You are on page 1of 44

Status Gizi

BB / U = 45/45,6 x 100 % = 96 % (Gizi baik)

TB / U = 155 / 156,5 x 100 % = 99 % (Tinggi normal)

BB / TB = 45 / 45,5 x 100 % = 98 % (Gizi baik)

Kehilangan BB = -

LLA / U = 24 cm ~ antara persentil 50 dan 75

LK / U = 53 cm ~ -2 SD s/d +1 SD (Normocephaly)

Tanda Vital
Tekanan Darah : 100 / 70 mmHg
Nadi

: 140 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular

Nafas

: 35 x / menit, tipe abdomino-torakal, inspirasi : ekspirasi = 1 : 2

Suhu

: 37,5 C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)

KEPALA

: Normocephali, ubun-ubun besar sudah menutup

RAMBUT

: Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, cukup tebal

WAJAH

: wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut

MATA

Visus

: tidak dinilai

Ptosis

: -/-

Sklera ikterik

: -/-

Lagofthalmus : -/-

Konjunctiva anemis : -/-

Cekung

: -/-

Exophthalmus

: -/-

Kornea jernih : +/+

Strabismus

: -/-

Lensa jernih

: +/+

Nistagmus

: -/-

Pupil

: bulat, isokor

Refleks cahaya

: langsung +/+ , tidak langsung +/+

Cekung

: -/-

TELINGA :
Bentuk

: normotia

Tuli

: -/-

Nyeri tarik aurikula

: -/-

Nyeri tekan tragus

: -/-

Liang telinga

: lapang

Membran timpani

: sulit dinilai

Serumen

: -/-

Refleks cahaya

: sulit dinilai

Cairan

: -/-

HIDUNG :
Bentuk

: simetris

Napas cuping hidung

: -/-

Sekret

: -/-

Deviasi septum

:-

Mukosa hiperemis

: -/-

BIBIR : Simetris saat diam, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
MULUT : oral hygiene buruk, lidah tifoid (+)
TENGGOROKAN : tidak dapat dinilai
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB,
tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba di
tengah
THORAKS :

Inspeksi : Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan
yang tertinggal, pernafasan abdomino-torakal, tidak ada retraksi sela iga, tidak
ditemukan efloresensi pada kulit dinding dada, roseola spot (-), ictus cordis terlihat
pada ICS V linea midclavicularis kiri, pulsasi abnormal (-)

Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan dan benjolan, gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri, teraba ictus cordis pada ICS V linea
midclavicularis kiri, denyut kuat

Perkusi : sonor di kedua lapang paru, jantung dalam batas normal

Auskultasi : suara napas vesikuler, reguler, ronchi (-/-), wheezing (-/-), bunyi jantung
I-II reguler, punctum maksimum pada ICS V 1 cm linea midclavicularis kiri, murmur
(-), gallop (-)

ABDOMEN :

Inspeksi : perut rata, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut maupun
benjolan, roseola spot (-), kulit keriput (-), gerakan peristaltik (-)

Palpasi : supel, hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba memebesar, nyeri tekan
(+) di epigastrium, turgor kulit baik

Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut, nyeri ketok abdomen (-)

Auskultasi : bising usus (+), frekuensi 4 x / menit

ANOGENITALIA : jenis kelamin laki - laki, tanda radang (-), ulkus (-), sekret (-), fissura
ani (-). Sirkumsisi (-), fimosis (-), parafimosis (-), hipospadi (-), epispadi (-)
KGB :

Preaurikuler

: tidak teraba membesar

Postaurikuler

: tidak teraba membesar

Submandibula

: tidak teraba membesar

Supraclavicula

: tidak teraba membesar

Axilla

: tidak teraba membesar

Inguinal

: tidak teraba membesar

ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas

: akral hangat pada keempat ekstremitas

Tangan

Kanan

Kiri

Tonus otot

normotonus

normotonus

Sendi

pasif

pasif

tidak terdapat keterbatasan gerak sendi


Refleks fisiologis

Bicep (+)

Bicep (+)

Tricep (+)

Tricep (+)

Refleks patologis

(-)

(-)

Lain-lain

oedem (-)

oedem (-)

Kaki

Kanan

Kiri

Tonus otot

normotonus

normotonus

Sendi

pasif

pasif

tidak terdapat keterbatasan gerak sendi


Refleks fisiologis
Refleks patologis

Lain-lain

Patella (+)

Patella (+)

Achilles (+)

Achilles (+)

Babinsky (-)

Babinsky (-)

Chaddock (-)

Chaddock (-)

Gordon (-)

Gordon (-)

oedem (-)

oedem (-)

STATUS NEUROLOGIS
A. Rangsang meningeal
Kaku kuduk

(+)
Kanan

Kiri

Kernig

(+)

(+)

Laseq

(+)

(+)

Bruzinski I

(-)

(-)

Bruzinski II

(-)

(-)

A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


OS datang ke IGD RSUD Budhi Asih dihantar oleh ibunya dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 3 hari SMRS. OS tidak sadar dan sering mengigau. Awalnya 4
hari SMRS, OS masih dapat berjalan, namun ketika diajak berbicara, jawaban OS sudah
mulai ngelantur. Demam (+), mencret (+), mual (+), muntah (+).
Sejak 2 minggu SMRS OS demam. Demam terutama pada malam hari dan turun
pada siang hari, sehingga OS tetap ke sekolah di siang harinya. Menggigil (-), berkeringat (-),
kejang (-), riwayat keluar kota baru - baru ini (-), mimisan (-), bintik - bintik merah di kulit
(-), gusi berdarah (-). OS sudah dibawa ke dokter untuk berobat, diberi obat penurun panas
namun demam OS hanya turun sebentar, kemudian naik lagi. OS juga mual dan muntah yang
terjadi setiap habis makan. OS masih bisa minum. Mencret (-), BAB biasa, BAK lancar. OS
juga sering menngeluh sakit kepala.
1 hari SMRS OS mencret (+) 3x, konsistensi cair, ampas (+), air lebih banyak
disbanding ampas, lendir (+), darah (-), bau biasa, volume gelas aqua setiap mencret.
Menurut pengakuan ibunya, OS akhir akhir ini suka jajan sembarangan di pinggir jalan di
sekolahnya. OS pernah bercerita temannya di sekolah ada yang sedang sakit tipes.
B. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit
Alergi
Cacingan
DBD
Otitis
Parotitis

Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Penyakit
Difteria
Diare
Kejang
Morbili
Operasi

Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Penyakit
Penyakit jantung
Penyakit ginjal
Radang paru
TBC
Lain-lain

Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita : OS tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya

C. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN


KEHAMILAN

Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal

Tidak ada
Rutin kontrol ke Puskesmas 1 bulan sekali dan

sudah mendapat imunisasi vaksin TT 2 kali


Rumah sakit
Dokter Spesialis Kandungan
Normal
Penyulit : 9 bulan, 1 minggu
Berat lahir : 2300
Panjang lahir : 49 cm
Lingkar kepala : (tidak tahu)
Langsung menangis (+)

Tempat persalinan
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi
KELAHIRAN
Keadaan bayi

Kemerahan (+)
Nilai APGAR : 9/10

Kelainan bawaan : tidak ada


Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran
: Neonatus Cukup Bulan Sesua
Masa Kehamilan
D. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi I

: Umur 9 bulan

(Normal: 5-9 bulan)

Gangguan perkembangan mental : Tidak ada


Psikomotor
Tengkurap

: Umur 4 bulan

(Normal: 3-4 bulan)

Duduk

: Umur 7 bulan

(Normal: 6-9 bulan)

Berdiri

: Umur 11 bulan

(Normal: 9-12 bulan)

Berjalan

: Umur 12 bulan

(Normal: 13 bulan)

Bicara

: Umur 9 bulan

(Normal: 9-12 bulan)

Perkembangan pubertas
Rambut pubis

: belum

Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : baik (sesuai usia)

Susu

Lain lain
Kesulitan makan : menurut pengakuan ibu, sebelumnya OS tidak sulit makan
Kesimpulan riwayat makanan : pasien tidak sulit, asupan cukup baik. OS sering jajan
sembarangan di pinggir jalan akhir akhir ini
F. RIWAYAT IMUNISASI

Vaksin
BCG
DPT / PT

Dasar ( umur )
2 bulan 2 bulan 4 bulan

Ulangan ( umur )
6 bulan

Polio

0 bulan

2 bulan

4 bulan

Campak
Hepatitis B

0 bulan

1 bulan

9 bulan
6 bulan

Kesimpulan riwayat imunisasi : imunisasi dasar lengkap dan sesuai jadwal.


G. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
No
1.

Tanggal lahir
(umur)
2 Februari 2000

Jenis
kelamin

Hidup

Lahir
mati

Abortus

Mati
(sebab)

Keterangan
kesehatan

Laki - laki

Sehat
(pasien)

b. Riwayat Pernikahan
Nama
Perkawinan keUmur saat menikah
Pendidikan terakhir
Agama
Suku bangsa
Keadaan kesehatan
Kosanguinitas
Penyakit, bila ada

Ayah / Wali
Tn. S
1
23 tahun
SMP
Islam
Betawi
Sehat
-

Ibu / Wali
Ny. M
1
20 tahun
SMP
Islam
Betawi
Sehat
-

c. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami hal seperti yang dialami oleh pasien.
Ibu dan ayah tidak menderita penyakit hipertensi, pembengkakan jantung, maupun
kencing manis.
Kesimpulan Riwayat Keluarga : pasien tunggal. Tidak ada anggota keluarga yang
mengalami keluhan sama dengan pasien.
H. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN
Pasien tinggal bersama ayah dan ibunya di sebuah rumah tinggal di perumahan
dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, beratap genteng, berlantai keramik,
berdinding tembok. Keadaan rumah cukup luas, pencahayaan baik, ventilasi baik. Sumber air
bersih dari air PAM. Air limbah rumah tangga disalurkan dengan baik dan pembuangan

sampah setiap harinya diangkut oleh petugas kebersihan. Tetangga OS ada yang sedang sakit
tipes. Tidak ada tetangga OS yang sedang sakit demam berdarah.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan : Cukup baik
I.

RIWAYAT SOSIAL DAN EKONOMI


Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan Rp.2.000.000,- /bulan.

Sedangkan ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien penghasilan tersebut
cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Sehari-hari pasien diasuh oleh ibunya.
Kesimpulan sosial ekonomi: Cukup baik
II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 14 April 2013 jam 07.25 WIB)
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit

: Tampak sakit berat

Kesadaran

: Delirium

Kesan Gizi

: Baik

Keadaan lain

: Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)

Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 45 kg

Lingkar Kepala : 53 cm

Berat Badan sebelum sakit : 46 kg

Lingkar Lengan Atas : 24 cm

Tinggi Badan

: 155 cm

B. Saraf cranialis
- N. I (Olfaktorius)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. II dan III (Opticus dan Occulomotorius)
Pupil bulat isokor 3mm / 3mm, RCL +/+, RCTL +/+
- N. IV dan VI (Trochlearis dan Abducens)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. V (Trigeminus)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
Sensorik: cabang oftalmik: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
cabang maksilaris: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
cabang mandibularis: tidak dapat dilakukan pemeriksaan

- N. VII (Facialis)
Wajah simetris
Motorik: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
Sensorik: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. VIII (Vestibulo-kokhlearis)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. XI (Aksesorius)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. XII (Hipoglosus)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
KULIT : warna sawo matang merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit baik,
lembab, pengisian kapiler < 2 detik, petechie (-)
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-. Laboratorium
Tanggal 30 April 2013
Jenis Pemeriksaan
HEMATOLOGI RUTIN

Hasil

Nilai Normal

Leukosit

9 ribu/L

4,5 - 13

Hemoglobin

14 g/dL

11,8 - 15

Hematokrit

41 %

40 - 52

Trombosit

38* ribu/ L

156 - 406

LED

4 mm/jam

0-10

Eritrosit

5,6 juta/L

4,4 5,9

Basofil

0%

0-1

Eosinofil

0%

1-5

Netrofil batang

0%

3-6

Netrofil segmen

52%

25-60

Limfosit

38 %

25-50

Monosit

5%

1-6

KIMIA DARAH
Gula Darah Sewaktu

135* mg/dL

50-80

Natrium

128* mmol/L

135-155

Kalium

3,3* mmol/L

3,6-5,5

Klorida

98 mmol/L

98-109

ELEKTROLIT

WIDAL/

SALMONELLA HASIL

NILAI NORMAL

TITER
S. Typhi O

1/320*

Negatif

S. Typhi AO

1/160*

Negatif

S. Typhi BO

Negatif

Negatif

S. Typhi OO

Negatif

Negatif

S. Typhi H

1/320*

Negatif

S. Thyphi AH

Negatif

Negatif

S. Typhi BH

Negatif

Negatif

S. Typhi CH

Negatif

Negatif

SGOT

25 mU/dl

<33

SGPT

26 mU/dl

<26

KIMIA KLINIK
HATI

IV. RESUME
OS, An. R, 14 tahun. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat disimpulkan OS
datang dengan delirium sejak 3 hari SMRS. Febris sejak 2 minggu SMRS, vomitus (+), daire
(+), nyeri tekan epigastrium (+). Lidah typhoid (+), hepatomegaly (+), tanda rangsang
meningeal

(+).

