You are on page 1of 69

BAB I PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG Bangsa Indonesia terdiri atas ratusan suku dan sub-suku. Masing-masing

suku memiliki kebudayaan baik yang mempunyai kawasan pendukung yang luas maupun sempit. Semua itu dapat dilihat sebagai suatu warisan budaya yang kaya dan beraneka ragam yang kini menjadi milik keluarga besar bangsa Indonesia. Tiap suku/etnik memiliki kebudayaan tersendiri, termasuk didalamnya adalah arsitektur tradisional yang khas. Bahkan tiap suku ada yang memiliki lebih dari satu pola arsitektur tradisional. Sebagai contoh etnik batak memiliki beberapa pola arsitektur tradisional, seperti arsitektur Batak-Karo, arsitektur Batak-Toba, arsitektur Batak-Simalungun dan sebagainya. Etnik Jawa juga memiliki arsitektur tradisional yang beraneka ragam, antara lain: arsitektur Jawa di Jawa Tengah, arsitektur Jawa di Jawa Timur, arsitektur Jawa-Tengger, arsitektur Jawa-Banyuwangi, dan sebagainya. Dari warisan dan kekayaan arsitektur yang beraneka ragam itu masih sangat sedikit yang diteliti dan ditulis oleh bangsa sendiri maupun orang asing yang sering lebih berminat dan berkesempatan menekuninya. Dengan demikian rakyat Indonesia sering lupa atau bahkan kurang paham tentang warisan budaya nusantara yang berupa arsitektur tradisional itu, sebab perlu dimaklumi bahwa masih sedikit pula usaha untuk memperkenalkannya. Akibatnya tak heranlah kalu di bumi nusantara ini muncul arsitektur impor seperti rumah mewah bergaya Spanyol, rumah berbentuk kastil/benteng, rumah bergaya kolonial, mediterania dan sebagainya. Mungkin yang dikejar adalah citra modern

atau memiliki bentuk lain dari yang lain, namun apa daya karena barang impor maka yang mungkin di tempat asalnya merupakan produk yang cocok dengan alamnya, manusianya dan budayanya, maka disini mungkin bahkan merupakan hasil yang kebalikannya. Yang didapat bukanlah modernisasi tetapi westernisasi.

1.2

PERMASALAHAN Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah

bagaimana sebenarnya arsitektur tradisional di Indonesia, dalam hal ini adalah arsitektur Jawa, arsitektur Bali, arsitektur Dayak, arsitektur Papua.

1.3

TUJUAN Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini adalah: 1. Mengetahui aneka keragaman arsitektur Jawa 2. Mengetahui aneka keragaman arsitektur Bali 3. Mengetahui aneka keragaman arsitektur Dayak 4. Mengetahui aneka keragaman arsitektur Papua

BAB II ARSITEKTUR JAWA

Arsitektur Jawa adalah arsitektur yang lahir, tumbuh dan berkembang, didukung dan digunakan oleh masyarakat Jawa. Arsitektur Jawa itu lahir dan hidup karena ada masyarakat Jawa, meskipun dikenal oleh beberapa orang, nama-nama arsitek Jawa seperti Adipati Ario Santan, Wiswakharman, dan lainnya. Bahkan banyak bangunan-bangunan Jawa yang adi luhung tidak ada yang mengetahui siapa arsiteknya. Dengan demikian Arsitektur Jawa lebih dikenal sebagai arsitektur tanpa arsitek.

2.1

PENGERTIAN ARSITEKTUR JAWA Arsitektur Jawa adalah arsitektur yang digunakan oleh masyarakat Jawa.

Arsitek Jawa telah ada dan berlangsung selama paling tidak 2.000 tahun. Arsitektur Jawa kuno dipengaruhi oleh kebudayaan India bersamaan dengan datangnya pengaruh Hindu dan Buddha terhadap kehidupan masyarakat Jawa. Wilayah India yang cukup banyak memberi pengaruh terhadap Jawa adalah India Selatan. Ini terbukti dari penemuan candi-candi di India yang hampir menyerupai candi yang ada di Jawa. Begitu pula aksara yang banyak ditemui pada prasasti di Jawa adalah jenis huruf Pallawa yang digunakan oleh orang India selatan. Meskipun budaya India berpengaruh besar tetapi Jawa tidak meniru begitu saja kebudayaan tersebut. Dengan kearifan lokal masyarakat, budaya dari India diterima melalui proses penyaringan (filtrasi) yang natural. Proses akulturasi budaya ini dapat dilihat pada

model arsitektur, misalnya, punden berundak (budaya asli Indonesia) pada Candi Sukuh di Jawa Tengah. Dalam perkembangan selanjutnya dalam periode Klasik Muda di wilayah Jawa Timur pada abad ke1315 M arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah memperoleh gayanya tersendiri. Bentuk arsitekturnya terdiri dari candi bergaya Singhasari, gaya candi Jago, gaya candi Brahu, dan punden berundak. Pengaruh India dalam hal ini hanya tinggal dalam konsep keagamaannya saja, konsep-konsep kedewataan kemudian digubah kembali oleh para pujangga Jawa Kuna. Dalam hal konsepsi keagamaan hakekat tertinggi dalam agama Hindu dan Buddha dalam masa kerajaan Singhasari dan Majapahit telah dipadukan menjadi Bhattara Siva-Buddha. Perpaduan konsepsi dewata tertinggi itu diwujudkan dalam bentuk bangunan suci, misalnya pada Candi Jawi (Pasuruan) dan Candi Jago (Malang). Di Candi Jawi, unsur Buddha terlihat pada puncaknya, sedangkan di relung candinya dahulu berisikan arca-arca Hindu-Saiva khas Jawa. Begitupun di Candi Jago, cerita relief banyak yang bernafaskan Hindu-Saiva, adapun arca pelengkap candi itu semuanya bernafaskan Buddha Mahayana.

2.2

RUMAH TRADISIONAL Pada relief Candi Borobudur tampak bahwa rumah di Jawa digambarkan

berkolong tinggi dan cenderung persegi panjang daripada bujur sangkar sehingga lebih mirip rumah panggung. Karena makin sedikit hutan di Jawa, maka saat ini rumah Jawa merupakan satu-satunya bangunan rumah tradisional yang tidak berkolong di Nusantara. Bentuk atap rumah yang berarsitektur Jawa terdiri dari tipe tajug (mesjidan), joglo, limasan dan kampung (atap pelana).

Atap tipe Tajug / mesjidan (atap meru)

Rumah Joglo (rumah beratap ijuk)

Rumah Limasan (rumah beratap perisai)

Rumah Kampung (rumah beratap pelana)

2.3

PENDOPO Pendapa (atau dibaca pendopo dalam bahasa Jawa), pengejaan Jawa:

pendp, berasal dari kata mandapa dari bahasa Sanskerta yang artinya bangunan tambahan) adalah bagian bangunan yang terletak di muka bangunan utama. Sejumlah tipe bangunan rumah tradisional di Sumatera, Semenanjung Malaya (dan juga Indocina), Jawa, Bali, dan Pulau Kalimantan diketahui memiliki pendopo sebagai

hal yang "wajib". Struktur ini kebanyakan dimiliki rumah besar atau keraton, letaknya biasanya di depan dalem, bangunan utama tempat tinggal penghuni rumah. Masjid-masjid berarsitektur asli Nusantara, kerap kali juga memiliki pendopo. Pendopo biasanya berbentuk bangunan tanpa dinding dengan tiang yang banyak. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat menerima tamu. Namun demikian, karena pendopo biasanya besar, bangunan ini difungsikan pula sebagai tempat pertemuan, latihan tari atau karawitan, rapat warga, dan sebagainya.

Masjid Agung Demak dengan pendopo di depan

Pendapa di komplek Kantor Bupati Bekasi

2.4

CANDI Candi berasal dari frase candika graha yang berarti kediaman Betari Durga.

Durga ini disembah terutama oleh umat Buddha. Dalam dunia pewayangan di Jawa, Durga merupakan istri Dewa Siwa yang dikutuk dari berwajah cantik menjadi raksasa. Yang pertama mendirikan candi di India diduga adalah umat Buddha. Ini terlihat dari temuan candi tertua di sana yang dibangun pada abad ke-3 SM. Pada

perkembangan berikutnya, candi pun didirikan oleh umat Hindu. Awalnya, candi didirikan sebagai tempat penyimpanan abu hasil pembakaran jenazah raja. Karena itu, di candi yang disebut pripih sering ditemukan sebuah wadah penyimpanan abu jenazah. Disimpan pula patung dewa tertentu, biasanya dewa ini dipuja oleh almarhum yang bersangkutan. Pada dinding candi biasanya terdapat relief yang mengisahkan cerita Mahabharata atau Ramayana. Pada candi Buddha biasanya terdapat relief seputar kehidupan Siddharta. Fungsi candi selanjutnya berkembang menjadi tempat sembahyang (berasal dari frase sembah hyang) untuk dewa-dewi. Jawa adalah tempat yang paling banyak terdapat candi, disusul oleh Sumatera. Ini menandakan bahwa perkembangan agama dan kebudayaan HinduBuddha berlangsung lebih pesat di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pusat-pusat pemerintahan pada masanya. Berdasarkan arsitektur dan tempat dibangunnya, candi-candi di Indonesia dapat dibagi atas: candi yang terletak di Jawa Tengah (bagian selatan dan utara), Jawa Timur, dan lain-lainnya seperti di Sumatera, Bali, dan Jawa Barat. Secara umum candi yang berada di Jawa dapat dikelompokkan candi Jawa Tengah dan candi Jawa Timur. Dan berdasarkan ciri-cirinya, candi di Jawa Tengah dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan. Candi-candi yang terletak diwilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya,merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, diantaranya: Candi Dieng dan Candi Gedongsongo. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan

hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Candi di Jawa Tengah umumnya mempunyai relief dibanding candi di jawa Timur. Relief pada candi sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahan bangunan bahan bangunan, gaya, dan isi cerita. Candi bergaya Jawa Tengah umumnya memiliki Berbahan batu andesit tubuh yang tambun, berdimensi geometris vertikal dengan pusat candi terletak di tengah, bahan bangunan terbuat dari batuan andesit. Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha. Bentuk bangunan yang ramping meninggi, makin keatas makin ramping (dampaknya adalah bentuk padmasari di Bali). Ciri-ciri khas candi di Jawa Timur adalah : Atapnya merupakan simbol perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk Kubus (lingam), tidak ada simbol-simbol makara, dan hanya ambang atas gapura saja yang berhiaskan kepala kala, letak candi kebanyakan menghadap kearah Barat dan terletak dibagian belakang lokasi percandian, kebanyakan Candi terbuat dari batu bata merah.

2.5

CANDI BENTAR Candi bentar adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan

serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak tangga. Bangunan ini lazim disebut "gerbang terbelah", karena bentuknya seolaholah menyerupai sebuah bangunan candi yang dibelah dua secara sempurna. Bangunan gapura tipe ini terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan gerbang terbelah seperti ini diduga muncul pertama kali pada zaman Majapahit. Di kawasan bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah dan Yogyakarta, gerbang semacam ini juga disebut dengan "supit urang" ("capit udang"), seperti yang terdapat pada kompleks Keraton Solo, Keraton Yogyakarta, Keraton Kasepuhan dan Pemakaman raja-raja Imogiri. Meskipun makna supit urang biasanya mengacu kepada gerbang dengan jalan bercabang dua, biasanya jalan dan gerbang yang mengapit kiri dan kanan bangunan pagelaran keraton.

