You are on page 1of 31

Pendahuluan Program kesehatan mempunyai tujuan utama yaitu memberikan perlindungan kepada pekerja dari bahaya kesehatan yang

behubungan dengan lingkungan kerja dan promosi kesehatan pekerja. Lebih jauh lagi adalah menciptakan kerja yang tidak saja aman dan sehat, tetapi juga nyaman erta meningkatkan kesejahteraan dan produktivita kerja. Aspek dasar perlindungan keehatan adalah manajemen risiko kesehatan, pendidikan dan pelatihan, pertolongan pertama dan pengobatan/kuratif. Manajemen risiko kesehatan adalah prose yang bertahap dan berkesinambungan. Manajemen risiko kesehatan di tempat kerja ini bertujuan untuk; meminimalkan angka kerugian akibat kecelakaan dan sakit, meningkatkan kesempatan/peluang untuk meningkatkan produksi melalui suasana kerja yang aman, sehat dan nyaman, memotong mata rantai kejadian kerugian akibat kegagalan prduksi yang disebabkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK).

Kecelakaan Kerja Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan, terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga, serta dapat menyebabkan cedera terhadap tenaga kerja yang mengalaminya. Dalam hal suatu kecelakaan kerja menyebabkan cedera kepada tenaga kerja, tenaga kerja yang telah memperoleh perawatan dan pengobatan dapat berlanjut menjadi sembuh total tanpa cacat, sembuh dengan cacat atau meninggal dunia. Pada kasus terjadi penyebhan total tidak ada kecacatan, sedangkan untuk keperluan penyelenggaraan jaminan kecelakaan kerja pada kasus meninggal dunia tidak dilakukan penilaian kecacatan, sekalipun mungkin pada kasus tsb kecacatan itu ada.1

Faktor Kecelakaan Kecelakaan kecelakaan akibat kerja yang sering terjadi banyak di sebabkan oleh faktor manusia, faktor lingkungan dan sedikit dipengaruhi oleh faktor alat. Adapun faktor manusia dapat dipengaruhi oleh:

a. Latar belakang pendidikan

Keselamatan kerja memiliki latar belakang sosial ekonomis dan kultural yang sangat luas. Tingkat pendidikan, latar belakang kehidupan yang luas, seperti kebiasaan-kebiasaan, kepercayaan-kepercayaan, dan lain-lain erat bersangkut paut dengan pelaksanaan keselamatan kerja. Demikian juga, keadaan ekonomi ada sangkut pautnya dengan permasalahan keselamatan kerja tersebut.

Di dalam masyarakat yang sedang membangun dan salah satu aspek penting pembangunan adalah bidang ekonomi dan sosial, maka keselamatan kerja lebih tampil ke depan lagi, dikarenakan cepatnya penerapan teknologi dengan segala seginya termasuk problematik keselamatan kerja menampilkan banyak permasalahan, sedangkan kondisi sosial-kultural belum cukup siap untuk menghadapinya. Maka dari itu, sebagai akibat tidak cukupnya perhatian diberikan disana-sini terlihat adanya problem keselamatan kerja , bahkan kadang-kadang hilang sama sekali hasil jerih payah suatu usaha dikarenakan kecelakaan.

Keselamatan harus ditanamkan seejak anak kecil dan menjadi kebiasaan hidup yang dipraktekkan sehari-hari. Keselamatan kerja merupakan satu bagian dari keselamatan pada umumnya. Masyarakat harus dibina penghayatan keselamatannya ke arah yang jauh lebih tinggi. Proses pembinaan ini tak pernah ada habis-habisnya sepanjang kehidupan manusia. Latar belakang pendidikan seseorang dapat mempengaruhi tindakan seseorang dalam bekerja. Orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi cenderung berfikir lebih panjang atau dalam memandanag sesuatu pekerjaan akan melihat dari berbagai segi. Misalnya dari segi keamanan alat atau dari segi keamanan diri. Lain halnya dengan orang yang berpendidikan lebih rendah, cenderung akan berfikir lebih pendek atau bisa di katakan ceroboh dalam bertindak. Misalnya ketika kita melakukan pekerjaan yang sangat beresiko terhadap kecelakaan kerja tetapi kita tidak memakai peralatan safety dengan benar. Hal ini yang tentunya akan menimbulkan kecelakaan.

b. Psikologis Faktor psikolgi juga sangat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Manusia dalam pekerjaannya tidak merupakan mesin yang bekerja begitu saja, tanpa perasaan, pikiran dan

kehidupan sosial. Manusia adalah sesuatu yang paling kompleks. Manusia memiliki rasa suka dan benci, gembira dan sedih, berani dan takut dan lain-lain sebagainya. Manusia mempunyai kehendak, kemauan, angan-angan dan cita-cita. Manusia memiliki dorongan-dorongan hidup tertentu. Selain itu, manusia mempunyai pikiran-pikiran dan pertimbangan-pertimbangan, yang menentukan sikap dan pendiriannya. Juga manusia mempunyai pergaulan hidup, baik di rumahnya atau di tempat kerjanya, maupun masyarakat luas. Maka demikian pulalah seorang pekerja memiliki perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, dan kehidupan sosial seperti itu. Dan faktor-faktor tersebut menyebabkan pengaruh yang tidak sedikit terhadap keadaan pekerja dalam pekerjaannya.