Lab:

trombositopenia,

hiperglikemia,

hipokalemia,

hiponatremia,

hipokloremia, widal test (+).

VI. DIAGNOSIS BANDING


Meningitis typhoid
VI. DIAGNOSIS KERJA
Meningitis typhoid
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
-

Hematologi rutin ulang

Feses lengkap

Urin lengkap

Tubex TF

Biakan tinja

Lumbal pungsi

CT scan kepala

CRP

VIII. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
1. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien
2. Tirah baring
3. O 2 liter per menit
4. Observasi tanda tanda vital
5. Pasang NGT
Medikamentosa
-

Rawat inap

IVFD Kaen 3 B 5 cc/kgBB/jam

KCL 15 meq

Inj. Kloramfenikol 4x 500 mg/hari

Inj. Ampicillin 6 x 750 mg

Inj. Deksametason 3x5 mg

Inj. Piracetam 4x500 mg

Paracetamol 15 mg/kgBB bila suhu 38 C

10

IV. PROGNOSIS
Ad Vitam

: dubia ad bonam

Ad Sanationam

: dubia ad bonam

Ad Fungtionam

: dubia ad bonam

FOLLOW UP
Tgl
1/5/12

S
Demam (+)

O
KU : TSB

A
Meningitis

P
IVFD Kaen 3 B 5 cc/kgB

Demam

Gelisah (+)

KS : Delirium

typhoid

KCL 15 meq

H- 15

Bicara

TD = 100/80

Inj. Ampicillin 6 x 750

Perawatan

kacau (+)

N =132 x/m,

mg

H-2

RR= 34x/m, S =

Kloramfenikol 4x500 mg

BB: 45 kg

37,6 0 C

Inj. Piracetam 4 x 500mg

CRP

E4 V4 M6

Rantin 3 x 25mg

Lab:

kuantitatif:

Kepala : normosefali

Pasang kateter

H2TL

88mg/dL

Mata : CA -/-, SI -/-

Leu:

4,9 ()

THT : dbn, sekret (-)

rb/uL

Leher : KGB ttm

Hb:13,1

Tho : retraksi sela

g/dL

iga (-), SN vesikuler,

Ht: 38%

rh +/+, wh /-, BJ I-II

Trombo:

reguler, m (-), g (-)

54rb/uL

Abd

()

4x/menit

GDT: erit:

Ext : akral hangat +

normositi

+/++

TRM

normokro

kuduk (+), laseq (+),

kernig (+)

BU

(+):

(+)

kaku

Leukosit:
kurang;M
orfologi:
normal
Trombosit

11

:kurang;
morgologi
: normal
Kesan:
leukopeni
dan
trombosit
openia
2/5/2013

Demam (+)

KU : TSS

Meningitis

Demam

Gelisah (+)

KS : somnolen

typhoid

H-16

Kejang (-)

TV : TD=100/70, N

Perawatan

Sudah dapat =125x/m,

H- 3

diajak

BB:45 kg

bicara

IVFD

Asering

cc/KgBB
IVFD Kaen 1 B (450 cc)

+ NaCl 3% (50 cc)

30x/m, S = 37,50C

3cc/kgBB/jam

dan Kepala : normosefali

O2 nasal 2 l per menit

menjawab

Mata : CA -/-, SI -/-

Inj. Ampicillin 6x750 mg

Lab

pertanyaan

THT : dbn, sekret (-)

Inj.

H2TL:

mudah

Leher : KGB ttm

500mg

Leu:4,3

Tho : retraksi sela

Inj. Piracetam 4 x 500mg

rb/uL()

iga (-), SN vesikuler,

Inj. Rantin 3x 25mg

Hb:

rh +/+, wh -/-, BJ I-II

PCT 300 mg

g/dL ()

reguler, m (-), g (-)

Inj. Dexamethason 3x5

Ht:

Abd

mg

10,6
31%

BU

(+)

()

4x/menit

Tromb:51

Ext : akral hangat +

rb/uL ()

+/++

FL: serat:

Kaku

kuduk

Kloramfenikol

4x

R/ ulang H2TL

(+),

(+)
17/4/13

Demam (-)

laseq (+), kernig (+)


KU : TSS

Meningitis

Perawatan

Gelisah (-)

KS : CM

typhoid

hari 4

Kejang (-)

TV : TD=106/67 N perbaikan

IVFD Kaen 1 B (450 cc)

=108x/m,

+NaCl 3 % (50cc) 3

Demam

IVFD
dengan

Asering

cc/kgBB/jam

H- 17

24x/m, S = 39,3

cc/kgBB/jam

BB: 46 kg

Kepala : normosefali

Inj. Ampicillin 6 x 750

12

Mata : CA -/-, SI -/-

mg n(hr 3)

THT : dbn, sekret (-)

Inj.Kloramfenikol

Leher : KGB ttm

4x500 mg (hari 3)

Tho : retraksi sela

Inj. Piracetam 4x500 mg

iga (-), SN vesikuler,

(hari 3)

rh +/+, wh -/-, BJ I-II

Inj. Rantin3x 25 mg

reguler, m (-), g (-)

Paracetamol

Abd

kgBB

BU

(+)

15

mg/

4x/menit,hipertimpa

Inj. Dexamethason 3x5

ni

mg

Ext : akral hangat +


+/++
Kaku

kuduk

(+),

4/5/13

Demam (-)

laseq (-), kernig(-)


KU/KS : TSS/CM

Perawatan

Sakit kepala

TV : TD=126/71 N

5 meq + NaCl 3 %

hari 5

Sakit perut

=116x/m,

3cc/kgbb/jam

Meningits typhoid
=

IVFD Ka En 3B + KCL

Demam

25x/m, S = 370C

IVFD RL+KCL80 meq

H- 17

Kepala : normosefali

24 jam/kolf 20 cc/jam

BB: 45 kg

Mata : CA -/-, SI -/-

Inj. Ceftriakson 3x1

THT : dbn, sekret (-)

Inj. Mikasin 3x200 mg

Leher : KGB ttm

Inj. Piracetam4x500 mg

Tho : retraksi sela

Inj. Rantin 3x25mg

iga (-), SN vesikuler,

Inj. Polisilane 3x 10

rh +/+, wh -/-, BJ I-II

Paracetamol 300 mg

reguler, m (-), g (-)

Candistin 4x1cc

Abd

BU

(+)

4x/menit
Ext : akral hangat +
+/++
kaku kuduk (+),laseq
(-), kernig(-)
KU : TSB/delirium

6/4//13

Demam (+)

Meningitis

Perawatan

Sakit kepala TV : TD=126/71 N typhoid

IVFD Ka En 3B + KCL
dengan

5 meq + NaCl 3 %

13

hari 7

(+)

