You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pusat berbagai macam kegiatan pembangunan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena wilayah ini memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya dan beragam. Baik sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Selain itu, wilayah ini juga memiliki aksesibilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan ekonomi. Namun demikian, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan, daya dukung ekosistem pesisir dalam menyediakan segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan akan terancam rusak atau menurun.(Bengen, 2002). Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai sifat yang kompleks, dinamis, dan unik karena pengaruh dari dua ekosistem, yaitu ekosistem lautan dan daratan. Di lain pihak wilayah pesisir merupakan wilayah tempat berbagai kegiatan sosial dan ekonomi, antara lain, pemukiman, perhubungan, dan industri. Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi kepulauan termuda di Indonesia yang memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan daratan, dan memiliki berbagai macam sumberdaya alam hayati seperti pertanian, perikanan, kehutanan, dan perternakan serta sumberdaya alam non hayati yaitu pertambangan. Kota Tanjungpinang merupakan salah satu wilayah yang terdapat di Provinsi Kepulauan Riau. Kota Tanjungpinang merupakan suatu wilayah pesisir yang memiliki aktivitas masyarakat seperti pemukiman, perikanan dan pertambangan. Dengan persentasi luas perairan yang lebih besar dari pada daratan tentu saja banyak sumberdaya yang terkandung di wilayah perairannya. Dengan besarnya potensi yang ada maka sering terjadi proses pengeksploitasian yang menghasilkan dampak pencemaran. Pencemaran yang terjadi dapat menyebabkan menurunnya kualitas perairan terutama di wilayah pesisir Kota Tanjungpinang. Parameter kualitas air merupakan persyaratan yang diperlukan sebagai faktor penentu terhadap daya dukung perairan untuk berbagai keperluan terutama terhadap keberlanjutan ekosistem di laut. Kualitas air juga dapat dijadikan sebagai salah satu parameter dalam
1

penentuan tingkat kelayakan atau kesesuaian untuk berbagai penggunaan serta dapat dijadikan sebagai indikator terhadap tingkat kerusakan. Pengaruh terhadap kualitas perairan akan lebih nyata apabila perairan mendapat banyak buangan limbah cair industri, limbah domestik dan praktek pertanian yang buruk yang berlangsung secara kontinyu dan relatif lama. Bahan pencemar yang berasal dari berbagai aktivitas atau kegiatan indutri, pertanian, rumah tangga di daratan akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif pada wilayah kepesisiran. Dilaporkan oleh UNEP (1990) dalam Rokhimin, D. dkk. (2001) bahwa sebagian besar atau lebih dari 80% bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land basic activity). Penurunan kualitas perairan pesisir akan berdampak terhadap keberlangsungan sumberdaya yang ada disekitarnya baik itu komponen biotik maupun abiotik. Kualitas perairan pesisir yang telah melewati ambang batas pada baku mutu air tentu saja akan menyebabkan gangguan kehidupan organisme-organisme di laut. Oleh sebab itu perlu dilakukannya tinjauan kualitas perairan agar kita mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari aktivitas manusia terhadap kawasan pesisir sehingga kita masih bisa mempertahankan kondisi ekosistem yang ada dan dapat memanfaatkan sumberdaya perairan laut secara berkelanjutan.

1.2.Perumusan Masalah Melihat besarnya potensi yang dimiliki oleh perairan pesisir Kota Tanjungpinang, maka diperlukan kajian pengukuran kualitas perairan agar dapat diketahui seberapa besar daya dukung perairan untuk berbagai keperluan terutama terhadap keberlangsungan kehidupan biota di laut.

