You are on page 1of 25

PSIKOLOGI KONSELING (PENDEKATAN EKSISTENSIAL-HUMANISTIK)

DISUSUN OLEH:

NAMA: NABILAH AFRINI RAHMADANI D NIM: 45 11 091 034

UNIVERSITAS 45 MAKSSAR FAKULTAS PSIKOLOGI MAKASSAR 2013

A. PENGANTAR
Psikologi telah lama didominasi oleh pendekatan empiris terhadap studi tentang tingkah laku individu. Banyak ahli psikologi Amerika yang menunjukkan kepercayaan pada defenisi-defenisi operasional dan hipotesis-hipotesis yang bisa diuji serta memandang usaha memperoleh data empiris sebagai satu-satunya pendekatan yang sahih guna memperoleh informasi tentang tingkah laku manusia. Di masa lalu tidak terdapat bukti adanya minat yang serius terhadap aspek-aspek filosofis dari konseling dan psikoterapi. Pendekatan eksistensial-humanistik, di lain pihak, menekankan renungan-renungan filosofis tentang apa artinya menjadi manusia yang utuh. Banyak ahli psikologi yang berorientasi eksistensial yang mengajukan argument menentang pembatasan studi tingkah laku manusia pada metode-metode yang digunakan oleh ilmu pengetahuan alam. Sebagai contoh, Bugental (1965), Rogers (1961), May (1953, 1958, 1961, 1967, 1969), Frankl (1959, 1963), Jourard (1968, 1971), Maslow (1968, 1970) dan Arbuckle (1975) yang mengemukakan kebutuhan psikologi akan suatu perspektif yang lebih luas yang mencakup pengalaman subjektif klien atas dunia pribadinya. Tujuan dasar banyak pendekatan psikoterapi adalah membantu Anda agar mampu bertindak, menerima kebebasan dan tanggung jawab untuk tindakantindakannya. Terapi eksistensial, terutama, berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa melarikan diri dari kebebasan dan tanggung jawab itu saling berkaitan. Dalam penerapan-penerapan terapeutiknya, pendekatan eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada asumsi-asumsi filosofis yang melandasi terapi. Pendekatan eksistensial humanistik menyajikan suatu landasan filosofis bagi orang-orang dalam hubungan dengan sesamanya yang menjadi ciri- khas, kebutuhan yang unik dan menjadi kebutuhan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha membantu individu dalam menghadapi

pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan manusia.

B. KONSEP-KONSEP UTAMA
Pandangan tentang Sifat Manusia
Psikologi ekstensial-humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu sistem teknik-teknik yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Oleh karena itu, pendekatan eksistensialhumanistik bukan suatu aliran terapi, bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik. Pendekatan terapi eksistensial juga bukan suatu pendekatan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia. Karena konsep-konsep eksistensial tentang manusia akan dibahas lebih rinci pada pembahasan selanjutnya, yakni pada pembahasan tentang penerapan teknik-teknik dan prosedur-prosedur terapeutik, maka pada pembahasan berikut konsep-konsep tentang manusia itu akan dirangkum secara ringkas. Yang akan diungkap berikut ini adalah konsep-konsep utama dari pendekatan eksistensial yang membentuk landasan bagi praktek terapeutik.

Kesadaran Diri

Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesanggupan untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para ekstensialis menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya. Manusia bukanlah bidak dari kekuatan-kekuatan yang deterministik dari pengondisian.

Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Kecemasan

Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannnya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensipotensinya.

Penciptaan Makna

Manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi kesendirian: manusia lahir ke dunia sendirian dan mati sendirian pula. Sungguh pun pada hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi, depersonalisasi, alineasi, keterasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri, yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai taraf tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan diri, dia bisa sakit. Patologi dipandang sebagai kegagalan menggunakan kebebasan untuk mewujudkan potensi-potensi seseorang.

C. PROSES-PROSES TERAPEUTIK

Tujuan-tujuan Terapeutik

Terapi eksistensial bertujuan agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Bugental (1965) menyebut keotentikan sebagai urusan utama psikoterapi dan nilai eksistensial pokok. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik: (1) menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, (2) memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan (3) memikul tanggung jawab untuk memilih. Klien yang neurotik adalah orang yang kehilangan rasa ada, dan tujuan terapi adalah membantunya agar ia memperoleh atau menemukan kembali kemanusiaannya yang hilang. Pada dasarnya, tujuan terapi eksistensial adalah meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya. Penerimaan tanggung jawab itu bukan suatu hal yang mudah; banyak orang yang takut akan beratnya bertanggung jawab atas menjadi apa dia sekarang dan akan menjadi apa dia selanjutnya. Mereka harus memilih, misalnya, akan tetapi berpegang pada kehidupan yang dikenalnya atau akan membuka diri kepada kehidupan yang kurang pasti dan lebih menantang. Justru tiadanya jaminanjaminan dalm kehidupan itulah yang menimbulkan kecemasan. Oleh karena itu, terapi eksistensial juga bertujuan membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekedar korban kekuatankekuatan deterministik di luar dirinya.

