Professional Documents
Culture Documents
4) inajuniarti@yahoo.com
Abstrak Pengurangan Risiko Bencana (PRB) membutuhkan partisipasi semua pihak, termasuk Partai Politik yang memiliki akses dalam pengambilan kebijakan di legislatif dan eksekutif. Tetapi partisipasi partai politik dalam bencana sering dinilai negatif sebagai bagian dari pencitraan. Penelitian ini bertujuan menganalisis kerentanan masyarakat perkotaan dan kapasitas pemerintah dalam upaya PRB di Tambora, sesuai gagasan Kota Tangguh (Godschalk, 2003) dalam kerangka kerja V2R (Pasteur, 2011). Ditemukan bahwa penyebab kerentanan adalah kurangnya perhatian masyarakat terhadap keselamatan jaringan listrik. Terdapat sejumlah kebijakan mitigasi yang telah dijalankan pemerintah, tetapi mengalami berbagai kendala. Penelitian ini menunjukkan bahwa diperlukan kebijakan mitigasi yang lebih partisipatoris, yaitu melibatkan masyarakat sejak awal sehingga aspirasi masyarakat ikut dipertimbangkan dan masyarakat merasa memiliki kebijakan tersebut. Diperlukan adanya entitas yang memfasilitasi masyarakat untuk memantau kebijakan mitigasi kebakaran, yang dalam konteks Indonesia dapat diisi oleh Partai Politik. Kata Kunci : Mitigasi Partisipatoris, Pemerintah Daerah, Kerentanan Masyarakat, Bencana Perkotaan, Kebakaran
1. PENDAHULUAN Dalam lingkup kota, ketahanan diartikan sebagai jejaring sinambung antara sistem fisik dengan kelompok-kelompok masyarakat, yang memiliki kapabilitas untuk mengelola suatu peristiwa ekstrim (bencana), dan mampu
berbagai segmen dalam masyarakat2. Dalam konteks Indonesia, khususnya DKI Jakarta, kelompok-kelompok masyarakat itu diwujudkan dalam tatanan pemerintahan lokal (Kecamatan dan Kelurahan beserta unsur-unsur dinas terkait), perangkat RT/RW, sektor privat, dan kelompok-kelompok masyarakat. Dari sudut pandang lain, Godschalk dan Pasteur memandang aspek pengambilan
bertahan serta berfungsi dalam tekanan yang ekstrim1. Dari definisi tersebut, maka untuk mencapai suatu ketahanan dibutuhkan
partisipasi dari semua kelompok masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Pengurangan Risiko Bencana sebagai sebuah upaya yang menyeluruh (holistik) memerlukan pelibatan
kebijakan menjadi salah satu elemen penting dalam upaya atau pembentukan daerah
3 4
ketahanan . Godschalk
masyarakat
Godschalk, David R., ( !!3). "r#an $a%ard &itigation' (r)ating R)sili)nt (iti)s, Natural Hazard Review, 4, 13*+143.
,--)ltrang)l, .astian, ( !!/). Hidup Akrab Dengan Bencana: Sebuah Tinjauan Global tentang ni!iati"# ni!iati" $engurangan Bencana, 0akarta' &1.2. 3 Godschalk ( !!3).
memandang bahwa ketahanan suatu daerah (dalam konteks artikelnya adalah kota) dibentuk oleh interaksi yang sinergis antar komponenkomponen sistem fisik dan sosial di dalamnya. Dengan perspektif tersebut, lembaga politik antara lain institusi legislatif, eksekutif dan partai politik dituntut untuk berperan yang
kecamatan (77.034,38
terpadat jiwa/km
di
Asia
Tenggara dikenal
persegi6)
dan
sebagai salah satu kawasan dengan tingkat kebakaran tinggi di DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan: a) Menganalisis potensi kerentanan masyarakat Tambora dalam konteks
penanggulangan bencana; b) Menganalisis kapasitas pemerintah dalam mitigasi bahaya kebakaran di Tambora. 2. METODOLOGI Metode penelitian yang dipilih adalah studi kasus, yaitu penelitian yang mendalam tentang suatu objek dalam batasan lingkup tertentu atau eksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci7. deskripsi Tujuannya yang utuh untuk dan
pengambilan
kebijakan
masyarakat to
Vulnerability
Framework
berkontribusi dalam kerentanan masyarakat. Oleh karena itu, penguatan aspek pengambilan kebijakan tersebut menjadi fokus dalam upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam
memperoleh
mendalam dari suatu entitas8, yang dalam hal ini adalah aktivitas partai politik dalam
diajukannya topik Penanggulangan Bencana Perkotaan dalam Perspektif Kerangka Kerja V2R. Secara khusus, makalah ini mengangkat kerentanan masyarakat terhadap kebakaran dan kapasitas Pemerintah dalam Mitigasi
penanganan bencana kebakaran. Maka dari itu, teknik pengambilan data yang idealnya
digunakan adalah observasi lapangan terhadap suatu kejadian kebakaran secara real-time. Akan tetapi, karena kejadian bencana
Bahaya Kebakaran di Kecamatan Tambora Jakarta Barat. Dari studi kasus ini diharapkan dapat dilihat hubungan antara aktivitas partai politik di tengah masyarakat dengan proses pengambilan kebijakan di tataran legislatif (DPRD) dan legislatif (pemerintahan daerah). Kecamatan Tambora dipilih sebagai lokasi studi kasus
4
kebakaran sulit diprediksi, karena itu observasi lapangan menjadi opsi tambahan, jika secara tidak terduga terjadi kejadian kebakaran yang
*
karena
kawasan
ini
merupakan
1ast)ur, (ath)rin), ( !11). %ro& 'ulnerabilit( To Re!ilience) A "ra&ework "or anal(!i! and action to build co&&unit( re!ilience. 3ar4ickshir)' 1ractical ,ction 1u#lishing 5td. 6 ,--)ltrang)r ( !!/).