1.3.Tujuan Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah agar kita dapat mengetahui kualitas perairan pesisir di Kota Tanjungpinang, mengetahui keterkaitan antara beberapa parameter kualitas perairan dan mengetahui perbandingan kualitas perairan yang diperoleh dengan baku mutu air laut untuk biota yang telah ditetapkan oleh KEPMENLH No. 51 Tahun 2004.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3.Pencemaran Laut Menurut hasil yang dicapai dalam seminar laut nasional menyebutkan fungsi laut bagi bangsa Indonesia antara lain : 1) Sebagai media transportasi dan komunikasi, 2) Sebagai sumber mineral dan hasil-hasil tambangnya, 3) Sebagai sumberdaya hayati laut yang dapat menghasilkan sumber protein konsumtif disamping sumber protein hewani yang berasal dari ternak potong dan protein nabati, 4) Sebagai media pertahanan dan keamanan nasional, 5) Sebagai media olahraga dan sarana pariwisata yang dapat menghasilkan devisa negara dan 6) Sebagai sumber ilmu pengetahuan. Adanya fungsi tersebut menjadikan kehidupan manusia di bumi ini sangat tergantung pada lautan, manusia harus menjaga kebersihan dan kelangsungan hidup biota yang hidup didalamnya. Dengan demikian laut seakan-akan sebagai sabuk pengaman kehidupan manusia di muka bumi ini (Wibisono, 2005). Pencemaran laut dapat didefinisikan sebagai dampak negative (pengaruh yang membahayakan) terhadap kehidupan biota, sumberdaya, dan kenyamanan ekosistem laut serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan limpah (termasuk energy) ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia (Dahuri, 2004). Pencemaran laut telah menjadi suatu masalah yang perlu ditangani secara sungguhsungguh. Hal ini berkaitan dengan semakin meningkatnya kegiatan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup. Disamping menghasilkan produk-produk yang diperlukan bagi kehidupan, kegiatan manusia dapat menghasilkan pula produk sisa (limbah) yang dapat menjadi bahan pencemar (polutan). Cepat atau lambat polutan itu sebagian akan sampai ke laut karena laut menerima zat-zat pencemar baik berupa zat padat maupun cair terutama yang dibawa-bawa oleh sungai sebagai tempat yang mudah untuk membuang limbah yang bermuara ke laut. Hal ini perlu dicegah atau setidaknya dibatasi hingga sekecil mungkin (Hayati, 2009).

2.2.Parameter Perairan Parameter yang mempengaruhi kualitas perairan antara lain suhu, BOD, DO, salinitas, kekeruhan, pH, TSS, Coliform, kandungan fosfor dan nitrogen, serta kandungan Cu, Fe dan Pb.

2.2.1.

Suhu Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa suhu air normal adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme dan berkembangbiak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air, karena bersama-sama dengan zat/unsur yang terkandung didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan densitas air. Selanjutnya, densitas air dapat digunakan untuk menentukan kejenuhan air. Suhu air sangat bergantung pada tempat dimana air tersebut berada. Kenaikan suhu air di badan air penerima, saluran air, sungai, danau dan lain sebagainya akan menimbulkan akibat sebagai berikut: 1) Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun; 2) Kecepatan reaksi kimia meningkat; 3) Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, maka akan menyebabkan ikan dan hewan air lainnya mati. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997). Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat setiap perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan. Suhu air yang layak untuk budidaya ikan laut adalah 27 32 0C (Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al., 2001). Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air, memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan menaikkan daya racun suatu
4

polutan terhadap organisme perairan (Brown dan Gratzek, 1980). Selanjutnya Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air berkisar antara 35 40 0C merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme yang dapat menyebabkan kematian. Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisar antara 28,2 0C sampai 34,6 0C dan pada malam hari suhu berkisar antara 12,8 0C sampai 30 0C. Keadaan suhu tersebut tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara disekitarnya. Secara umum, suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung bagi pengembangan budidaya perikanan (BPS, 2003; Cholik etal., 2005).

2.2.2.

BOD BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20 0C selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Menurut Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa dalam uji BOD mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah: 1) Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan anorganik atau bahan-bahan tereduksi lainnya yang disebut juga intermediate oxygen demand; 2) Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal lima hari; 3) Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum dapat menunjukkan nilai total BOD melainkan hanya kira-kira 68 % dari total BOD; 4) Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat didalam air tersebut, misalkan adanya germisida seperti chlorine yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dibutuhkan untuk merombak bahan organik, sehingga hasil uji BOD menjadi kurang teliti.

BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20
0

C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1982). Berikut akan disajikan

derajat pencemaran suatu badan perairan yang dilihat berdasarkan nilai BOD5 (Tabel 1). Tabel 1. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD5 Kisaran BOD5(mg/l) 2,9 3,0 5,0 5,1 14,9 15,0 Sumber: Lee (1987) dalam Sukardiono (1987). Tabel 1 menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan berdasarkan nilai BOD. Kriteria ini merupakan kriteria untuk biota-biota laut. Kriteria Kualitas Perairan Tidak tercemar Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat

2.2.3.

Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO) Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terdapat di perairan dalam bentuk molekul oksigen bukan dalam bentuk molekul hidrogenoksida, biasanya dinyatakan dalam mg/l (ppm) (Darsono, 1992). Oksigen bebas dalam air dapat berkurang bila dalam air dalam terdapat kotoran/limbah organik yang degradable. Dalam air yang kotor selalu terdapat bakteri, baik yang aerob maupun yang anaerob. Bakteri ini akan menguraikan zat organik dalam air menjadi persenyawaan yang tidak berbahaya. Misalnya nitrogen diubah menjadi persenyawaan nitrat, belerang diubah menjadi persenyawaan sulfat. Bila oksigen bebas dalam air habis/sangat berkurang jumlahnya maka yang bekerja, tumbuh dan berkembang adalah bakteri anaerob (Darsono, 1992). Oksigen larut dalam air dan tidak bereaksi dengan air secara kimiawi. Pada tekanan tertentu, kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu. Faktor lain yang mempengaruhi kelarutan oksigen adalah pergolakan dan luas permukaan air terbuka bagi atmosfer (Mahida, 1986). Persentase oksigen di sekeliling perairan dipengaruhi oleh suhu perairan, salinitas perairan, ketinggian tempat dan plankton yang terdapat
6

di perairan (di udara yang panas, oksigen terlarut akan turun). Daya larut oksigen lebih rendah dalam air laut jika dibandingkan dengan daya larutnya dalam air tawar. Daya larut O2 dalam air limbah kurang dari 95% dibandingkan dengan daya larut dalam air tawar (Setiaji, 1995). Terbatasnya kelarutan oksigen dalam air menyebabkan kemampuan air untuk membersihkan dirinya juga terbatas, sehingga diperlukan pengolahan air limbah untuk mengurangi bahan-bahan penyebab pencemaran. Oksidasi biologis meningkat bersama meningkatnya suhu perairan sehingga kebutuhan oksigen terlarut juga meningkat (Mahida, 1986). Ibrahim (1982) menyatakan bahwa kelarutan oksigen di perairan bervariasi antara 7-14 ppm. Kadar oksigen terlarut dalam air pada sore hari > 20 ppm. Besarnya kadar oksigen di dalam air tergantung juga pada aktivitas fotosintesis organisme di dalam air. Semakin banyak bakteri di dalam air akan mengurangi jumlah oksigen di dalam air. Kadar oksigen terlarut di alam umumnya < 2 ppm. Kalau kadar DO dalam air tinggi maka akan mengakibatkan instalasi menjadi berkarat, oleh karena itu diusahakan kadar oksigen terlarutnya 0 ppm yaitu melalui pemanasan (Setiaji, 1995).

2.2.4.

Salinitas Salinitas merupakan garam-garam terlarut yang dapat berpengaruh terhadap pengaturan osmosis pada tumbuhan dan hewan, dan zat-zat hara yang terkandung didalamnya mempengaruhi sifat komunitas jazad tersebut. Menurut Nybakken (1992), fluktuasi salinitas dapat disebabkan oleh adanya gradien salinitas pada saat tertentu yang polanya bervariasi bergantung pada topografi estuaria, musim, pasang surut dan jumlah air tawar. Menurut Romimohtarto dan Thayib (1982) dalam Edward dan Tarigan (2003), salinitas di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 30-35 ppt. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32-34 ppt, sedangkan untuk laut terbuka umumnya salinitas berkisar antara 33-37 ppt dengan rata-rata 35 ppt. Salinitas ini juga masih baik untuk kehidupan organisme laut, khususnya ikan.

2.2.5.

Kekeruhan Mahida (1986) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna dan kotor. Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman

pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin menghambat sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat besar pada metabolisme makhluk hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Alaerts dan Santika, 1987).

2.2.6.

Derajat Keasaman (pH) pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran pH berkisar antara 0 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH = 7 disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Perairan dengan pH < 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan. Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,7 8,4. pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd, 1982; Nybakken, 1992).

Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut, adanya variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup biota. Perairan basa (7 9) merupakan perairan yang produktif dan berperan mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton (Suseno, 1974). pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S. pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam CaCO3 (Cholik et al., 2005).

2.2.7.

TSS (Total Padatan Tersuspensi) Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung yang terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sediment, seperti tanah liat, bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi perairan yang baik untuk biota laut adalah 20 80 mg/l (KLH, 2004). Padatan tersuspensi menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air pada aliran air yang menerima tailings di kawasan dataran rendah. Dalam daftar berikut ini, dapat dilihat bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah yang berlebih (diukur sebagai total suspended solids TSS) memiliki dampak langsung yang berbahaya terhadap kehidupan dan bisa mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan melalui beberapa mekanisme berikut ini: 1) Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang ikan
9

atau selaput pernapasan lainnya; 3) Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh padatan; 4) Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa dan menyeleksi makanan (terutama bagi predation dan filter feeding; 5) Gangguan terhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena padatan menghalangi sinar yang masuk; 6) Perubahan integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel.

2.2.8.

Coliform Bakteri yang umum digunakan sebagai indikator tercemarnya suatu badan air adalah bakteri Escherichia coli, yang merupakan salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup normal di dalam kotoran manusia dan hewan sehingga disebut juga Faecal coliform. Faecal coliform adalah anggota dari coliform yang mampu memfermentasi laktosa pada suhu 44,50C dan merupakan bagian yang paling dominan (97%) pada tinja manusia dan hewan (Effendi, 2003). Alaerts dan Santika (1994) menyatakan bahwa Faecal coliform merupakan bakteri petunjuk adanya pencemaran tinja yang paling efisien, karena Faecal

coliform hanya dan selalu terdapat dalam tinja manusia. Jika bakteri tersebut terdapat dalam perairan maka dapat dikatakan perairan tersebut telah tercemar dan tidak dapat dijadikan sebagai sumber air minum. Bakteri coliform lainnya berasal dari hewan dan tanaman mati disebut dengan coliform non fecal.

2.2.9.

Fosfor Keberadaan fosfor dalam perairan adalah sangat penting terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga berguna di dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine trifosfate (ATP) dan adenosine difosfate (ADP) (Boyd, 1982). Menurut Peavy et al. (1986), fosfat berasal dari deterjen dalam limbah cair dan pestisida serta insektisida dari lahan pertanian. Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organis. Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air. Di daerah pertanian ortofosfat berasal dari bahan pupuk yang
10

masuk ke dalam sungai melalui drainase dan aliran air hujan. Polifosfat dapat memasuki sungai melaui air buangan penduduk dan industri yang menggunakan bahan detergen yang mengandung fosfat, seperti industri pencucian, industri logam dan sebagainya. Fosfat organis terdapat dalam air buangan penduduk (tinja) dan sisa makanan. Menurut Boyd (1982), kadar fosfat (PO4) yang diperkenankan dalam air minum adalah 0,2 ppm. Kadar fosfat dalam perairan alami umumnya berkisar antara 0,0050,02 ppm. Kadar fosfat melebihi 0,1 ppm, tergolong perairan yang eutrof.

2.2.10. Nitrogen Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk amonia, amonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik lainnya. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3 N) dan amonia (NH3 N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 N dibandingkan dengan NO3 N karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dala kondisi aerobik maupun anaerobik. Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-) (Welch, 1980). Senyawa ammonia, nitrit, nitrat dan bentuk senyawa lainnya berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan industri. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar ammonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (lebih besar dari 1,1 mg/l pada suhu 25 0C dan pH 7,5) dapat diduga adanya pencemaran (Alaerst dan Sartika, 1987). Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendi, 2003).
11

Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003). Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987).