Surat berikut ini ditulis oleh salah seorang bekas klien penulis, dan disini disajikan atas persetujuannya. Kata-katanya dengan jelas

menggambarkan perjuangannya dengan kesadaran dan kebebasan serta tanggung jawab dan kecemasan yang dirasakannya ketika ia membuat putusan-putusan sehari-hari yang menyangkut cara yang diinginkan dalam mengarungi kehidupannya. Saya sekarang sering menemukan diri sendiri bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan, siapa sesungguhnya saya ini sebagai pribadi, dan bagaimana sesungguhnya perasaan saya. Emosi-emosi tidak mudah muncul, bahkan juga sekarang. Perasaan-perasaan cinta dan benci adalah sesuatu yang baru bagi saya, dan sering sangat menakutkan. Sering saya menemukan kesulitan untuk mendamaikan diri dengan fakta bahwa suatu saat saya bisa kehilangan orang-orang yang saya kasihi, tetapi kemudian saya menginginkan mereka pergi. Ketidakkonsistenan dan pertentangan antara kebergantungan dan kemandirian ini setiap kali membingungkan saya. Kadang kala ssaya berpikir bahwa akan lebih baik jika saya secara emosional tetap mati seperti dulu. Setidaknya saya tidak merasa begitu sakit. Akan tetapi, saya juga tabu bahwa jika demikian, saya pun tidak benar-benar hidup. Hari ini seorang pria memeluk saya, dan saya sejenak merasa hangat dan aman. Saya menyukai perasaan itu, tetapi juga takut. Perasaan itu demikian asing buat saya. Saya ingin menaruh kepercayaan tetapi tetap sulit untuk melakukannya. Barangkali hal itu disebabkan oleh adanya unsur resiko yang terlibat dalam segenap hubungan, dan saya tetap tidak mau membiarkan diri saya menerima resiko itu. Saya khawatir apakah saya akan pernah mampu mengatasi segenap luka dan kekecewaan masa lalu serta belajar hidup untuk hari ini. Kadang-kadang, ketika saya merasa sepi dan kehilangan, saya mencoba membayangkan, apa jadinya jika saya tidak pernah menjalani konseling, jika saya tidak pernah memperoleh pemahaman diri seperti yang sekarang saya miliki. Atau apa jadinya jika saya secara ajaib bisa kembali ke

tahap awal dari pertumbuhan emosional ketika saya kurang merasa terancam, dan mampu menetap di sana. Maka saya tidak akan melihat keindahan dunia nantinya, tidak akan mengetahui keberhasilan, juga tidak akan benyak memiliki kedamaian pikiran, tetapi saya akan merasa lebih aman. Tekanantekanan tidak ada lagi dalam hidup saya sekarang. Hidup lebih sederhana dan kurang tantangan bagi saya. Namun, jika saya secara ajaib diberi kemampuan untuk kembali ke masa lalu, saya tahu saya tak akan melakukannya. Saya tidak selalu merasa pasti, ke mana saya hari-hari ini, tetapi saya tahu dari mana saya, dan saya tidak akan pernah dengan sengaja memilih kembali lagi kepada keadaan saya dulu. Saya telah terlalu jauh untuk kembali sekarang. Namun, kadang-kadang saya ragu, apakah segala sesuatu itu ada gunanya.

Fungsi dan Peran Terapis

Tugas utama terapis adalah berusaha memahami klien sebagai ada dalam-dunia. Teknik yang digunakan mengikuti alih-alih mendahului pemahaman. Karena menekankan pada pengalaman klien sekarang, para terapis eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan metodemetode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi tidak hanya dari klien yang satu kepada klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama. Buhler dan Allen, para ahli psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut: 1. Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi. 2. Menyadari peran dari tanggung jawab terapis. 3. Mengakui sifat timbal balik dari hubungan terapeutik. 4. Berorientasi pada pertumbuhan.

5. Menekankan keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi yang menyeluruh. 6. Mengakui bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak di tangan klien. 7. Memandang terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia bisa secara implicit menujukkan kepada klien potensi bagi tindakan kreatif dan positif. 8. Mengakui kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri. 9. Bekerja ke arah mengurangi kebergantungan klien serta

meningkatkan kebebasan klien.

Untuk contoh mengenai bagaimana seorang terapis yang berorientasi eksistensial bekerja dalam pertemuan terapi, bisa ditunjuk surat klien yang telah diungkapkan di muka. Jika klien mengungkapkan perasaan-perasaannya kepada terapis pada pertemuan terapi, maka terapis akan bertindak sebagai berikut: 1. Memberikan reaksi-reaksi pribadi dalam kaitan dengan apa yang dikatakan oleh klien. 2. Terlibat dalam sejumlah pernyataan pribadi yang relevan dan pantas tentang pengalaman-pengalaman yang mirip dengan yang dialami oleh klien. 3. Meminta kepada klien untuk mengungkapkan ketakutannya terhadap keharusan memilih dalam dunia yang tak pasti. 4. Menentang klien untuk melihat seluruh cara dia menghindari pembuatan putusan-putusan dan memberikan penilaian terhadap penghindaran itu.