2sma4an, D.,., ( !!7). *ajian *erentanan *awa!an $er&uki&an $adat Terhadap Bencana *ebakaran Di *eca&atan Ta&bora # +akarta Barat (8kri9si 8arjana). 8)marang' 0urusan 1)r)ncanaan 3ilayah dan :ota ";D21. ,-riani, 2yan, ( !!<). ,etode $enelitian *ualitati", &akassar' 5)m#aga 1)n)litian &ahasis4a 1=;,5,R,;. Rahardjo, &udjia $., ( !1!). +eni! dan ,etode $enelitian *ualitati" > &at)ri :uliah &)todologi 1)n)litian, &alang' 1rogram 1ascasarjana "2; &aliki &alang.
bertepatan dengan periode pengambilan data. Selain dengan observasi lapangan, teknik pengumpulan data yang digunakan terdiri dari wawancara mendalam dan kajian dokumen. Teknik analisis data yang digunakan
kebakaran di Tambora. Melalui aktivitas ini diharapkan dapat dikaji dua hal, yaitu distribusi tugas yang terjadi antar elemen masyarakat termasuk di dalamnya partai politik dalam fase tanggap darurat dan mekanisme respon partai politik terhadap Langkah terjadinya selanjutnya kejadian adalah
mengadaptasi kerangka kerja V2R, akan tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dalam
kebakaran.
penelitian ini. Segmen analisis yang akan digunakan dari kerangka V2R hanyalah
menganalisis upaya penanggulangan bencana yang telah dilakukan oleh institusi-institusi publik serta kendala-kendala yang ada di dalamnya. Dari hasil analisis ini dapat
Vulnerability outcome analysis dan Governance analysis. Dalam penelitian ini, metode validasi yang digunakan adalah triangulasi, yang merupakan metode validasi yang umum digunakan dalam penelitian kualitatif. Melalui berbagai sudut pandang, fenomena yang diamati dapat lebih dipahami, sehingga diperoleh tingkat
didefinisikan upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. 3. KERENTANAN TAMBORA Data termutakhir dari Pemerintah MASYARAKAT
kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Ada empat jenis teknik triangulasi, yaitu
Kecamatan Tambora menyebutkan, sepanjang 2011 tercatat 29 kejadian kebakaran dengan jenis penyebab dan besar dampak yang bervariasi (Gambar 1). Dari semua kejadian kebakaran 2011, 6 di antaranya memiliki luas area bencana lebih dari 1000 m2. Kebakaran terbesar terjadi pada tanggal 1 September 2011, di Jl. Angke Jaya XIII Gg. 4, dengan area kejadian seluas 90.000 m2. Total kerugian material akibat kebakaran antara JanuariAgustus 2011 (19 kejadian) mencapai Rp. 8,95 milyar dan jumlah korban yang kehilangan tempat tinggal mencapai 417 KK. Dari data tersebut, menjadi Tambora. sambungan penyebab Dari 29 listrik utama arus pendek di
triangulasi metode, triangulasi antar-peneliti, triangulasi sumber data, dan triangulasi teori9. Dalam penelitian ini teknik triangulasi yang digunakan meliputi triangulasi teori, triangulasi sumber data dan triangulasi metode. Langkah awal penelitian ini adalah
kebakaran. Untuk itu dilakukan analisis data statistik kejadian bencana kebakaran. Selain itu, dilakukan observasi untuk lapangan dan
wawancara informasi
<
indepth mengenai
memperdalam kejadian
kebakaran
penanganan
kejadian
kebakaran
sepanjang tahun 2011 (matriks dalam Tabel 1), Rahardjo, &udjia $., ( !1! #). ?riangulasi dalam 1)n)litian :ualitati- > &at)ri :uliah &)todologi 1)n)litian, &alang' 1rogram 1ascasarjana "2; &aliki &alang. penyebab kebakaran terbanyak adalah
hubungan arus pendek listrik yaitu 20 kejadian (69%, Gambar 1), sedangkan penyebab lainnya
yang berkaitan dengan kompor gas, kompor minyak dan sebab-sebab sebab non listrik proporsinya kecil. Dari total 29 kejadian, frekuensi
jaringan listrik. Catatan tambahan dari data tahun 2011 ini, dari seluruh kelurahan yang ada di Tambora, kelurahan Angke merupakan wilayah paling aling rentan, dengan akumulasi luas area kebakaran mencapai 98.957 m2, yang sebagian besar juga disebabkan oleh
kebakaran terbanyak terjadi di kelurahan Angke dengan 7 kejadian (24%, Gambar 2), yang 5 di antaranya disebabkan isebabkan hubungan arus pendek. Dari 7 kebakaran di Angke, 4 di antaranya memiliki luasan dampak lebih dari 1000 m . Kebakaran dengan luas area paparan terbesar (90.000 m ) juga terjadi di Kelurahan Angke.
