You are on page 1of 4

DR Amran: Empat Faktor Lemahkan Nilai Budaya Bima

ADA empat faktor yang melemahkan nilai budaya

Bima, padahal Bima secara umum memiliki keunggulan serta potensi penunjang. Hal itu diungkapkan DR Amran Amir dalam dialog budaya yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bima dengan tema Peran Budaya Bima Dalam Perubahan Sosial Masyarakat bertempat di aula kantor Walikota Bima, Kamis (30/5). Dr Amran sendiri merupakan salah satu nara sumber yang mengangkat topik Peran Budaya Bima Dalam Perubahan Sosial Masyarakat dalam makalahnya. Nara sumber lainnya, Drs H.Hasanuddin Wahid dan Drs H.Abubakar Daeng Manasa yang dipandu moderator Husain Laodet ST, Ketua Dewan Kesenian Kota Bima. Dialog bertujuan mengembangkan dan membangkitkan serta melestarikan kembali budaya Bima yang dinilai mulai memudar di era moderat dengan kemajuan tekhnologi saat ini di Walikota Bima, HM Qurais H Abidin, dihadiri sekitar 70 orang peserta, seperti paguyuban etnis, perwakilan sanggar seni, seniman dan budayawan, pelajar, dan perguruan tinggi di Kota Bima. Amran menjelaskan, empat faktor yang melemahkan nilai budaya Bima dimaksud, yakni (satu) paradigma berpikir masyarakat Bima yang konsumeris. Artinya,kecenderungan mengadopsi hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi lokal, bangga memiliki dan menggunakan produk luar, meniru pola kebiasaan orang lain secara latah. Faktor kedua, masyarakat Bima dinilai tidak mengakui potensi lokal sebagai sesuatu yang hebat sehingga dalam prakteknya cenderungmenggunakan dan memiliki sesuatu berorientasi gengsi, bukan berorientasi manfaat, malu memiliki dan menggunakan produk lokal. Kemudian faktor ketiga, masyarakat Bima gengsi untuk menjadi pekerja tertentu selain Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang berarti bila belum menyandang status sebagai PNS seseorang tersebut belum dikatakan sudah bekerja atau berhasil. Dan faktor keempat, longgarnya komitmen bersama antara pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha untuk mengembangkan potensi lokal secara maksimal.