5. Mendorong klien untuk memeriksa jalan hidupnya pada periode sejak memulai terapi dengan bertanya: Jika Anda bisa secara ajaib kembali kepada cara Anda ingat kepada diri Anda sendiri sebelum terapi, maukah Anda melakukannya sekarang? 6. Beri tahukan kepada klien bahwa ia sedang mempelajari apa yang dialaminya sesungguhnya adalah suatu sifat yang khas sebagai manusia: bahwa dia pada akhirnya sendirian, bahwa dia harus memutuskan untuk dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalami kecemasan atas ketidakpastian putusan-putusan yang dibuat, dan bahwa dia akan berjuang untuk menetapkan makna kehidupannya di dunia yang sering tampak tak bermakna.

Pengalaman Klien dalam Terapi


Dalam terapi eksistensial, klien mampu mengalami secara subjektif persepsi-persepsi tentang dunianya. Dia harus aktif dalam proses terapeutik, sebab dia harus memutuskan ketakutan-ketakutan, perasaan-perasaan berdosa, dan kecemasan-kecemasan apa yang akan dieksplorasinya. Memutuskan untuk menjalani terapi saja sering merupakan tindakan yang menakutkan, seperti ditunjukkan oleh catatan salah seorang klien yang tidak

diungkapkannya selama periode terapi. Rasakan kecemasan yang dialami oleh klien ketika dia memutuskan untuk meninggalkan keamanan dan memulai mencari dirinya sendiri. Dengan kata lain, klien dalam terapi eksistensial terlibat dalam pembukaan pintu menuju diri sendiri. Pengalaman sering menakutkan, atau menyenangkan, mendepresikan, atau gabungan dari semua perasaan tersebut. Dengan membuka pintu yang tertutup, klien mulai melonggarkan belenggu deterministic yang telah menyebabkan dia terpenjara secara psikologis. Lambat laun klien menjadi sadar, apa dia tadinya dan siapa dia sekarang, serta

klien lebih mampu menetapkan masa depan macam apa yang diinginkannya. Melalui proses terapi, klien bisa mengeksplorasi alternatif-alternatif guna membuat pandangan-pandangannya menjadi real.

Hubungan antara Terapis dan Klien


Hubungan terapeutik sangat penting bagi terapis eksistensial. Penekanan diletakkan pada pertemuan antarmanusia dan perjalanan bersama alih-alih pada teknik-teknik yang mempengaruhi klien. Isi pertemuan terapi adalah pengalaman klien sekarang, bukan masalah klien. Hubungan dengan orang lain dalam kehadiran yang otentik difokuskan kepada di sini dan sekarang. Masa lampau atau masa depan hanya penting bila waktunya berhubungan langsung. Dalam menulis tentang hubungan terapeutik, Sidney Jourard (1971) mengimbau agar terapis, melalui tingkah lakunya yang otentik dan terbuka, mengajak klien kepada keotentikan. Jourard meminta agar terapis membangun hubungan Aku-Kamu, di mana pembukaan diri terapis yang spontan menunjang pertumbuhan dan keotentikan klien. Sebagaimana dinyatakan oleh Jourard (1971, hlmn. 142-150), Manipulasi melahirkan kontramanipulasi. Pembukaan diri melahirkan pembukaan diri pula. Ia juga menekankan bahwa hubungan terapeutik bisa mengubah terapis sebagaimana ia mengubah klien. Hal itu berarti bahwa siapa yang menginginkan ada dan pertumbuhannya tidak berubah, tidak perlu menjadi terapis. Jourard adalah satu contoh yang baik tentang seorang terapis yang mengembangkan gaya diri yang berorientasi humanistik. Ia menunjukkan bahwa menjadi unik, otentik, dan menggunakan teknik-teknik yang beragam dalam kerangka humanistik adalah suatu hal yang mungkin. Terapis mengundang klien untuk tumbuh mencontoh tingkah laku yang otentik.

Terapis mampu menjadi jernih ketika kejernihan itu diperlukan dalam hubungan terapeutik, dan dengan kemanusiawiannya dia menstimulasi klien untuk mengetuk potensinya ke arah yang nyata (realness). Jourard (1971, hlmn. 146) menguraikan evolusinya sendiri sebagai seorang terapis dalam bukunya yang berjudul The Transparent Self. Jourard tetap berpendapat bahwa jika terapis menyembunyikan diri dalam pertemuan terapi, maka dia terlibat dalam tingkah laku tidak otentik yang sama dengan menimbulkan gejala-gejala pada diri klien. Menurut Jourard, cara untuk membantu klien agar menemukan dirinya yang sejati serta agar tidak menjadi asing dengan dirinya sendiri adalah, terapis secara spontan membukakan pengalaman otentiknya kepada klien pada saat yang tepat dalam pertemuan terapi. Hal ini bukan berarti bahwa terapis harus menghentikan penggunaan teknik-teknik, diagnosis-diagnosis, dan penilaian-penilaiannya, melainkan terapis harus sering menyatakan atau menyampaikan kepada klien bahwa dia tidak ingin mengungkapkan apa yang dipikirkan atau dirasakannya.

