjau dari dua segi, yaitu ; 1. Kemaslahatan karena sesuai dengan petunjuk hukum Islam, meskipun tidak terdapat

nash yang secara langsung dapat dijadikan dalil, jika hal itu diperjuangkan keberadaannya akan memberikan rasa aman, sejahtera dan damai bagi kehidupan manusia, misalnya;

seseorang yang akan menikah, ia harus tercatat perkawinannya di Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat. Maksud dan tujuannya dalam rangka ketertiban dan kepastian hukum, sehingga yang bersangkutan pada saatnya jauh dari tuduhan perzinahan, kumpul kebo dan semacamnya. Sesuai kenyataan yang ada di masyarakat, banyak orang yang tidak tercatat perkawinannya, tetapi pada saat timbul permasalahan dalam keluarga, di mana budel warisan yang ditinggalkan oleh pewaris harus dibagi kepada segenap ahli warisnya, maka yang bersangkutan biasanya harus berurusan dengan Pengadilan Agama. Pada saat yang sama, petugas registrasi (meja 1) akan meminta kepada yang bersangkutan, Akta Nikah asli sebagai persyaratan administrasi dalam mengajukan surat permohonan penetapan ahli waris dan pembagian harta waris. Tentu saja Akta Nikah tersebut diperlukan oleh petugas registrasi (meja 1), dalam rangka upaya dan proses pembuktian adanya hubungan kekerabatan/keluarga antara pewaris dengan pihak ahli waris. Pada umumnya perkawinan yang tidak resmi (tidak tercatat) ditandai dengan tidak adanya Akta Nikah asli yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh petugas PPN /Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat. 2. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara yang mengharuskan ada ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan bagi diri orang yang bersangkutan. Misalnya; Akta Nikah asli yang dibuat oleh KUA setempat dengan maksud, agar tujuan memelihara keturunan dapat tercapai. Hal tersebut karena Akta Nikah telah menjadi ketentuan dapat dijadikan syarat administrasi untuk membuat Akta Kelahiran, sedangkan Akta Kelahiran sangatlah dibutuhkan dalam rangka untuk kepentingan anak yang bersangkutan masuk sekolah atau melanjutkan pendidikannya pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Dan juga diperlukan dalam rangka membuat kartu ASKES, membuat kartu keluarga dan semacamnya dan yang paling akhir adalah mau atau tidak, entah kapan waktunya pada saatnya, siapa saja dan pasti semua orang akan mengalami dan akan berbicara tentang hukum waris mal waris dalam keluarga, terutama bagi mereka yang ditakdirkan oleh Allah memiliki dan menguasai harta yang cukup banyak dan berlimpah sebagai bentuk sebuah amanah yang kesemuanya kembali akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, karena sesungguhnya dan pada hakikatnya, baik yang memegang amanah dalam wujud harta, maupun dirinya sendiri sebagai pemegang amanah, semuanya adalah milik Allah SWT.

IV Kesimpulan Berdasarkan uraian yang penulis paparkan di atas, dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut ; 1. Masalah putusan Mahkamah Agung yang berbeda antara satu majelis dengan majelis lainnya, tidak merupakan masalah, yang terpenting bahwa putusan tersebut mengandung nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. 2. Hasil keputusan Rakernas Mahkamah Agung, bukan merupakan sumber hukum Islam, akan tetapi dapat dijadikan sebagai acuan atau petunjuk bagi hakim Pengadilan Agama, sepanjang keputusan tersebut mengandung nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.

You might also like