Psikologis seseorang sangat berpengaruh pada konsentrasi dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Bila konsesntrasi sudah terganggu maka akan mempengaruhi tindakan-tindakan yang akan dilakukan ketika bekerja. Sehingga kecelakaan kerja sangat mungkin terjadi. Contoh faktor psikologis yang dapat mempengaruhi konsentrasi adalah: 1. Masalah-masalah dirumah yang terbawa ke tempat kerja 2. Suasana kerja yang tidak kondusif 3. Adanya pertengkaran dengan teman sekerja 4. Dan lai-lain

c. Stres Stres yang berhubungan dengan masalah pekerjaan mungkin merupakan satu-satunya faktor terpenting yang memengaruhi dunia kerja di Amerika pada saat ini. Stres kerja, begitu istilah singkatnya, terjadi ketika seseorang tidak dapat memenuhi tuntuntan atau kebutuhan dari pekerjaanya. Terlalu banyak yang harus dilakukan, kurang waktu, dan kurang tenaga kerja atau sumber daya untuk menuntaskan pekerjaan. Dalam survei terhadap 1400 orang, lebih dari satu pertiga responden menyatakan telah mengalami penambahan beban kerja. Mereka bekerja dengan waktu yang lebih panjang dan jam istirahat makan siang yang lebih pendek agar pekerjaan bisa selesai. Akibatnya, para pekerja mulai mengalami kehabisan tenaga. Mereka benar-benar tidak mampu mengatasinya. Mulai timbul banyak gejala stres secara fisik maupun mental. Stres bukan hanya merugikan para tenaga kerja, tapi juga mengganggu kesehatan seluruh

organisasi, baik itu organisasi yang mencari maupun tidak mencari keuntungan, bergerak di bidang pendidikan, maupun organisasi pemerintah.

d. Keterampilan Keterampilan disini bisa diartikan pengalaman seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan. Misalnya melakukan start/stop pada sebuah peralatan, memakai alat-alat keselamatan, dan lainlain. Pengalaman sangat dibutuhkan ketika melakukan pekerjaan untuk menghindari kesalahankesalahan yang berakibat timbulnya kecelakaan kerja.

e. Fisik Lemahnya kondisi fisik sesorang berpengaruh pada menurunnya tingkat konsentrasi dan motivasi dalam bekerja. Sedangkan kita tahu bahwa konsentrasi dan motivasi sangat dibutuhkan ketika bekerja. Bila sudah terganggu, kecelakaan sangat mungkin terjadi. Contoh factor fisik ini adalah kelelahan, dan menderita suatu penyakit.

f. Alat Kondisi suatu peralatan baik itu umur maupun kualitas sangat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Alat-alat yang sudah tua kemungkinan rusak itu ada. Apabila alat itu sudah rusak, tentu saja dapat mengakibatkan suatu kecelakaan. Contohnya adalah: - Unit alat berat yang sudah tua - Alat-alat safety yang sudah rusak

g. Proses (Safety) Perlindungan tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang cukup luas, yaitu perlindungan keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Perlindungan tersebut bermaksud, agar tenaga kerja secara aman melakukan pekerjaannya sehari-hari untuk meningkatkan produksi dan produktivitas nasional. Tenaga kerja harus memperoleh perlindungan dari pelbagai soal di sekitarnya dan pada dirinya yang dapat menimpa dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan pekerjaannya. Jelaslah, bahwa keselamatan kerja adalah satu segi penting dari perlindungan tenaga kerja. Dalam hubungan ini, bahaya yang dapat timbul dari mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya,

keadaan tempat kerja, lingkungan, cara melakukan pekerjaan, karakteristik fisik dan mental daripada pekerjaannya harus sejauh mungkin diberantas atau dikendalikan.1,2

Faktor Lingkungan Selain faktor manusia yang berperan dalam kecelakaan kerja, terdapat juga faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah sebagai berikut: a. Lokasi/tempat kerja Tempat kerja adalah tempat dilakukannya pekerjaan bagi suatu usaha, dimana terdapat tenaga kerja yang bekerja, dan kemungkinan adanya bahaya kerja di tempat itu. Disain di lokasi kerja yang tidak ergonomis dapat menimbulkan kecelakaan kerja. Tempat kerja yang baikapabila lingkungan kerja aman dan sehat.