2.2.11. Kandungan Logam Cu, Fe, dan Pb a. Tembaga (Cu) Berdasarkan kepentingan biota perairan, Cu termasuk kedalam kelompok logam esensial, dimana dalam kadar yang rendah dibutuhkan oleh organisme sebagai koenzim dalam proses metabolism tubuh, sifat racunnya baru muncul dalam kadar yang tinggi. Biota perairan sangat peka terhadap kelebihan Cu dalam badan perairan dimana ia hidup. Konsentrasi Cu terlarut dalam air laut sebesar 0,01 ppm dapat mengakibatkan kematian fitoplankton, kematian tersebut disebabkan daya racun Cu telah menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton. Kadar Cu sebesar 2,5-3,0 ppm dalam badan perairan telah dapat membunuh ikanikan (Bryan, 1976).

b. Besi (Fe) Dilihat dari kepentingan biota perairan, tampaknya Fe bukanlah merupakan logam yang berbahaya, sehingga KEPMENLH (2004) tidak memberikan NAB. Sebagai logam esensial Fe antara lain berfungsi dalam enzin terrodoksin, suksinat dehydrogenase, perokdase, katalase, aldehid oksidase, dan sitokrom (Johnston, 1976).

12

c. Timbal (Pb) Untuk kepentingan biota perairan, kadar Pb sebesar 0,1-0,2 ppm atau 100-200 ppb telah dapat menyebabkan keracunan pada jenis ikan tertentu (Rodier dalam Thamzil et al., 1980), dan pada kadar 188 ppm dapat membunuh ikan-ikan (Palar, 1994). Kontaminasi oleh Pb terhadap perairan dapat menyebabkan akumulasi baik pada tubuh biota yang ada di perairan dan akan berbahaya pula bagi manusia yang mengkonsumsi biota tersebut.

2.3. Baku Mutu Lingkungan Hidup Baku mutu lingkungan hidup didefinisikan sebagai ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat energi atau komponen yang ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2009), sedangkan baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup, zat energi atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air . Air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya, sehingga dipandang perlu untuk melakukan upaya-upaya melestarikan fungsi air. Upaya yang dilakukan adalah dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis yaitu dengan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjaga agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya. Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas agar sesuai dengan baku mutu air melalui upaya pencegahan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air (Pemerintah Republik Indonesia, 2001).

13

2.4.Daya Dukung Lingkungan Purnomo (1997) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas perairan, sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Daya dukung (carrying capacity) merupakan areal dimana populasi organisme akuatik akan ditunjang oleh kawasan atau volume perairan tanpa mengalami penurunan mutu atau deteriorasi (Turner, 1998). Kenchington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai suatu kuantitas maksimum ikan yang didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu yang panjang. Poernomo (1992) menyatakan bahwa daya dukung dinyatakan sebagai pemanfaatan maksimum suatu kawasan atau suatu ekosistem baik berupa jumlah maupun kegiatan yang ada di dalamnya. Daya dukung ekonomi merupakan tingkat skala usaha dalam pemanfaatan sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkelanjutan. Prasetyawati (2001) menyatakan daya dukung lahan pesisir ditentukan oleh mutu dan sumber air (asin dan tawar), arus dan pasang surut (hidro-oceanografi), topografi, klimatologi daerah pesisir dan hulu. Menurut Scone dalam Prasetyawati (2001) daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme dalam suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, CO2 dan parameter kualitas air lainnya. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas assimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Kemampuan assimilasi merupakan ukuran kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukkannya (UNEP, 1993). Penjelasan tersebut apabila diterapkan sebagai daya dukung lingkungan pesisir menjadi kemampuan badan air atau peraian di kawasan pesisir dalam menerima limbah organik, termasuk didalamnya adalah kemampuan mendaur ulang atau mengassimilasi limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat pada terganggunya keseimbangan ekologis suatu perairan (Widigdo, 2000).

14

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran kualitas perairan Kota Tanjung Pinang dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Hasil Pengukuran Kualitas Perairan Kota Tanjungpinang No. Parameter 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Suhu BOD Salinitas Kekeruhan DO pH TSS Coliform Total P Total N Cu Fe Pb mg/L MPN/100 ml mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L Satuan
0