Tabel 1. Matriks Lokasi dan Penyebab Kebakaran di Tambora 2011
Kelurahan Arus Kompor Kompor Gas minyak Pendek 1 1 1 1 4 1 1 1 3 2 1 3 5 2 1 1 1 20 Lainlain 1 3 4 Total / kec. 1 4 1 3 1 3 7 2 2 4 1 29 2 2
Kompor minyak 3%
Kalianyar Duri Utara Duri Selatan Tanah Sereal Krendang Jembatan Besi Angke Jembatan Lima Tambora Pekojan Roa Malaka Total per jenis
:,52,;B,R 4@
D"R2 8=5,?,; 4@
Berdasarkan data di atas, kebakaran akibat masalah h listrik (sambungan arus pendek) sangat dominan dibandingkan dengan
penyebab lainnya. Disimpulkan isimpulkan bahwa untuk menganalisis kerentanan masyarakat Tambora, kebakaran yang disebabkan masalah listrik perlu menjadi fokus analisis. Karena itu
:R=;D,;G 3@
wawancara dengan narasumber akan lebih mengangkat masyarakat permasalah terkait dengan kerentanan permasalahan Kajian mengenai penyebab mengapa kebakaran menjadi masalah sistemik di
Kodir
(Kasi.
Pemadam
Kebakaran pada
Sektor
daya yang digunakan, sehingga menambah risiko terjadinya hubungan arus pendek. 3.2 Kepadatan Penduduk dan Tata
Tambora,
wawancara
19/02/2012),
Isnawa Adji (Camat Tambora, wawancara pada 20/02/2012), Bapak Sudibyo (Ketua Pengurus Partai B tingkat Kecamatan) dan hasil Group
wawancara
berkelompok
(Focus
Discussion) dengan beberapa relawan Partai B (16/02/2012). Kasi. Pemadam Kebakaran dan Camat menjadi representasi pemerintah
sebagai pihak yang berkewenangan dalam penanggulangan Wawancara beberapa representasi kebakaran bapak partai dari di Tambora. dan
Sudibyo B
merupakan pandang
sudut
masyarakat sebagai pembanding keterangan dari kedua narasumber tersebut. 3.1 Masalah Instalasi Listrik Sebagai Penduduk kapasitas kompleks, Penyebab Kerentanan Jaringan listrik warga banyak yang Tambora yang jmelebihi masalah kualitas wilayah menimbulkan penurunan
diantaranya
lingkungan dan infrastruktur yang tidak tertata baik. Dari observasi, umumnya jarak antar rumah rapat, atap yang bertumpuk dan akses jalan yang sempit, sehingga kebakaran cepat meluas. Kios-kios liar milik warga
berumur puluhan tahun tanpa pemeliharaan, padahal pemeliharaan jaringan listrik rutin yang dianjurkan PLN adalah setiap 5 tahun. Di samping itu, perangkat listrik yang digunakan tidak sesuai standar dan asal pasang.
mempersempit akses jalan, sehingga pemadam kebakaran sulit untuk masuk, menyebabkan kerugian yang ditimbulkan semakin besar10. Data kebakaran 2011 (Tabel 2) menunjukkan jenis bahan bangunan berpengaruh besar dalam meluasnya kebakaran. Hal ini
Masyarakat, terutama home industry sering kali menggunakan (percabangan bertumpuk terminal ke stop ekstensi kontak) kabel secara
dengan
perangkat
berkualitas
rendah, sehingga mudah meleleh dan memicu munculnya api. Pencurian listrik, terutama oleh Industri rumahan seperti konfeksi, usaha rumah kos dan kontrakan juga banyak dilakukan. Keterangan petugas PLN (Dimas, 29/02/2012) dalam sweeping listrik, pelaku memanipulasi perangkat KwH meter sehingga penggunaan daya yang terukur tidak sesuai dengan beban
1!