Sementara itu keunggulan (Strength) yang dimiliki masyarakat Bima adalah memiliki aneka benda unik dan cagar budaya peninggalan masa jaya Kerajaan Bima, memiliki aneka jenis atraksi budaya (upacara adat, tarian tradisional, permainan rakyat, dll.), kebiasaan bergotongroyong, musyawarah mufakat dalam kehidupan masyarakat serta memiliki aneka jenis kerajinan tradisional rakyat, (tenunan tradisional, kerajinan gerabah, dll.) Lalu pertanyaannya, apakah masyarakat Bima mengenal potensi, keunikan dan aneka atraksi budayanya? Masih adakah benda-benda maupun aneka jenisatraksi budaya itu saat ini? Bagaimana upaya pelestarian dan termanfaatkannya potensi budaya lokal? Ini pertanyaan yang harus kita jawab sebagai solusi membangun budaya kita, kata Dosen Kopertis STKIP Bima ini. Di samping itu, Bima sebenarnya memiliki potensi penunjang, seperti Bima memiliki lahan pertanian yang subur, laut yang kaya akan ikan dan sejenisnya (produksi hasil pertanian dan perkebunan, Srikaya, jagung, ikan konsumsi maupun ikan hias dll.). Bima memiliki keanekaragaman flora dan fauna (aneka jenis burung, aneka jenis tanaman hias, lebah madu, kuda Bima dll.) Bim juga memiliki tekstur alam dan panorama yang indah (Pantai Ule, Pantai Amahami, Lawata dll.) Di sisi lain, pengembangan budaya kita tak terlepas dari peluang (Opportunity) yang ada. Diantaranya, putera-putera daerah yang menyebar di seluruh daerah dengan keragaman skill dan disiplin ilmu yang dimiliki dapat dimanfaatkan sebagai agen perubahan ke arah perubahan positif, SDM dengan skill yang berragam dapat dimanage dengan baik (kesesuaian antara disiplin ilmu, kompetensi dan kinerja dengan tugas, wewenang dan tanggungjawab yang dibebankan kepadanya), serta kekayaan alam dan seni budaya daerah dapat dioptimalkan dan dimanage dengan baik, sehingga menjadi aset daerah yang bernilai tinggi. Namun kita dihadapkan juga dengan tantangan dalam perjalananya. Diantara tantangan yang menghadang kita nanti, antara lain, sistem perpolitikan nasional yang belum mapan, warga Bima sibuk mencari-cari kesalahan orang lain dari pada mengoreksi diri sendiri, terjadi instabilitas, yang dipicu oleh rasa tidak puas pribadi, yang diprofokasi dan digeneralisasi menjadi persoalan kelompok dan golongan. Termasuk sikap KKN dan penyakit sosial yang terus menggerogoti kepribadian masyarakat Bima khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, ungkap pria berkacamata ini. Mengakhiri sesi dialog, Kepala Dinas Kebudayan dan Pariwisata Kota Bima menguraikan beberapa pointer penting hasil dialog budaya tersebut. Emansipasi wanita Bima dibatasi ajaran Agama Islam, orang tua dan rumah adalah pusat pelajaran budi pekerti dan pembelajaran budaya, perlu mengemas sebuah upacara adat dengan profesional dan melibatkan seluruh masyarakat Bima dan pribadi kita adalah kata kunci untuk menjaga dan melestarikan budaya Bima seperti implementasi falsafah Maja Labo Dahu, serta perlunya koordinasi antara Pemerintah, budayawan, dunia pendidikan dan seluruh masyarakat dalam melestarikan budaya Bima, urainya. (smd)

BUDAYA BIMA DANA MBOJO


Ditulis pada November 27, 2011

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang atau suatu pola hidup menyeluruh yang dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Bahasa, bangunan, sistem politik, adat istiadat, seni, agama, bangunan merupakan bagian dari terbentuknya budaya . kebudayaan adalah masyarakat itu sendiri. Di Bima sendiri atau orang bima biasa menyebutnya sebagai (Dana mbojo) budaya atau kebudayaan dimulai pada zaman ncuhi, zaman kerajaan, dan zaman kesultanan, tiap pergantian zaman selalu mewariskan tatanan nilai dan peradaban yang luhur dan agung sebagai warisan tak ternilai dari generasi kegenerasi. Budaya yang tercipta merupakan hasil pemikiran, daya cipta, rasa,karsa para pendahulu Pada Masa Ncuhi, sistem kekerabatan dan pola hidup kemasyarakatan dengan dasar hidup Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu, Karawi Kaboju, Kese Tahopu Dua, Dua Tahopu Tolu, peralatan hidup, kepercayaan, tata nilai, arsitektur, bahasa dan seni budaya yang masih dapat DI lihat dan nikmati sampai saat Maja labo dahu, karawi kaboju, nggahi rawi pahu, kese tahopa dua-dua tahopa tolu, kepercayaan, seni, budaya, nilai, pola hidup dan kekerabatan adalah budaya yang diwariskan pada masa ncuhi yang sampai saat ini masih dapat dilihat dan dinikmati. Masa kerajaan yang dimulai pada Tahun 823 H atau 1420 M sampai dengan masa kesultanan tetap mempertahankan sistem dan tata nilai yang telah diwariskan oleh para Ncuhi. Terjadinya peralihan zaman dari Ncuhi ke Kesultanan membuat budaya dana mbojo berkembang dan luas tidak hanya terbatas pada tingkah laku masyarakat atau pola hidup masyarakat tetapi merambah kepada keterampilan masyarakatnya,mereka menciptakan suatu karya seni yang dapat dimanfaatkan dan dapat dipertunjukan seperti tarian istana(Tari Lenggo Mbojo, Lengsara, Karaenta, Katubu, Rombo Toi), serta tarian-tarian rakyat (Gentao, Hadrah Rebana). Saat ini budaya mbojo yang masih bertahan adalah ntumbu ( adu kepala) yaitu tradisi budaya yang berumur sama dengan awal terbentuknya daerah bima. Tidak banyak orang yang mampu memerankan atau memainkannya karena butuh ketelitian dan pemahaman yang mendalam untuk menguasainya. Dan yang paling populer pada saat ini adalah Pacuan Kuda atau dalam bahasa Bima ( Mbojo) disebut Pacoa Jara . Tradisi yang diselenggarakan dua kali setahun ini, terutama pada hari-hari besar seperti Hari Pemuda (Oktober) dan Hari Proklamasi (Agustus) sangat banyak peminatnya mulai dari kalangan anak-anak sampai dewasa, orang-orang luar daerah seperti Sumbawa, Dompu, sampai Lombok sehingga dalam satu periode pacuan, jumlah pendaftar ini bisa mencapai 800 hingga 1000 peserta . Pacuan kuda ini dilaksanakan dalam bentuk kejuaraan, pemenang akan mendapatkan hadiah mulai dari uang, sepeda motor, sapi dan lain-lain.

