You are on page 1of 0

K U L I A H

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Kelompok studi neuro-developmental Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya

Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso

TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mengikuti kuliah ini, para peserta PKB IKA XXXVI FK Unair/RSU Dr.
Soetomo Surabaya diharapkan dapat:
Tujuan Istruksional Umum (TIU)
1. Memahami definisi dan epidemiologi cerebral palsy
2. Memahami patogenesis cerebral palsy
3. Memahami cara menegakkan diagnosis dan diagnosis banding cerebral palsy
4. Memahami tatalaksana cerebral palsy
5. Memahami pencegahan dan prognosis cerebral palsy
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
1. Menjelaskan pengertian dan jenis cerebral palsy
2. Menjelaskan distribusi usia dan jenis kelamin penderita cerebral palsy
3. Menjelaskan patogenesis cerebral palsy
4. Menjelaskan keluhan dan gejala penting cerebral palsy
5. Menjelaskan kelainan pemeriksaan laboratorium
6. Menyebutkan factor resiko terjadinya cerebral palsy
7. Melakukan anamnesis cerebral palsy dengan baik dan benar
8. Menyebutkan kelainan-kelainan jasmani penderitra cerebral palsy
9. Menyeburkan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang
10. Membedakan cerebral palsy dengan penyakit lain
11. Menyebutkan tatalaksana cerebral palsy
12. Menyebutkan penyulit cerebral palsy dan penanganannya
13. Menentukan waktu yang tepat untuk merujuk penderita cerebral palsy
14. Menyebutkan cara pencegahan cacat lebih lanjut
15. Menyebutkan tingkat penjalanan penyakit cerebral palsy
16. Menyebutkan usaha-usaha pencegahan terjadinya cerebral palsy

ABSTRACT
Cerebral palsy is a non-specific, descriptive term pertaining to disordered motor function,
non-progressively that is evident in early infancy and is characterized by changes in
muscle tone-usually spasticity, involuntary movement, ataxia, or a combination. In many
children, underlying causes of cerebral palsy remain unidentified, but the several causes of
cerebral palsy that have been identified through research are preventable or treatable.
Cerebral palsy cannot be cured, but treatment can often improve a childs capabilities.
Treatment programs must be individualized. Any treatment approach should be based on
the functional abnormality and will be modified over time. Life expectancy of patients with
cerebral palsy is related to the type of involvement and profundity of motor disability

Keywords : cerebral palsy, diagnosis, perkembangan tata - laksana


Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
1. PENDAHULUAN
Pada tahun 1860, seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William Little
pertama kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu membingungkan yang
menyerang anak-anak pada usia tahun pertama, yang menyebabkan kekakuan otot tungkai
dan lengan. Anak-anak tersebut mengalami kesulitan memegang obyek, merangkak dan
berjalan. Penderita tersebut tidak bertambah membaik dengan bertambahnya usia tetapi
juga tidak bertambah memburuk. Kondisi tersebut disebut littles disease selama beberapa
tahun, yang saat ini dikenal sebagai spastic diplegia. Penyakit ini merupakan salah satu dari
penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan dan digolongkan dalam
terminologi cerebral palsy atau umunya disingkat CP.
Sebagian besar penderita tersebut lahir premature atau mengalami komplikasi saat
persalinan dan Little menyatakan kondisi tersebut merupakan hasil dari kekurangan
oksigen selama kelahiran. Kekurangan oksigen tersebut merusak jaringan otak yang sensitif
yang mengendalikan fungsi pergerakan. Tetapi pada tahun 1897, psikiatri terkenal Sigmund
Freud tidak sependapat. Dalam penelitiannya, banyak dijumpai pada anak-anak CP
mempunyai masalah lain misalnya retardasi mental, gangguan visual dan kejang, Freud
menyatakan bahwa penyakit tersebut mungkin sudah terjadi pada awal kehidupan, selama
perkembangan otak janin. Kesulitan persalinan hanya merupakan satu keadaan yang
menimbulkan efek yang lebih buruk dimana sangat mempengaruhi perkembangan fetus.
Disamping pengamatan oleh Freud, keyakinan yang menyatakan bahwa komplikasi
persalinan menyebabkan banyak kasus CP tersebar luas diantara dokter, keluarga dan
tenaga riset medis. Ditahun 1980, dianalisis data penelitian pemerintah pada >35.000
persalinan dan hasilnya sangat mengejutkan dengan ditemukan kasus komplikasi hanya
<10%. Sebagian besar kasus CP sering dijumpai kasus tanpa faktor resiko. Penemuan dari
NINDS tersebut dapat mengubah teori medis mengenai CP dan sangat memotivasi peneliti
masa kini untuk mencari lebih lanjut penyebab lain dari CP.
Pada saat yang sama, penelitian biomedis juga telah memulai penelitian untuk lebih
memahami perubahan pemahaman secara bermakna dalam diagnosis dan penanganan
penderita CP. Faktor resiko yang sebelumnya tidak diketahui mulai dapat diidentifikasi,
khususnya paparan intrauterine terhadap infeksi dan penyakit koagulasi, dll. Identifikasi
dini CP pada bayi akan memberikan kesempatan pada penderita untuk mendapat
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
penanganan optimal dalam upaya memperbaiki kecacatan sensoris dan mencegah
timbulnya kontraktur. Riset biomedis berhasil dalam memperbaiki teknik diagnostik
misalnya imaging cerebral canggih dan analisis gait modern. Kondisi tertentu yang sudah
diketahui menyebabkan CP, misalnya rubella dan ikterus, pada saat ini sudah dapat diterapi
dan dicegah. Terapi fisik, psikologis dan perilaku yang optimal dengan metode khusus
misalnya gerakan, bicara membantu kematangan sosial dan emosional sangat penting untuk
mencapai kesuksesan. Terapi medikasi, pembedahan dan pemasangan braces banyak
membatu dalam hal perbaikan koordinasi saraf dan otot, sebagai terapi penyakit yang
berhubungan dengan CP, disamping mencegah atau mengoreksi deformitas.

1.1. DEFINISI CEREBRAL PASLY
Cerebral palsi (CP) adalah terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan
kelompok penyakit kronik yang mengenai pusat pengendalian pergerakan dengan
manifestasi klinis yang tampak pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum
tidak akan bertambah memburuk pada usia selanjutnya. Istilah cerebral ditujukan pada
kedua belahan otak, atau hemisphere, dan palsi mendeskrispsikan bermacam penyakit yang
mengenai pusat pengendalian pergerakan tubuh. Jadi, penyakit tersebut tidak disebabkan
oleh masalah pada otot atau jaringan saraf tepi, melainkan, terjadi perkembangan yang
salah atau kerusakan pada area motorik otak yang akan mengganggu kemampuan otak
untuk mengontrol pergerakan dan postur secara adekwat.
Gejala CP tampak sebagai spektrum yang menggambarkan variasi beratnya
penyakit. Seseorang dengan CP dapat menampakkan gejala kesulitan dalam hal motorik
halus, misalnya menulis atau menggunakan gunting; masalah keseimbangan dan berjalan;
atau mengenai gerakan involunter, misalnya tidak dapat mengontrol gerakan menulis atau
selalu mengeluarkan air liur. Gejala dapat berbeda pada setiap penderita, dan dapat berubah
pada seorang penderita. Sebagian penderita CP sering juga menderita penyakit lain,
termasuk kejang atau gangguan mental. Penderita CP derajat berat akan mengakibatkan
tidak dapat berjalan dan membutuhkan perawatan yang ekstensif dan jangka panjang,
sedangkan CP derajat ringan mungkin hanya sedikit canggung dalam gerakan dan
membutuhkan bantuan yang tidak khusus. CP bukan penyakit menular atau bersifat
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
herediter. Hingga saat ini, CP tidak dapat dipulihkan, walau penelitian ilmiah berlanjut
untuk menemukan terapi yang lebih baik dan metode pencegahannya.