3a4ancara (amat dan :asi. 1)madam :)#akaran 8)ktor ?am#ora, dikuatkan k)t)rangan r)la4an yang t)rli#at dalam 9)nanganan k)#akaran di 1)kojan (1*C! C !1 ), t)ntang kronologi k)#akaran t)rs)#ut.
warga
memperbesar
risiko
lain, penghuni tertidur saat merokok, sehingga jatuh di kasur dan membakar rumah di sekitarnya. Pasca kejadian tersebut, penghuni langsung pulang ke kampungnya, sedangkan tetangga-tetangganya mengalami kerugian
harta benda. Pencurian listrik juga merupakan bentuk perilaku masyarakat yang memperbesar kerentanan. Praktek manipulasi instalasi listrik muncul karena keengganan segelintir warga untuk membayar apa yang sebenarnya menjadi kewajiban mereka ke PLN, agar beban biaya dalam usaha mereka berkurang. Di sisi lain, keberadaan instalatir listrik ilegal membantu memfasilitasi niat tersebut. Kepentingan dua pihak yang saling menguntungkan menjadi
pencurian listrik, permasalahan lain adalah sisi kehati-hatian warga yang kurang dalam
Kasi. Damkar
penggunaan perangkat listrik. Contoh kasus yang disampaikan adalah oleh Kasi. Pemadam terminal
Kebakaran
penggunaan
ekstensi kabel (steker, berdasarkan istilah dalam PUIL 2000 BSN, 2000) secara bertumpuk, yang sering ditemui di industri konfeksi dan rumah warga. Banyaknya instalasi
Sumber: Resume Wawancara Camat Tambora dan Kasie Damkar Sektor Tambora, 20/02/2012
listrik
tua
yang
tidak
terpelihara
juga
Di
samping
itu
kecenderungan
untuk
belonging
terhadap
lingkungan
mengutamakan harga murah dan mengabaikan kualitas mengakibatkan perangkat listrik mudah meleleh karena panas. Beberapa hal di atas membuat risiko terjadinya sambungan arus pendek (korsleting) semakin besar. Hal ini menunjukkan permasalahan utama di Tambora bukan kualitas instalasi listrik yang di bawah
sekitarnya , yang membahayakan warga di sekitarnya. Contoh kasus, kebakaran akibat korsleting kipas angin di Jembatan Besi
(07/02/2012), karena dibiarkan menyala di kamar kos saat penghuninya bekerja. Kasus
11
standar. Kondisi tersebut timbul dari perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan aspek keselamatan jaringan listrik mereka (Matriks dalam Tabel 3). Lebih jauh lagi, ada tiga kemungkinan penyebab lemahnya perhatian masyarakat
sebagai alternatif sumber air warga tersedia secara komersil. Dengan besarnya kebutuhan konsumsi cadangan pemukiman air air warga, yang maka memadai untuk penyediaan di area
padat,
sewaktu-waktu
digunakan dalam pemadaman api menjadi permasalahan yang sulit. Salah kebakaran
2
terhadap aspek keselamatan jaringan listrik di Tambora. Pertama, ketidaktahuan masyarakat mengenai keselamatan jaringan listrik mereka, yang terlihat dari pernyataan Kodir mengenai terminal ekstensi listrik bertumpuk. Kedua, kurangnya kesadaran masyarakat, terutama warga pendatang terhadap keselamatan dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Hal ini terbaca dari kasus kebakaran akibat kipas angin dan maraknya pencurian listrik (keterangan Camat). Ketiga, ketidakmampuan masyarakat untuk memperbaiki kondisi yang mereka menyadari ada, meskipun di sekitar
satu di
contoh
kasus
Angke area
(01/09/2012) pemukiman
menghancurkan
90.000 m . Faktor-faktor penyebab meluasnya area kebakaran, yaitu: - Angin kencang menyebabkan api meluas dengan cepat di wilayah 4 tersebut RT di
(Kompas.com, AngkeTerbakar).