Salah satu atraksi seni budaya tradisional Bima yang cukup unik adalah Adu Kepala atau dalam Bahasa Bima disebut Ntumbu. Belum ada pihak yang mengetahui secara pasti kapan atraksi kesenian seperti ini mulai ada di Bima. Karena Atraksi Ntumbu ini hanya ditemkukan di desa Nori kecamatan Wawo. Namun beberapa sejarahwan dan budayawan berpendapat bahwa atraksi ini telah ada pada zaman kesultanan Bima pada abat ke 17. Hampir 90 porsen atraksi kesenian tradisional Bima didominasi oleh atraksi ketangkasan yang menggambarkan semangat patriotisme dan kepahawanan. Hal itu dibuktikan dengan penggunaan alat-alat ktangkasan dan perlengkapan perang seperti parang, tombak, keris dan lain-lain dalam setiap atraksi. Di Desa Ntori kecamatan Wawo Bima, Ntumbu diwariskan turun temurun oleh satu keluarga atau keturunan. Dan tidak bisa dimainkan oleh orang lain di luar lingkungan keluarga itu. Sebelum bertanding (Beradu Kepala), salah seorang yang tertua di antara mereka memberikan air doa dan mantera-mantera kepada seluruh anggota pemain. Mantera itu adalah ilmu kebal sehingga ketika mereka melakukan adu kepala tidak merasakan sakit dan tidak benjol atau berdarah akibat benuran kepala itu. Atraksi Adu Kepala diiringi oleh alunan musik tradisonal Bima yaitu Dua Buah Gendang, Satu serunai, Gong, dan Tawa-tawa. Ketika musik dimainkan, beberapa orang berlaga di depan seperti gaya pencak silat lalu saling menyerang dengan kepala. Sejarahwan M. Hilir Ismail mengemukakan bahwa Atraksi Adu Kepala ini sempat juga dilarang karena ada pandangan bahwa atraksi ini bertentangan dengan ajaran Islam. Kenapa demikian ? karena kepala adalah simbol kehormatan seseorang jadi alangkah hinanya jika diadu. Namun ada juga kalangan yang berpendapat bahwa hal itu adalah bagian dari tradisi untuk menggugah semangat patriotisme membela negara(Kerajaan). Terlepas dari polemik itu, dalam konteks kekinian Adu Kepala merupakan salah satu komditi pariwisata Kabupaten Bima yang perlu dilestarikan keberadaanya.(alan)

You might also like