Demam

Sakit perut 25x/m, S = 370C

IVFD RL+KCL80 meq

H-18

(+)

Kepala : normosefali

24 jam/kolf 20 cc/jam

Mata : CA -/-, SI -/-

Inj. Ceftriakson 3x1

Mulut:

Inj. Mikasin 2x175 mg

kering,higiene buruk

mg

THT : dbn, sekret (-)

Inj. Piracetam4x500 mg

Leher : KGB ttm

Inj. Rantin 3x25mg

Tho : retraksi sela

Inj. Polisilane 3x 10

iga (-), SN vesikuler,

Paracetamol 300 mg

rh +/+, wh -/-, BJ I-II

Candistin 4x1cc

reguler, m (-), g (-)

BB: 46 kg

=116x/m,

Abd

BU

= perbaikan

3cc/kgbb/jam

(+)

4x/menit, NT(+)
Ext : akral hangat +
+/++
kaku kuduk (+),laseq
(-), kernig(-)
KS :TSS/ CM

7/5/13

Demam (+)

Perawatan

Sakit kepala TV : TD=100/70 N dengan perbaikan

20

hari 8

(-)

2cc/kgBB/jam- 56cc/jam

Demam

Sakit perut 23x/m, S = 38,10C

TRM (+):

Inj. Ceftriakson2x1 gr

H-19

(+)

Kepala : normosefali

-Kaku kuduk (-)

(5)

Mata : CA -/-, SI -/-

- laseq (-), kernig

Inj. Mikasin 2x 175 mg

THT : dbn, sekret (-)

(-)

(5)

BB: 46 kg

=120x/m,

Ensefalopati tifoid

IVFD Ka En 3B
cc

+NaCl

3%

Leher : KGB ttm

Inj. Ranitidin 4 x500 mg

Tho : retraksi sela

Polisilane 3x 10 cc

iga (-), SN vesikuler,

PCT 300 mg bl suhu >

rh +/+, wh -/-, BJ I-II

38C

reguler, m (-), g (-)

Borax gliserin utk 6 hari

Abd

Candistin 4x1 cc

BU

(+)

4x/menit

Piracetam 4 x 500 mg

Ext : akral hangat +


+/++

14

CRT <2
8/5/13

Demam (+)

Perawatan

Sakit kepala TV : TD=100/70 N typhoid

hari 9

(-)

Demam

Sakit perut S = 390C

H-20

(-)

BB: 46 kg

KS :TSb/somnolen

Meningitis

IVFD Ka En 3B
dengan

=84x/m, R = 20x/m, perbaikan

20

cc

+NaCl

3%

2cc/kgBB/jam- 56cc/jam
Inj. Ceftriakson2x1 gr

Kepala : normosefali

TRM (+):

Inj. Mikasin 2x 175 mg

Mata : CA -/-, SI -/-

-Kaku kuduk (+)

Inj. Ranitidin 4 x500 mg

THT : dbn, sekret (-)

- laseq(-), kernig

Polisilane 3x 10 cc

Leher : KGB ttm

(-),

PCT 300 mg bl suhu >

Tho : retraksi sela

38C

iga (-), SN vesikuler,

Borax gliserin utk 6 hari

rh +/+, wh -/-, BJ I-II

Candistin 4x1 cc

reguler, m (-), g (-)

Piracetam 4 x 500 mg (6)

Abd

BU

(+)

4x/menit
Ext : akral hangat +
+/++
CRT <2
KS :TSS/ CM

9/5/13

Demam (-)

Perawatan

Sakit kepala TV : TD=100/70 N dengan perbaikan

20

hari 10

(-)

2cc/kgBB/jam- 56cc/jam

Demam

Sakit perut 56x/m, S = 370C

TRM (-):

Ca glukonas 3 gr+ D5

H- 21

(-)

Kepala : normosefali

-Kaku kuduk (-)

100cc/24

Mata : CA -/-, SI -/-

- Brudz I &II (-)

5cc/jam/ivac

BB: 46 kg

=100x/m,

Meningitis

tifoid

IVFD Ka En 3B
cc

+NaCl

3%

jam

THT : dbn, sekret (-)

Inj. Ceftriakson2x1 gr

Mulut: kering, oral R/

Inj. Mikasin 2x 175 mg

higiene buruk

Besok

NaCl,

Inj. Ranitidin 4 x500 mg

Leher : KGB ttm

elektrolit,

GDS,

Polisilane 3x 10 cc

Tho : retraksi sela Ca ion

PCT 300 mg bl suhu >

iga (-), SN vesikuler, PRC 2 x 250 cc

38C

rh +/+, wh -/-, BJ I-II

Borax gliserin utk 6 hari

reguler, m (-), g (-)

Candistin 4x1 cc

Abd

Piracetam 4 x 500 mg

BU

(+)

15

4x/menit
Ext : akral dingin +
+/++
CRT <2
KS :TSS/ CM

10/5/13

Demam (+)

Perawatan

Sakit kepala TV : TD=100/60 N typhoid

hari 11

(-)

Demam

Sakit perut 56x/m, S = 370C

H-12

(+)

=100x/m,

Meningitis

IVFD Ka En 3B
dengan

= perbaikan

20

cc

+NaCl

3%

2cc/kgBB/jam- 56cc/jam
Inj. Ceftriakson2x1 gr

Kepala : normosefali

TRM (-):

Mata : CA -/-, SI -/-

-Kaku

THT : dbn, sekret (-)

(-),laseq

Leher : KGB ttm

kernig (-)

Inj. Dexamethason 3x5


kuduk
(-),

mg
Inj. Mikasin 2x 175 mg
Inj. Ranitidin 4 x500 mg

Tho : retraksi sela - Brudz I &II (-)

Polisilane 3x 10 cc

iga (-), SN vesikuler,

PCT 300 mg bl suhu >

rh +/+, wh -/-, BJ I-II

38C

reguler, m (-), g (-)

Candistin 4x1 cc

Abd

Piracetam 4 x 500 mg

BU

(+)

4x/menit, NTE(+)
Ext : akral hangat +
+/++
CRT <2
KS :TSS/ CM

12/5/13

Demam (-)

Perawatan

Sakit kepala TV : TD=100/60 N typhoid

hari 13

(-)

Demam

Sakit perut 40x/m, S = 36,50C

H-22

(+)

=116x/m,

Meningitis

IVFD Ka En 3B
dengan

= perbaikan

20

cc

+NaCl

3%

2cc/kgBB/jam
Inj. Ceftriakson2x1,4 mg

Kepala : normosefali

TRM (-):

Polisilane 3x 10 cc

Mata : CA -/-, SI -/-

-Kaku kuduk (-)