1.2. ANGKA KEJADIAN CEREBRAL PALSY
Asosiasi CP dunia memperkirakan >500.000 penderita CP di Amerika. Disamping
peningkatan dalam prevensi dan terapi penyakit penyebab CP, jumlah anak-anak dan
dewasa yang terkena CP tampaknya masih tidak banyak berubah atau mungkin lebih
meningkat sedikit selama 30 tahun terakhir. Hal tersebut sebagian mungkin karena banyak
bayi prematur yang mengalami masa kritis dan bayi-bayi lemah banyak yang berhasil
diselamatkan dengan kemajuan di bidang kegawatdaruratan neonatologi. Yang patut
disayangkan, banyak dari bayi-bayi tersebut mengalami masalah perkembangan sistem
saraf atau menderita kerusakan neurologis. Penelitian banyak dilakukan untuk
memperbaiki keadaan tersebut terutama pada bayi-bayi yang mengalami masalah
pernafasan dan penggunaan terapi medikasi untuk mencegah perdarahan pada otak sebelum
atau segera setelah lahir. Angka kejadian CP berkisar 1,2-2,5 anak per 1000 anak usia
sekolah dini. Satu penelitian menunjukkan prevalensi CP kongenital derajat sedang sampai
berat mencapai 1,2 per 1000 anak usia 3 tahun (Grether et al, 1992). Angka harapan hidup
penderita CP tergantung dari tipe CP dan beratnya kecacatan motorik (Plioplys et al 1998).
Penelitian di negara yang sudah berkembang menunjukkan bahwa prevalensi CP tidak
menurun pada setiap kelompok berat lahir. Dengan meningkatnya bayi BBLR yang dapat
diselamatkan, dimana merupakan faktor resiko CP (OShea et al 1998)

1.2. KLASIFIKASI KLINIS CEREBRAL PALSY
CP dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan tanda klinis neurologis. Spastik
diplegia, untuk pertama kali di deskripsikan oleh dr.Little (1860), merupakan salah satu
bentuk penyakit yang dikenal selanjutnya sebagai CP. Hingga saat ini, CP diklasifikasikan
berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan dibagi dalam 4 kategori, yaitu:
1. CP Spastik
Merupakan bentukan CP terbanyak (70-80%), otot mengalami kekakuan dan secara
permanen akan menjadi kontraktur. Jika kedua tungkai mengalami spastisitas, pada
saat seseorang berjalan, kedua tungkai tampak bergerak kaku dan lurus. Gambaran
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
klinis ini membentuk karakteristik berupa ritme berjalan yang dikenal dengan gait
gunting (scissors gait) (Bryers, 1941).
Anak dengan spastik hemiplegia dapat disertai tremor hemiparesis, dimana
seseorang tidak dapat mengendalikan gerakan pada tungkai pada satu sisi tubuh.
Jika tremor memberat, akan terjadi gangguan gerakan berat.
CP spastik dibagi berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena, yaitu
a. Monoplegi
Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan

b. Diplegia
Keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat daripada kedua
lengan

c. Triplegia
Bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah mengenai kedua
lengan dan 1 kaki
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso

d. Quadriplegia
Keempat ekstremitas terkena dengan derajad yang sama

e. Hemiplegia
Mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena lebih berat


2. CP Atetoid/diskinetik
Bentuk CP ini mempunyai karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan
perlahan. Gerakan abnormal ini mengenai tangan, kaki, lengan, atau tungkai dan
pada sebagian besar kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan anak tampak
menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat selama
periode peningkatan stres dan hilang pada saat tidur. Penderita juga mengalami
masalah koordinasi gerakan otot bicara (disartria). CP atetoid terjadi pada 10-20%
penderita CP

Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
3. CP Ataksid
Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi dalam. Penderita yang
terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk; berjalan tidak stabil dengan
gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling
berjauhan; kesulitan dalam melakukan gerakan cepat dan tepat, misalnya menulis
atau mengancingkan baju. Mereka juga sering mengalami tremor, dimulai dengan
gerakan volunter misalnya mengambil buku, menyebabkan gerakan seperti
menggigil pada bagian tubuh yang baru digunakan dan tampak memburuk sama
dengan saat penderita akan menuju obyek yang dikehendaki. Bentuk ataksid ini
mengenai 5-10% penderita CP (Clement et al, 1984).

4. CP campuran
Sering ditemukan pada seorang penderita mempunyai lebih dari satu bentuk CP
yang dijabarkan diatas. Bentuk campuran yang sering dijumpai adalah spastik dan
gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin dijumpai.

CP juga dapat diklasifikasikan berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit dan
kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas normal (Tabel 1.)
Tabel 1. Klasifikasi CP berdasarkan Derajat Penyakit
Klasifikasi Perkembangan Morik Gejala Penyakit Penyerta
Minimal Normal, hanya
terganggu secara
kualitatif

Kelainan tonus sementara
Refleks primitif menetap terlalu
lama
Kelainan postur ringan
Gangguan gerak motorik kasar
& halus, misalnya clumpsy

Gangguan komunikasi
Gangguan belajar
spesifik
Ringan Berjalan umur 24 bulan Beberapa kelainan pada
pemeriksan neurologis
Perkembangan refleks primitif
abnormal
Respon postular terganggu
Gangguan motorik, misalnya
tremor
Gangguan koordinasi


Sedang Berjalan umur 3 tahun,
kadang memerlukan
bracing
Tidak perlu alat khusus
Berbagai kelainan neurologis
Refleks primitif menetap dan
kuat
Respon postural terlambat

Retardasi mental
Gangguan belajar dan
komunikasi
Kejang
Berat Tidak bisa berjalan,
atau berjalan dengan
Gejala neurologis dominan
Refleks primitif menetap

Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
alat bantu
Kadang perlu operasi
Respon postural tidak muncul
Dikutip dari Buku ajar neurologi anak IDAI 1999, hal 116


Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
1.3. PENYAKIT LAIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN CEREBRAL PALSY
Banyak penderita CP juga menderita penyakit lain. Kelainan yang mempengaruhi
otak dan menyebabkan gangguan fungsi motorik dapat menyebabkan kejang dan
mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang, atensi terhadap dunia luar, aktivitas
dan perilaku, dan pengelihatan dan pendengaran (Benda et al, 1986). Penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan CP adalah :
1. Gangguan Mental.
Sepertiga anak CP memiliki gangguan intelektual ringan, sepertiga dengan
gangguan sedang hingga berat dan sepertiga lainnya normal. Gangguan mental
sering dijumpai pada anak dengan klinis spastik quadriplegia.
2. Kejang atau Epilepsi.
Setengah dari seluruh anak CP menderita kejang. Selama kejang, aktivitas elektrik
dengan pola normal dan teratur diotak mengalami gangguan karena letupan listrik
yang tidak terkontrol. Pada penderita CP dan epilepsi, gangguan tersebut akan
tersebar keseluruh otak dan menyebabkan gejala pada seluruh tubuh, seperti kejang
tonik-klonik atau mungkin hanya pada satu bagian otak dan menyebabkan gejala
kejang parsial. Kejang tonik-klonik secara umum menyebabkan penderita menjerit
dan diikuti dengan hilangnya kesadaran, twitching kedua tungkai dan lengan,
gerakan tubuh konvulsi dan hilangnya kontrol kandung kemih. Kejang parsial
diklasifikasikan menjadi simpleks atau kompleks. Pada tipe simpleks, penderita
menunjukkan gejala yang terlokalisir misalnya kejang otot, gerakan mengunyah,
mati rasa atau rasa gatal. Pada tipe kompleks, penderita dapat mengalami
halusinasi, berjalan sempoyongan, gerakan otomatisasi dan tanpa tujuan, atau
mengalami gangguan kesadaran atau mengalami kebingungan.
3. Gangguan Pertumbuhan.
Sindroma gagal tumbuh sering terjadi pada CP derajat sedang hingga berat,
terutama tipe quadriparesis. Gagal tumbuh secara umum adalah istilah untuk
mendeskripsikan anak-anak yang terhambat pertumbuhan dan perkembangannya
walaupun cukup mendapat asupan makanan. Pada bayi-bayi, terhambatnya laju
pertumbuhan terlihat dari kenaikan berat badan yang sangat kecil; pada anak kecil,
dapat tampak terlalu pendek; pada remaja, tampak sebagai kombinasi antara terlalu
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
pendek dan tidak tampak tanda maturasi seksual. Gagal tumbuh dapat disebabkan
beberapa sebab, termasuk nutrisi yang buruk dan kerusakan otak yang berfungsi
untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan. Sebagai tambahan, otot tungkai
yang mengalami spastisitas mempunyai kecenderungan lebih kecil dibanding
normal. Hal tersebut tampak nyata pada sebagian besar penderita dengan spastik
hemiplegia, karena tungkai pada sisi yang sakit tidak dapat tumbuh secepat sisi
yang normal. Kondisi tersebut juga mengenai tangan dan kaki karena gangguan
penggunaan otot tungkai (disuse atrophy).
4. Gangguan Penglihatan dan Pendengaran.
Banyak anak CP menderita strabismus, dimana mata tidak tampak segaris karena
ada perbedaan pada otot mata kanan dan kiri. Pada perkembangannya, hal ini akan
menimbulkan gejala pengelihatan ganda. Jika tidak segera dikoreksi akan
menimbulkan gangguan pengelihatan berat pada satu mata dan sebenarnya dapat
diintervensi dengan kemampuan visus tertentu, misalnya membatasi jarak pandang.
Pada beberapa kasus, terapi bedah direkomendasikan untuk koreksi strabismus.
Anak dengan hemiparesis dapat mengalami hemianopia, dimana terjadi kecacatan
visus atau kebutaan yang mengenai lapangan pandang normal pada satu sisi.
Sebagai contoh, jika hemianopia mengenai mata kanan, dengan melihat lurus ke
depan akan mempunyai visus terbaik kecuali untuk melihat kanan jarak jauh. Pada
hemianopia homonymous , kelainan akan mengenai sisi yang sama dari lapang
pandang dari kedua mata. Gangguan pendengaran juga sering dijumpai diantara
penderita CP dibanding pada populasi umum.
5. Sensasi dan Persepsi abnormal.
Sebagian penderita CP mengalami gangguan kemampuan untuk merasakan sensasi
misalnya sentuhan dan nyeri. Mereka juga mengalami stereognosia, atau mengalami
kesulitan merasakan dan mengidentifikasi obyek melalui sensasi raba.





Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
2. PATOFISIOLOGI
2.1 PENYEBAB CEREBRAL PALSY
CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP merupakan grup
penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat mempunyai penyebab yang
berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus digali mengenai hal : bentuk CP, riwayat
kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.
Di USA, sekitar 10-20% CP disebabkan karena penyakit setelah lahir (prosentase
tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara yang belum berkembang). CP dapatan juga
dapat merupakan hasil dari kerusakan otak pada bulan-bulan pertama atau tahun-tahun
pertama kehidupan yang merupakan sisa dari infeksi otak, misalnya meningitis bakteri atau
encephalitis virus, atau merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat kecelakaan
lalu lintas, jatuh atau penganiayaan anak.
CP kongenital, pada satu sisi lainnya, tampak pada saat dilahirkan. Pada banyak kasus,
penyebab CP kongenital sering tidak diketahui. Diperkirakan terjadi kejadian spesifik pada
masa kehamilan atau sekitar kelahiran dimana terjadi kerusakan pusat motorik pada otak
yang sedang berkembang. Beberapa penyebab CP kongenital adalah :
1. Infeksi selama kehamilan.
Rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, akan menyebabkan
kerusakan sistim saraf yang sedang berkembang. Infeksi lain yang dapat
menyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus dan toxoplasmosis. Pada
saat ini sering dijumpai infeksi maternal lain yang dihubungkan dengan CP
(Leviton & Gilles, 1984)
2. Ikterus neonatorum.
Pigmen bilirubin, yang merupakan komponen yang secara normal dijumpai dalam
jumlah kecil dalam darah, merupakan hasil produksi dari pemecahan eritrosit. Jika
banyak eritrosit mengalami kerusakan dalam waktu yang singkat, misalnya dalam
keadaan Rh/ABO inkompatibilitas, bilirubin indirek akan meningkat dan
menyebabkan ikterus. Ikterus berat dan tidak diterapi dapat merusak sel otak secara
permanen (Van Praagh, 1961).
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
3. Kekurangan oksigen berat (hipoksik iskemik) pada otak atau trauma kepala
selama proses persalinan.
Asphyxia sering dijumpai pada bayi-bayi dengan kesulitan persalinan. Asphyxia
menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi pada periode lama, anak
tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal hipoksik iskemik
encephalopathi. Angka mortalitas meningkat pada kondisi asphyxia berat, tetapi
beberapa bayi yang bertahan hidup dapat menjadi CP, dimana dapat bersama
dengan gangguan mental dan kejang (Nelson, et al 1994).
Kriteria yang digunakan untuk memastikan hipoksik intrapartum sebagai penyebab
CP (MacLennan A et al, 1999):
1. Metabolik asidosis pada janin dengan pemeriksaan darah arteri tali pusat
janin, atau neonatal dini pH=7 dan BE=12mmol/L
2. Neonatal encephalopathy dini berat sampai sedang pada bayi >34minggu
gestasi
3. Tipe CP spastik quadriplegia atau diskinetik
4. Tanda hipoksik pada bayi segera setelah lahir atau selama persalinan
5. Penurunan detak jantung janin cepat, segera dan cepat memburuk segera
setelah tanda hipoksik terjadi dimana sebelumnya diketahui dalam batas
normal
6. Apgar score 0-6 = 5 menit
7. Multi sistim tubuh terganggu segera setelah hipoksik
8. Imaging dini abnormalitas cerebral
Pada masa lampau, banyak penelitian yang menunjukkan meningkatnya kasus CP
karena asphyxia atau komplikasi selama persalinan, sedangkan penyebab lain
belum dapat diidentifikasi. Tetapi penelitian yang ekstensif oleh NINDS
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil bayi dengan asphyxia berkembang
menjadi encephalopathi segera setelah lahir. Riset juga menunjukkan bahwa
sebagian besar bayi yang menderita asphyxia tidak berkembang menjadi CP atau
kelainan neurologis lainnya. Komplikasi persalinan termasuk asphyxia diperkirakan
sekitar 6% dari kasus CP kongenital.

Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
4. Stroke.
Kelainan koagulasi pada ibu atau bayi dapat menyebabkan stroke pada fetus atau
bayi baru lahir. Perdarahan di otak terjadi pada beberapa kasus. Stroke yang terjadi
pada fetus atau bayi baru lahir, akan menyebabkan kerusakan jaringan otak dan
menyebabkan masalah neurologis. Karena insiden infark cerebri yang tidak dapat
dijelaskan sering tampak pada pemeriksaan neuroimaging pada anak dengan CP
hemiplegi, diagnostik test untuk penyakit koagulasi perlu dipertimbangkan (Level
B, class II-III evidence) (www.aan.com/professionals/practice/index.cfm)

Faktor-faktor yang menyatakan penyebab selain hipoksik intrapartum sebagai penyebab CP
(MacLennan, 1999)
1. Pada pemeriksaan analisis gas darah arteri umbilikalis <1mmol/L atau pH>7
2. Bayi dengan kelainan kongenital mayor atau multiple atau kelainan metabolik
3. Infeksi SSP atau sistemik
4. Pada pemeriksaan imaging dini tampak kelainan neurologis misalnya
ventrikulomegali, porencephali, multikistik encephalomalacia
5. Bayi dengan tanda hambatan pertumbuhan intrauterine
6. Penurunan detak jantung bervariasi sejak persalinan
7. Mikrocephali
8. Ekstensif chorioamnionitis
9. Kelainan kongenital koagulasi pada anak
10. Adanya faktor resiko antenatal lain untuk CP, misalnya prematuritas, kehamilan
ganda, penyakit autoimun
11. Adanya faktor resiko postnatal untuk CP, misalnya post natal encephalitis, hipotensi
memanjang, atau hipoksik karena penyakit respirasi
12. Saudara kandung CP, terutama jika mempunyai tipe CP yang sama

Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
2.2 FAKTOR RESIKO CEREBRAL PALSY
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar
antara lain adalah:
1. Letak sungsang.
2. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda awal yang
menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang
secara normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.
3. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.
4. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan bayi lahir
dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat sesuai dengan
rendahnya berat lahir dan usia kehamilan.
5. Kehamilan ganda.
6. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP
yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut
menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak
dalam kandungan.
7. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.
Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah
protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada
bayi
8. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
9. Kejang pada bayi baru lahir.

Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
3. DIAGNOSIS CEREBRAL PALSY
3.1. GEJALA AWAL
Tanda awal CP biasanya tampak pada usia <3 tahun, dan orang tua sering
mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik tidak normal. Bayi dengan CP
sering mengalami kelambatan perkembangan, misalnya tengkurap, duduk, merangkak,
tersenyum atau berjalan (Blasco, 1989).
Sebagian mengalami abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus otot/hipotonia; bayi
tampak lemah dan lemas, kadang floppy. Peningkatan tonus otot/hipertonia, bayi tampak
kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada periode awal tampak hipotonia dan selanjutnya
berkembang menjadi hipertonia setelah 2-3 bulan pertama. Anak-anak CP mungkin
menunjukkan postur abnormal pada satu sisi tubuh.

3.2. PEMERIKSAAN FISIK
Dalam menegakkan diagnosis CP perlu melakukan pemeriksaan kemampuan
motorik bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai dari riwayat kehamilan, persalinan
dan kesehatan bayi. Perlu juga dilakukan pemeriksaan refleks dan mengukur
perkembangan lingkar kepala anak (Capute AJ, 1996).
Refleks adalah gerakan dimana tubuh secara otomatisasi bereaksi sebagai respon
terhadap stimulus spesifik. Sebagai contoh, jika bayi baru lahir menekuk kepalanya maka
kaki akan bergerak ke atas kepala, dan bayi secara otomatis akan membentangkan
lengannya, yang dikenal dengan refleks moro, yang tampak seperti gerakan akan memeluk.
Secara normal, refleks tersebut akan menghilang pada usia 6 bulan, tetapi pada penderita
CP, refleks tersebut akan bertahan lebih lama. Hal tersebut merupakan salah satu dari
beberapa refleks yang harus diperiksa (Capute AJ, 1984).
Perlu juga memeriksa penggunaan tangan, kecenderungan untuk menggunakan
tangan kanan atau kiri. Jika dokter memegang obyek didepan dan pada sisi dari bayi, bayi
akan mengambil benda tersebut dengan tangan yang cenderung dipakai, walaupun obyek
didekatkan pada tangan yang sebelahnya. Sampai usia 12 bulan, bayi masih belum
menunjukkan kecenderungan menggunakan tangan yang dipilih. Tetapi bayi dengan
spastik hemiplegia, akan menunjukkan perkembangan pemilihan tangan lebih dini, sejak
tangan pada sisi yang tidak terkena menjadi lebih kuat dan banyak digunakan.
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Langkah selanjutnya dalam diagnosis CP adalah menyingkirkan penyakit lain yang
menyebabkan masalah pergerakan. Yang terpenting, harus ditentukan bahwa kondisi anak
tidak bertambah memburuk. Walaupun gejala dapat berubah bersama waktu, CP sesuai
dengan definisinya tidak dapat menjadi progresif. Jika anak secara progresif kehilangan
kemampuan motorik, ada kemungkinan terdapat masalah yang berasal dari penyakit lain,
misalnya penyakit genetik, penyakit muskuler, kelainan metabolik, tumor SSP. Penelitian
metabolik dan genetik tidak rutin dilakukan dalam evaluasi anak dengan CP (Level B,
Class II, III evidence) (Ingram, 1966; illingworth RS, 1966,
(www.aan.com/professionals/practice/index.cfm). Riwayat medis anak, pemeriksaan
diagnostik khusus, dan, pada sebagian kasus, pengulangan pemeriksaan akan sangat
berguna untuk konfirmasi diagnostik dimana penyakit lain dapat disingkirkan.

3.3. PEMERIKSAAN NEURORADIOLOGIK
Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan penyebab CP
perlu dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan kepala, yang merupakan
pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur jaringan otak. CT scan dapat menjabarkan
area otak yang kurang berkembang, kista abnormal, atau kelainan lainnya. Dengan
informasi dari CT Scan, dokter dapat menentukan prognosis penderita CP.
MRI kepala, merupakan tehnik imaging yang canggih, menghasilkan gambar yang
lebih baik dalam hal struktur atau area abnormal dengan lokasi dekat dengan tulang
dibanding dengan CT scan kepala (Level A, Class I-III evidence)
(www.aan.com/professionals/practice/index.cfm)
Dikatakan bahwa neuroimaging direkomendasikan dalam evaluasi anak CP jika
etiologi tidak dapat ditemukan (Level A, I, II)
Pemeriksaan ketiga yang dapat menggambarkan masalah dalam jaringan otak
adalah USG kepala. USG dapat digunakan pada bayi sebelum tulang kepala mengeras dan
UUB tertutup. Walaupun hasilnya kurang akurat dibanding CT dan MRI, tehnik tersebut
dapat mendeteksi kista dan struktur otak, lebih murah dan tidak membutuhkan periode
lama pemeriksaannya.


Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
3.4. PEMERIKSAAN LAIN
Pada akhirnya, klinisi mungkin akan mempertimbangkan kondisi lain yang
berhubungan dengan CP, termasuk kejang, gangguan mental, dan visus atau masalah
pendengaran untuk menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
Jika dokter menduga adanya penyakit kejang, EEG harus dilakukan (Level A, Class
I-II evidence). EEG akan membantu dokter untuk melihat aktivitas elektrik otak dimana
akan menunjukkan penyakit kejang (www.aan.com/professionals/practice/index.cfm).
Pemeriksaan intelegensi harus dikerjakan untuk menentukan derajat gangguan
mental. Kadangkala intelegensi anak sulit ditentukan dengan sebenarnya karena
keterbatasan pergerakan, sensasi atau bicara, sehingga anak CP mengalami kesulitan
melakukan tes dengan baik.
Jika diduga ada masalah visus, dokter harus merujuk ke optalmologis untuk
dilakukan pemeriksaan; jika terdapat gangguan pendengaran, dapat dirujuk ke otologist
(Level A, Class I-II evidence) (www.aan.com/professionals/practice/index.cfm)
Identifikasi kelainan penyerta sangat penting sehingga diagnosis dini akan lebih
mudah ditegakkan. Banyak kondisi diatas dapat diperbaiki dengan terapi spesifik, sehingga
dapat memperbaiki kualitas hidup penderita CP.