b. Perlatan dan perlengkapan Proses produksi adalah bagian dari perencanaan produksi. Langkah penting dalam perencanaan adalah memilih peralatan dan perlengkapan yang efektif sesuai dengan apa yang diproduksinya. Pada dasarnya peralatan/perlengkapan mempunyai bagian-bagian kritis yang dapat menimbulkan keadaan bahaya, yaitu: 1. Bagian-bagian fungsional 2. Bagian-bagian operasional Bagian-bagian mesin yang berbahaya harus ditiadakan denga jalan mengubah konstruksi, member alat perlindungan. Peralatan dan perlengkapan yang dominan menyebabkan kecelakaan kerja, antara lain: 1. Peralatan/perlengkapan yang menimbulkan kebisingan. 2. Peralatan/perlengkapan dengan penerangan yang tidak efektif. 3. Peralatan/perlengkapan dengan temperature tinggi ataupun terlalu rendah. 4. Peralatan/perlengkapan yang mengandung bahan-bahan kimia berbahaya. 5. Peralatan/perlengkapan dengan efek radiasi yang tinggi.

6. Peralatan/perlengkapan yang tidak dilengkapi dengan pelindung, dll.

c. Shift kerja Menurut National Occupational Health and Safety Committee, shift kerja adalah bekerja di luar jam kerja normal, dari Senin sampai Jumat termasuk hari libur dan bekerja mulai dari jam 07.00 sampai dengan jam 19.00 atau lebih. Shift kerja malam biasanya lebih banyak menimbulkan kecelakaan kerja dibandingkan dengan shift kerja siang, tetapi shift kerja pagi-pagi tidak menutup kemungkinan dalam menimbulkan kecelakaan akibat kerja.

d. Sumber kecelakaan Sumber kecelakaan merupakan asal dari timbulnya kecelakaan, bisa berawal dari jenis perlatan/perlengkapannya, berawal dari faktor human error, dimana sumber dari jenis kecelakaan merambat ke tempat-tempat lain, sehingga menimbulkan kecelakaan kerja.2

Pencegahan Kecelakaan

Jelaslah bahwa kecelakaan menelan biaya yang sangat banyak. Dari segi biaya saja dapatlah dipahami, bahwa kecelakaan harus dicegah. Pernyataan ini berbeda dari pendapat jaman dahulu yang menyatakan bahwa kecelakaan adalah nasib. Tidak! Kecelakaan dapat dicegah, asal ada kemauan untuk mencegahnya. Dann pencegahan didasarkan atas pengetahuan tentang sebabsebab kecelakaan itu terjadi.

Pencegahan kecelakaan berdasarkan pengetahuan tentang sebab-sebab kecelakaan. Sebab-sebab kecelakaan di suatu perusahaan diketahui dengan mengadakan analisa kecelakaan. Maka dari itu sebab-sebab dan cara analisanya harus betul-betul diketahui.

Pencegahan ditujukan kepada lingkungan, mesin-mesin alat-alat kerja, dan manusia. Lingkungan harus memenuhi syarat-syarat diantaranya: 1. Lingkungan kerja yang baik. Syarat-syarat lingkungan kerja meliputi: a. Ventilasi b. Penerangan cahaya c. Sanitasi, dan d. Suhu udara 2. Pemeliharaan rumah tangga yang baik. Pemeliharaan rumah tangga perusahaan meliputi: a. Penimbunan b. Pengaturan mesin c. Bejana-bejana, dll. 3. Keadaan gedung yang selamat, harus memiliki: a. Alat pemadam kebakaran b. Pintu keluar darurat c. Lobang ventilasi d. Lantai yang baik 4. Perencanaan yang baik, meliputi: a. Pengaturan operasi b. Pengaturan tempat mesin c. Proses yang selamat d. Cukup alat-alat e. Cukup pedoman-pedoman pelaksanaan dan aturan-aturan Perencanaan yang baik terlihat dari baiknya garding pada bagian-bagian mesin atau perkakas-perkakas yang bergerak, antara lain berputar. Bila ada garding tersebut, harus diketahui efektif tidaknya. Atau terlihat pula dari potongan, bentuk-bentuk dan ukuran-ukurannya, alat-alat atau perkakas kerja.

Selain tentang perencanaan, juga perawatan mesin-mesin dan perkakas-perkakas kerja hharus diperhatikan. Kurangnya perawatan sering mengakibatkan bencana besar, seperti meledaknya mesin-mesin diesel. Alat-alat perlindungan berupa kacamata, sarung tangan, pakaian kerja yang tepat ukurannya, dan lain-lain.