Candi bentar Keraton Kasepuhan Cirebon Candi bentar Ceto

Candi Bentar di Masjid Menara Kudus Candi Bentar Masjid Panjunan Wringin Lawang, Trowulan

Candi Bentar gaya Bali

2.6

PUNDEN BERUNDAK
10

Punden berundak adalah bangunan teras bertingkat-tingkat meninggi yang menyandar di kemiringan lereng gunung. Punden berundak adalah ciri khas Jawa. Ukuran teras semakin mengecil ke atas, jumlah teras umumnya 3 dan di bagian puncak teras teratas berdiri altar-altar yang jumlahnya 3 altar (1 altar induk diapit dua altar pendamping di kanan-kirinya. Tangga naik ke teras teratas terdapat di bagian tengah punden berundak, terdapat kemungkinan dahulu di kanan kiri tangga tersebut berdiri deretan arca menuju ke puncak punden yang berisikan altar tanpa arca apapun. Contoh yang baik bentuk punden berundak masa Majapahit terdapat di lereng barat Gunung Penanggungan, penduduk menamakan punden-punden itu dengan candi juga, misalnya Candi Lurah (Kepurbakalaan No.1), Candi Wayang (Kep. No.VIII), Candi Sinta (Kep.No.17a), Candi Yuddha (Kep.No.LX), dan Candi Kendalisada (Kep.No.LXV).

2.7

MOTIF DAN ELEMEN 2.7.1 KALA Batara Kala adalah sosok rakasa ganas sebagai dewa penguasa waktu dan berhubungan dengan sisi perusak dari Dewa Siwa. Kala adalah putera Dewa Siwa yang bergelar sebagai dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma. Dalam arsitektur candi Jawa , Kala berfungsi sebagai elemen dekoratif umum pada gerbang masuk dan dinding ,pintu candi ini biasanya dihiasi

11

ukiran kepala kala tepat di atas-tengah pintu. Hal ini dapat ditemukan pada Candi Kalasan dan banyak candi lainnya. Relief Betara Kala digambarkan dengan kepala yang besar dengan rahang atas yang besar dibatasi oleh gigi taring besar, tetapi tanpa rahang bawah.

Ukiran kepala Kala di Candi Kalasan Kepala Kala di Candi Jawi 2.7.2 DWARAPALA Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau raksasa yang memegang gada. Biasanya dwarapala diletakkan di luar untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat didalamnya. Jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok. Bangunan suci yang kecil biasanya memiliki hanya satu arca dwarapala. Seringkali dwarapala diletakkan berpasangan di antara gerbang masuk. beberapa situs bangunan suci yang lebih besar

12

memiliki empat, delapan, bahkan duabelas arca dwarapala yang menjaga empat penjuru mata angin sebagai Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin. Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari terbuat dari batu andesit utuh setinggi 3,7 meter dengan berat 23 ton. Di pulau Jawa dan Bali arca dwarapala biasanya diukir dari batu andesit, berperawakan gemuk dan digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam senjata gada. Dwarapala di Kamboja dan Thailand memiliki perawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada di tengah tepat di antara kedua kakinya. Patung dwarapala di Thailand dibuat dari tembikar tanah liat yang dilapisi glazur pucat susu. Patung seperti ini dibuat pada masa kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya. Dalam budaya Jawa, dwarapala dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di gerbang masuk Keraton

Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta. Dwarapala penjaga Candi Plaosan

Dwarapala pada Kraton Surakarta

13

Sepasang Dwarapala di Puri dalem Agung Bali 2.7.3 STUPA Stupa merupakan tempat penyimpanan abu sang Buddha dan melambangkan perjalanan Sang Buddha menuju nirvana. Setelah wafat, jasad Buddha dikremasi, lalu abunya disimpan dalam delapan stupa terpisah di utara India. Pada masa kuno di India, stupa digunakan sebagai makam penyimpanan abu bangsawan atau tokoh tertentu. Stupa kemudian dijadikan lambang Buddhisme dan menunjukkan luas pengaruh Buddhisme di berbagai kawasan. Semasa pemerintahan Ashoka (abad ke-2 SM) di India dibangun banyak stupa untuk menandakan Buddha sebagai agama kerajaan. Di Asia Tenggara dan Timur, stupa juga didirikan sebagai pengakuan terhadap Buddhisme di wilayah bersangkutan. Stupa terdiri atas tiga bagian, yaitu andah, yanthra, dan cakra. Andah melambangkan dunia bawah, tempat manusia yang masih dikuasai hawa nafsu, Yanthra merupakan suatu benda untuk memusatkan pikiran saat bermeditasi, dan Cakra melambangkan nirvana atau nirwana, tempat para dewa bersemayam. Stupa di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Di Indonesia stupa sering merupakan bagian candi atau komplek candi tertentu, seperti pada Candi Mendut, Borobudur,

14

Jawi, dan Candi Muara Takus. 2.7.4 MEKARA Makara (Sanskerta: ) adalah makhluk dalam mitologi Hindu yang digambarkan dengan dua hewan gabungan (di bagian depan berwujud binatang seperti gajah atau buaya atau rusa, atau rusa) dan di bagian belakang digambarkan sebagai hewan air di bagian ekor seperti ikan atau naga. Makara adalah wahana (kendaraan) dari Dewi Gangga dan dewa Baruna. Itu juga merupakan lambang dari Dewa Kamadeva. Kamadeva juga dikenal sebagai Makaradhvaja (satu bendera yang makara digambarkan). Hal ini sering digunakan untuk melindungi jalan masuk ke kuil Hindu dan Buddha. Makara sering dilukiskan dan dipahatkan dalam candi-candi di Indonesia, khususnya di Bali dan Jawa. Orang Bali menyebutnya gajahmina, yang secara harfiah berarti "ikan gajah". Kadangkala Makara dilukiskan sebagai makhluk berwujud separuh kambing dan separuh ikan seperti simbol Kaprikornus dalam zodiak. Dalam kitab-kitab suci umat Hindu, Makara adalah makhluk yang menjadi kendaraan Dewa Baruna dan Dewi Gangga. 2.7.5 LINGGA YONI Lingga yoni adalah berkaitan dengan Tri Purusa yaitu Siwa sebagai simbol lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu bersama-sama disimbolkan dalam pranala sebagai dasar yaitu yoni. Lingga yang digambarkan sebagai kelamin laki-laki biasanya dilengkapi dengan Yoni sebagai kelamin wanita. Persatuan antara Lingga dan Yoni melambangkan kesuburan. Dalam mitologi

15

Hindu, yoni merupakan penggambaran dari Dewi Uma yang merupakan salah satu sakti (istri) Siwa. Yoni adalah landasan lingga yang melambangkan kelamin wanita. Pada permukaan yoni terdapat sebuah lubang berbentuk segi empat di bagian tengah untuk meletakkan lingga yang dihubungkan dengan kehadiran candi. Yoni merupakan bagian dari bangunan suci dan ditempatkan di bagian tengah ruangan suatu bangunan suci. Yoni biasanya dipergunakan sebagai dasar arca atau lingga. Yoni juga dapat ditempatkan pada ruangan induk candi seperti Candi Jawi di Jawa Timur. Berdasarkan konsep pemikiran Hindu, Yoni adalah indikator arah letak candi [8]. Bentuk Yoni yang ditemukan di Indonesia pada umumnya berdenah bujur sangkar, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, seringkali di bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. Pada salah satu sisi yoni terdapat tonjolan dan laubang yang membentuk cerat. Pada penampang atas Yoni terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat. Beberapa ahli mengemukakan bahwa bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), Jagati, Padma, Kanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga atau arca. Sejak abad ke 8 yaitu Prasasti Canggal telah menyebutkan bahwa seorang raja mendirikan lingga dan Yoni untuk mengukuhkan kedudukannya. Di Kamboja sendiri sudah menjadi kebiasaan bagi seorang raja mendirikan lingga untuk mengukuhkan kedudukannya di atas takhta. Lingga Yoni

16

demikian, yang sejak Jayawarman II disebut Dewaraja, diberi nama yang menggambarkan perpaduan antara raja yang mendirikan dengan sang dewa yang menjadi pemujanya (Siwa). 2.7.6 NAGA Naga Jawa merupakan motif penting dalam arsitektur Jawa. Naga Jawa digambarkan sebagai sesosok mahluk sakti berbentuk ular raksasa yang tidak memiliki kaki meskipun adakala diwujudkan mempunyai kaki . Naga Jawa memakai badhog atau mahkota di atas kepalanya. Terkadang Naga Jawa digambarkan juga memakai perhiasan anting dan kalung emas. Naga Jawa juga ditemui di beberapa relief candi. Naga di candi ini dinamakan Naga Taksaka yang bertugas menjaga candi. Umumnya ular naga dijadikan pola hias bentuk makara yaitu pipi tangga di kanan dan kiri tangga naik ke bangunan candi yang dibentuk sebagai badan dan kepala naga: mulut naga digambarkan terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud untaian manik-manik ataupun bentuk makara dengan naga yang menganga dengan seekor singa di dalam mulutnya. Hiasan semacam ini umum didapati di candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sering pula wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangar sehingga perlu penyangga di bawahnya. Fungsi naga pada bangunan candi atau pada yoni tampaknya erat kaitannya dengan tugas penjagaan atau perlindungan terhadap sebuah bangunan.

17

BAB III ARSITEKTUR BALI


3.1
PENGERTIAN ARSITEKTUR BALI

Arsitektur bali dapat dikatakan adalah arsitektur yang dipertahankan dan berkembang di Bali, yaitu:

o
o o

Arsitektur kuno Arsitektur tradisional bali Arsitektur non tradisional yang bergaya tradisional bali

Sedangkan pengertian arsitektur menurut Hindu, sebagai Ialah segala hasil perwujudan manusia dalam bentuk bangunan, yang mengandung keutuhan/ kesatuan dengan agama (ritual) dan kehidupan budaya masyarakat. Yang tercakup dalam bangunan yaitu kemampuan merancang, dan membangun. Mewujudkan seni bangunannya menurut bermacam- macam prinsip seperti : bentuk, konstruksi. bahan, fungsi dan keindahan Adapun pengertian arsitektur bali yaitu setiap bangunan yang berdasarkan tattwa (falsafah) agama Hindu.
18

3.1.1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ARSITEKTUR BALI Sejarah dan perkembangan Arsitektur Bali dimulai dari jaman pra sejarah hingga kini. Dimulai dari bangunan-bangunannya serta konsep dibaliknya. Berikut penjelasan sejarah dan perkembangan Arsitektur Bali dari masa ke masa. 3.1.1.1 MASA PRA SEJARAH Pada masa pra sejarah yakni pada masa sebelum mengenal tulisan, di Bali telah mengenal bangunanbangunan guna tepat beraktivitas. Masyarakat menggunakan gua sebagai tempat tinggal dan berlindung, salah satunya Goa Giri 19utrid an Goa Selonding. Selain gua sebagai tempat tinggal, masyarakat Bali juga telah mengenal batu kubur yakni makam yang terbuat dari batu kali yang di pahat sesuai ukuran mayat yang disimpan. 3.1.1.2 MASA BALI AGA Pada masa Bali Aga yang berlangsung sejak abad ke-8 M, masyarakat bali telah mengenal 19ystem desa dan pura (Hyang). Tokoh agama yang berpengaruh pada masa ini adalah Maharsi Markandeya. Beliau yag merperkenalkan konsep tempat pemujaan berupa pura serta 19ystem

komunitas masyarakat berupa desa. Pada masa ini tempat tinggal masyarakatnya telah berkembang dengan konsep tiga ruang, yakni nista, madya, dan utama. Nista terdapat pada rumah bagian depan yakni teras / beranda, madya terdapat pada bagian tengah yakni berfungsi sebagai ruang pantry / dapur, sedangkan utama terdapat pada bagian belakang yang

19

berfungsi sebagai kamar tidur. Berikut merupakan gambar rumah masyarakat Bali jaman Bali Aga.