D. PENERAPAN:

TEKNIK-TEKNIK

DAN

PROSEDUR-

PROSEDUR TERAPEUTIK

Tidak seperti kebanyakan pendekatan terapi, pendekatan eksistensialhumanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur terapeutik bisa dipungut dari beberapa pendekatan terapi lainnya. Metode-metode yang berasal dari terapi Gestalt dan Analisis Transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam pendekatan eksistensial-

humanistik. Buku The Search for Authenticity (1965) dari Bugental adalah sebuah karya lengkap yang mengemukakan konsep-konsep dan prosedur-

prosedur psikoterapi eksistensial yang berlandaskan model psikoanalitik. Bugental menunjukkan bahwa konsep inti psikoanalisis tentang resistensi dan transferensi bisa diterapkan pada filsafat dan praktek terapi eksistensial. Ia menggunakan kerangka psikoanalitik untuk menerangkan fase kerja terapi yang berlandaskan konsep-konsep eksistensial seperti kesadaran, emansipasi dan kebebasan, kecemasan eksistensial, dan neurosis eksistensial. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang menempati kedudukan sentral dalam terapi adalah: seberapa besar saya menyadari siapa saya ini? Nisa menjadi apa saya ini? Bagaimana saya bisa memilih menciptakan kembali identitas diri saya yang sekarang? Seberapa besar kesanggupan saya untuk menerima kebebasan memilih jalan hidup saya sendiri? Bagaimana saya mengatasi kecemasan yang ditimbulkan oleh kesadaran atas pilihan-pilihan? Sejauh mana saya hidup dari dalam pusat diri saya sendiri? Apa yang saya lakukan untuk menemukan makna hidup ini? Apa saya menjalani hidup, ataukah saya hanya puas atas keberadaan saya? Apa yang saya lakukan untuk membentuk identitas pribadi yang saya inginkan? Pada pembahasan di bawah ini diungkap dalil-dalil yang mendasari praktek terapi eksistensial humanistik. Dalil-dalil ini, yang dikembangkan dari suatu survey atas karya-karya para penulis psikologi eksistensial, berasal dari Frankl (1959, 1963), May (1953, 1958, 1961), Maslow (1968), Jourard (1971), dan bugental (1965), merepresentasikan sejumlah tema yang penting yang merinci praktek-praktek terapi.

Tema-tema dan Dalil-dalil Utama Eksistensial: Penerapanpenerapan pada Praktek Terapi.


Dalil 1: Kesadaran Diri Kesadaran diri itu membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Manusia bisa tampil di luar diri dan berefleksi atas keberadaannya. Pada

hakikatnya, semakin tinggi kesadaran diri seseorang, maka ia semakin hisup sebagai pribadi atau, sebagaimana dinyatakan oleh Kierkegaard, Semakin tinggi kesadaran, maka semakin utuh diri seseorang. Tanggung jawab berlandaskan kesanggupan untuk sadar. Dengan kesadaran, seseorang bisa menjadi sadar atas tanggung jawabnya untuk memilih. Sebagaimana dinyatakan oleh May (1953), Manusia adalah makhluk yang bisa menyadari dan oleh karenanya, bertanggung jawab atas keberadaannya. Dengan demikian, meningkatkan kesadaran berarti meningkatkan kesanggupan seseorang untuk mengalami hidup secara penuh sebagai manusia. Pada inti keberadaan manusia, kesadaran membukakan kepada kita bahwa: 1. Kita adalah makhluk terbatas, dan kita tidak selamanya mampu mengaktualkan potensi-potensi. 2. Kita memiliki potensi mengambil atau tidak mengambil tindakan. 3. Kita memiliki suatu ukuran pilihan tentang tindakan-tindakan yang akan diambil, karena itu kita menciptakan sebagian dari nasib kita sendiri. 4. Kita pada dasarnya sendirian, tetapi memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain; kita menyadari bahwa kita terpisah, tetapi juga terkait dengan orang lain. 5. Makna adalah sesuatu yang tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan hasil dari pencarian kita dan dari penciptaan tujuan kita yang unik. 6. Kecemasan eksistensial adalah bagian hidup yang esensial sebab dengan meningkatnya kesadaran kita atas keharusan memilih, maka kita mengalami peningkatan tanggung jawab atas

konsekuensi-konsekuensi tindakan memilih 7. Kecemasan timbul dari penerimaan ketidakpastian masa depan

8. Kita

bisa

mengalami

kondisi-kondisi

kesepian,

ketidakbermaknaan, kekosongan, rasa berdosa, dan isolasi, sebab kesabaran adalah kesanggupan yang mendorong kita untuk mengenal kondisi-kondisi tersebut.

Kesadaran bisa dikonseptualkan dengan cara sebagai berikut: Umpamakan Anda berjalan di lorong yang kedua sisinya terdapat banyak pintu. Bayangkan bahwa Anda bisa membuka beberapa pintu, baik membuka sedikit ataupun membuka lebar-lebar. Barangkali, jika Anda membuka satu pintu, Anda tidak akan menyukai apa yang Anda temukan di dalamnya menakutkan atau menjijikkan-. Di lain pihak, Anda bisa menemukan sebuah ruangan yang dipenuhi oleh keindahan. Anda mungkin berdebat dengan diri sendiri, apakah akan membiarkan pintu itu tertutup atau terbuka. Kita bisa memilih meningkatkan kesadaran atau mengurangi pengenalan diri kita. Penulis menyaksikan pergulatan antara hasrat yang