1/09/2011,
- Kebakaran terjadi pada masa mudik Idul Fitri (H+1), warga yang terlibat dalam (Poskota, pemadaman tidak memadai
kerentanan
mereka (Twigg, 2004), karena keterbatasan ekonomi mereka (Pelling, 2003). Hal ini terbaca pada kecenderungan masyarakat memilih
1/09/2011, 325 Rumah Terbakar, Ribuan Jiwa Mengungsi). - Musim kemarau dan jebolnya Pintu Air Kalimalang Kebakaran menyebabkan kesulitan Pemadam air mendapatkan
perangkat listrik yang murah dan instalasi listrik tua yang dibiarkan tanpa perawatan. 3.4 Keterbatasan Infrastruktur Pendukung Penanggulangan Kebakaran Kendala dalam aspek infrastruktur
(news.detik.com, Kebakaran
02/09/2011, karena
Tambora
Pemadaman Seret). Air harus diambil di wilayah Jakarta Utara, yang membuat api terlambat dipadamkan. - Akses jalan ke pusat api tertutup tembok, sehingga Pemadam kobaran Kebakaran api sulit memadamkan 1/09/2012). - Warga yang panik lebih memprioritaskan mengungsikan harta benda mereka, (Poskota,
penanggulangan kebakaran di Tambora yang paling vital adalah kurangnya cadangan air yang memadai. Dengan kepadatan penduduk tinggi, ketersediaan air bersih adalah masalah sehari-hari bagi warga. Air tanah sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk Suplai mencukupi air PDAM
kebutuhan
masyarakat.
sehingga api terus membesar (Poskota, 1/09/2012 & Kompas.com, 1/09/2012). Kasus 01/09/2012 seperti Kebakaran armada Angke yang
yang
penekanan yang berbeda. Pemerintah Propinsi, dalam kaitannya dengan penataan wilayah, cenderung melakukan upaya mitigasi fisik (Godschalk, 2003) berupa program
menyebabkan
dikerahkan Dinas Pemadam Kebakaran selalu lebih dari 20 unit untuk setiap kejadian di Tambora, sekalipun. dimaksudkan bahkan Jumlah untuk yang berskala kecil
pembangunan rumah susun sederhana dan tandon-tandon penampungan air. Pemerintah Kecamatan program telah berinisiatif listrik dan menjalankan sosialisasi
armada mendukung
tersebut kebutuhan
sweeping
suplai air dan mempercepat pemadaman api. Menurut Kasi. Pemadam 20 Kebakaran, unit dari
pencegahan bencana kepada masyarakat yang lebih mengarah pada upaya mitigasi sosial. Di samping upaya mitigasi yang dilakukan
kebutuhan
minimal
pemadam
kebakaran tersebut, yang standby berada di wilayah Tambora tercatat ada lima unit, yang tersebar di tiga lokasi yaitu di Roa Malaka, Krendang dan Angke. Armada lainnya berasal dari kecamatan-kecamatan lain di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, antara lain Grogoldan
Propinsi dan Kecamatan, Dinas Pemadam Kebakaran di luar tugasnya melakukan respon pemadaman api juga menjalankan beberapa program berkaitan kesiapsiagaan masyarakat, di antaranya berupa pelatihan Balakar serta penyediaan alat bantu
Petamburan, Penjaringan.
Palmerah,
Cengkareng
pemadaman berupa Motor Pompa dan APAR. Analisis mengenai mitigasi kebakaran terbagi menjadi dua topik, yaitu mengenai kebijakan mitigasi fisik yang dilakukan Pemerintah
Dari kompilasi data diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Jaringan Instalasi listrik yang buruk sebagai penyebab kerentanan masyarakat; 2) Kepadatan penduduk dan tata bangunan yang buruk sebagai faktor yang meningkatkan risiko; 3) Lemahnya kesadaran masyarakat terhadap keselamatan jaringan listrik juga menyebabkan kerentanan Keterbatasan penanggulangan masyarakat meningkat; 4)
Propinsi dan mitigasi sosial yang dilakukan Pemerintah pemadam Kecamatan. kebakaran Adapun lebih dinas kepada
pembentukan kesiapsiagaan warga, sehingga tidak menjadi fokus bahasan. 4.1 Mitigasi Sosial oleh Pemerintah
infrastruktur kebakaran
Kecamatan Tambora Dari empat faktor kerentanan masyarakat telah dibahas sebelumnya, tiga di
potensi yang kerugian yang ditimbulkan. 4. KAPASITAS MITIGASI Pemerintah Kecamatan dan Propinsi, menjalankan sejumlah program dan kebijakan PEMERINTAH DALAM
antaranya timbul dari masyarakat itu sendiri, yaitu faktor jaringan listrik, tata pemukiman dan perilaku masyarakat. Yang menjadi masalah, kerentanan ini umumnya tidak disadari
<
menjadi sangat penting (Affeltranger, 2007), yaitu dalam bentuk sosialisasi kepada warga mengenai kerentanan yang ada, risiko yang menyertainya, serta upaya pencegahan yang perlu dilakukan.Berdasarkan informasi
2011) menyebutkan, upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat seringkali tidak efektif karena masyarakat diposisikan paling jauh dari permasalahan, sehingga tidak memiliki peran yang cukup besar untuk ikut menentukan kebijakan. Hal ini menjadi sebab munculnya resistensi masyarakat terhadap suatu
Kecamatan, sosialisasi telah sering dilakukan dengan berbagai metode, akan tetapi upaya tersebut belum efektif. Pengaruh sosialisasi tersebut belum terlihat secara nyata dalam perilaku masyarakat. Menurut Kasi. Pemadam Kebakaran Sektor Tambora, efektifitas
kebijakan. Untuk itu, masyarakat seharusnya diposisikan sebagai komponen yang paling dekat dengan permasalah, sehingga partisipasi masyarakat optimal. Salah satu inisiatif kebijakan yang diambil Kecamatan adalah sweeping instalasi listrik secara rutin ke RW-RW di Tambora. Meskipun sweeping pemerintah listrik adalah kewajiban PLN, dalam kebijakan benar-benar
sosialisasi rendah karena banyaknya warga yang menjadi sasarannya. Evaluasi terhadap efektifitas sosialisasi yang dilakukan pemerintah menjadi penting karena hal ini dapat menjadi parameter untuk mengetahui sosialisasi seberapa tersebut besar pengaruh masyarakat.