3. TATALAKSANA CEREBRAL PALSY
3.1. MASALAH UTAMA PENDERITA CEREBRAL PALSY
Masalah utama yang dijumpai dan dihadapi pada anak yang menderita CP antara
lain:
1. Kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut dan lidah akan
menyebabkan anak tampak selalu berliur.
Air liur dapat menyebabkan iritasi berat kulit dan menyebabkan seseorang sulit
diterima dalam kehidupan sosial dan pada akhirnya menyebabkan anak akan
terisolir dalam kehidupan kelompoknya. Walaupun sejumlah terapi untuk mengatasi
drooling telah dicoba selama bertahun-tahun, dikatakan tidak ada satupun yang
selalu berhasil. Obat yang dikenal dengan antikholinergik dapat menurunkan aliran
saliva tetapi dapat menimbulkan efek samping yang bermakna, misalnya mulut
kering dan digesti yang buruk. Pembedahan, walaupun kadang-kadang efektif, akan
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
membawa komplikasi, termasuk memburuknya masalah menelan. Beberapa
penderita berhasil dengan teknik biofeedback yang dapat memberitahu penderita
saat drooling atau mengalami kesulitan untuk mengendalikan otot yang akan
membuat mulut tertutup. Terapi tersebut tampaknya akan berhasil jika penderita
mempunyai usia mental 2-3 tahun, dimana dapat dimotivasi untuk mengendalikan
drooling, dan dapat mengerti bahwa drooling akan menyebabkan seseorang secara
sosial sulit diterima.
2. Kesulitan makan dan menelan, yang dipicu oleh masalah motorik pada mulut,
dapat menyebab gangguan nutrisi yang berat.
Nutrisi yang buruk, pada akhirnya dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi
dan menyebabkan gagal tumbuh. Untuk membuat menelan lebih mudah, disarankan
untuk membuat makanan semisolid, misalnya sayur dan buah yang dihancurkan.
Posisi ideal, misalnya duduk saat makan atau minum dan menegakkan leher akan
menurunkan resiko tersedak. Pada kasus gangguan menelan berat dan malnutrisi,
klinisi dapat merekomendasikan penggunaan selang makanan, yang digunakan
untuk memasukkan makanan dan nutrien ke saluran makanan, atau gastrostomy,
dimana dokter bedah akan meletakkan selang langsung pada lambung.
3. Inkontinentia Urin.
Inkontinentia urin adalah komplikasi yang sering terjadi. Inkontinentia urin ini
disebabkan karena penderita CP kesulitan mengendalikan otot yang selalu menjaga
supaya kandung kemih selalu tertutup. Inkontinentia urin dapat berupa enuresis,
dimana seseorang tidak dapat mengendalikan urinasi selama aktivitas fisik (stress
inkonentia), atau merembesnya urine dari kandung kemih. Terapi medikasi yang
dapat diberikan untuk inkonensia meliputi olah raga khusus, biofeedback, obat-
obatan, pembedahan atau alat yang dilekatkan dengan pembedahan untuk
mengganti atau membantu otot.

CP tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan ditujukan untuk memperbaiki
kapabilitas anak. Dalam perkembangannya, hingga saat ini tujuan terapi pada CP adalah
mengusahakan penderita dapat hidup mendekati kehidupan normal dengan mengelola
problem neurologis yang ada seoptimal mungkin. Disini tidak ada terapi standar yang
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
berlaku untuk semua penderita CP. Klinisi diharapkan dapat bekerja sama dalam tim, untuk
mengidentifikasi kebutuhan khusus masing-masing anak dan kelainan-kelainan yang ada
dan kemudian menentukan terapi individual yang cocok untuk setiap penderita (Goldberg,
1991; Champbell, 1996).
Beberapa pendekatan tatalaksana yang direncanakan meliputi obat-obatan untuk
mengontrol kejang dan spasme otot, penyangga khusus untuk kompensasi keseimbangan
otot, pembedahan, peralatan mekanis untuk membantu kelainan yang timbul, konseling
emosional dan kebutuhan psikologis, dan fisik, okupasi, bicara dan terapi perilaku.

3.2. TIM TERAPI CEREBRAL PALSY
Tim Penanganan CP adalah multidisipliner dan anggota tim terapi CP berdasarkan
profesionalisme dengan berbagai spesialisasi, antara lain: (Dorman JP, 1998)
1. Dokter.
Misalnya spesialis anak, spesialis saraf anak atau psikiatri anak, dilatih untuk
membantu memonitoring dan memperbaiki kecacatan perkembangan anak.
Klinisi tersebut, sering menjadi pemimpin tim, bekerja untuk membuat
kesimpulan/rangkuman semua nasihat profesional dari seluruh anggota tim
hingga dicapai kesepakatan rencana terapi, implementasi terapi, dan mengikuti
perkembangan penderita selama beberapa tahun
2. Orthopedist
Dokter spesialisasi dalam bidang tulang, otot, tendon, dan bagian lain dari
sistim skeletal tubuh. Orthopedis dilibatkan untuk menentukan prediksi,
diagnosis atau terapi masalah otot yang berkaitan dengan CP
3. Terapis fisik
Membuat dan mengimplementasikan program latihan khusus untuk
memperbaiki gerakan dan kekuatan
4. Terapis okupasi
Merupakan orang yang dapat membantu kemampuan pemahanan penderita
untuk kehidupan sehari-hari, sekolah dan bekerja
5. Pelatih bicara dan bahasa
Spesialisasi dalam diagnosis dan terapi masalah komunikasi
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
6. Pekerja sosial
Bertugas untuk membantu penderita dan keluarga yang hidup dalam komunitas
dan program edukasi
7. Psikolog
Psikolog dibutuhkan agar dapat membantu penderita dan keluarga menghadapi
tekanan khusus dan kebutuhan dari penderita CP. Pada banyak kasus, psikolog
dapat mengatur terapi dengan memodifikasi perilaku yang tidak membantu atau
destruktif
8. Guru
Seseorang yang dapat berperan penting jika terdapat gangguan mental atau
gangguan proses belajar

Penderita, keluarga dan pengasuh merupakan kunci dari keberhasilan terapi, mereka
seharusnya terlibat jauh pada semua tingkat rencana, pembuatan keputusan, dan
mengaplikasikan terapi. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga dan
determinasi personal adalah dua dari prediktor-prediktor yang sangat penting untuk
mencapai kemajuan jangka panjang (Adams RC et al, 1998).
Yang sering dijumpai, klinisi dan keluarga hanya terfokus terutama pada gejala
individual, terutama kemampuan berjalan, padahal yang terpenting adalah membantu
individu untuk bertumbuh menjadi dewasa dan memiliki kebebasan maksimun dalam
bersosialisasi.