bertentangan dalam hampir setiap pertemuan terapi. Karena kesadaran diri terdapat pada akar kebanyakan kesanggupan manusia yang lainnya, maka putusan untuk meningkatkan kesadaran diri adalah fundamental bagi pertumbuhan manusia. Dalam pengertian yang sesungguhnya, peningkatan kesadaran diri yang mencakup kesadaran atas alternatif-alternatif, motivasi-motivasi, faktorfaktor yang membentuk pribadi, dan atas tujuan-tujuan pribadi, adalah tujuan segenap konseling. Bagaimanapun, penulis tidak percaya bahwa tugas terapis adalah mencari orang-orang yang tidak sadar dan mengatakan kepada mereka bahwa mereka perlu meningkatkan kesadaran diri. Boleh jadi orang-orang tersebut merasa puas dan sedikit pun berminat pada pembangkitan kesadaran. Apabila seseorang memang datang untuk mendapat terapi, atau mencari pengalaman kelompok, atau meminta penyuluhan, maka persoalannya lain sekali.

Penulis juga percaya, adalah tugas terapis untuk menunjukkan kepada klien bahwa harus ada pengorbanan untuk peningkatan kesadaran diri. Dengan menjadi lebih sadar, klien akan lebih sulit untuk kembali ke rumah lagi. Kekurangtahuan atas kondisi diri bisa jadi memberikan kepuasan bersama perasaan mati sebagian. Akan tetapi, dengan membuka pintu ke dunia diri, maka orang itu dapat diharapkan akan berjuang lebih ulet serta memiliki kemampuan untuk mendapat lebih banyak pemenuhan. Dalil 2: Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia adalah makhluk yang menentukan diri, dalam arti bahwa dia memiliki kebebasan untuk memilih di antara alternatif-alternatif. Karena manusia pada dasarnya bebas, maka dia harus bertanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasibnya sendiri. Pendekatan eksistensial meletakkan kebebasan, determinasi diri, keinginan, dan putusan pada pusat keberadaan manusia. Jika kesadaran dan kebebasan dihapus dari manusia, maka dia tidak lagi hadir sebagai manusia, sebab kesanggupan-kesanggupan itulah yang memberinya kemanusiaan. Pandangan eksistensial adalah bahwa individu, dengan putusan-putusannya, membentuk nasib dan mengukir keberadaannya sendiri. Seseorang menjadi apa yang diputuskannya, dan dia harus bertanggung jawab atas jalan hidup yang ditempuhnya. Kebebasan adalah kesanggupan untuk meletakkan perkembangan di tangan sendiri dan untuk memilih di antara alternatif-alternatif. Tentu saja, kebebasan memiliki batas-batas, dan pilihan-pilihan dibatasi oleh faktorfaktor luar. Akan tetapi, kita memang memiliki unsur memilih. Viktor Frankl tak putus-putusnya menekankan kebebasan dan tanggung jawab manusia. Seperti dinyatakan oleh Frankl (1959, hlm. 122), Hidup terutama berarti memikul tanggung jawab untuk menemukan jawaban yang tepat bagi

masalah-masalahnya dan untuk menunaikan tugas-tugas yang terus-menerus diberikannya kepada masing-masing individu. Barangkali soal utama dalam konseling dan psikoterapi adalah kebebasan dan tanggung jawab. Tema eksistensial inti adalah bahwa kita menciptakan diri. Dengan pengambilan pilihan-pilihan, kita menjadi arsitek masa kini dan masa depan kita sendiri. Para eksistensialis tidak melihat dasar bagi konseling dan psikoterapi tanpa pengakuan atas kebebasan dan tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing individu. Tugas terapis adalah membantu kliennya dalam menemukan cara-cara klien sama sekali menghindari penerimaan kebebasannya, dan mendorong klien untuk belajar menanggung risiko atas keyakinannya terhadap akibat penggunaan

kebebasannya. Yang jangan dilakukan adalah melumpuhkan klien dan membuatnya bergantung secara neurotic pada terapis. Terapis perlu mengajari klien bahwa dia bisa mulai membuat pilihan meskipun klien boleh jadi telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melarikan diri dari kebebasan memilih. Dalil 3: Keterpusatan dan Kebutuhan akan Orang Lain Setiap individu memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan dan keterpusatannya, tetapi pada saat yang sama ia memiliki kebutuhan untuk keluar dari dirinya sendiri dan untuk berhubungan dengan orang lain serta dengan alam. Kegagalan dalam berhubungan dengan orang lain dan dengan alam menyebabkan ia kesepian, mengalami alienasi, keterasingan, dan depersonalisasi. Keberanian untuk ada Usaha menemukan inti dan belajar bagaimana hidup dari dalam memerlukan keberanian. Kita berjuang untuk menemukan, untuk menciptakan, dan untuk memelihara inti dari ada kita. Salah satu ketakutan terbesar dari para klien