3.1.1.3 MASA BALI KUNO Masa Bali Kuno dimulai sejak kedatangan ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada tahun 1343 M. Pada saat itu Bali diperintah oleh Kerajaan Bedahulu dengan Raja yang bergelar Astasura Ratna Bumi Banten dan dengan patihnya yang bernama Patih Kebo Iwa. Tokoh agama yang memengaruhi Arsitektur Bali pada masa ini dalah Mpu Kuturan. Beliau merperkenalkan konsep Tri Murti dan Sanggah Kemulan / Rong Tiga. Selain

telah memengaruhi perkembangan desa dan pura tempat pemujaan, konsep ini juga memengaruhi hunian / tempat tinggal masyarakatnya. Disetiap rumah tinggal telah terdapat sebuah Sanggah Kemulan sebagai tempat pemujaan kepada leluhur. Pada masi ini juga telah berkembang tempat pemandian yang berfungsi sebagai tempat mensucikan diri atau dalam istilah Balinya yakni malukat. Salah satu tempat pemandian / malukat yakni Pura Tirta Empul di Tampak Siring Kabupaten Gianyar.

3.1.14 MASA PENGARUH MAJAPAHIT Masa ini berlangsung sejak penjajahan Majapahit di Bali. Pada masa ini telah mengenal sistem kota, desa pakraman, dan sistem kasta yang memengaruhi pula pada konsep hunian masyarakatnya yakni Griya, Puri, Jero,

20

dan Umah. Griya adalah tempat tinggal bagi kaum Brahmana atau orang suci, Puri adalah tempat tinggal bagi keluarga kerajaan, Jero adalah tempat tinggal untuk pemerintah kerajaan seperti patih, dan Umah adalah tempat tinggal bagi masyarakat biasa. Tokoh agama yang berpengaruh pada masa ini adalah Danghyang Dwijendra. Beliau merperkenalkan konsep Bale Banjar pada Desa Pakraman dan Padmasana pada Pura dan tempat pemujaan lainnya. Masa ini merupakan masa kejayaan dari Arsitektur Tradisional Bali.

3.1.1.5 MASA KOLONIAL Pada masa 21olonial yang berlangsung sejah awal penjajahan di Bali merupakan titik balik atau titik pemudaran dari Arsitektur Tradisional Bali. Hal ini terbukti dari masuknya budaya arsitektur luar seiring dengan berlangsungnya pejajahan. Namun meski terkikis oleh penjajahan, budaya Arsitektur Tradisional Bali tetap diterapkan pada bangunan yang dibangun

pada masa ini. Seperti pada bangunan Inna Bali Hotel yang berada di Jalan Veteran Denpasar. Selain pada bangunan Inna Bali Hotel, hal ini juga terlihat dari bangunan Museum, bangunan Kantor Aisten Residen, Rumah Dinas.

3.1.1.6 MASA KEMERDEKAAN HINGGA SEKARANG Pada masa kemerdekaan hingga masa kini budaya arsitektur telah banyar berbaur dengan budaya luar dan trend terkini. Namun hal ini tidak menghilangkan konsep Arsitektur Tradisional Bali. Hal ini terlihat dari bangunan-bangunan pura, perkantoran, dan fasilitas umum lainnya. Meskipun banyak menggunakan gaya arsitektur terkini namun tetap
21

dipadukan dengan gaya Arsitektur Tradisional Bali yang menciptakan kesan

asri dan kentalnya budaya Bali dari bangunannya.

3.2

GAMBARAN UMUM DAN KONSEP ARSITEKTUR BALI

Arsitektur Bali merupakan arsitektur yang bertahan dan berkembang di Bali yang mencakup berbagai budaya yang dianut di dalamnya. Namun dalam Arsitektur Bali didominasi oleh Arsitektur Tradisional Bali yang merupakan arsitektur warisan yang dilimpahturunkan dari generasi ke generasi yang diterima dan dipakai masyarakat Bali secara berkelanjutan. Arsitektur Tradisional Bali secara umum digolongkan menjadi arsitektur umah, puri, dan pura. Namun, kalau dilhat warisan Arsitektur Bali juga terwujud karena tuntutan aktivitas dan fungsi bersama masyarakat baik untuk menanggung kegiatasn sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Aktivitas tersebut memerlukan ruang sebagai wadah sosial dan umum baik dalam wujud bangunan maupun dalam penunjang bangunan. Arsitektur bangunan Bali sebagai bagian dari sebuah desa maupun koa dalam wujud sebagai bangunan umum memegang peranan penting untuk menampung berbagai aktivitas komunal baik yang bersifat sakral maupun profan seperti bale banjar, bale kulkul, wantilan, kori agung, candi bentar, pasar, kuburan, dan lain-lain. Arsitektur bangunan umum dapat diartikan sebagai suatu tempt aktivitas baik permanen atau sementara yang berfungsi menampung kegiatan multifungsi dan komunal seperti kegiatan sosial, ekonomi, politik, keagamaan, dan lain-lain. Sekecil apapun aktivitas itu, baik aktifitas privat atau publik akan membuuhkan suatu ruang, apalagi kegiatan yang melibatkan banyak orang

22

(komunal) di suatu desa di Bali yang memang sarat dengan kegiatan-kegiatan sosial, budaya, dan ritual, sehingga secara turun temurun, leluhur Bali sudah mewariskan wadah bangunan Arsitektur Bali yang difungsikan untuk menampung aktifitas publik seperti bale banjar, wantilan dan bangunan pendukungnya seperti kori agung, candi bentar, bale kulkul, bale bengong, dan lainnya. Namun, seiring perjalanan waktu, bangunan umum tersebut juga mengalami perkembangan baik dari segi bentuk, struktur, bahan, ornamen, warna, tata letak, bahkan terjadi perubahan fungsi, dan pergeseran filosofi. Perkembangan tersebut merupakan suatu hasil rasa, cipta, karsa, kreativitas, dan inovasi masyarakat bali, khususnya para undagi dan developer dalam mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan tuntutan pengguna. Bangunan umum di Bali sangat banyak dan bervariasi baik terbuka maupun tertutup, baik berfungsi sebagai fasilitas sosial maupun umum seperti bale banjar, bale kulkul, wantilan, kori agung, pasar, kuburan, alun-alun, serta bangunan seperti penghubung sirkulasi dan penunjang seperti candi bentar, kori agung, natah, dan lainnya. Konsep Arsitektur Bali tidak pernah terlepas dari unsur agama dan budaya. Filosofi-filosofi dalam arsitektur berasal dari tata aturan dalam ajaran agama hindu dan budaya masing-masing daerah di Bali. Mengenai konsep dari masing-masing bangunan tersebut akan dijelaskan terperinci dalam struktur, konstruksi, dan bahan bangunan. 3.3 KLASIFIKASI ARSITEKTUR BALI PARAHYANGAN

Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (simbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentukbentuk Padmasana dan Letak Padmasana. Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:

23

Tujuan Asta Bumi adalah

a. Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi b. Mendapat vibrasi kesucian c. Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi

Luas halaman

Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah: Panjang dalam ukuran "depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya): a. 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa: 1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa: 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15. Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah: Panjang b dalam ukuran depa: 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa: 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa: 6x5, 13x6, 18x13 Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu: 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali. Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15). Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah: 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).

3.3.1 HULU-TEBEN "Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu arah Timur, dan arah "Kaja". Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya

24

jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan. 3.3.2 BENTUK HALAMAN Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala. 3.3.3 PEMBAGIAN HALAMAN Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:
a. Utama Mandala b. Madya Mandala c. Nista Mandala.

Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisahpisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.
a. Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling

hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;


b. Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta

Bumi yang sama dengan utama Mandala;

25

c. Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran

yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama. Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih "Lebuh" yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll. Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan. 3.3.4 MENETAPKAN PEMEDAL Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala. 3.3.5 JARAK ANTAR PELINGGIH Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah

26

jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuanketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala. 3.3.6 PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai. Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah". Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi

27

dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan). Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan keteben kanan.

3.4

KLASIFIKASI ARSITEKTUR BALI PAWONGAN

Dalam pembangunan sebuah tempat tinggal di Bali, berpedoman pada tata aturan pembangunan yang disebut Asta Kosala Kosali. Asta Kosala Kosali disebutkan merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci dalam rumah tradisional Bali, yang penataan bangunannya di dasarkan atas anatomi tubuh yang punya rumah. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti:
a. Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari

yang menghadap ke atas),


b. Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan

tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)


c. Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan

dari kiri ke kanan)

28

Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah. Di atas telah dijelaskan mengenai Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Nah, kosmologi Bali itu bisa digambarkan secara hirarki atau berurutan seperti Tri Loka yaitu :
a. Bhur b. Bwah c. Swah

Selain itu juga Konsep ini berpegang juga kepada mata angin, 9 mata angina (Nawa Sanga). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri seperti misalnya:
a. Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di

Selatan,
b. Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di

tempatkan di Timur tempat matahari Terbit.


c. Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana

Gunung berada begitu seterusnya. Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. jadi rumah di bali itu ada yang disebut Puri juga atau Jeroan, biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang banyak yang sudah kaya di Bali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini. Namun mungkin nanti bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja. Warna itu merupakan sistem hirarki, di Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumahnya. Dalam pembuatan rumahnya rumah akan dibagi menjadi:
a. Jaba untuk bagian paling luar bangunan b. Jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau

ruang tengah Jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal dengan konsep dan teknik konstruksi Tri Angga, yang terdiri dari:

29

a. Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan,

diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari Batu bata atau Batu gunung.
b. Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan

dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia
c. Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam

bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang 3.5 POLA-POLA PEMUKIMAN TRADISIONAL BALI

Pola pemukiman tradisional bali berpedoman pada berbagai aturan agama dan budaya daerahnya masing-masing. Salah satu pemukinan tradisional Bali adalah Desa Adat Tenganan. Desa Adat Tenganan merupakan salah satu Bali Aga yang masih asri di Bali. Berikut penjelasan mengenai pola pemukiman di Desa Adat

Tenganan. Secara umum pola desa Tenganan merupakan sistem core yang membujur dari utara ke selatan. Terdiri atas tiga bagian, yaitu: banjarKauh, banjar Tengah dan banjar Pande. Banjar Kauhterletak pada core yang paling barat, sekaligus merupakan