3.3. TERAPI SPESIFIK CEREBRAL PALSY
3.3.1. Terapi Fisik, Perilaku dan Lainnya
Terapi, apakah untuk pergerakan, bicara atau kemampuan mengerjakan tugas
sederhana, merupakan tujuan dari terapi CP. Terapi CP ditujukan pada perubahan
kebutuhan penderita sesuai dengan perkembangan usia.
Terapi fisik selalu dimulai pada usia tahun pertama kehidupan, segera setelah
diagnostik ditegakkan. Program terapi fisik menggunakan gerakan spesifik mempunyai 2
tujuan utama yaitu mencegah kelemahan atau kemunduran fungsi otot yang apabila
berlanjut akan menyebabkan pengerutan otot (disuse atrophy) dan yang kedua adalah
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
menghindari kontraktur, dimana otot akan menjadi kaku yang pada akhirnya akan
menimbulkan posisi tubuh abnormal.
Kontraktur adalah satu komplikasi yang sering terjadi. Pada keadaan normal,
dengan panjang tulang yang masih tumbuh akan menarik otot tubuh dan tendon pada saat
berjalan dan berlari dan aktivitas sehari-hari. Hal ini memastikan bahwa otot akan
berkembang dalam kecepatan yang sama. Tetapi pada anak dengan CP, spastisitas akan
mencegah peregangan otot dan hal tersebut akam menyebabkan otot tidak dapat
berkembang cukup pesat untuk mengimbangi kecepatan tumbuh tulang. Kontraktur dapat
mengganggu keseimbangan dan memicu hilangnya kemampuan yang sebelumnya. Dengan
melakukan terapi fisik saja atau dengan kombinasi penopang khusus (alat orthotik), kita
dapat mencegah komplikasi dengan cara melakukan peregangan pada otot yang spastik.
Sebagai contoh, jika anak mengalami spastik pada otot hamstring, terapis dan keluarga
seharusnya mendorong anak untuk duduk dengan kaki diluruskan untuk meregangkan
ototnya.
Tujuan ketiga dari program terapi fisik adalah meningkatkan perkembangan
motorik anak. Cara kerja untuk mendukung tujuan tersebut dengan tehnik Bobath. Dasar
dari program tersebut adalah refleks primitif akan tertahan pada anak CP yang
menyebabkan hambatan anak untuk belajar mengontrol gerakan volunter. Terapis akan
berusaha untuk menetralkan refleks tersebut dengan memposisikan anak pada posisi yang
berlawanan. Jadi, sebagai contoh, jika anak dengan CP normalnya selalu melakukan fleksi
pada lengannya, terapis seharusnya melakukan gerakan ekstensi berulang kali pada lengan
tersebut (Bobath, 1967).
Pendekatan kedua untuk terapi fisik adalah membuat pola, berdasarkan prinsip
bahwa kemampuan motorik seharusnya diajarkan dalam ururtan yang sama supaya
berkembang secara normal. Pada pendekatan kontrovesial tersebut, terapis akan
membimbing anak sesuai dengan gerakan sepanjang alur perkembangan motorik normal.
Sebagai contoh, anak belajar gerakan dasar seperti menarik badannya pada posisi duduk
dan merangkak sebelum anak mampu berjalan, yang berhubungan dengan tanpa melihat
usianya.
Terapi fisik hanya merupakan satu elemen dari program perkembangan bayi selain
juga meliputi usaha untuk menyediakan satu lingkungan yang bervariasi dan dapat
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
menstimulasi perkembangan motorik anak. Anak CP juga membutuhkan pengalaman baru
dan interaksi dengan lingkungan disekitarnya dalam upaya pembelajaran. Program
stimulasi dapat memberikan pengalaman yang bervariasi pada anak yang secara fisik tidak
memungkinkan untuk bereksplorasi.
Pada saat anak CP mencapai usia sekolah, penekanan terapi bergeser dari
perkembangan motorik dini. Usaha sekarang ditujukan pada persiapan anak untuk masuk
sekolah, membantu anak untuk membangun aktivitas harian rutin, dan memaksimalkan
kemampuan anak untuk berkomunikasi.
Terapi fisik saat ini dapat membantu anak CP mempersiapkan sekolah dengan
meningkatkan kemampuan untuk duduk, bergerak leluasa atau dengan kursi roda, atau
melakukan tugas misalnya menulis. Pada terapi okupasi, terapis bekerja dengan anak untuk
mengembangkan kemampuan makan, berpakaian, atau menggunakan kamar mandi. Hal ini
akan menurunkan kebutuhan pada pengasuh dan mempertinggi kepercayaan pada diri
sendiri. Untuk anak yang mengalami kesulitan berkomunikasi, terapi wicara bekerja untuk
mengidentifikasi kesulitan spesifik dan membawa mereka dalam program latihan,
menggunakan alat komunikasi khusus, misalnya komputer dengan suara.
Terapi perilaku merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan kemampuan anak.
Terapi ini, menggunakan teori dan tehnik psikologi, yang dapat melengkapi terapi fisik,
bicara dan okupasi. Sebagai contoh, terapi perilaku meliputi menyembunyikan boneka
dalam kotak dengan harapan anak dapat belajar bagaimana meraih kotak dengan
menggunakan tangan yang lebih lemah. Seperti anak belajar untuk berkata dengan huruf
depan b dapat menggunakan balon untuk menciptakan kata tersebut. Pada kasus yang lain,
terapis dapat mencoba menghindari perilaku yang tidak menguntungkan atau perilaku
merusak, misalnya menarik rambut atau menggigit, dengan menunjukkan hadiah pada anak
yang menunjukkan aktivitas yang baik.
Pada saat anak CP tumbuh lanjut, kebutuhan mereka untuk dan tipe terapi dan
pelayanan bantuan lain akan berlanjut dan berubah. Terapi fisik berkelanjutan berdasarkan
masalah pergerakan dan disuplementasi dengan latihan vokal, rekreasi dan program yang
menyenangkan, dan edukasi khusus jika diperlukan. Konseling untuk perubahan emosi dan
psikologis dapat dibutuhkan pada setiap usia, tetapi paling sering pada masa remaja.
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Tergantung pada kemampuan fisik dan intelektual, orang dewasa mungkin membutuhkan
pengasuh yang peduli, akomodasi hidup, transportasi atau pekerjaan.
Dengan tanpa memandang usia dan bentuk terapi yang digunakan, terapi tidak
berhenti saat penderit keluar dari ruangan terapi. Pada kenyataannya, sebagian besar
pekerjaan sering dilakukan di rumah. Terapis berfungsi sebagai pelatih, menyiapkan orang
tua dan penderita dengan strategi dan melatihnya dimana dapat membantu meningkatkan
penampilan di rumah, sekolah dan dimasyarakat.

Alat Mekanik
Mulai dengan bentuk yang sederhana misalnya sepatu velcro atau bentuk yang
canggih seperti alat komunikasi komputer, mesin khusus dan alat yang diletakkan dirumah,
sekolah dan tempat kerja dapat membantu anak atau dewasa dengan CP untuk menutupi
keterbatasannya.
Komputer merupakan contoh yang canggih sebagai alat baru yang dapat membuat
perubahan yang bermakna dalam kehidupan penderita CP. Sebagai contoh, anak yang tidak
dapat berbicara atau menulis tetapi dapat membuat gerakan dengan kepala mungkin dapat
belajar untuk mengendalikan komputer dengan menggunakan pointer lampu khusus yang
diletakkan di ikat kepala. Dengan dilengkapi dengan komputer dan sintesiser suara, anak
akan berkomunikasi dengan orang lain. Pada kasus lain, tehnologi telah mendukung
penemuan versi baru dari alat lama, misalnya kursi roda tradisional dan bentuk yang lebih
baru yang dapat berjalan dengan menggunakan listrik.

3.3.2. Terapi Medikamentosa
Untuk penderita CP yang disertai kejang, dokter dapat memberi obat anti kejang
yang terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kejang ulangan. obat yang diberikan
secara individual dipilih berdasarkan tipe kejang, karena tidak ada satu obat yang dapat
mengontrol semua tipe kejang. Bagaimanapun juga, orang yang berbeda walaupun dengan
tipe kejang yang sama dapat membaik dengan obat yang berbeda, dan banyak orang
mungkin membutuhkan terapi kombinasi dari dua atau lebih macam obat untuk mencapai
efektivitas pengontrolan kejang (ODonnell M, 1997).
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Tiga macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas pada penderita
CP adalah:
1. Diazepam
Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh.
Pada anak usia <6 bulan tidak direkomendasikan, sedangkan pada anak usia >6
bulan diberikan dengan dosis 0,12 0,8 mg/KgBB/hari per oral dibagi dalam 6
8 jam, dan tidak melebihi 10 mg/dosis
2. Baclofen
Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula spinalis yang
akan menyebabkan kontraksi otot.
Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah sebagai berikut:
2 7 tahun:
Dosis 10 40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 4 dosis. Dosis dimulai
2,5 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 15
mg/hari, maksimal 40 mg/hari
8 11 tahun:
Dosis 10 60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis. Dosis dimulai
2,5 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 15
mg/hari, maksimal 60 mg/hari
> 12 tahun:
Dosis 20 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis. Dosis dimulai 5
mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 15 mg/hari,
maksimal 80 mg/hari
3. Dantrolene
Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot sehingga
kontraksi otot tidak bekerja.
Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25 mg/hari, maksimal 40 mg/hari

Obat-obatan tersebut diatas akan menurunkan spastisitas untuk periode singkat,
tetapi untuk penggunaan jangka waktu panjang belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Obat-
obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, misalnya mengantuk, dan efek jangka
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
panjang pada sistem saraf yang sedang berkembang belum jelas. Satu solusi untuk
menghindari efek samping adalah dengan mengeksplorasi cara baru untuk memberi obat-
obat tersebut (Albright, 1996).
Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-obatan yang dapat
membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal. Obat yang sering digunakan termasuk
golongan antikolinergik, bekerja dengan menurunkan aktivitas acetilkoline yang
merupakan bahan kimia messenger yang akan menunjang hubungan antar sel otak dan
mencetuskan terjadinya kontraksi otot. Obat-obatan antikolinergik meliputi
trihexyphenidyl, benztropine dan procyclidine hydrochloride.
Adakalanya, klinisi menggunakan membasuh dengan alkohol atau injeksi alkohol
kedalam otot untuk menurunkan spastisitas untuk periode singkat. Tehnik tersebut sering
digunakan klinisi saat hendak melakukan koreksi perkembangan kontraktur. Alkohol yang
diinjeksikan kedalam otot akan melemahkan otot selama beberapa minggu dan akan
memberikan waktu untuk melakukan bracing, terapi. Pada banyak kasus, teknik tersebut
dapat menunda kebutuhan untuk melakukan pembedahan.