bahwa mereka akan tidak menemukan inti, diri, dan substansi, dan menemukan kenyataan bahwa mereka hanyalah refleksi-refleksi pengharapan orang lain atas diri mereka. Seorang klien mungkin mengatakan, Ketakutan saya adalah menemukan kenyataan bahwa saya bukan siapa-siapa, bahwa benar-benar tidak ada suatu apapun bagi saya, dan bahwa saya tidak memiliki diri. Saya akan menemukan bahwa saya adalah kerang yang kosong, hampa, dan tidak ada lagi yang eksis jika saya menanggalkan topeng saya. Para terapis eksistensial bisa memulai dengan meminta kepada para kliennya untuk mengakui perasaannya sendiri bahwa mereka tidak lebih dari sejumlah pengharapan orang lain, dan bahwa mereka hanyalah introyekintroyek dari orang tua dan orang tua pengganti. Kesulitan yang dialami oleh banyak orang di antara kita adalah pencarian arah, jawaban-jawaban, nilainilai dan keyakinan-keyakinan dari orang lain yang dianggap penting di lingkungan kita. Kita lebih suka menjual diri dengan menjadi apa yang diharapkan oleh orang lain daripada menaruh kepercayaan pada diri sendiri untuk menemukan jawaban-jawaban bagi konflik-konflik dalam kehidupan kita. Ada kita menjadi berakar pada ada ornag lain, dan kita menjadi orang asing bagi diri kita sendiri. Kebutuhan akan diri berkaitan dengan kebutuhan untuk menjalani hubungan yang bermakna dengan orang lain. Jika kita hidup dalam isolasi dan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan orang lain, maka kita mengalami perasaan terabaikan, terasingkan, dan terkucilkan. Salah satu fungsi terapi adalah membantu klien untuk membedakan kebergantungan yang neurotik kepada orang lain dan hubungan terapeutik di mana hubungan kedua belah pihak ditingkatkan. Terapis bisa memberikan tantangan pada para klien untuk memeriksa apa yang diperoleh dari hubungan mereka, bagaimana mereka menghindari hubungan yang akrab, bagaimana mereka mencegah hubungan

yang setara, dan cara-cara yang memungkinkan mereka menciptakan hubungan manusiawi yang terapeutik, sehat, dan matang. Pengalaman kesendirian Para eksistensialis berdalil bahwa bagian dari kondisi manusia adalah pengalaman kesendirian. Bagaimana, kita bisa memperoleh kekuatan dari pengalaman melihat kepada diri sendiri dan dari merasakan kesendirian dan keterpisahan. Rasa terisolasi muncul ketika kita menyadari bahwa kita tidak bisa bergantung pada orang lain dalam mengukuhkan diri, yakni kita sendirilah yang harus memberikan makna kepada hidup kita, kita sendiri yang harus menetapkan bagaimana kita akan hidup, kita sendiri yang harus menemukan jawaban-jawaban, dan kita sendiri yang harus memutuskan apakah kita akan menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu. Jika kita tidak sanggup menoleransi diri ketika kita mengalami kesendirian, bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain bisa diperkaya oleh kehadiran kita. Sebelum kita bisa memiliki jalinan hubungan yang kuat dengan orang lain, kita terlebih dahulu harus memiliki jalinan hubungan dengan diri kita sendiri. Kita harus belajar mendengarkan diri kita sendiri. Kita terlebih dahulu harus mampu berdiri tegak sendirian sebelum berdiri di samping orang lain. Kita mengalami kesendirian eksistensial ketika kita mengakui dan menerima bahwa kita memikul tanggung jawab atas pilihan-pilihan kita berikut hasil-hasilnya, bahwa komunikasi total dari individu yang satu dengan individu yang lainnya tidak pernah bisa dicapai, bahwa kita adalah individuindividu yang terpisah dari orang lain, dan bahwa kita adalah unik. Pengalaman keterhubungan Kita adalah makhluk yang relasional, dalam arti bahwa kita bergantung pada hubungan dengan orang lain untuk kemanusiaan kita. Kita memiliki

kebutuhan untuk menjadi orang yang berarti dalam dunia orang lain, dan kita butuh akan perasaan bahwa kehadiran orang lain penting dalam dunia kita. Apabila kita memperbolehkan orang lain memiliki arti dalam dunia kita, maka kita mengalami keterhubungan yang bermakna. Apabila kita mampu tegak sendiri dan menyelam ke dalam diri sendiri untuk memperoleh kekuatan, maka hubungan kita dengan orang lain berlandaskan pemenuhan, bukan deprivasi. Bagaimanapun, jika kita secara pribadi merasa mengalami deprivasi, maka hanya sedikit yang diharapkan dari hubungan kita dengan orang lain kecuali hubungan bergantung, parasitik, dan simbiotik. Dalil 4: Pencarian Makna Salah satu karakteristik yang khas pada manusia adalah perjuangannya untuk merasakan arti dan maksud hidup. Manusia pada dasaranya selalu dalam pencarian makna dan identitas pribadi. Terapi eksistensial bisa menyediakan kerangka konseptual untuk membantu klien dalam usahanya mencari makna hidup. Pertanyaanpertanyaan yang bisa diajukan oleh terapis kepada kliennya adalah: Apakah Anda menyukai arah hidup Anda? Apakah Anda puas atas apa Anda sekarang dan akan menjadi apa Anda? Apakah Anda aktif melakukan sesuatu yang akan mendekatkan Anda pada ideal-diri Anda? Apakah Anda mengetahui apa yang Anda inginkan? Jika Anda bingung mengenai siapa Anda dan apa yang Anda inginkan, apa yang Anda lakukan untuk memperoleh kejelasan?