30

core utama.Perumahan di banjar Kauh terletak berderetmengapit dan menghadap core utama. Banjar Tengahdengan beberapa bangunan pada corenya terletak disebelah Timur dari banjar Kauh. Banjar Tengahdengan beberapa bangunan pada corenya terletak disebelah timur dari banjar Kauh.Perumahannya berderet di kiri kanan core tengah. Banjar Pande ada pada core yang paling timur,dengan perumahan yang ada 2 deret pula menghadapdan mengapit core dari utara ke selatan. Pada core terdapat beberapa bangunan fasilitas umum untuk keperluan kegiatan masyarakat di Banjar Pande.Secara keseluruhan bentuk pola pemukimanya adalah sistem core, di mana fasilitas umum diapit oleh persil-persil perumahan penduduk. Persil-persil ini terletak disebelah kiri dan kanan berderet sepanjang utarasampai selatan sampai berakhir di batas lawang ataupintu gerbang desa. Rumah dalam arsitektur tradisional Bali,adalah satu yang terdiri dari beberapabangunan, dikelilingi kompleks rumah oleh tembok yang

disebut tembok penyengker.Perumahan adalah kumpulan beberapa rumahdi dalam kesatuan wilayah yang disebut banjar adat atau desa adat, juga merupakan kesatuan keagamaan dengan pura kayangan tiga yakni: pura desa, pura puseh, pura dalem. Desa Tenganan memunyai susunan pemukiman yang merupakan pola kompleks yang terkurung (terbentengi oleh beton), dengan masing-masing memiliki satu pintu keluar/masuk pada masing-masing pekarangan untuk setiap posisi mata angin. Manusia Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan arsitekturnya. Manusia Bali tradisional tinggal disebuah
31

perkampungan yang ditata dengan polapolatertentu mengikuti kaidah-kaidah tertentu yangmengacu pada alam semesta, yaitu kaidah arah anginKaja-Kelod, Kauh-Kangin. Dan kaidah sumbu Utama Gunung Agung yang diyakini sebagai tempatbersemayamnya para dewa dan leluhur suci mereka. Ditemui bahwa desa Tenganan memiliki 3 kelompok perumahan, yaitu: (1) kelompok polamenetap, (2) kelompok pola perkebunan, dan (3)kelompok persawahan. Pada pola menetap terdapatsebuah jalan besar yang disebut awangan yang sebenarnya adalah rangkaian halaman depan yangmasingmasing merupakan bagian dari unit-unit rumahpada kompleks tersebut. Awangan tersebut berundak-undak, makin ke utara makin tinggi. Terdapat duaawangan, yang batasnya ke dua awangan ini adalahsebuah selokan. Jumlah awangan yang membujurdari Utara ke Selatan ada 3, yaitu: awangan Barat, awangan Tengah, dan awangan Timur.Leret pekarangan rumah ada 6. Leret a paling barat, leret b bertolak belakangdengan leret c, leret d bertolak belakang denganleret e dan leret f paling timur. Warga desa adat Tenganan hanya menempati leret a sampai leret d,sedangkan leret d dan f (banjar pande) adalah tempat menetap warga desa yang telah disingkirkan,karena pelanggaran adat.Tanah pekarangan tempat menetap itu adalahhak milik desa (hak ulayat). Bentuk pola-polamenetap satu sama lain seragam, karena luas danstruktur bangunannya mirip. Bangunan dalam pekarangan berupa bale boga dan bale

tengah. Keduanya merupakan bangunan yangbersyarat yang ditentukan letak, bentuk serta bahan-bahannya. Satu lagi bangunan yang ada adalah paon(dapur) dan umah meten. Rumah tinggalmasyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggaltidak

32

merupakan satu kesatuan dalam satu atap tetapiterbagi dalam beberapa ruangruang yang berdirisendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep.

3.6

STRUKTUR, KONSTRUKSI DAN BAHAN BANGUNAN

Meru adalah sebuah bangunan parahyangan dengan bentuk bangunannya memakai bentuk atap yang bertumpang-tumpang. Struktur bangunan Meru menggunakan system struktur rangka yang sangat efisien dalam menahan beban dengan tiang (saka) sebagai penyalur beban vertical dan balok sineb-lambang, balok diagonal sebagai tumpuan tiang (titimamah) sebagai media pembagi beban horizontal. Pada Bagian Atap, konstruksi terdiri atas iga-iga (usuk) dengan dimensi dan jarak pemasangan yang mampu menahan beban atap yang terbuat dari ijuk. Kemudian adanya petaka (balok bubungan) sebagai pengikat iga-iga (usuk) pada tumpang atap paling atas yang mempunyai peran yang sangat besar dalam menahan beban sehingga dimensi petaka umumnya dibuat dengan dimensi yang cukup besar. Konstruksi tumpang diletakan pada titimamah (balok tumpuan) yang merupakan tumpuan saluran beban tiang tumpang di atasnya yang mengecil kea rah atas pada setiap tumpang. Sudut-sudut atap limasan dengan bentuk limas terpancung. Badan atap di atasnya berdiri pada pancungan atap dibawahnya, tiang menumpu pada titimamah . Atap di puncak berpuncak satu dengan ikatan berupa yang ditutup murdha sebagai puncak penutup atap. Mengingat titimamah memliki peranan sangat penting sebagai penyalur beban di atasnya perletakan harus tepat dengan sukat (dimensi ukuran tradisional Bali) dan pengurip tumpang atap Meru yang direncanakan, sehingga walaupun proporsinya tumpangnya sedikit akan tetap memberi kesan menggunung. Pada beberapa daerah di Bali, tumpang atap Meru terutama yang tumpangan tinggi, selain ikatan-ikatan titimamah ada pula yang memakai tiang beti, satu ruang utama di tengah sebagai batang ikatan seluruh tumpang-tumpang atap untuk mengatasi beban angina yang besar yang akan membahayakan konstruksi secara keseluruhan. Setelah itu, beban akan disalurkan kepada balok sineb dan lambang sebagai penyalur beban secara horizontal, yang selanjutnya beban disalurkan ke tiang (saka) yang dibuat dengan dimensi yang sesuai aturan dari atas ke bawah mengingat saka sebagai penyalur beban besar secara vertical. Secara aturan tradisional Bali (Hasta Kosala Kosali) , penampang tiang (saka) Meru ukurannya amusti (sepanjang
33

genggaman dan garis pangkal sampai ke ujung jari +-15cm). Kemudian ukuranukuran jarak tiang ke tiang dan tinggi tiang tiap tingkat tumpang dan bagianbagian lainnya ditetapkan dari kelipatan rai atau penampang tiang amusti di bagian paling bawah. Tingkat-tingkat tumpang diatasnya dengan proporsi yang juga mengecil kea rah atas. Masingmasing ukuran dari kelipatan sisi-sisi penampang tiang yang disebut rai, diberi pelebih yang disebut pengurip (jiwa) dari bagian-bagian jari tangan. Konstruksi Meru dengan Ikatan-ikatan lubang diperkuat dengan pasak atau baji tanpa paku. Konstruksi atap dengan jepit dan ikatan-ikatan tali. Rangka bawah rangkaian empat tiang sudut dan konstruksi-konstruksi penguat, pengaku dan pelengkap. Untuk Meru yang besar biasanya selain adanya tiang sudut ada juga tiang sisi. Tiang-tiang jajar merupakan penyangga tepi atap lainnya di bawah. Bagian gedong sebagai ruang pemujaan dan tempat pratima , dibentuk oleh empat tiang sudut dirangkai dengan sunduk-lait di bawah dan lambang sineb di atas. Dinding-dinding papan berada pada sisi belakang dan samping kanan kiri, sedangkan bagian depan merupakan pintu masuk ke gedong dengan bentuk dan konstruksi tradisional Bali. Namun pada beberapa daerah, ruang pemujaan dibentuk oleh dinding-dinding dari batu padas atau batu bata. Bentuk sunduk dan lait biasanya diselesaikan secara menarik sehingga memberi nilai estetika pada bangunan. Demikian juga antara sineb-lambang dengan tiang (saka) dihubungkan dengan balok penunjang yang disebut canggahwang sehingga menambah kekuatan dalam menahan beban dan memiliki keindahan. Sementara untuk substruktur, pondasi Meru menggunakan pondasi setempat pada titik perletakan tiang (saka) dan pondasi menerus pada keliling bebaturan yang ditempel dengan pepalihan batu padas dan kekarangan. Semua elemen struktur tersebut dibuat dengan dimensi yang sesuai dengan Hasta Kosala-Kosali dan kualitas bahan yang baik sehingga konstruksi Meru mampu menahan beban baik beban angina, gempa, termis, dan beban lainnya sangat efektif, kokoh, kuat dan stabil. Di samping itu adanya penyelesaian beberapa bagian elemen struktur yang memiliki bentuk sangat indah sehingga elemen tidak hanya kokoh dan stabil menahan beban tetapi juga memiliki nilai estetis tinggi.

3.7

ORNAMEN DAN RAGAM HIAS

34

Padmasana berasal dari Bahasa Kawi yang terdiri atas dua kata yaitu, Padma artinya bunga teratai, atau batin, atau pusat. Asana artinya sikap duduk, atau tuntunan, nasehat atau perintah (Prof. Drs Wojowasito, 1977). Padmasana berarti tempat duduk dari dewa-dewa dan Tuhan Yang Maha Esa sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan sthana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bentuk Padmasana serupa dengan candi yang dikembangkan dengan pepalihan. Padmasana tidak menggunakan atap. Bangunannya terdiri atas bagianbagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur dan kepala yang disebut sari. Pada bagian kaki (dasar) terdapat ukiran yang berwujud Bedawang Nala (empas/kura-kura) yang dibelit oleh Naga Anantaboga dan Naga Basuki yang mengikat antara empas dan dasar dari bangunan. Ada pula ukiran bunga teratai dan karang gajah (asti). Pada bagian badan (tengah) dari Padmasana terdapat ragam hias berupa pepalihan, karang goak, simbar, karang asti/gajah, burung garuda, angsa, dan patung dewa-dewi astadikpalaka (dewa-dewa penjaga kiblat arah angin). Terdapat pula Padmasana dengan burung garuda yang mendukung Dewa Wisnu membawa tirta amera seperti Padmasana di Pura Taman Ayun. Pada bagian kepala/Sari terdapat singhasana seperti kursi yang diapit oleh naga tatsaka yang terbuat dari paras yang diukir. Pada bagian belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai symbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari Dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.

35

BAB IV ARSITEKTUR DAYAK

Kebutuhan untuk memenuhi hasrat manusia sebagai makhluk sosial telah menciptakan wadah atau ruang sebagai suatu hasil karya arsitektur. Kebutuhan dasar setiap manusia pada dasarnya sama, tetapi kebudayaan mengakibatkan pencerminanan kebutuhan tadi ke dalam bentuk arsitektur menjadi berbeda satu sama lain. Contohnya, manusia memerlukan rumah sebagai tempat bernaung terhadap panas, hujan dan lain-lain, tetapi bentuk rumah Dayak berbeda dengan bentuk rumah Bali. Indonesia sebagai salah satu negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan terletak pada posisi geografis yang dilintasi oleh kegiatan dunia, tentu saja tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan, baik melalui proses akulturasi maupun berlangsung secara cepat tanpa mengindahkan nilai-nilai yang ada. Pembentukan budaya telah melatarbelakangi bentuk perkembangan arsitektur sekarang. Manusia merupakan bagian dari lingkungannya, sehingga dalam

menciptakan karyanya diperlukan strategi

tertentu agar tetap menghargai

36

lingkungan. Sedangkan faktor sosio-kultural yang senantiasa akan selalu berkembang dalam lingkungan tempat hunian manusia berdiri, mampu meciptakan kualitas arsitektur yang sesungguhnya. Arsitektur tradisional memiliki kemampuan dalam menyiasati kondisi lingkungan dan faktor sosio-kultural masyarakat dalam menciptakan keseimbangan alam dan arsitektur yang berkesinambungan

(sustainable architecture). Pada akhirnya, kemampuan dalam mensiasati kondisi lingkungan dan faktor-faktor sosio-kultural tersebut melahirkan bangunan arsitektural yang berkualitas tinggi.