Kecamatan
berinisiatif
terhadap
meningkatkan intensitasnya dengan dukungan petugas lapangan dari PLN dan Satpol-PP. Dalam sweeping ini, Pemerintah Kecamatan merangkul warga untuk memeriksa instalasi listrik di rumah-rumah. Menurut seorang
Selain itu, hasil evaluasi dapat menjadi bahan pertimbangan, apakah metode yang digunakan telah tepat sasaran atau tidak. Jika evaluasi menunjukkan bahwa metode yang digunakan saat ini belum cukup efektif, maka diperlukan opsi-opsi metode alternatif yang dapat lebih diterima masyarakat. Jika mekanisme ini
petugas yang terlibat, kasus yang paling sering ditemui dalam sweeping adalah pencurian listrik dengan modus manipulasi meteran (KwH
berjalan, maka alokasi anggaran pemerintah untuk sosialisasi pencegahan bencana kepada masyarakat dapat digunakan dengan lebih efisien. Sosialisasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan partisipasi
meter). Kasus semacam ini ditemui pada rumah kos dan home industry yang membutuhkan banyak daya listrik. Praktek ini melibatkan jasa instalatir ilegal yang sifatnya perseorangan. Para instalatir ini memiliki daerah operasi yang spesifik, sehingga biasanya kasus pencurian tersebut mengelompok di daerah tertentu saja. Karena itu, biasanya jika ditemukan ada kasus di suatu wilayah, sweeping dapat memakan waktu hingga sepanjang hari.
masyarakat (Lembaga Administrasi Negara, 2011). Akan tetapi, ada banyak hal yang berpengaruh dalam mewujudkan partisipasi masyarakat dalam kebijakan tersebut. King, Feltey dan Susel (1998, dalam Kurniawan,
1!
4.2
Mitigasi Fisik oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta Ada beberapa kebijakan yang telah
Di samping itu, penulis melihat, kedua kendala ini timbul dipengaruhi masyarakat adanya terhadap
ketidakpercayaan
direncanakan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Dua di antaranya yaitu penataan pemukiman dan pengadaan tandon air di kawasan padat penduduk. Penataan pemukiman dilakukan melalui pembangunan rumah susun sederhana. Sedangkan penampungan pengadaan air bertujuan tandon-tandon menyiapkan
Pemerintah Daerah. Kesimpulan ini muncul dari interpretasi penulis terhadap opini masyarakat di dua daerah padat penduduk di Jakarta, yaitu warga Pekojan Tambora (wawancara warga di sekitar lokasi kebakaran 16-25/02/2012) dan Rawa Buaya Cengkareng (observasi forum warga, 12/06/2011) yang cenderung
mengasosiasikan kata pembebasan lahan dengan apartemen, mall dan ruko. Hal ini masih perlu diverifikasi melalui survei yang lebih akurat, akan tetapi hal ini cukup
Kedua program
masalah pembebasan lahan karena harga tanah yang tinggi di DKI Jakarta. Meskipun kedua program dapat mengurangi kerentanan masyarakat, anggaran, namun membuat besarnya kedua alokasi sulit
memberikan gambaran bahwa pembebasan lahan cenderung dipersepsikan berorientasi pembangunan kawasan komersil. Hal ini
program
terealisasikan. Selain kendala biaya, program mitigasi fisik oleh Pemerintah Propinsi, terkendala masyarakat. Mengacu pada
mendorong warga di sekitar lokasi yang akan dibebaskan untuk menetapkan harga
resistensi
pendapat Boin & t Hart (dalam Rodriguez et al. 2007), resistensi yang ada menunjukkan bahwa warga belum menganggap penataan wilayah (pembangunan rumah susun) dan pembuatan tandon air sebagai hal mendesak (urgent) bagi mereka. Meskipun pemerintah memandang kedua program ini untuk kepentingan
PENINGKATAN KAPASITAS DAERAH Pada Pemerintah serangkaian bagian 4 diungkapkan telah bahwa
Daerah program
menjalankan
penanggulangan
kebakaran. Hal ini menunjukkan telah ada upaya proaktif (Godschalk, 2003) pemerintah daerah DKI Jakarta dalam penanggulangan kebakaran. Program-program yang
masyarakat, adanya resistensi menunjukkan maksud pemerintah tersebut belum dipahami masyarakat. Kondisi ini dapat terjadi karena masyarakat tidak terlibatkan dalam proses perancangan kebijakan tersebut, sehingga tidak merasa memiliki kebijakan tersebut.