Masalah penyisihan nilai-nilai lama Salah satu masalah dalam terapi adalah penyisihan nilai-nilai tradisional (dan nilai-nilai yang dialihkan kepada seseorang) tanpa disertai penemuan nilainilai lain yang sesuai untuk menggantikannya. Apa yang dilakukan oleh terapis jika menghadapi klien tidak lagi berpegang pada nilai-nilai yang tidak pernah sungguh-sungguh ditantang atau diinternalkan, dank lien tersebut

sekarang mengalami keadaan hampa? Klien membutuhkan petunjuk-petunjuk dan nilai-nilai baru yang cocok dengan faset-faset yang ditemuinya. Tugas terapis dalam proses terapeutik adalah membantu klien dalam menciptakan suatu sistem nilai berlandaskan cara hidup yang konsisten dengan cara adanya klien. Terapis harus menaruh kepercayaan terhadap kesanggupan klien dalam menemukan sistem nilai yang bersumber pada dirinya sendiri dan yang memungkinkan hidupnya bermakna. Klien tidak diragukan lagi akan bingung dan mengalami kecemasan sebagai akibat tidak adanya nilai-nilai yang jelas. Kepercayaan terapis terhadap klien adalah variable yang penting dalam mengajari klien agar mempercayai kesanggupannya sendiri dalam

menemukan sumber nilai-nilai baru dari dalam dirinya. Belajar untuk menemukan makna dalam hidup Logoterapi, yang dikembangkan oleh Viktor Frankl, dirancang untuk membantu individu dalam menemukan makna dalam hidupnya. Menurut Frankl (1959), pencarian makna dalam hidup adalah salah satu cirri manusia. Keinginan kepada makna adalah perjuangan utama manusia. Hidup tidak memiliki makna dengan sendirinya. Manusialah yang harus menciptakan dan menemukan makna hidup itu. Dalam pandangan para eksistensialis, tugas utama konselor adalah mengeksplorasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketakberdayaan, keputusasaan, ketakbermaknaan, dan kekosongan eksistensial. Sebenarnya, sejumlah eksistensialis menyatakan bahwa dari ketidakbermaknaan dan dunia yang absurd kita bisa menemukan sumber kreativitas. Absurditas dan ketakbermaknaan hidup membiarkan kita menciptakan makna di dunia ini. Tugas proses terapeutik adalah menghadapi masalah ketidakbermaknaan dan membantu klien dalam membuat makna dari dunia yang kacau.

Pandangan eksistensial tentang psikopatologi Para terapis eksistensial memandang neurosis sebagai kehilangan rasa ada, yang membawa serta pembatasan kesadaran dan penutupan

kemungkinan-kemungkinan yang merupakan manifestasi-manifestasi dari ada. Mereka juga menyebut frustasi eksistensial atau kehampaan eksistensial sebagai akibat kegagalan ketika mencari makna dalam hidup. Ketidakbermaknaan mengakibatkan kekosongan dan kehampaan. Pria dan wanita dihantui oleh kekosongan dalam hidup mereka. Oleh karenya, mereka menarik diri dari perjuangan mengembangkan dan mengaktualkan potensipotensi mereka yang unik. Kesehatan psikologis adalah pemanfaatan segenap potensi.

Sebaliknya, ketidakmampuan menggunakan potensi-potensi itu menyebabkan sakit. Patologi, yang dipandang sebagai sesuatu yang dipelajari, adalah akibat frustasi batin atau kegagalan untuk menjadi yang sesuai dengan

kemampuannya. Dalil 5: Kecemasan sebagai syarat hidup Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar manusia. Kecemasan tidak perlu merupakan sesuatu patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivational yang kuat untuk pertumbuhan. Kecemasan adalah akibat dan kesadaran atas tanggung jawab untuk memilih. Kecemasan sebagai sumber pertumbuhan Sebagai karakteristik manusia yang mendasar, kecemasan adalah reaksi terhadap ancaman. Kecemasan menyerang inti keberadaan. Kecemasan adalah apa yang dirasakan ketika keberadaan diri terancam.

Kecemasan bisa menjadi perangsang bagi pertumbuhan, dalam arti bahwa kita mengalami kecemasan dengan meningkatnya kesadaran kita atas kebebasan dan atas konsekuensi-konsekuensi dari penerimaan ataupun penolakan kebebasan kita itu. Sebenarnya, apabila kita membuat suatu putusan yang melibatkan rekonstruksi hidup kita, kecemasan yang menyertai pembuatan putusan itu bisa menjadi tanda bahwa kita memang telah siap untuk mengalami perubahan pribadi. Tanda itu konstruktif, sebab ia memberitahu kita bahwa tidak semua hal berjalan baik. Jika kita bisa menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam kecemasan, maka kita akan berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mengubah arah hidup kita. Pelarian dari kecemasan Seperti kita ketahui, kecemasan adalah produk sampingan dari perubahan. Bentuk kecemasan yang konstruktif (kecemasan eksistensial) adalah fungsi dari penerimaan kita atas kesendirian dan meskipun kita bisa menemukan hubungan yang bermakna dengan ornag lain, kita pada dasarnya tetap sendirian. Kecemasan eksistensial juga muncul dari perasaan bersalah yang dialami apabila kita gagal mengaktualkan potensi-potensi kita. Implikasi-implikasi konseling bagi kecemasan Kecemasan adalah bahan bagi konseling yang produktif, baik konseling individual maupun konseling kelompok. Jika klien tidak mengalami kecemasan, maka motivasinya untuk berubah akan rendah. Kecemasan dapat ditransformasikan ke dalam energi yang yang dibutuhkan untuk bertahan menghadapi resiko bereksperimen dengan tingkah laku baru. Oleh karena itu, terapis yang berorientasi esksistensial bisa membantu klien untuk menyadari bahwa belajar menoleransi keberdwiartian dan ketidaktentuan serta belajar bagaimana hidup tanpa sandaran dapat merupakan fase yang penting dalam