4.1

POLA PERKAMPUNGAN Pada masa lalu, kehidupan suku-suku Dayak yang berdiam di pedalaman

Kalimantan itu hidup secara berkelompok-kelompok. Di mana kehidupan yang mereka jalani pasti dilalui bersama, hal itu terwujud dalam sebuah karya yaitu, Huma Betang (Rumah Betang). Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Rumah betang dihuni bersama-sama beberapa keluarga inti dalam satu rumah dapat ditinggali hingga lebih dari 200 orang. Hal tersebut dilakukan demi

37

alasan keamanan. Karena pada masa lalu orang Dayak mengenal mengayau atau memotong kepala musuh. Dalam tradisi mengayau wanita dan anak-anak dilarang keras untuk dikayau atau dipotong kepalanya, namun bagi wanita yang ikut berjuang dalam peperangan hanya diperkenankan untuk dijadikan jipen atau budak.Kebiasaan mengayau, Kayau, habunu atau mambalah adalah kebiasaan memenggal kepala yang dilakukan oleh Suku Dayak dalam peperangan. Mereka yang mampu memotong kepala lawannya dalam sebuah peperangan berarti adalah seorang ksatria. Semakin banyak mereka berhasil memenggal kepala lawannya orang tersebut akan semakin dihargai dan disegani baik dari pihak sendiri ataupun dari pihak musuh. Perkampungan masyarakat Dayak pada umumnya dibangun berdekatan dengan sungai , karena sungai merupakan sarana transportasi yang menghubungkan kawasan satu dengan kawasan yang lainnya. Rumah betang dapat pula dikatakan sebagai rumah suku karena didalamnya dihuni oleh satu keluarga besar yang dipimpin oleh seorang Bakas Lewu atau Kepala suku. Setiap keluarga inti memiliki kamar sendiri berbentuk ruangan petak-petak, serta dapur sendiri-sendiri. Pada halaman depan rumah betang biasanya terdapat Balai atau pasanggrahan yang digunakan sebagai tempat menerima tamu atau sebagai ruang pertemuan. Di bagian sebelah belakang rumah betang biasanya terdapat sebuah balai berukuran kecil yang digunakan untuk menyimpan alat perladangan. Sedangkan di halaman depan rumah biasanya terdapat sapundu yaitu patung berukuran tinggi yang fungsinya untuk tiang pengikat binatang-binatang yang dikorbankan pada saat upacara adat. Sedangkan di halaman depan atau kadang kala di halaman belakang rumah betang biasanya terdapat sandung, yaitu tempat untuk menyimpan kerangka keluarga mereka yang telah meninggal dan telah mengalami ritual tiwah. Hingga

38

saat ini tradisi tinggal bersama-sama dalam rumah betang masih dibertahan walau sudah sangat jarang sekali ditemukan. Betang memiliki keunikan tersendiri dapat diamati dari bentuknya yang memanjang serta terdapat hanya terdapat sebuah tangga dan pintu masuk ke dalam Betang. Tangga sebagai alat penghubung pada Betang dinamakan hejan atau hejot. Betang yang dibangun tinggi dari permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni Betang, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang melanda Betang. Hampir semua Betang dapat ditemui di pinggiran sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan. 4.2 TATA RUANG, BENTUK, DAN FILOSOFI Arsitektur Dayak tidak bisa dilepaskan dari konsep hidup dan kebudayaan sehari-hari mereka. Konsep hidup dan budaya ini dapat dilihat dari bentuk rumah tinggal yang secara arsitektural memiliki ciri fisik berbentuk rumah yang memanjang dengan tiang (kolong) tinggi yang mereka sebut sebagai rumah Betang atau Rumah Panjang atau Lamin atau juga lebih kerennya disebut Long House. Selain dari bentuk fisik, rumah Betang secara arsitektural menggambarkan konsep hidup dan kebudayaan Dayak. Hal ini dapat terlihat pada tata ruang, bentuk bangunan, asesoris seperti patung, ukiran, pernak pernik, dan pola penataannya. Dengan melihat tata ruang rumah, bentuk, dan susunannya dapat diketahui bagaimana pola hidup, pola pikir, filosofi serta kebudayaan yang terjadi dalam masyarakatnya. 1) Tata Ruang Ruang-ruang yang ada dalam Rumah Betang biasanya terdiri dari Sado', Padongk, Bilik, dan Dapur. Sado' (dalam bahasa Dayak Simpangk) adalah pelantaran

39

tingkat bawah yang biasanya merupakan jalur lalu lalang penghuni rumah Betang. Sado' juga biasanya digunakan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas umum seperti menganyam, menumbuk padi, berdiskusi adat secara massal, dan lain sebagainya. Padongk dapat diterjemahkan sebagai ruang keluarga, letaknya lebih dalam dan lebih tinggi dari pada sado'. Ruangan ini biasanya tidak luas, mungkin berkisar antara 4x6m. Padongk lebih umum dimanfaatkan oleh pemilik Rumah Betang sebagai ruang kumpul keluarga, ngobrol, makan minum, menerima tamu dan aktivitas yang lebih personal. Bilik adalah ruang tidur. Bilik tentu saja digunakan untuk tidur. zaman dahulu, satu bilik bisa dipakai oleh 3-5 anggota keluarga. Mereka tidur dalam satu ruangan dan hanya dibatasi oleh kelambu. Kelambu utama untuk ayah dan ibu, kelambu kedua dan ketiga untuk anak-anak. tentu kelambu anak laki-laki dan perempuan akan dipisahkan. Ruang yang terakhir didalam Rumah Betang adalah Dapur. Ruang ini terbuka dan memiliki view yang langsung berhadapan dengan ruang Padongk. Umumnya dapur hanya berukuran 1x2m dan hanya untuk menempatkan tungku perapian untuk memasak. Di atas perapian biasanya ada tempara untuk menyimpan persediaan kayu bakar. Dapur di rumah Betang amat sederhana dan hanya berfungsi untuk kegiatan masak memasak saja. Aktifitas suku Dayak selain di ladang dan dihutan, lebih banyak dilakukan di dalam rumah baik itu aktivitas sosial, kebudayaan, bahkan pusat kekuasaan mengatur tata kehidupan masyarakat. Dengan kata lain Rumah Betang bagi suku Dayak merupakan pusat kebudayaan dan jantung tradisi mereka. 2) Bentuk

40

Dalam pedoman arsitektur tradisional Dayak terdapat faktor-faktor penentu seperti hal-hal yang berhubungan dengan dasar pemilihan lokasi, penataan site plan, perencanaan bangunan, dimensi, proporsi, simbol-simbol, dan detailnya, demikian juga pada pemakaian dan penempatan materialnya. Arsitektur tradisional Dayak menempatkan suasana dan pengarahan dengan bentuk-bentuk ruang yang dapat menjaga keseimbangan manusia dengan alam lingkungannya. Ciri-ciri bentuk rumah suku-suku Dayak secara universal dapat dilihat dari bentuk bangunan. Bentuk bangunan panjang dan hanya beberapa unit saja dalam satu kampung. Biasanya tidak lebih dari 5 unit. Satu unit bisa digunakan oleh 5-10 anggota keluarga. Bahkan ada yang digunakan secara komunal oleh lebih dari 30 anggota keluarga. Bentuk rumah berkolong tinggi, dengan ketinggian sampai dengan 4 meter dari permukaan tanah. Badan rumah (dinding) terkadang berarsitektur jengki dengan atap pelana memanjang. Separuh dari rumah betang adalah bagian terbuka. Bagian ini disebut radakng(serambi) yang digunakan untuk berbagai kegiatan keseharian para penghuninya, seperti ritual adat, mengayam kerajinan tangan. Bagian yang tertutup disebut bilik atau lawang. Bilik aatau lawang ini digunakan penghuninya sebagai rumah keluarga. Aktivitas keperluan keluarga seperti memasak, tidur dilakukan di bilik tersebut. Bagian dapur tidak bebeda dengan bangunan rumah biasa, yaitu bisa betuk segi empat atau juga bentuk memanjang. Nilai estetika betang selain pada tampilan luar, juga pada ukiran-ukiran yang ada pada setiap bagunan. Ukiran-ukiran ini diletakkan pada tempat-tempat yang dilihat seperti pada bumbungan rumah, depan rumah, atas jendela, di daun pintu, di ruang tamu dan lain-lain. Selain itu, nilai estetika juga dapat dengan mudah dilihat pada sapundu dan sandung yang biasanya terdapat di halaman depan rumah. 3) Filosofi

41

Rumah Betang bukan sekadar rumah panggung masyarakat Dayak yang berukuran besar saja. Ada banyak filosofi yang terkandung dalam rumah Betang yang dihuni oleh puluhan kepala keluarga dalam satu atap tersebut, yaitu nilai kebersamaan, kerukunan, persamaan hak, tenggang rasa, serta saling menghormati. Ruang pada rumah Betang suku Dayak Ngaju, dapat dikelompokan dalam 3 bagian, yang pertama ruang utama rumah, yang kedua ruang bunyi gong, dan yamg ketiga adalah ruang ragawi yang tidak kelihatan. Ruang utama adalah ruang yang mehubungkan manusia dengan alam surgawi. Ruang kedua adalah ruang yang menghubungkan manusia dengan penghuni surgawi, dan yang ketiga adalah ruang surgawi yang juga adalah ruang ragawi. Sementara itu kematian adalah hal terpenting dalam kehidupan masayarakat suku Dayak Ngaju, karena melalui kematian maka roh seorang Dayak dapat diberangkatkan ke dalam alam sorgawi, melalui upacara Tiwah. Dimana didalamnya terdapat ritual tabuh yang bermakna penyucian. Sedangkan nilai estetika atau tingkah laku dapat dilihat dari bahan-bahan tertentu yang digunakan dalam membuat bangunan. Untuk membangun tiang, sedapat-dapatnya dicari pohon kayu ulin yang telah berumur tua. Hal ini melambangkan kekuatan dan kesehatan sehingga diharapkan bagunan dapat bertahan lama dan jika sudah ditempati, penghuninya diharapkan senantiasa mendapat kesehatan baik. Ukiran pada bangunan umumnya melambangkan penguasa bumi, penguasa dunia atas dan dunia bawah, yang dilambang dengan ukiran burung tingang dan kepala naga, yang masing-masing kepala harus horizontal yang dalam bahasa Dayak Nganju disebut tanggar, tidak boleh menegadah sebab saat itu berrti naga atau burung tingang hanya mencari rezekinya untuk dirinya sendiri, tidak mendatangkan rezeki kepada bagi penghuni rumah tersebut.

42

Sebaliknya ukiran kepala tingang dan kepala naga tidak boleh tunduk sebab itu berarti akan membawa sial bagi penghuninya. Dimensi betang yang umumnya tinggi mempunyai makna yang strategis. Umumnya suku Dayak membangun rumah disepanjang sungai dengan arah menghadap ke sungai. Kondisi ini seperti ini tentunya potensial untuk mengalami banjir. Dalam hal ini, maka salah satu tujuan tiang-tiang yang tinggi tersebut yaitu menghindari banjir yang mungkin terjadi. Selain itu, dengan kondisi yang tinggi tersebut juga dapat berfungsi tempat pertahanan dari musuh yang datang menyerang tiba-tiba atau dari serangan binatang buas. Perlu diketahui bahwa dalam tradisi suku Dayak, penyerangan musuh dengan cara membakar rumah pada zaman dahulu tidak ada atau pantang dilakukan sehingga serangan musuh dengan cara membakar rumah tidak akan terjadi. Satu hal yang menarik yaitu bahwa dalam pembuatan daun pintu, dibuat sedemikian rupa sehingga untuk membuka dan menutup digunakan tangan kiri. Hal ini dimaksudkan yaitu apabila ada tamu dengan maksud baik maka tangan kanan digunakan untuk mempersilahkan masuk tetapi apabila ada tamu dengan maksud jahat langsung menyerang maka tangan kanan dapat dengan lincah digunakan untuk menangkis serangan tersebut. 4.3 BAHAN BANGUNAN DAN TEKNIK KONSTRUKSI Betang dibangun biasanya berukuran besar, panjangnya dapat mencapai 30150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Dasar yang digunakan dalam penentuan tinggi betang yaitu tinggi orang menumbuk padi dengan mengunakan alo/atan, sehingga pada saat menumbuk padi, alo/atan tidak tersangkut pada lantai betang.