spesifik. Menurut Camat, upaya mitigasi fisik yang dilakukan Pemerintah Propinsi terkendala ketersediaan dana pemerintah akibat tingginya biaya pembebasan lahan. Di sisi lain,
11
menghadapi resistensi warga yang menolak upaya relokasi. Program sweeping listrik yang dilakukan Pemerintah Kecamatan relatif tidak mengalami kendala yang berarti, akan tetapi program sosialisasi pencegahan kebakaran yang dilakukan lakukan Kecamatan belum cukup efektif menjangkau masyarakat. Hal ini terlihat dari angka kejadian kebakaran bakaran yang masih tetap tinggi .
12
masyarakat menentukan
belum dalam
menjadi
faktor
yang
penentuan
kebijakan
pengurangan risiko kebakaran. keb Selain itu, respon masyarakat (opini, opini, komentar, protes, kecaman serta keluhan) keluhan yang merupakan wujud umpan balik terhadap kebijakan
pemerintah cenderung terabaikan dan belum menjadi bahan pertimbangan signifikan dalam mengevaluasi efektifitas sosialisasi sosial tersebut. Hal ini mendorong munculnya sikap resisten atau apatis dari masyarakat. King, Feltey dan Susel (1998, dalam Kurniawan, 2011) menyebutkan empat
Pada
bagian
ini
akan
dibahas
komponen utama partisipasi publik, yaitu (1) isu atau situasi; (2) struktur, sistem, dan proses administrasi dministrasi di mana partisipasi mengambil tempat; (3) Administrator; dan (4) masyarakat. Dalam penyusunan kebijakan, seringkali
administrator
(pemerintah)
menempatkan
permasalahan yang mendasari suatu kebijakan. Hal l ini membuat kebijakan yang telah berlaku sulit untuk direvisi ketika ada umpan balik negatif masyarakat terhadap kebijakan tersebut yang dianggap tidak tepat, karena proses administrasi (sistem birokrasi) sulit untuk
Terlihat ada kesamaan di antara programprogr program tersebut, yaitu masyarakat cenderung diposisikan hanya sebagai objek dari kebijakan pemerintah. berada Hal ini posisi membuat yang atau masyarakat pasif program tersebut. Kasi. dalam yang Dari
berubah. Hal inilah yang memunculkan sikap resisten dan ketidakpercayaan dari masyarakat. Kunci penyelesaian permasalahan tersebut adalah memposisikan masyarakat lebih dekat dengan permasalahan (Gambar 4.5), melalui partisipasi otentik dari masyarakat. Merujuk pada gagasan diatas, pada konteks Tambora, kunci penyelesaian dari kendala-kendala kendala yang ada adalah
dalam
merespon
kebijakan
dilaksanakan penuturan
Pemadam
Kebakaran, tersirat bahwa sosialisasi yang selama ini telah dilakukan masih bersifat satu arah. Kondisi ini menunjukkan bahwa aspirasi
1
#)rada di kisaran 6+36 36 k)jadian 9)r tahun s)9)rti dis)#utkan 2sma4an ( !!7).
kebijakan
pengurangan
risiko
kebakaran.