Botulinum Toxin (BOTOX)
Merupakan medikasi yang bekerja dengan menghambat pelepasan acetilcholine dari
presinaptik pada pertemuan otot dan saraf. Injeksi pada otot yang kaku akan menyebabkan
kelemahan otot. Kombinasi terapi antara melemahkan otot dan menguatkan otot yang
berlawanan kerjanya akan meminimalisasi atau mencegah kontraktur yang akan
berkembang sesuai dengan pertumbuhan tulang. Intervensi ini digunakan jika otot yang
menyebabkan deformitas tidak banyak jumlahnya, misalnya spastisitas pada tumit yang
menyebabkan gait jalan berjinjit (Toe-heel gait) atau spastisitas pada otot flexor lutut yang
menyebabkan crouch gait. Perbaikan tonus otot sering akibat mulai berkembangnya saraf
terminal, yang merupakan proses dengan puncak terjadi pada 60 hari (Cosgrove, Graham,
1994).
Intervensi botulinum dapat digunakan pada deformitas ekstremitas atas yang secara
sekunder akibat tonus otot abnormal dan tumbuhnya tulang. Kelainan yang sering dijumpai
adalah aduksi bahu dan rotasi internal, fleksi lengan, pronasi telapak tangan dan fleksi
pergelangan tangan dan jari-jari. Botulinum toksin sangat efektif untuk memperbaiki
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
kekakuan siku dan ekstensi ibu jari. Seperti sudah diduga sebelumnya, fungsi motorik halus
tidak banyak mengalami perbaikan. Keuntungan dari segi kosmetik untuk memperbaiki
fleksi siku sangat dramatik.
Komplikasi injeksi botulinum toksin dikatakan minimal. Nyeri akibat injeksi
minimal, biasanya akan hilang tidak lebih dari 5 menit setelah injeksi. Efikasi tercapai
dalam 48-72 jam dan akan menghilang dalam 2-4 bulan setelah injeksi. Lama waktu
penggunaan botulinum toksi dilanjutkan tergantung dari derajat abnormalitas tonus otot,
respon penderita dan kemampuan untuk memelihara fungsi yang diinginkan (Wong V,
1998).

Baclofen Intratekal
Baclofen merupakan GABA agonis yang diberikan secara intratekal melalui pompa
yang ditanam akan sangat membantu penderita dalam mengatasi kekakuan otot berat yang
sangat mengganggu fungsi normal tubuh (Albright, 1996). Karena Baclofen tidak dapat
menembus BBB secara efektif, obat oral dalam dosis tinggi diperlukan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan jika dibandingkan dengan cara pemberian intratekal. Dijumpai
penderita dengan baclofen oral akan tampak letargik.
Baclofen intratekal diberikan pertama kali sejak tahun 1980 sebagai obat untuk
mengendalikan spasme otot berat akibat trauma pada tulang belakang. Sejak tahun 1990,
metode pengobatan ini mulai digunakan untuk koreksi pada penderita CP dan menunjukkan
efikasi yang baik.

Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
3.3.3. Terapi Bedah
Pembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur berat dan
menyebabkan masalah pergerakan berat. Dokter bedah akan mengukur panjang otot dan
tendon, menentukan dengan tepat otot mana yang bermasalah. Menentukan otot yang
bermasalah merupakan hal yang sulit, berjalan dengan cara berjalan yang benar,
membutuhkan lebih dari 30 otot utama yang bekerja secara tepat pada waktu yang tepat
dan dengan kekuatan yang tepat. Masalah pada satu otot dapat menyebabkan cara berjalan
abnormal. Lebih jauh lagi, penyesuaian tubuh terhadap otot yang bermasalah dapat tidak
tepat. Alat baru yang dapat memungkinkan dokter untuk melakukan analisis gait. Analisis
gait menggunakan kamera yang merekam saat penderita berjalan, komputer akan
menganalisis tiap bagian gait penderita. Dengan menggunakan data tersebut, dokter akan
lebih baik dalam melakukan upaya intervensi dan mengkoreksi masalah yang
sesungguhnya. Mereka juga menggunakan analisis gait untuk memeriksa hasil operasi
(Gage et al, 1991).
Oleh karena pemanjangan otot akan menyebabkan otot tersebut lebih lemah,
pembedahan untuk koreksi kontraktur selalu diamati selama beberapa bulan setelah
operasi. Karena hal tersebut, dokter berusaha untuk menentukan semua otot yang terkena
pada satu waktu jika memungkinkan atau jika lebih dari satu produser pembedahan tidak
dapat dihindarkan, mereka dapat mencopba untuk menjadwalkan operasi yang terkait
secara bersama-sama.
Teknik kedua pembedahan, yang dikenal dengan selektif dorsal root rhizotomy,
ditujukan untuk menurunkan spastisitas pada otot tungkai dengan menurunkan jumlah
stimulasi yang mencapai otot tungkai melalui saraf. Dalam prosedur tersebut, dokter
berupaya melokalisir dan memilih untuk memotong saraf yang terlalu dominan yang
mengontrol otot tungkai. walaupun disini terdapat kontroversi dalam pelaksanaannya (Hays
RM, 1997; McLaughin JF, 1998).
Teknik pembedahan eksperimental meliputi stimulasi kronik cerebellar dan
stereotaxic thalamotomy. Pada stimulasi kronik cerebelar, elektroda ditanam pada
permukaan cerebelum yang merupakan bagian otak yang bertanggung jawab dalam
koordinasi gerakan, dan digunakan untuk menstimulasi saraf-saraf cerebellar, dengan
harapan bahwa teknik tersebut dapat menurunkan spastisitas dan memperbaiki fungsi
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
motorik, hasil dari prosedur invasif tersebut masih belum jelas. Beberapa penelitan
melaporkan perbaikan spastisitas dan fungsi, sedang lainnya melaporkan hasil sebaliknya
(Pape et al, 1993).
Stereotaxic thalamotomy meliputi memotong bagian thalamus, yang merupakan
bagian yang melayani penyaluran pesan dari otot dan organ sensoris. Hal ini efektif hanya
untuk menurunkan tremor hemiparesis.

4. PROGNOSIS CEREBRAL PALSY
Beberapa faktor sangat menentukan prognosis CP, tipe klinis CP, derajat
kelambatan yang tampak pada saat diagnosis ditegakkan, adanya refleks patologis, dan
yang sangat penting adalah derajat defisit intelegensi, sensoris, dan emosional. Tingkat
kognisi sulit ditentukan pada anak kecil dengan gangguan motorik, tetapi masih mungkin
diukur (McCarthy et al, 1986). Tingkat kognisi sangat berhubungan dengan tingkat fungsi
mental yang akan sangat menentukan kualitas hidup seseorang.
Anak-anak dengan hemiplegia tetapi tidak menderita masalah utama lainnya selalu
dapat berjalan pada usia 2 tahun; kegunaan short brace hanya dibutuhkan sementara saja.
Adanya tangan yang kecil pada sisi yang hemiplegi, dengan kuku ibu jari yang lebih
runcing dibanding dengan kuku lainnya, dapat diasosiasikan dengan disfungsi sensoris
parietalis dan defek sensori tersebut akan membatasi kemampuan fungsi motorik halus
pada tangan tersebut. 25% anak dengan hemiplegia akan mengalami hemianopsia, karena
hal ini anak sebaiknya diberi tempat duduk dikelas untuk memaksimalkan fungsi visus.
Kejang dapat merupakan masalah yang terjadi pada anak yang hemiplegik.
Lebih dari 50% anak-anak dengan spastik diplegia dapat belajar berjalan tesering
pada usia 3 tahun, tetapi tetap menunjukkan gait abnormal, dan beberapa kasus
membutuhkan alat bantu, misalnya kruk. Aktivitas tangan secara umum akan terkena
dengan derajat yang berbeda, walaupun kerusakan yang terjadi minimal. Abnormal gerakan
ekstraokuler relatif sering dijumpai.
Anak dengan spastik quadriplegia, 25% membutuhkan perawatan total; paling
banyak hanya 3% yang dapat berjalan, biasanya setelah usia 3 tahun. Fungsi intelektual
sering seiring dengan derajat CP dan terkenanya otot bulbar akan menambah kesulitan
yang sudah ada. Hipotonia trunkus, dengan refleks patologis atau kekakuan yang persisten
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
merupakan gambaran yang menunjukkan buruknya keadaan. Mayoritas anak-anak tersebut
memiliki limitasi intelektual.
Sebagian besar anak yang tidak memiliki masalah lain yang serius yang
berhubungan dengan spastisitas tipe athetoid kadang-kadang dapat berjalan. Keseimbangan
dan penggunaan kemampuan tangan tampaknya masih sulit. Sebagian besar anak-anak
yang baru duduk pada usia 2 tahun dapat belajar berjalan. Sebaliknya, anak-anak yang
masih menunjukkan moro refleks, tonik neck refleks asimetrik, kecenderungan ekstensi,
dan tidak menunjukkan refleks parasut tidak mungkin dapat belajar berjalan; sebagian dari
mereka yang tidak dapat duduk pada usia 4 tahun dapat belajar berjalan.