43

Lantai terbuat dari kayu, berdinding kayu dan atap rumah terbuat dari bahan sirap. Kayu yang dipilih untuk membangun rumah Betang adalah menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin (Eusideroxylon zwageri T et B). Selain anti rayap kayu ulin juga berdaya tahan sangat tinggi, bahkan mampu bertahan hingga ratusan tahun. Tiang-tiang utamanya berukuaran 20 x 40 cm. Di dalam rumah betang terdapat puluhan bilik dan satu bilik dihuni satu keluarga. Tiap bilik/ lawang(pintu) membutuhkan kurang lebih 24 tiang utama seperti itu, yang ditunjang dengan puluhan tiang lainnya. Sebatang tiang utama membutuhkan 10-15 orang untuk mengangkutnya. Pintu akses ke dalam mesti melalui tangga dari bawah kolong yang terbuat dari kayu bulat dilengkapi anakan tangga demi mempermudahkan pijakan. Dengan ukuran dimensi seperti yang disebutkan diatas, betang dapat menampung sampai 100-200 jiwa sehingga dapat menampung seluruh sanak keluarga. Dengan kondisi seperti ini, dimana seluruh sanak keluarga hidup dalam satu betang, maka betang dapat dikatakan sebagai rumah suku, yang dipimpin oleh Bakas Lewu atau kepala suku. Di dalam rumah terdapat kamar yang berpetak-petak. Dan diruangan muka ada tempat menerima tamu atau tempat pertemuan. Biasanya tangga dan pintu rumah betang haya satu yang terbuat dari kayu besi bulat panjang. Tangga ini dinamai hejan/hecot. Dibelakang rumah ada balai kecil yang berfungsi sebagai tempat menyimpang lesung untuk menumbuk padi. Betang biasaya terdiri atas beberapa bagian penting, yaitu betang huma, artinya rumah/bangunan utama sebagai tempat tidur, ruang (los) tempat tamu yang menginap, kemudian bagian dapur, yaitu bagian yang seolah-olah terpisah dari bangunan utama. Diantara bangunan utama dengan dapur terdapat suatu bagian yang disebut karayan, yang berfungsi sebagai penghubung antara bangunan utama

44

dengan bagian dapur. Baik bagunan utama, dapur dan karayan, tinggi tiang-tiangnya sama yaitu sekitar 2,5 -3m. Bagian dapur tidak bebeda dengan bangunan rumah biasa, yaitu bisa betuk segi empat atau juga bentuk memanjang. Luasnya lebih kecil dari bangunan utama, yaitu disekitar atau sejajar dengan panjang bangunan utama. Sedangkan karayan adalah semacam pelataran. Karayan berfungsi disamping penghubung antara dapur dengan bangunan utama (bangunan antara dapur dengan bagunan utama tidak berdempetan), juga sebagai tempat istirahat (santai) atau juga sebagai tempat menyimpan sementara hasil hutan. Betang hanya memiliki satu dapur sehinga seluruh sanak keluarga/penghuni betang menggunakan dapur secara bergantian. Dalam huma betang, terdapat ruangan-ruangan antara lain ruang/kamar tidur dan satu buah los. Ruang tempat tidur dibuat berjejer, artinya setiap pintu kamar/ruang tidur semuanya menghadap ke ruang los. Ruang los dibuat sepanjang bangunan utama, dengan lebar kira-kira seperempat lebar bangunan utama sedangkan tiga perempat bangunan utama seluruhnya dipergunakan sebagai ruang/kamar tidur. Luas kamar tidak tergantung kebutuhan, tetapi harus sama luasnya. 4.4 UPACARA PENDIRIAN BANGUNAN Istilah Manyanggar berasal dari kata "Sangga". Artinya adalah batasan atau rambu-rambu. Upacara Manyanggar Suku Dayak kemudian diartikan sebagai ritual yang dilakukan oleh manusia untuk membuat batas-batas berbagai aspek kehidupan dengan makhluk gaibyang tidak terlihat secara kasat mata. Ritual Dayak bernama Manyanggar ini ditradisikan oleh masyarakat Dayak karena mereka percaya bahwa dalam hidup di dunia, selain manusia juga hidup makhluk halus. Perlunya membuat rambu-rambu atau tapal batas denganroh halus tersebut diharapkan agar keduanya tidak saling mengganggu alam kehidupan

45

masing-masing serta sebagai ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan makluk lain. Ritual Manyanggar biasanya digelar saat manusia ingin membuka lahan baru untuk pertanian,mendirikan bangunan untuk tempat tinggal atau sebelum dilangsungkannya kegiatan masyarakat dalam skala besar. Melalui Upacara Ritual Manyanggar, apabila lokasi yang akan digunakan oleh manusia dihuni oleh makhluk halus (gaib) supaya bisa berpindah ke tempat lain secara damai sehingga tidak mengganggu manusia nantinya. 1. Bagi masyarakat Dayak Rumah Betang merupakan jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Tata ruang dari Rumah Betang biasanya terdiri dari Sado', Padongk, Bilik, dan Dapur. Bentuk bangunan panjang, berkolong tinggi, dengan atap pelana. Filosofi yang terkandung dalam rumah Betang yang dihuni oleh puluhan kepala keluarga dalam satu atap tersebut, yaitu nilai kebersamaan, kerukunan, persamaan hak, tenggang rasa, serta saling menghormati. Lantai terbuat dari kayu, berdinding kayu dan atap rumah terbuat dari bahan sirap. Kayu yang dipilih untuk membangun rumah Betang adalah menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin (Eusideroxylon zwageri T et B). Ritual Manyanggar biasanya digelar saat manusia ingin membuka lahan baru untuk pertanian,mendirikan bangunan untuk tempat tinggal atau sebelum dilangsungkannya kegiatan masyarakat dalam skala besar.

2.

3.

4.

46

BAB V ARSITEKTUR PAPUA

5.1

SUKU ASMAT Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil

ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai. Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan.

47

Sekarang biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.

5.1.1

MATA PENCARIAN Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu

dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti, ular, kasuari< burung< babi hitan< komodo dll. mereka juga selalu meramuh / menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan. kehidupan dari ketiga suku ini ternyata telah berubah. 5.1.2 RUMAH SUKU ASMAT Suku Asmat adalah suku yang memegang kuat filosofi hidup dan nilainilai kesopanan. Hal itu juga termasuk dalam cara mereka membangun rumah adat Suku Asmat tanpa adanya campur tangan jasa arsitek di dalamnya Jew Rumah adat Suku Asmat yang dikenal dengan nama Jew, adalah rumah yang khusus diperuntukkan bagi pelaksanaan segala

48

kegiatan yang sifatnya tradisi. Misalnya untuk rapat adat, melakukan pekerjaan membuat noken (tas tradisional Suku Asmat), mengukir kayu, dan juga tempat tinggal para bujang. Oleh karena itu, rumah Jew juga disebut sebagai Rumah Bujang.Rumah ini unik karena dibangun sangat panjang, bahkan hingga mencapai 50 meter. Karena masyarakat Asmat kuno belum mengenal paku, maka pembuatan rumah Jew sampai saat ini tidak menggunakan paku.

Rumah Tysem Ada satu lagi rumah adat Suku Asmat yaitu, Tysem. Rumah ini bisa juga disebut sebagai rumah keluarga, karena yang menghuni adalah mereka yang telah berkeluarga. Biasanya, ada 2 sampai 3 pasang keluarga yang mendiami Tysem.Ukurannya lebih kecil dari pada rumah Jew. Letak rumah Tysem biasanya di sekeliling rumah Jew. Sebuah rumah Jew dapat dikelilingi oleh sekitar 15 sampai 20 rumah Tysem. Bahan membangun rumah Tysem hampir sama dengan bahan pembuat rumah Jew. Semua dari bahan alami yang terdapat di hutan sekitar lokasi Suku Asmat berada. 5.1.3 KEPERCAYAAN TERHADAP ROH LELUHUR Suku Asmat berlatar belakang sebagai penganut animisme, sama seperti berbagai suku tradisional di seluruh dunia. Maka, kepercayaan terhadap hal gaib berupa roh leluhur yang menjaga mereka juga masih

49

ada.Kepercayaan mereka itu dituangkan dalam keahlian membuat ukiran kayu tanpa sketsa. Mereka percaya, roh leluhur akan membimbing mereka untuk menyelesaikan patung ukiran yang mereka buat. Nama patung ukiran yang menceritakan tentang arwah para leluhur mereka disebut Mbis.Mbis banyak dijumpai di rumah adat Suku Asmat terutama Jew. Dipercaya roh leluhur akan turut menjaga rumah yang mereka bangun dengan adanya Mbis didalamnya. Kebudayaan suku asmat ini sangat banyak ada yang baik dan ada juga yang mengerikan seperti cara mereka membunuh musuhnya. Selain itu suku asmat sendiri mencari makanan dengan cara berburu bibatang yang ada didaerah mereka, mereka juga mempunyai tempat tinggal atau rumah yang unik yang memegang kuat filosofi hidup dan nilai-nilai kesopanan. Hal itu juga termasuk dalam cara mereka membangun rumah adat Suku Asmat tanpa adanya campur tangan jasa arsitek di dalamnya dan suku asmat ini memiliki kepercayaan yang sama seperti suku-suku lainya mereka percaya kepada roh leluhur. 5.2 SUKU DANI Suku Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem yang dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan alat/perkakas yang pada awal mula ditemukan diketahui telah mengenal teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani masih banyak mengenakan ''koteka'' (penutup kemaluan pria) yang terbuat dari kunden/labu kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di honai-honai (gubuk yang beratapkan

50

jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya). Suku Dani Papua pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak eksplorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah satu diantaranya yang pertama adalah Ekspedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 (Belanda), tetapi mereka tidak beroperasi di Lembah Baliem. Kemudian penyidik asal Amerika Serikat yang bernama Richard Archold anggota timnya adalah orang pertama yang mengadakan kontak dengan penduduk asli yang belum pernah mengadakan kontak dengan negara lain sebelumnya. Ini terjadi pada tahun 1935. kemudian juga telah diketahui bahwa penduduk Suku Dani adalah para petani yang terampil dengan menggunakan kapak batu, alat pengikis, pisau yang terbuat dari tulang binatang, bambu atau tombak kayu dan tongkat galian. Pengaruh Eropa dibawa ke para misionaris yang membangun pusat Misi Protestan di Hetegima sekitar tahun 1955. Kemudian setelah bangsa Belanda mendirikan kota Wamena maka agama Katholik mulai berdatangan. BAHASA SUKU DANI Bahasa Dani terdiri dari 3 sub keluarga bahasa, yaitu:

Sub keluarga Wano di Bokondini Sub keluarga Dani Pusat yang terdri atas logat Dani Barat dan logat lembah Besar Dugawa.