PCT 300 mg bl suhu >

THT : dbn, sekret (-)

- laseq (-), kernig

38C

Leher : KGB ttm

(-)

Candistin 4x1 cc

Tho : retraksi sela

Inj. Dexamethason 3x5

iga (-), SN vesikuler,

mg

rh +/+, wh -/-, BJ I-II

Piracetam 4 x 60 mg

reguler, m (-), g (-)

Omeprazol 1x 20 mg

Abd

Betadin kumur

BU

(+)

16

4x/menit, NTE(+)
Ext : akral hangat +
+/++
CRT <2
KS :TSS/ CM

13/5/13

Demam (-)

Perawatan

Sakit kepala TV : TD=100/60 N typhoid

hari 14

(-)

Demam

Sakit perut 24x/m, S = 360C

H-23

(+)

=90x/m,

Meningitis

RR

IVFD Ka En 3B
dengan

= perbaikan

20

cc

+NaCl

3%

2cc/kgBB/jam
Inj. Ceftriakson2x1,4 mg

Kepala : normosefali

TRM (-):

Polisilane 3x 10 cc

Mata : CA -/-, SI -/-

-Kaku kuduk (-)

PCT 300 mg bl suhu >

THT : dbn, sekret (-)

Laseq (-), kernig

38C

Leher : KGB ttm

(-)

Candistin 4x1 cc

Tho : retraksi sela

Piracetam 4 x 60 mg

iga (-), SN vesikuler,

Omeprazol 2x 20 mg

rh +/+, wh -/-, BJ I-II

Betadin kumur

reguler, m (-), g (-)

Cek ulang elektrolit

Abd

BU

(+)

4x/menit, NTE(+)
Ext : akral hangat +
+/++
CRT <2
KS :TSS/ CM

14/5/13

Demam (-)

Perawatan

Sakit kepala TV : TD=100/60 N typhoid

hari 15

(-)

Demam

Sakit perut 20x/m, S = 36,3C

H-24

(+)

=100x/m,

Meningitis

IVFD Ka En 3B
dengan

= perbaikan

20

cc

+NaCl

3%

2cc/kgBB/jam
Inj. Ceftriakson2x1,4 mg

Kepala : normosefali

TRM (-):

Polisilane 3x 10 cc

Bebas

Mata : CA -/-, SI -/-

-Kaku kuduk (-)

PCT 300 mg bl suhu >

demam 3

THT : dbn, sekret (-)

- laseq (-), kernig

38C

hari

Leher : KGB ttm

(-)

Candistin 4x60mg

Tho : retraksi sela

Omeprazol 2x 20 mg

iga (-), SN vesikuler,

Betadin kumur

rh +/+, wh -/-, BJ I-II


reguler, m (-), g (-)
Abd

BU

(+)

17

4x/menit, NTE(-)
Ext : akral hangat +
+/++
CRT <2

TINJAUAN PUSTAKA

MENINGITIS TYPHOID

A. Definisi

18

Meningitis thypoid adalah radang akut pada selaput otak yang disebabkan oleh
salmonella tertentu yaitu S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B, dan kadang-kadang
jenis salmonella yang lain. Infeksi karena s. thypi cenderung lebih berat daripada
bentuk infeksi salmonella yang lain (Swarga, 2008).1

B. Mikrobiologi Salmonella typhi1


1. Morfologi dan Identifikasi
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Salmonella typhi sering bersifat patogen untuk
manusia atau hewan bila masuk melalui mulut. Bakteri ini ditularkan dari hewan atau
produk hewan kepada manusia, dan menyebabkan enteritis, infeksi sistemik, dan
demam enterik. Panjang Salmonella bervariasi. Kebanyakan spesies, kecuali
salmonella pullorum-gallinarum dapat bergerak dengan flagella peritrica. Bakteri ini
mudah tumbuh pada kultur biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan laktosa atau
sukrosa. Bakteri ini membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan
manosa, dan biasanya membentuk H2S. Bakteri ini dapat tetap dapat hidup pada suhu
ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama
berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, dan bahan tinja.
Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu (misalnya hijau brilliant, natrium
tetrationat, dan natrium deoksikolat) yang umumnya digunakan untuk menghambat
bakteri enteric lainnya sehingga senyawa tersebut bermanfaat untuk mengisolasi
salmonella dari tinja pada kultur biakan (Swarga, 2008).1

19

Gambar 2.1. Strukur Salmonella Typhi1


2. Struktur Antigen1
Meski pada awalnya salmonella dideteksi berdasarkan sifat-sifat biokimianya,
golongan, dan spesiesnya harus diidentifikasi dengan analisis antigen. Seperti
Enterobacteriaceae lain, salmonella memiliki beberapa antigen O dan antigen H.
Beberapa salmonella juga memiliki antigen simpai (K), yang disebut Vi, yang dapat
menggangu aglutinasi melalui antiserum O dan protein membran terluar/outer
membrane protein yang juga bersifat sebagai antigen . Penjelasan masing-masing
antigen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur
kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100C
selama 25 jam, alkohol dan asam yang encer.
b. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan
berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga
dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas
suhu 60C dan pada pemberian alkohol atau asam.
c. Antigen Vi

20

Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari
fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam
pada suhu 60C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk
mengetahui adanya karier.
d. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan
sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin.
Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP
F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <
6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C.
Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen
protein 50 kDa/52 kDa (Wardani et al., 2005)2
Tes aglutinasi dengan antiserum serapan untuk antigen O dan H yang berbeda
merupakan dasar untuk klasifikasi salmonella secara serologik.
3. Klasifikasi
Klasifikasi kelompok Salmonella-Arizona cukup rumit karena organisme ini lebih
merupakan suatu rangkaian kesatuan dibanding dengan spesies tertentu. Sistem
klasifikasi Salmonella terdiri dari tiga spesies utama yaitu : Salmonella typhi (satu
serotipe), Salmonella choleraesuis (satu serotipe), dan Salmonella enteritidis (lebih
dari 1500 serotipe). Penentuan serotipe didasarkan atas reaktifitas antigen O dan
antigen H bifasik. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit pada
manusia dan dapat diisolasi dari hewan berdarah panas adalah golongan Salmonella
cholerasuis, sementara yang lainnya terutama diisolasi dari hewan berdarah dingin
dan lingkungan. Salmonella yang secara rutin diidentifikasi karena penting dalam
klinik adalah S.thypi, S.cholaraesuis, S.parathypi A, dan S.parathypi B. Salmonella ini
dapat diidentifikasi berdasarkan tes biokimia dan penentuan serogroup, diikuti dengan
penentuan serotype (Prasetyo et al., 2005).3