perjalanan dari hidup bergantung kepada menjadi pribadi yang lebih otonom. Terapis dank lien bisa mengeksplorasi kemungkinan bahwa, meskipun keluar dari pola-pola yang melumpuhkan dan pembangunan gaya hidup baru bisa menghasilkan kecemasan untuk sementara, karena klien lebih merasa puas dengan cara-cara yang lebih baru dalam mengada, kecemasan dakan berkurang. Karena klien mulai dapat mempercayai diri, maka kecemasan sebagai akibat dugaan akan datangnya bencana menjadi berkurang. Dalil 6: Kesadaran atas Kematian dan Non-Ada

Kesadaran atas kematian adalah kondisi manusia yang mendasar yang memberikan makna kepada hidup. Para eksistensialis tidak memandang kematian secara negatif. Menurut mereka, karakteristik yang khas pada manusia adalah kemampuannya untuk memahami konsep masa depan dan tak bisa dihindarkannya kematian. Justru kesadaran atas akan terjadinya ketiadaan memberikan makna kepada keberadaan, sebab hal itu menjadikan setiap tindakan manusia itu berarti. Implikasi-implikasi konseling Satu teknik kelompok yang telah terbukti berguna adalah meminta kepada kelompok orang (klien) untuk mengkhayalkan diri mereka berada dalam ruangan yang sama dengan orang-orang yang sama sepuluh tahun yang akan datang. Penulis meminta kepada mereka untuk membayangkan bahwa mereka tidak mengikuti putusan-putusan yang telah mereka buat dan bahwa mereka gagal menerima peluang untuk mengubah diri dengan cara-cara yang sangat diinginkan. Mereka juga diminta membayangkan bahwa mereka tidak menghadapi bagian-bagian diri yang ditakuti, bahwa urusan mereka tak selesai tetap tidak terselesaikan, bahwa mereka tidak menggarap proyekproyek mereka, dan bahwa mereka memilih untuk tetap seperti sekarang alih-

alih mengambil resiko untuk berubah. Kemudian penulis meminta kepada mereka untuk berbicara tentang kehidupan mereka seakan-akan mereka tahu bahwa diri mereka sedang mendekati ajal. Praktek ini bisa memobilisasi para klien untuk memandang waktu yang mereka miliki secara serius dan ia bisa mencegah mereka menerima kemungkinan bahwa mereka bsia menerima keberadaan seperti zombie alih-alih kehidupan yang lebih sempurna. Dalil 7: Perjuangan untuk Aktualisasi Diri

Manusia berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk menjadi apa saja yang mereka mampu. Setiap orang memiliki dorongan bawaan untuk menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki kecenderungan ke arah pengembangan keunikan dan ketunggalan, penemuan identitas pribadi, dan perjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara penuh. Jika seseorang mampu mengaktualkan potensi-potensinya sebagai pribadi, maka dia akan mengalami kepuasan yang paling dalam yang bisa dicapai oleh manusia, sebab demikianlah alam mengharapkan mereka berbuat. Dalam upaya menciptakan psikologi humanistic yang berfokus pada bisa menjadi apa yang seseorang, Maslow merancang suatu studi yang menggunakan subjek-subjek yang terdiri dari orang-orang yang

mengaktualkan diri. Beberapa ciri yang ditemukan oleh Maslow (1968, 1970) pada orang-orang yang mengaktualkan diri itu adalah: kesanggupan menoleransi dan bahkan menyambut ketidaktentuan dalam hidup mereka, penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain, kespontanan dan kreativitas, kebutuhan akan privacy dan kesendiriam, otonomi, kesanggupan menjalin hubungan interpersonal yang mendalam dan intens, perhatian yang tulus terhadap orang lain, rasa humor, keterarahan kepada diri sendiri (kebalikan dari kecenderungan untuk hidup berdasarkan pengharapan orang lain), dan

tidak adanya dikotomi-dikotomi yang artificial (seperti kerja-bermain, cintabenci, lemah-kuat). Dalil Maslow tentang aktualisasi diri memiliki implikasi-implikasi yang jelas bagi praktek psikologi konseling, sebab tendensi kea rah pertumbuhan adan aktualisasi merangkum kekuatan utama yang

menggerakkan proses terapeutik. Menurut kodratnya, manusia memiliki dorongan yang kuat ke arah aktualisasi diri dan ingin mencapai lebih dari sekedar keberadaan yang aman tetapi statis. Kecenderungan dasarnya adalah mencapai potensinya yang tertinggi sekalipun harus berhadapan dengan masalah-masalah internal dan penolakan-penolakan eksternal.

You might also like