sekaligus mendukung upaya mitigasi fisik oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Pola-pola pelibatan masyarakat seperti dalam kasus kota Berkeley, dapat menjadi alternatif metode pelibatan partisipasi
Pemerintah harus melibatkan masyarakat sejak tahap analisis masalah, perumusan kebijakan hingga tahap penerapannya. Umpan balik dari masyarakat juga harus dilihat sebagai upaya untuk menyempurnakan kebijakan, sehingga hendaknya dipertimbangkan sosialisasi13 dalam proses
masyarakat dalam kebijakan. Godschalk (2003) menyebutkan dua di antara metode yang diterapkan dalam pengambilan kebijakan
dengan mendorong kesadaran kritis serta inisiatif solusi dari warga, melalui diskusi seputar permasalahan keselamatan jaringan listrik. Hal ini berarti sosialisasi yang efektif harus bersifat dialogis, di mana terjadi
penanggulangan gempa di Berkeley, yaitu jajak pendapat (local ballot) dan sidang dewan kota (city council). Jajak pendapat dilakukan untuk lima kebijakan rehabilitasi (retrofitting) terhadap beberapa fasilitas publik dan sekolah di
Berkeley. Penggunaan metode jajak pendapat sangat langka ditemui di Indonesia, akan tetapi dapat digunakan pada cakupan lokal seperti di tingkat Kecamatan atau Kelurahan. Akan tetapi yang perlu menjadi catatan, mengacu pada teori King, Feltey dan Susel (1998 dalam Kurniawan, 2011) metode ini efektif ketika isu yang diangkat telah mengemuka di tengah masyarakat. Contoh kebijakan yang diputuskan melalui sidang dewan kota Berkeley adalah kebijakan pemotongan pajak bagi pemilik
sosialisasi yang partisipatif kepada masyarakat. Tidak cukup hanya melalui penyuluhan searah, sosialisasi yang partisipatif pendekatan perlu dialogis
mempertimbangkan
(Kurniawan, 2011). Metode diskusi terarah (FGD focus group discussion) dapat menjadi salah satu bentuk teknis pendekatan dialogis ini. Selain itu, peluang masyarakat untuk ikut dalam forum penyusunan kebijakan perlu
bangunan yang melakukan upaya keselamatan seismik. Dewan kota dapat diwakili
dibuka seluas mungkin, sehingga keberadaan pengurus RT atau RW di tengah masyarakat harus diposisikan sebagai pengkoordinasi
warga dan bukan representatif (perwakilan) dari warga itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah keputusan yang bersifat elitis.
keberadaannya oleh DPRD di Tingkat Propinsi atau melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Dalam konteks peranan DPRD, interaksi antara anggota
Dengan pendekatan dialogis melalui forum diskusi, upaya mitigasi sosial yang dilakukan oleh
13
legislatif dan masyarakat sangat dibutuhkan. Dalam sistem politik di Indonesia, peran ini sebenarnya ada pada lembaga politik,
Pemerintah
Kecamatan
Tambora
&)ngacu 9ada 9)nda9at :ing, D)lt)y dan 8us)l (1<<7, dalam :urnia4an, !11)
13
khususnya
partai
politik
14
Partai
politik
6. KESIMPULAN 1. Penyebab utama kerentanan masyarakat di Tambora terhadap kebakaran adalah perilaku masyarakat aspek yang kurang
memperkecil jarak antara aparat pemerintahan daerah dan anggota legislatif dengan
memperhatikan
keselamatan
masyarakat melalui struktur di tingkat ranting dan cabang. Dalam hal ini, peran ranting dan cabang partai politik menjadi sangat penting untuk dapat menjangkau masyarakat secara optimal. Di samping itu, partai politik berperan penting membangun kesadaran masyarakat akan transparansi penerapan kebijakandalam
instalasi jaringan listrik mereka. 2. Telah ada sejumlah inisiatif kebijakan Mitigasi Kebakaran yang dilakukan
Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi hingga Kecamatan, sejumlah akan tetapi kendala,
menghadapi
diantaranya tingginya biaya pembebasan lahan untuk pengadaan tandon cadangan air, resistensi masyarakat terhadap
kebijakan
pemerintah,
khususnya
pengurangan risiko bencana. Mengacu pada poin solusi pertama yang dipaparkan King, Feltey dan Susel, keberadaan entitas yang memungkinkan masyarakat
pembangunan rumah susun dan inektifitas sosialisasi kepada masyarakat. 3. Diperlukan kebijakan mitigasi yang lebih partisipatoris, yaitu pelibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan mitigasi sejak tahap awal, sehingga berbagai masukan serta respon dari masyarakat kebijakan ikut dan
memantau proses pengolahan aspirasi mereka sangat diperlukan. Peran ini seharusnya diisi oleh lembaga politik, khususnya Partai Politik yang memiliki jejaring hingga ke tengah
masyarakat. Dari uraian panjang ini, peran partisipasi menunjang publik sangat penting untuk
dipertimbangkan
dalam
masyarakat merasa memiliki kebijakan tersebut. 4. Diperlukan memungkinkan memantau penyusunan adanya entitas yang untuk proses sistem
suksesnya
kebijakan-kebijakan
terkait mitigasi dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam kebijakan, idealnya dimulai sedini mungkin, yaitu dari awal proses perumusan masalah. Kesimpulan tambahan dari makalah ini,
seluruh
kebijakan.
politik Indonesia, peran ini dapat diisi oleh Partai Politik. Maka dari itu, Partai Politik perlu untuk dilibatkan dalam upaya
lembaga atau entitas politik seperti Partai Politik perlu untuk dilibatkan dalam upaya optimalisasi partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana, khususnya bencana kebakaran di DKI Jakarta.
mengoptimalkan
partisipasi
masyarakat
14
,sshiddiEi), 0imly, ( !!*). $engantar l&u Huku& Tata Negara - +ilid , 0akarta' &ahkamah :onstitusi R)9u#lik 2ndon)sia.