21

C. Faktor Predisposisi
Beberapa kondisi pasien dengan otitis media, pneumonia, sinusitis akut, dan sickle
sell anemia dapat meningkatkan kemungkinan terjadi meningitis. Fraktur tulang
tengkorak atau pembedahan spinal dapat juga menyebabkan meningitis. Selain itu
meningitis juga dapat terjadi pada individu dengan gangguan sistem imun, seperti
AIDS dan defisiensi imunologi baik yang congenital ataupun yang didapat.
Meningitis thyposa lebih sering ditemukan pada anak-anak mungkin disebabkan oleh
sistem imun anak-anak yang belum matang dan masih rentan terhadap penyakit
infeksi (Arisandi, 2008).4
D. Manifestasi Awal Demam Tifoid
Infeksi awal meningitis thyposa dimulai dengan gejala-gejala demam tifoid. Masa
inkubasinya rata-rata bervariasi antara 7-20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terlama adalah 60 hari. Lamanya masa inkubasi berhubungan dengan jumlah
kuman yang ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status imunologis pasien.
Walaupun gejala demam tifoid ini bervariasi namun secara garis besar dapat
dikelompokan, antara lain :5
-

Demam satu minggu atau lebih;

Gangguan pencernaan; dan

Gangguan kesadaran (Rampengan et al., 1997)

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai infeksi akut pada umumnya,
seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, dan konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Demam yang terjadi
pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti orang dewasa, kadang-kadang
mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan
remiten (39-41C) serta dapat juga bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid
kongenital. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda klinis makin jelas, berupa
demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, mungkin
disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai dengan yang berat (Rampengan
et al., 1997; Darmowandowo, 2002). 6

22

Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas meninggi dengan tanda-tanda antara
lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat,
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominem (Rampengan et al., 1997).5

Gambar 2.3. Lidah Tifoid5


Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan nodul kecil menonjol dengan diameter 2-4cm, berwarna merah pucat,
serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman dimana di
dalamnya mengandug kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, dan kadang-kadang daerah pantat maupun bagian flexor lengan atas. Limpa
pada umumnya juga sering membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama. Pembesaran ini harus dibedakan dengan pembesaran oleh karena malaria.
Pembesaran limpa pada tifoid tidak progresif dengan kosistensi lebih lunak
(Darmowandowo, 2002).6
Tofoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang menderita demam tifoid dan
menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya besifat fatal namun pernah
dilaporkan tifoid kongenital dapat hidup dengan gejala tidak khas dan menyerupai
sepsis neonatorum. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati,
limpa, serta kelainan patologis pada usus tidak didapatkan. Hal ini menjelaskan bahwa
pada tifoid kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan
gejala-gejala tifoid sepsis pada janin. Demam tifoid pada anak usia < 2 tahun jarang
dilaporkan, bila terjadi biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih
besar. Kejadiannya sering mendadak disertai panas yang tinggi, muntah-muntah,

23

kejang, dan tanda-tanda perangsangan meningeal. Pada pemeriksaan darah ditemukan


leukositosis (20.000-25.000/mm3), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik.
Perjalanan fisiknya lebih pendek, lebih variasi, sering tidak melebihi minggu, angka
kematian yang tinggi (12,5%) (Rampengan et al., 1997).5

Gambar 2.2. Pasien Demam tifoid5


E. Komplikasi Demam Tifoid Anak
Pada akhir minggu ke-2 sampai masuk minggu ke-3 merupakan masa yang
berbahaya. Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid
mulai dari yang ringan sampai berat bahkan kematian. Dengan terapi yang tepat,
banyak penderita yang sembuh dari demam tifoid. Namun tanpa terapi yang tepat,
beberapa penderita mungkin tidak selamat dari komplikasi demam tifoid
(Darmowandowo, 2002).6
Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan
perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu diwaspadai dari demam tifoid yang
muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5 persen penderita demam tifoid mengalami
komplikasi ini. Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut
membesar, nyeri pada perabaan, seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah
dan terjadinya syok, diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah
kehitaman yang keluar bersama tinja. Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus
halus, sehingga membuat gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi infeksi
pada selaput perut (peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan perawatan medis yang
segera (Darmowandowo, 2002).6
Komplikasi lain yang lebih jarang, antara lain :6

24

1. Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada diare. Sehingga
dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit.
2. Kejang Demam
3. Gangguan Kesadaran
4. Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).
5. Pneumonia.
6. Peradangan pankreas (pankreatitis).
7. Infeksi ginjal atau kandung kemih.
8. Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).
9. Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis

F. Manifestasi Klinis Meningitis Thyposa


Meningitis Thyposa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang harus
diwaspadai karena dapat menyebabkan kecacatan dan kematian bila tidak segera
diobati. Beberapa gejala yang harus diperhatikan pada meningitis thyposa antara lain :
7

a. Kaku pada tengkuk


b. Menghindari cahaya
c. Demam
d. Terlihat sakit keras
e. Bercak bercak merah pada kulit
f. Nadi cepat
g. Cengeng (terutama pada anak-anak)
h. Lemah dan lesu

25

i. Kejang
Tanda lokalisatorik yang khas untuk meningitis karena bakterial adalah kaku kuduk
dan likuor yang memperlihatkan cirri-ciri sebagai berikut :7
1. Pleitosis polinuklearis yang berjumlah lebih dari 1000 per mm kubik
2. Kadar glukosa yang rendah
3. Protein dalam likuor meninggi
4. Preparat dan biakan likuor memperlihatkan bakteri, khususnya dalam
penyakit ini adalah bakteri Salmonella (Mardjono et al.,1994)

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Demam tifoid
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi
adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid (Prasetyo et al., 2005).8
b. Identifikasi kuman melalui isolasi/biakan8
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam
tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya

26

tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan


meliputi jumlah darah yang diambil, perbandingan volume darah dari media empedu,
dan waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan
teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan

terapi

antibiotika

sebelumnya.

Media

pembiakan

yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi
dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita
yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian
pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang.

27

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang


digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal
dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri
sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku
dalam pelayanan penderita (Prasetyo et al., 2005).8
c. Identifikasi kuman melalui uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3
mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis
yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal, tes Tubext, metode
enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
dan pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi
yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh
karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang
dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit) (Prasetyo et al., 2005).8
1) Uji widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun
1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.