ST 1 30 2,10 30,0 5,25 7,6 8 6 6,80 0,2 13,3 0,1 0,4 0,0

ST 2 30 6,00 30,0 4,95 11,0 6 8 4,50 0,2 15,5 0,1 0,3 0,0

ST 3 30 3,16 31,0 4,71 8,6 7 5 0,00 0,2 16,7 0,1 1,6 0,0

ST 4 30 5,03 32,0 5,55 9,6 7 7 9,20 1,6 14,7 0,1 1,0 0,0

ST 5 31 3,12 32,0 5,16 7,4 6 15 2,00 0,2 10,5 0,1 0,3 0,0

ST 6 31 4,33 33,5 2,17 9,0 6 46 6,10 0,7 10,2 0,0 3,9 0,0

ST 7 32 3,08 34,0 3,14 7,6 6 16 2,00 0,2 14,5 0,0 1,9 0,0

BM Alami 20 Alami <5 >5 7-8,5 20-80 1000 0,015 0,008 0,008

mg/L NTU mg/L

0,008

Hasil pengukuran kualitas perairan menunjukkan bahwa suhu rata-rata perairan sebesar 30 0C, BOD rata-rata 3,83 mg/L, salinitas rata-rata 31,78 , kekeruhan rata-rata 4,41 NTU, DO ratarata 8,68 mg/L, pH rata-rata 6,5, TSS rata-rata 14,7 mg/L, rata-rata coliform sebesar 4,37 MPN/100 ml, rata-rata kandungan fosfor sebesar 0,4 mg/L, kandungan nitrogen rata-rata 13,6 mg/L, kandungan Cu rata-rata 0,07 mg/L, kandungan Fe rata-rata 1,34 mg/L, dan tidak ada kandungan Pb dalam perairan pesisir Kota Tanjungpinang.

15

3.1.Hasil Analisis Kualitas air 3.1.1. Suhu Baku mutu kadar suhu untuk kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebesar suhu alami yang mampu mendukung perikehidupan organisme, yakni berkisar antara 20 0C- 32 0C. Tidak ada suhu yang melewati batas baku mutu pada tiap stasiun.

3.1.2. BOD Baku mutu kadar BOD untuk kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebesar 20 mg/L. Tidak ada BOD yang melewati batas baku mutu pada tiap stasiun. Akan tetapi tiap stasiun mengindikasikan bahwa telah terjadinya pencemaran di perairan pesisir Kota Tanjungpinang meskipun hanya berkisar antara pencemaran ringan dan pencemaran sedang. Ditandai dengan kisaran BOD yang mencapai 6 mg/L pada stasiun II.

3.1.3. Salinitas Baku mutu kadar salinitas untuk kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebesar salinitas alami yang mampu mendukung perikehidupan organisme, yakni rata-rata 35 ppt. Tidak ada salinitas yang melewati batas baku mutu pada tiap stasiun.

3.1.4. Kekeruhan Baku mutu kadar kekeruhan untuk kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah < 5 NTU. Stasiun I, stasiun IV, dan stasiun V telah melewati ambang batas baku mutu. Kekeruhan perairan ini umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahanbahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya.

16

3.1.5. DO Baku mutu kadar DO untuk kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah > 5 mg/L. Semua kadar DO pada tiap stasiun mendukung untuk perikehidupan biota di laut.

3.1.6. pH Baku mutu kadar pH untuk kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah berkisar antara 7-8,5. Pada stasiun II, stasiun V, stasiun VI, dan stasiun VII kadar pH berada dibawah baku mutu, namun masih tetap dapat ditoleransi oleh biota meskipun akan menyebabkan beberapa dampak gangguan keberlangsungan fungsi organ.

3.1.7. TSS Baku mutu kadar TSS untuk kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah berkisar antara 20-80 mg/L. Tidak ada kadar TSS yang melewati batas baku mutu pada tiap stasiun. Sehingga tiap stasiun masih mendukung perikehidupan biota di laut.

3.1.8. Coliform Baku mutu kadar coliform untuk kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebesar 1000 MPN/100 ml. Tidak ada kadar coliform yang melewati batas baku mutu pada tiap stasiun. Akan tetapi berdasarkan data yang diperoleh, besarnya kadar coliform tiap stasiun yang ada di perairan pesisir Kota Tanjungpinang telah mengindikasikan bahwa terjadinya pencemaran tinja di perairan tersebut.