Sub keluarga Nggalik & ndash

51

Bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melansia dan bahasa Papua tengah (secara umum). LETAK GEOGRAFIS Secara geografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara 30.20 sampai 50.20 Lintang Selatan serta 1370.19 sampai 141 bujur timur. Batas-batas Daerah Kabupaten Jayawijaya adalah sebagai berikut : sebelah utara dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, barat dengan Kabupaten Paniai, selatan dengan Kabupaten Merauke dan Timur dengan perbatasan negara Papua Nugini. Topografi Kabupaten Jayawijaya terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembahlembah yang luas. Di antara puncak-puncak gunung yang ada beberapa diantaranya selalu tertutup salju, misalnya Puncak Trikora (4750 m), Puncak Yamin (4595 m), dan Puncak Mandala (4760 m). Tanah pada umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit terdapat di daerah pegunungan sedangkan di sekeliling lembah merupakan percampuran antara endapan lumpur, tanah liat dan lempung. KLIMATOLOGIS Suku Dani menempati daerah yang beriklim tropis basah karena dipengaruhi oleh letak ketinggian dari permukaan laut, temperatur udara bervariasi antara 80200 derajat Celcius, suhu rata-rata 17,50 derajat Celcius dengan hari hujan 152,42 hari pertahun, tingkat kelembaban diatas 80 %, angin berhembus sepanjang tahun dengan kecepatan rata-rata tertinggi 14 knot dan terendah 2,5 knot. KEPERCAYAAN

52

Dasar religi masyarakat Dani adalah menghormati roh nenek moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Konsep kepercayaan/keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti ini antara lain :

Kekuatan menjaga kebun Kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala Kekuatan menyuburkan tanah Untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.

SISTEM KEKERABATAN Masyarakat Dani tidak mengenal konsep keluarga batih, di mana bapak, ibu, dan anak tinggal dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah dipandang sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya, dalam masyarakat Dani unit rumah tersebut adalah sili. Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga, yaitu kelompok kekerabatan, paroh masyarakat, dan kelompok teritorial.

Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama sama menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima).

Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul (klen kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)
53

Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).

PERNIKAHAN Pernikahan orang Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu satuan tempat tinggal yang disebut silimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3 & ndash; 4 slimo yang dihuni 8 & ndash; 10 keluarga. Menurut mitologi suku Dani berasal dari keuturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani dilarang menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar Moety).

KESENIAN Kesenian masyarakat suku Dani dapat dilihat dari cara membangun tempat kediaman, seperti disebutkan di atas dalam satu silimo ada beberapa bangunan, seperti : Honai, Ebeai, dan Wamai. Selain membangun tempat tinggal, masyarakat Dani mempunyai seni kerajinan khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Orang Dani juga memiliki berbagai peralatan yang terbuat dari bata, peralatan tersebut antara lain : Moliage, Valuk, Sege, Wim, Kurok, dan Panah sege. PENDIDIKAN

54

Sebagaimana suku suku pedalaman Papua, seperti halnya suku Dani, umumnya tingkat pendidikan (formal) rendah dan kesadaran untuk menimba ilmunya juga masih kurang. Namun, sejak masa reformasi beberapa belas tahun silam suku Dani sudah banyak yang menuntut ilmu ke luar daerahnya. Salah satunya adalah Meri Tabuni. POLITIK DAN KEMASYARAKATAN YANG BERSAHAJA Masyarakat Dani senantiasa hidup berdampingan dan saling tolong menolong, kehidupan masyarakat Dani memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong

Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku

Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial. Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu disebut Ap Kain

yang memimpin desa adat watlangka, selain itu ada juga 3 kepala suku yang posisinya berada di bawah Ap Kain dan memegang bidang sendiri & ndash; sendiri, mereka adalah : Ap. Menteg, Ap. Horeg, dan Ap Ubaik Silimo biasa yang dihuni oleh masyatakat biasa dikepalai oleh Ap. Waregma. Dalam masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang berarti kuat, pandai dan terhormat. Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua, tetapi masih mampu mengatur urusannya dalam satu halaman rumah tangga maupun

55

kampungnya. Urusan tersebut antara lain pemeliharaan kebun dan Bahi serta melerai pertengkaran. Pemimpin federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain. Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Pemimpin konfederasi biasanya pernah juga menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak, syarat menjadi pemimpin masyarakat Dani : Pandai bercocok tanam, bersifat ramah dan murah hati, pandai berburu, memiliki kekuatan fisik dan keberanian, pandai berdiplomasi, dan pandai berperang. SISTEM EKONOMI Sistem ekonomi nenek moyang orang Dani tiba di Irian hasil dari suatu proses perpindahan manusia yang sangat kuno dari daratan Asia ke kepulauan Pasifik Barat Irian Jaya. Kemungkinan pada waktu itu masyarakat mereka masih bersifat praagraris yaitu baru mulai menanam tanaman dalam jumlah yang sangat terbatas. Inovasi yang berkesinambungan dan kontak budaya menyebabkan pola penanaman yang sangat sederhana tadi berkembang menjadi suatu sistem perkebunan ubijalar, seperti sekarang. MATA PENCAHARIAN Mata pencaharian pokok suku bangsa Dani adalah bercocok tanam dan beternak babi. Umbi manis merupakan jenis tanaman yang diutamakan untuk dibudidayakan, artinya mata pencaharian umumnya mereka adalah berkebun. Tanaman-tanaman mereka yang lain adalah pisang, tebu, dan tembakau.

56

Kebun-kebun milik suku Dani ada tiga jenis, yaitu:


Kebun-kebun di daerah rendah dan datar yang diusahakan secara menetap Kebun-kebun di lereng gunung Kebun-kebun yang berada di antara dua uma Kebun-kebun tersebut biasanya dikuasai oleh sekelompok atau beberapa

kelompok kerabat. Batas-batas hak ulayat dari tiap-tiap kerabat ini adalah sungai, gunung, atau jurang. Dalam mengerjakan kebun, masyarakat suku Dani masih menggunakan peralatan sederhana seperti tongkat kayu berbentuk linggis dan kapak batu. Selain berkebun, mata pencaharian suku Dani adalah beternak babi. Babi dipelihara dalam kandang yang bernama wamai (wam = babi; ai = rumah). Kandang babi berupa bangunan berbentuk empat persegi panjang yang bentuknya hampir sama dengan hunu. Bagian dalam kandang ini terdiri dari petak-petak yang memiliki ketinggian sekitar 1,25 m dan ditutupi bilah-bilah papan. Bagian atas kandang berfungsi sebagai tempat penyimpanan kayu bakar dan alat-alat berkebun. Bagi suku Dani, babi berguna untuk: 1. Dimakan dagingnya 2. Darahnya dipakai dalam upacara magis 3. Tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan 4. Tulang rusuknya digunakan untuk pisau pengupas ubi 5. Sebagai alat pertukaran/barter 6. Menciptakan perdamaian bila ada perselisihan

57

Suku Dani melakukan kontak dagang dengan kelompok masyarakat terdekat di sekitarnya. Barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk membuat kapak, dan hasil hutan seperti kayu, serat, kulit binatang, dan bulu burung. RUMAH ADAT Honai, rumah adat suku Dani ukurannya tergolong mungil, bentuknya bundar, berdinding kayu dan beratap jerami. Namun, ada pula rumah yang bentuknya persegi panjang. Rumah jenis ini namanya Ebe'ai (Honai Perempuan). Perbedaan antara Honai dan Ebe'ai terletak pada jenis kelamin penghuninya. Honai dihuni oleh laki-laki, sedangkan Ebe'ai (Honai Perempuan) dihuni oleh perempuan. Komplek Honai ini tersebar hampir di seluruh pelosok Lembah Baliem yang luasnya 1.200 km2. Baik itu dekat jalan besar (dan satu-satunya yang membelah lembah itu), hingga di puncak-puncak bukit, di kedalaman lembah, juga di bawah naungan tebing raksasa. Rumah bundar itu begitu mungil sehinggi kita tak bisa berdiri di dalamnya. Jarak dari permukaan rumah sampai langit-langit hanya sekitar 1 meter. Di dalamnya ada 1 perapian yang terletak persis di tengah. Tak ada perabotan seperti kasur, lemari, ataupun cermin. Begitu sederhana namun bersahaja. Atap jerami dan dinding kayu rumah Honai ternyata membawa hawa sejuk ke dalam Honai. Kalau udara dirasa sudah terlalu dingin, seisi rumah akan dihangatkan oleh asap dari perapian. Bagi suku Dani, asap dari kayu sudah tak aneh lagi dihisap dalam waktu lama. Selama pintu masih terbuka (dan memang tak ada tutupnya), oksigen masih mengalir kencang.

58

Selain jadi tempat tinggal, Honai juga multifungsi. Ada Honai khusus untuk menyimpan umbi-umbian dan hasil ladang, semacam lumbung untuk menyimpan padi. Ada pula yang khusus untuk pengasapan mumi. Fungsi yang disebut terakhir itu bisa ditemukan di Desa Kerulu dan Desa Aikima, tempat 2 mumi paling terkenal di Lembah Baliem. BENTUK HONAI Bentuk Honai yang bulat tersebut dirancang untuk menghindari cuaca dingin ataupun karena tiupan angin yang kencang sehingga rumah yang sederhana ini dapat bertahan bertahun-tahun lamanya. ATAP HONAI Honai memiliki bentuk atap bulat kerucut. Bentuk atap ini berfungsi untuk melindungi seluruh permukaan dinding agar tidak mengenai dinding ketika hujan turun. Atap honai terbuat dari susunan lingkaran-lingkaran besar yang terbuat dari kayu buah sedang yang dibakar di tanah dan diikat menjadi satu di bagian atas sehingga membentuk dome. Empat pohon muda juga diikat di tingkat paling atas dan vertikal membentuk persegi kecil untuk perapian. Penutup atap terbuat dari jerami yang diikat di luar kubah. Lapisan jerami yang tebal membentuk atap dome, bertujuan menghangatan ruangan di malam hari. Jerami cocok digunakan untuk daerah yang beriklim dingin. Karena jerami ringan dan lentur memudahkan suku Dani membuat atap serta jerami mampu menyerap goncangan gempa, sehingga apabila terjadi gempa sangat kecil kemungkinan rumah Honai akan rubuh.

59

DINDING & BUKAAN Honai mempunyai pintu kecil dan jendela-jendela yang kecil. Jendela-jendela ini berfungsi memancarkan sinar ke dalam ruangan tertutup itu. Ada pula Honai yang tidak memiliki jendela, Honai tanpa jendela pada umumnya dipergunakan untuk kaum ibu/perempuan. Jika Anda masuk ke dalam honai ini, maka di dalam cukup dingin dan gelap karena tidak terdapat jendela dan hanya ada satu pintu. Pintunya begitu pendek sehingga harus menunduk jika akan masuk ke rumah Honai. Di malam hari menggunakan penerangan kayu bakar di dalam Honai dengan menggali tanah di dalamnya sebagai tungku, selain menerangi bara api juga bermanfaat untuk menghangatkan tubuh. Jika tidur, mereka tidak menggunakan dipan atau kasur, mereka beralas rerumputan kering yang dibawa dari kebun atau ladang. Umumnya mereka mengganti jika sudah terlalu lama karena banyak terdapat kutu babi.