28

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test)
atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan
dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih
rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun
telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan
sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi
(cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar
(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti
Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
2) Tes Tubext
Tes Tubext merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes Tubext ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat

29

menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
3) Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal
infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif.
4) Metode Enzyme-Linked Immunosobent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi
IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d
(Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum
tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada
sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada
pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.
5) Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik

30

dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang
lengkap.
d. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi
asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih
belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih
terbatas dalam laboratorium penelitian. (Prasetyo et al., 2005).8
2. Meningitis Thyposa
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak.
Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra
kranial. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi
glukosa. Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya
meningkat diatas nilai normal. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk
mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.Kadar
glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar
glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis
kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal. Pemeriksaan Radiografi CTScan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau penyakit saraf lainnya.
Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah (Prasetyo
et al., 2005).8

H. Penegakkan Diagnosis Meningitis Thyposa 9

31

1. Berdasarkan gejala klinis dan anamnesis


2. Pemeriksaan darah tepi :
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis, relatif dan aneosinofillia, pada
permulaan sakit mungkin terdapat anemia dan trombositpenia ringan.
3. Pemeriksaan sumsum tulang :
Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel
makrofag,sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis dan trombopoesis berkurang.
4. Pemeriksaan widal :
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi, untuk membuat diagnosis
yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O.titer yang bernilai 1/200 atau
lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat
diagnosis.
5. Lumbal Pungsi
Dengan lumbal pungsi dapat mengetahui jenis bakteri apa yang telah menginfeksi
meningens, apabila meningitis typhoid akan diperoleh Salmonella typhi pada lumbal
pungsi tersebut (Beek et al, 2006).9

Hasil pada pemeriksaan cerebro spinal fluid (CSF) yaitu sebagai berikut:
Tipe

Glukosa

Protein

Sel

Rendah

Tinggi

PMN

Meningitis
Bakteri

300/mm3

(akut)
Virus (akut)

Tuberculous

>

Normal

Rendah

Normal

Mononuklear

atau tinggi

< 300/mm3

Tinggi

PMN

dan

Mononuklear
< 300/mm3

32

Jamur

Rendah

Tinggi

Hanya
ditemukan
mononuklear

Sumber : Beek et al, 2006.9

33

I. Patogenesis Demam Tifoid


Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S. Parathypi) masuk ke dalam
tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. HCL di dalam lambung
akan berperan sebagai penghambat awal masuknya bakteri ini ke dalam usus.
Salmonella yang masuk bersama-sama dengan cairan akan menyebabkan terjadinya
pengenceran HCL yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme yang
masuk. Daya hambat HCL ini akan menurun pada waktu terjadi pengosongan
lambung, sehingga Salmonella sp akan lebih mudah masuk ke dalam usus penderita.
Bila respon imunitas humoral mukosa kurang baik (IgA) usus kurang baik, maka
kuman kemudian akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propria Salmonella akan bereplikasi dengan cepat untuk
menghasilkan lebih banyak Salmonella (Widodo, 2006). 10
Salmonella difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag sebagai perlawanan imun
tubuh terhadap kuman ini. Namun kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke Plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar limfe mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang
terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
terjadinya bakteremia pertama yang asimtomatik pada penderita) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendoteal tubuh, terutama hati dan limpa. Di dalam hati, dengan
melewati kapiler-kapiler yang terdapat dalam dinding empedu atau secara tidak
langsung melalui kapiler-kapiler hati dan kanalikuli empedu, maka bakteria dapat
mencapai empedu yang larut disana. Melalui empedu yang infektif sebagian kuman
dapat dikeluarkan melalui feses, namun sebagian lain mengakibatkan terjadinya invasi
ke dalam usus untuk kedua kalinya yang lebih berat daripada invasi tahap pertama.
Invasi tahap kedua ini menimbulkan lesi yang luas pada jaringan limfe usus kecil
sehingga gejala-gejala klinik menjadi jelas. Terlebih makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif pada saat fagositosis kuman sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan
koagulasi. Berbagai macam organ juga mengalami kelainan, misalnya sistem
hematopoietik yang membentuk darah, terutama jaringan limfoid usus kecil, kelenjar

34

limfe abdomen, limpa dan sumsum tulang. Selanjutnya kuman ini dapat memasuki
berbagai macam organ secara hematogen yang dapat mengakibatkan berbagai
komplikasi lanjutan (Widodo, 2006).10
J. Patofisiologi Meningitis Thyposa 11
Seperti pada meningitis bakterial lainnya, pada umumnya meningitis bakterial akut
selalu bersifat purulenta. Meningitis ini timbul sebagai komplikasi dari septikemia
dimana dalam hal ini dari bakteremia kuman salmonella di dalam darah. Terjadinya
meningitis thyposa yang bermula dari demam tifoid dapat dijelaskan sebagai berikut :
Kuman masuk ke dalam SSP secara hematogen
setelah mengalami demam tifoid

terjadi reaksi radang pada piamater dan araknoid, CSS dan sistem ventrikulus

pembuluh darah mengalami hiperemi

penyebaran sel sel leukosit PMN ke dalam ruang subarachnoid

terbentuk eksudat
(pada lapisan luar berisi leukosit PMN, lapisan dalam berisi makrofag)

35

Dalam beberapa hari terbentuk limfosit dan histosit

Setelah 2 minggu terbentuk sel sel plasma


Sumber : Jameson, 200611
Salmonella yang masuk menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan bawah
korteks dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan
serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis, dan
hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis.
Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri
dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan
permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barrier otak), edema serebral dan
peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum
terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini menyebabkan kerusakan adrenal,
kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindrom
Waterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis
pembuluh darah yang disebabkan oleh bakteri. (Arisandi, 2008).4

K. Komplikasi Meningitis Thyposa 12


Komplikasi meningitis thyposa antara lain :
1. Hidrosefalus obstruktif
2. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
3. SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)
4. Efusi subdural
5. Kejang

36

6. Edema dan herniasi serebral


7. Cerebral palsy
8. Gangguan mental
9. Gangguan belajar
10. Attention deficit disorder (Harsono, 2005).

L. Penatalaksanaan 10
Prinsip penatalaksanaan umumnya adalah seperti pada penatalaksanaan demam tifoid
yaitu sebagai berikut :
1. Pengobatan kausal dapat menggunakan obat pilihan sebagai berikut :
a. kloramfenikol dengan dosis 4x500 mg per hari dapat diberikan secara oral atau
intravena sampai dengan 7 hari bebas panas
b. tiamfenikol dengan dosis yang hampir sama dengan kloramfenikol dengan efek
samping hematologi yang lebih rendah
c. ampisilin dan amoksisilin dengan dosis 50-150mg/kgBB/hari selama 2 minggu
d. seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan perinfus sekali
sehari selama 3-5 hari.
e. golongan fluorokuinolon dengan beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberian
adalah sebagai berikut :

Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

37

2. Memperbaiki keadaan umum : koreksi elektrolit atasi dehidrasi, hipoglikemi


3. Pengobatan dietetik tergantung pada kondisi penderita, bila perlu makanan lunak/cair
yang mudah dicerna dan tinggi kalori
4. Tirah baring bila perlu isolasi penderita
5. Pada kasus berat dapat diberikan deksametason 3x5 mg dengan antibiotik yang sesuai
6. Transfusi darah sesuai keperluan (Widodo, 2006).10
Pada kasus meningitis diperlukan pengobatan dengan antibiotika dosis tinggi yang
dapat diberikan langsung melalui pembuluh darah vena. Penderita meningitis
memerlukan observasi ketat di rumah sakit untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

M. Upaya Rehabilitatif Pada Penderita Demam Tifoid Anak 6


1.