5. PENCEGAHAN CEREBRAL PALSY
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP pun bisa
dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara lain:
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat pengaman pada
saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat bersepeda, dan eliminasi
kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan, pengamatan optimal selama mandi
dan bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru lahir dengan
fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan transfusi tukar.
Inkompatibilitas faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan darah rutin
ibu dan bapak. Inkompatibilitas tersebut tidak selalu menimbulkan masalah pada
kehamilan pertama, karena secara umum tubuh ibu hamil tersebut belum
memproduksi antibodi yang tidak diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian
besar kasus-kasus, serum khusus yang diberikan setelah kelahiran dapat mencegah
produksi antibodi tersebut. Pada kasus yang jarang, misalnya jika pada ibu hamil
antibodi tersebut berkembang selama kehamilan pertama atau produksi antibodi
tidak dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat perkembangan bayi dan jika
perlu dilakukan transfusi ke bayi selama dalam kandungan atau melakukan transfusi
tukar setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan imunisasi sebelum
hamil.
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso

Sebagai tambahan, sangat baik jika kita berpedoman untuk menghasilkan
kehamilan yang baik dengan cara asuhan pranatal yang teratur dan nutrisi optimal dan
melakukan eliminasi merokok, konsumsi alkohol dan penyalah-gunaan obat. Walaupun
semua usaha terbaik yang sudah dilakukan oleh orang tua dan dokter, tetapi masih ada anak
yang terlahir dengan CP, hal tersebut karena sebagian besar kasus CP tidak diketahui
sebabnya.
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams RC, Snyder P. Treatment for Cerebral Palsy: Making choices of intervention
from an expanding menu of option. Inf Young Children. 1998;10:1-22
2. Albright AL. intrathecal Baclofen in Cerebral Palsy Movement Disorders. J Child
Neurol, 1996;11 (Suppl 1):S29-35
3. American Academy of Neurology. Evidence for diagnostic assessment for children
with CP
4. Benda GI, Hiller JL, Reynolds JW. Benzyl-alcohol Toxicity: Impact on Neurologist
Handicaps among Surviving Very Low Birth Weight Infants. Pediatrics
1986;77:507
5. Blasco PA. Preterm birth: To Correct or Not To Correct. Dev Med Child Neurol.
1989;31:816-21
6. Bobath B. The very early treatment of cerebral palsy. Dev Med Child Neurol
1967;9:373
7. Bryers RK. Evolution of Hemiplegias in Infancy. Am J Dis Child 1941;61;915
8. Capute AJ, Accardo PJ. The Infant Neurodevelopmental Assessment: A Clinical
Interpretive Manual for CAT-CLAMS in The First Two Years of Life, Part 1. Curr
Probl Pediatr. 1996;26:238-57
9. Capute AJ, Accardo PJ The Infant Neurodevelopmental Assessment: A Clinical
Interpretive Manual for CAT-CLAMS in The First Two Years of Life, Part 2. Curr
Probl Pediatr. 1996;26:279-306.
10. Capute AJ, Palmer FB, Shapiro BK. Primitive Reflex Profile: A Quantitation of
Primitive Reflex in Infancy. Dev Med Child Neurol, 1984;26:375-83
11. Champbell SK. Quantifyng The Effects of Intervention For Movements Disorders
Resulting From Cerebral Palsy. J Child Neurol 1996;11;61
12. Clement MC, Briad JL, Ponsot G et al. Ataxies Cerebelluses Congenitales Non
Progressives. Arch FR Pediatr 1994 ;41 ;685
13. Corry IS, Cosgrove AP, Walsch EG. Botulinum Toxin A in The Hemiplegic Limb:
A Double-blind Trial. Dev Med Child Neurol 1997;39:185
14. Cossgrove AP, Corry IS, Graham HK. Botulinum toxin in the management of the
lower limb in cerebral palsy. Dev Med Child Neurol. 1994;36:386-96
15. Dormans JP, Pellegrino L (ed). Caring for the children with cerebral palsy: A team
approach. Baltimore: Paul H, Brooks Publishing;1998
16. Gage jr. Gait analysis in cerebral palsy. Oxford; MacKeith press, 1991
17. Goldberg mj. Measuring outcome in cerebral palsy. J Pediatr Orthop 1991;11;682
18. Grether JK, Cummins SK, Nelson KB. The California cerebral palsy project.
Pediatr Pernat Epidemiol 1992;6:339
19. Hays RM, McLaughin JF, Geiduschek JM et al. Evaluation of the effect of selective
dorsal Rhizotomy. Mental retardation and Developmental Disabilities Research
Review. 1997;3:168-74
20. Illingworth RS. The diagnosis of cerebral palsy in the first year of life. Dev Med
Child Neurol, 1966;8:178-94
21. Ingram TTS. The neurology of cerebral palsy. Arch Dis Child, 1966;41:337-57
22. Koman LA, Mooney III JF, Smith BP, et al. Management of spasticity in cerebral
palsy with botulinum-A toxin: report of preliminary, randomized, double-blind trial.
J Pediatr Orthop 1994;14:299
Continuing Education XXXVI

CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
23. Levinton A, Gilles FH. Acquired perinatal leucoencephalopathy. Ann Neurol
1984;16;1
24. MacLennan A. A Template for defining a causal relation between acute intrapartum
events and cerebral palsy: international consensus statement. BMJ vol 319, 16 oct
1999.
25. McCarthy SM, St James P, Berninger VW, et al. Assessment of intellectual
functioning span in severe cerebral palsy. Dev Med Child Neurol 1986;28:364
26. McLaughin JF, Bjornson KF, Astley SJ et al. Selective dorsal rhizotomy: efficacy
and safety in an investigator-masked clinical trial. 1998;40:220-32
27. Molnar GE. Cerebral palsy: prognosis and how to judge it. Pediatr Ann 1979;8:43
28. Nelson KB, Swaimann KF, Russman BS. Cerebral palsy. In; Swaiman KF, ed.
Pediatric neurology; principles and practice, st louis; Mosby co;1994
29. ODonnell M, Amstrong R. Pharmacologic intervention for management of
spasticity in cerebral palsy. Mental Retardation and Developmental Disabilities
Research Reviews. 1997;3:204-11
30. Oshea TM. Preisser JS, klinepeter KL, et al. Trends in mortality and cerebral palsy
in a geographycally based cohort of very low birth weight neonates born between
1982-1994. pediatrics 1998;101:642
31. Plioplys AV, KAnicka I, Lewis S et al. Survival rate among children with severe
neurologic disabilities. Southern med j 1998;91;161
32. Wong V. use of botulinum toxin injection in 17 children with spastic cerebral palsy.
Pediatr Neurol, 1998;18:124-31
33. Van Praagh R. Diagnosis of kern icterus in neonatal period. Pediatrics 1961;28;870

You might also like