3.1.9. Total Fosfor Baku mutu untuk total fosfor pada kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebesar 0,015 mg/L. Keseluruhan stasiun memiliki total fosfor yang telah melewati ambang batas baku mutu. Hal ini disebabkan oleh tingginya buangan limbah domestic dan limbah rumah tangga di
17

wilayah perairan pesisir Kota Tanjungpinang. Jika berlangsung terus menerus dapat menyebabkan eutrofikasi.

3.1.10. Total Nitrogen Baku mutu untuk total nitrogen pada kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebesar 0,008 mg/L. Keseluruhan stasiun memiliki total nitrogen yang telah melewati ambang batas baku mutu. Secara jelas dapat terlihat bahwa perairan pesisir Kota Tanjungpinang telah mengalami pencemaran.

3.1.11. Kadar Cu Baku mutu untuk kadar logam Cu pada kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebesar 0,008 mg/L. Hampir keseluruhan stasiun memiliki kadar yang telah melewati ambang batas baku mutu. Secara jelas dapat terlihat bahwa perairan pesisir Kota Tanjungpinang telah mengalami pencemaran.

3.1.12. Kadar Fe Tidak ada ketetapan baku mutu untuk kadar logam Fe pada kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004. Hal ini dikarenakan logam Fe merupakan logam yang esensial bagi kehidupan biota di laut. Akan tetapi jika berada pada kisaran yang relative besar tentu seja telah mengindikasikan terjadinya perncemaran perairan.

3.1.13. Kadar Pb Baku mutu untuk kadar logam berat Pb pada kualitas air laut untuk biota laut berdasarkan KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebesar 0,008 mg/L. Tidak ada dijumpai kandungan logam berat Pb pada tiap stasiun. Maka perairaan Kota Tanjungpinang sama sekali belum tercemar oleh logam berat ini.

18

3.2.Kolerasi Antara Parameter Persentase oksigen di sekeliling perairan dipengaruhi oleh suhu perairan, salinitas perairan, ketinggian tempat dan plankton yang terdapat di perairan (di udara yang panas, oksigen terlarut akan turun). Konsumsi oksigen tinggi (BOD dan COD) yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut, adanya variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup biota. Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi, 2003). Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin menghambat sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat besar pada metabolisme makhluk hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Alaerts dan Santika, 1987).

19

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.Kesimpulan Berdasarkan hasil pengukuran kualitas perairan pesisir di Kota Tanjungpinang maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perairan pesisir Kota Tanjungpinang sudah terindikasi sebagai perairan tercemar. Sumber pencemar yang mempengaruhi kualitas air pada perairan ini adalah kegiatan industri pertambangan, kegiatan rumah tangga, kegiatan pariwisata, dan kegiatan transportasi. Meskipun telah tercemar, perairan ini masih tetap bisa mendukung perikehidupan biota yang ada didalamnya.

4.2.Saran Agar perairan pesisir di Kota Tanjungpinang tetap dapat mendukung perikehidupan biota di laut seharusnya dilakukan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas yang terjadi di wilayah perairan tersebut, melakukan treatment pengolahan limbah buangan agar tidak merubah kualitas perairan sangat diperlukan, kesadaran dari pihak masyarakat juga sangat diharapkan agar limbah rumah tangga tidak sembarang dibuang ke perairan laut.

20

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, R. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Edisi Revisi. Pradnya Paramita. Jakarta.

Hartami, Prama. 2008. Analisis Wilayah Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Untuk Kawasan Budidaya Perikanan Sistem Keramba Jaring Apung [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2003. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Penetapan Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Jakarta.

Rozak, Abdul. Edward dan E. Rochyatun. 2003. Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn, Ni, Cr, Mn & Fe Dalam Air Laut dan Sedimen Di Perairan Kalimantan Timur. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. (35) : 51-71.

Setiari, Ni Made. 2012. Identifikasi Sumber Pencemar dan Analisis Kualitas Air Tukad Yeh Sungi Di Kabupaten Tabanan Dengan Metode Indeks Pencemaran [Tesis]. Universitas Udayana. Denpasar.

Sofyan, Adnan. 2009. Identifikasi Kualitas Air Di Wilayah Pesisir Kota Ternate. Jurnal Tanah dan Air. 10 (1) : 12-21.

21

You might also like