Pisahkan anak penderita demam tifoid dari saudara-saudaranya untuk menghindari


penularan. Bahkan bila ibu menemani, tidak disarankan untuk tidur bersama dengan
anak yang sakit. Sebaiknya tempatkan anak yang sakit di kamar tersendiri, tentunya
dengan perhatian penuh dari kedua orang tua untuk menghindari perasaan
terisolir/kesepian pada anak tersebut.

2.

Upayakan pasien dengan demam tifoid beristirahat total di tempat tidur sampai
demamnya turun. Demam bisa berlangsung selama dua minggu. Setelah demam
turun, teruskan istirahat sampai suhu normal kembali. Jelaskan pada anak bahwa
untuk mandi, buang air besar dan kecil harus meminta pertolongan kepada ibu atau
orang dewasa lainnya yang ada di rumah.

3.

Ingatkan kepada siapa saja yang membantu untuk selalu mencuci tangan dengan
desinfektan sebelum dan sesudah kontak dengan anak yang sakit.

4.

Seperti halnya di rumah sakit, orang tua perlu mengukur suhu tubuh anak dan
mencatatnya. Catatan suhu tubuh ini sangat penting untuk dikonsultasikan ke dokter
dan bila ada peningkatan suhu tubuh yang tinggi.

5.

Biasanya dokter memberikan obat yang sudah diperhitungkan sampai suhu tubuh
turun. Jika obat hampir habis, sementara suhu tubuh makin tinggi, konsultasikanlah ke

38

pelayanan medis atau dokter karena mungkin membutuhkan perawatan yang lebih
intensif di rumah sakit.
6.

Untuk membantu mempercepat penurunan suhu tubuh, upayakan agar anak banyak
minum air putih, dikompres dengan air hangat, dan jangan menutupinya dengan
selimut agar penguapan suhu lebih lancer.

7.

Berikan makanan yang mengandung banyak cairan dan bergizi seperti sop dan sari
buah, juga makanan lunak, seperti bubur

8.

Pembuangan feses dan urine harus dipastikan dibuang ke dalam WC dan disiram
dengan air sebanyak-banyaknya. WC dan sekitarnya pun harus bersih agar tidak ada
lalat yang akan membawa kuman ke mana-mana. Bila anak menggunakan pot atau
urinal untuk BAK dan BAB, jangan lupa untuk merendamnya dengan cairan
desinfektan setelah dipakai.

9.

Rendam pakaian anak dengan desinfektan sebelum dicuci, dan jangan mencampurnya
dengan pakaian yang lain (Darmowandowo, 2002).6

N. Upaya Pencegahan Demam Tifoid Anak 13


Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan
sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi
demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah).
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau
dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting
yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan (Harijanto, 2006).13
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang
diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah
vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin
tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanya direkomendasikan
untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi,
orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium (Harijanto,
2006).13

39

Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu
haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua
tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit (Harijanto, 2006).12
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan
untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu
sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis
ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko
terjangkit (Harijanto, 2006).13
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus
menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi)
adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin
sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang
yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang
yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh
mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka
tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid
yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang
menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obatobatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu
atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan
sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian antibiotik (Harijanto, 2006).13
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius
seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya
serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin
tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat
terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per
100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100).
Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam

40

atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau
ruam-ruam (jarang terjadi) (Harijanto, 2006).13

O. Prognosis 13
Prognosis bergantung pada beberapa keadaan, antara lain:
1. Jenis kuman dan hebatnya penyakit pada permulaannya
2. Umur penderita
Pada pasien anak anak dan > 50 tahun memiliki lebih banyak resiko kematian
karena penyakit ini.
3. Lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat
Gejala yang muncul seperti kejag yang lebih dari 24 jam akan memperbesar resiko
terjaninya kematian.
4. Kecepatan ditegakkannya diagnosis
5. Antibiotika yang diberikan
6. Kondisi patologik lainnya yang menyertai meningitis

41

DAFTAR PUSTAKA

1.

Swarga, Tirta. 2008. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan


Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

2.

Wardani, Puspa, Prihartini, Probohusodo. 2005. Kemampuan


Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal
of Clinical and Medical Labolatory. 12. 1. 2005 : 31-7

42

3.

Prasetyo, Risky Vitria dan Ismoedijanto. 2005. Metode


Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. [5 pages, cited October 6th 2009 : 01.25 pm)
Available

at

http://74.125.153.132/search?

q=cache:v8FsIWDBaaIJ:www.pediatrik.com/buletin/06224114418f53zji.doc+meningitis
+thypoid.pemeriksaan+penunjang.&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id

4.

Arisandi, Defa. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan


Meningitis. Pontianak : Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan

5.

Rampengan, T.H., Laurentz, I.R. 1997. Penyakit Infeksi Tropik


Pada Anak. Jakarta : EGC; 53-72.

6.

Darmowandowo, W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS,


Garna H, Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit
Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.

7.

Mardjono, Mahar, dan Priguna Sidharta. 1994. Neurologi


Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat; 318-9

8.

Prasetyo, Risky Vitria dan Ismoedijanto. 2005. Metode


Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. [5 pages, cited October 6th 2009 : 01.25 pm)
Available

at

http://74.125.153.132/search?

q=cache:v8FsIWDBaaIJ:www.pediatrik.com/buletin/06224114418f53zji.doc+meningitis
+thypoid.pemeriksaan+penunjang.&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id

9.

Beek, Diederik., Gans, Jan., Tunkel, Allan., Wijdicks, Eelco.


2006. Community acquired bacterial meningitis in children with bacterial meningitis.
New England Journal of Medicine. Hal : 1849

43

10.

Widodo, Djoko. 2006. Dalam : Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006 : 1774.

11.

Jameson, L. J. 2006. Harrisons Neurology in Clinical


Medicine. McGraw-Hill Companies. USA

12.

Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada


University Press. Yogyakarta

13.

Harijanto. 2006. Malaria. Dalam : Aru W. Sudoyo. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam: Jilid III Edisi IV. Jakarta : BP FKUI; 1754-5

44

You might also like