KETINGGIAN Rumah Honai mempunyai tinggi 2,5-5 meter dengan diameter 4-6 meter. Rumah Honai ditinggali oleh 5-10 orang dan rumah ini biasanya dibagi menjadi 3 bangunan terpisah. Satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur). Bangunan kedua untuk tempat makan bersama dimana biasanya mereka makan beramai-ramai dan bangunan ketiga untuk kandang ternak terutama babi. Rumah Honai juga biasanya terbagi menjadi 2 tingkat. Lantai dasar dan lantai satu di hubungkan dengan tangga yang terbuat dari bambu/kayu. Biasanya pria tidur melingkar di lantai dasar , dengan kepala di tengah dan kaki di pinggir luarnya, demikian juga cara tidur para wanita di lantai satu. Dalam peraturan adat Honai, pria
60

dan wanita (termasuk anak-anak) tidak boleh tidur disatu tempat secara bersamaan hukumnya tabu. FUNGSI HONAI Rumah Honai mempunyai fungsi antara lain:

Sebagai tempat tinggal Tempat menyimpan alat-alat perang Tempat mendidik dan menasehati anak-anak lelaki agar bisa menjadi orang berguna di masa depan

Tempat untuk merencanakan atau mengatur strategi perang agar dapat berhasil dalam pertempuran atau perang

Tempat menyimpan alat-alat atau simbol dari adat orang Dani yang sudah ditekuni sejak dulu

FILOSOFI HONAI Filosofi bangunan Honai yang bentuknya bulat melingkar adalah :

Dengan kesatuan dan persatuan yang paling tinggi kita mempertahankan budaya yang telah diperthankan oleh nene moyang kita dari dulu hingga saat ini.

Dengan tinggal dalam satu honai maka kita sehati, sepikiran dan satu tujuan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

Honai merupakan simbol dari kepribadian.

BAHAN PEMBUAT

61

Kebiasaaan dari suku atau orang Dani dan Yali dalam membangun Honai yaitu mereka mencari kayu yang memang kuat dan dapat bertahan dalam waktu yang lama atau bertahun-tahun bahkan sampai ratusan tahun. Bahan yang digunakan sebagai berikut:

Kayu besi (oopihr) digunakan sebagai tiang penyangga bagian tengah Rumah Honai

Kayu buah besar Kayu batu yang paling besar Kayu buah sedang Jagat (mbore/pinde) Tali Alang-alang Papan yang dikupas Papan alas dll.

ADAT MENGHORMATI NENEK MOYANG Untuk menghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu, juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk mensejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang. TRADISI POTONG JARI Banyak cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kembali perasaan sakit akibat kehilangan. Namun berbeda dengan Suku Dani, mereka melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarga yang
62

meninggal. Tidak hanya dengan menangis, tetapi memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang meninggal dunia seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah terulang kembali malapetaka yangg telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yg berduka. MENGAPA JARI YANG DIPOTONG? Bagi Suku Dani, jari bisa diartikan sebagai simbol kerukunan, kesatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga, walaupun dalam penamaan jari yang ada di tangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga, yaitu ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbedaan setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Jari saling bekerjasama membangun sebuah kekuatan sehingga tangan kita bisa berfungsi dengan sempurna. Kehilangan salah satu ruasnya saja, bisa mengakibatkan tidak maksimalnya tangan kita bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan. Alasan lainnya adalah Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Kesedihan mendalam dan luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit

63

lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada keluarga yang meninggal dunia. Tradisi potong jari di Papua sendiri dilakukan dengan berbagai banyak cara, mulai dari menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak, atau parang. Ada juga yang melakukannya dengan menggigit ruas jarinya hingga putus, mengikatnya dengan seutas tali sehingga aliran darahnya terhenti dan ruas jari menjadi mati kemudian baru dilakukan pemotongan jari. Selain tradisi pemotongan jari, di Papua juga ada tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh anggota atau kelompok dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai arti bahwa setiap orang yang meninggal dunia telah kembali ke alam. Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah. Beberapa sumber ada yang mengatakan Tradisi potong jari pada saat ini sudah hampir ditinggalkan. Jarang orang yang melakukannya belakangan ini karena adanya pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan tengah Papua. Namun kita masih bisa menemukan banyak sisa lelaki dan wanita tua dengan jari yang telah terpotong karena tradisi ini.

BAB VI ARSITEKTUR BATAK

Batak Toba dengan Tarian Tortor, Wisata danau toba, wisata megalitik (kubur batu), legenda (cerita rakyat), adat budaya yang bernilai tinggi dan kuliner. Batak Karo yang terkenal dengan daerah Berastagi dengan alam yang sejuk dan indah, penghasil buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah menembus pasar global dan juga memiliki adat budaya yang masih tradisional. Etnis Melayu yang terkenal dengan berbagai peninggalan sejarah seperti Istana Maimoon, tari derah dan
64

peninggalan rumah melayu juga masjid yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Batak Angkola yang terkenal dengan kultur budaya yang beragam, mulai dari tari daerah adat istiadat dan merupakan penghasil salak (salak sidempuan) yang juga sudah dapat menembus pasar global. Batak Pakpak Dairi yang dikenal dengan peninggalan sejarah megalitik berupa mejan dan patung ulubalang dan tentunya juga memiliki adat istiadat dan tari daerah juga alat musik yang khusus. Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis dengan Batak, Nias, dan Melayu sebagai penduduk asli wilayah ini. Sejak dibukanya perkebunan tembakau di Sumatera Timur, pemerintah kolonial Hindia Belanda banyak mendatangkan kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan. Pendatang tersebut kebanyakan berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa. Pusat penyebaran suku-suku di Sumatra Utara, sebagai berikut : 1.Suku Melayu Deli : Pesisir Timur, terutama di kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Langkat 2.Suku Batak Karo : Kabupaten Karo 3.Suku Batak Toba : Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir 4.Suku Batak Pesisir : Tapanuli Tengah, Kota Sibolga 5.Suku Batak Mandailing/Angkola : Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Lawas, dan Mandailing Natal 6.Suku Batak Simalungun : Kabupaten Simalungun 7.Suku Batak Pakpak : Kabupaten Dairi dan Pakpak Barat 8.Suku Nias : Pulau Nias 9.Suku Minangkabau : Kota Medan, Pesisir barat 10.Suku Aceh : Kota Medan 11.Suku Jawa : Pesisir Timur & Barat 12.Suku Tionghoa : Perkotaan pesisir Timur & Barat.

65

BAHASA Pada dasarnya, bahasa yang dipergunakan secara luas adalah bahasa Indonesia. Suku Melayu Deli mayoritas menuturkan bahasa Indonesia karena kedekatan bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia. Pesisir timur seperi wilayah Serdang Bedagai, Pangkalan Dodek, Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai, memakai Bahasa Melayu Dialek "O" begitu juga di Labuhan Batu dengan sedikit perbedaan ragam. Di kabupaten Langkat masih menggunakan bahasa Melayu Dialek "E" yang sering juga disebut bahasa Maya-maya. Masih banyak keturunan Jawa Kontrak (Jadel - Jawa Deli) yang menuturkan bahasa Jawa. Di kawasan perkotaan, suku Tionghoa lazim menuturkan bahasa Hokkian selain bahasa Indonesia. Di pegunungan, suku Batak menuturkan bahasa Batak yang terbagi atas 4 logat (Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Bahasa Nias dituturkan di Kepulauan Nias oleh suku Nias. Sedangkan orang-orang Pesisir Pantai Barat Sumut, seperti Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah serta Aceh Singkil dan Natal Madina menggunakan Bahasa

SENI DAN BUDAYA

MUSIK Musik yang biasa dimainkan,cenderung tergantung dengan upacara-upacara adat yang diadakan, tetapi lebih dominan dengan genderangnya. Seperti pada Etnis Pesisir terdapat serangkaian alat musik yang dinamakan Sikambang.

ARSITEKTUR

66

Dalam bidang seni rupa yang menonjol adalah arsitektur rumah adat yang merupakan perpaduan dari hasil seni pahat dan seni ukir serta hasil seni kerajinan. Arsitektur rumah adat terdapat dalam berbagai bentuk ornamen.Pada umumnya bentuk bangunan rumah adat pada kelompok adat batak melambangkan "kerbau berdiri tegak". Hal ini lebih jelas lagi dengan menghias pucuk atap dengan kepala kerbau. Rumah adat suku bangsa Batak bernama Ruma Batak. Berdiri kokoh dan megah dan masih banyak ditemui di Samosir. Rumah adat Karo kelihatan besar dan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah adat lainnya. Atapnya terbuat dari ijuk dan biasanya ditambah dengan atap-atap yang lebih kecil berbentuk segitiga yang disebut "ayo-ayo rumah" dan "tersek". Dengan atap menjulang berlapis-lapis itu rumah Karo memiliki bentuk khas dibanding dengan rumah tradisional lainnya yang hanya memiliki satu lapis atap di Sumatera Utara. Bentuk rumah adat di daerah Simalungun cukup memikat. Kompleks rumah adat di desa Pematang Purba terdiri dari beberapa bangunan yaitu rumah bolon,balai bolon,jemur,pantangan balai butuh dan lesung. Bangunan khas Mandailing yang menonjol adalah yang disebut "Bagas Gadang" (rumah Namora Natoras) dan "Sopo Godang" (balai musyawarah adat). Rumah adat Pesisir Sibolga kelihatan lebih megah dan lebih indah dibandingkan dengan rumah adat lainnya. Rumah adat ini masih berdiri kokoh di halaman Gedung Nasional SibolgA

TARIAN Perbendaharaan seni tari tradisional meliputi berbagai jenis. Ada yang bersifat magis, berupa tarian sakral, dan ada yang bersifat hiburan saja yang berupa tari profan. Di samping tari adat yang merupakan bagian dari upacara adat, tari sakral biasanya ditarikan oleh dayu-datu. Termasuk jenis tari ini adalah tari guru dan

67

tari tungkat. Datu menarikannya sambil mengayunkan tongkat sakti yang disebut Tunggal Panaluan Tari profan biasanya ialah tari pergaulan muda-mudi yang ditarikan pada pesta gembira. Tortor ada yang ditarikan saat acara perkawinan. Biasanya ditarikan oleh para hadirin termasuk pengantin dan juga para muda-mudi. Tari muda-mudi ini, misalnya morah-morah, parakut, sipajok, patam-patam sering dan kebangkiung. Tari magis misalnya tari tortor nasiaran, tortor tunggal panaluan. Tarian magis ini biasanya dilakukan dengan penuh kekhusukan. Selain tarian Batak terdapat pula tarian Melayu seperti Serampang XII.

KERAJINAN Selain arsitektur,tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku Batak. Contoh tenunan ini adalah kain ulos dan kain songket. Ulos merupakan kain adat Batak yang digunakan dalam upacara-upacara perkawinan, kematian, mendirikan rumah, kesenian,dsb. Bahan kain ulos terbuat dari benang kapas atau rami. Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah yang mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang dari variasi kehidupan. Pada suku Pakpak ada tenunan yang dikenal dengan nama oles. Bisanya warna dasar oles adalah hitam kecokelatan atau putih. Pada suku Karo ada tenunan yang dikenal dengan nama uis. Bisanya warna dasar uis adalah biru tua dan kemerahan. Pada suku Pesisir ada tenunan yang dikenal dengan nama Songket Barus. Biasanya warna dasar kerajinan ini adalah Merah Tua atau Kuning Emas.

MAKANAN KHAS Makanan Khas di Sumatera Utara sangat bervariasi, tergantung dari daerah tersebut. Saksang dan Babi panggang sangat familiar untuk mereka yang

68

melaksanakan pesta maupun masakan rumah.Misalkan seperti didaerah Pakpak Dairi, Pelleng adalah makanan khas dengan bumbu yang sangat pedas. Di tanah Batak sendiri adalah dengke naniarsik yang merupakan ikan yang digulai tanpa menggunakan kelapa. Untuk cita rasa, tanah Batak adalah surga bagi pecinta makanan santan dan pedas juga panas. PASITUAK NATONGGI atau uang beli nira yang manis adalah istilah yang sangat akrab disana, menggambarkan betapa dekatnya Tuak atau nira dengan kehidupan mereka.

69

You might also like