Tentang faktor manusia harus diperhatikan adanya aturan-aturan kerja, kemampuan si pekerja, kurangnya konsentrasi, disiplin kerja, perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kecelakaan, ketidakcocokkan fisik dan mental. Aturan-aturan kerja harus lengkap, jelas dan dipaksakan, agar pekerja-pekerja melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Ketidakmampuan pekerja meliputi kurangnya pengalaman, kurangnya kecakapan, dan lambatnya mengambil keputusan. Konsentrasi berkurang biasanya sebagai akibat ngelamun, kurangnya perhatian, dan tidak mau memperhatikan atau pelupa. Disiplin kurang harus diatasi dengan peringatan kepada pekerja yang melanggar peraturan, atau kepada teman sekerja yang mengganggu seorang pekerja. Cara kerja mendatangkan bahaya apabila iseng atau main coba-coba, ambil cara pendek atau mudahnya dan sifat tergesa-gesa. Untuk mengatasi ketidakcocokkan fisik perlu diperhatikan adanya cacat, kelelahan dan penyakit. Ketidakcocokkan mental yang terutama perlu diatasi ialah kelelahan mental berupa kejemuan, sifat pemarah yang hebat dan sangat mudah tersinggung. Pemeriksaan kesehatan sebelum dan pada waktu-waktu kerja akan berguna dalam menemukan faktor-faktor manusia yang mendatangkan kecelakaan. Latihan-latihan kerja selalu mengurangi jumlahnya kecelakaan, oleh karena itu pengalaman dan keterampilan ditingkatkan. Penagawasan yang kontinu akan mempertahankan tingkat keselamatan dan usaha-usaha pemberantasan kecelakaan. Demikian pula insentive berupa hadiah-hadiah akan meningkatkan usaha-usaha pencegahan. Sebaliknya peringatanpun sangat perlu, bahkan sampai kepada pemberhentian pekerja-pekerja yang mengabaikan tindakan-tindakan atau aturan-aturan pencegahan kecelakaan.

Setiap usaha pencegahan kecelakaan dengan cara menghilangkan atau mengurangi sebabmusababnya selalu akan disertai menurunnya angka kecelakaan, yaitu the injury frequency rate adalah jumlah yang membawa korban dikalikan 1.000.000 (sejuta) dibagi dengan jumlah jam orang-orang yang bekerja dalam perusahaan yang bersangkutan. Injury severity rate adalah jumlah hari kerja yang hilang dikalikan 1.000 dibagi dengan jumlah jam orang bekerja dalam perusahaan yang bersangkutan. Namun pada suatu saat penurunan angka-angka ini tidak akan

terjadi demikian pesat lagi, tidak seperti penurunan mula-mula. Sebabnya ialah faktor manusia yang tak dapat dikoreksi lebih jauh lagi.3

Alat Pelindung Diri Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha tehnis pengamanan tempat, peralatan, dan lingkungan kerja adalah sangat perlu diutamakan. Namun kadang-kadang keadaan bahaya masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya, sehingga digunakan alat-alat pelindung diri. Alat-alat demikian harus memenuhi persyaratan: (1) enak dipakai; (2) tidak mengganggu kerja; dan (3) memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya. Pakaian kerja harus dianggap suatu alat perlindungan terhadap bahaya-bahaya kecelakaan. Pakaian tenaga kerja pria yang bekerja melayani mesin seharusnya berlengan pendek, pas (tidak longgar) pada dada atau punggung, tidak berdasi dan tidak ada lipatan-lipatan yang mungkin mendatangkan bahaya. Wanita sebaiknya memakai celana panjang, jala rambut, baju yang pas dan tidak memakai perhiasan-perhiasan. Pakaian kerja sintetis hanya baik terhadap bahan-bahan kimia korosif, tetapi justru berbahaya pada lingkungan kerja dengan bahan-bahan dapat meledak oleh aliran listrik statis. Alat-alat proteksi diri beraneka ragam macamnya. Jika digolong-golongkan menurut bagianbagian tubuh yang dilindunginya, maka jenis alat-alat proteksi diri dapat dilihat pada daftar sbb: Kepala Mata Muka Tangan dan jari-jari Kaki Alat pernafasan Telinga Tubuh : pengikat rambut, penutup rambut, topi dari berbagai bahan : kacamata dari berbagai gelas : perisai muka : sarung tangan : sepatu : respirator/masker khusus : sumbat telinga, tutup telinga : pakaian kerja dari berbagai bahan.4

Sistem Manajemen K3 Dalam dunia persaingan terbuka pada era globalisasi ini , masyarakat dan internasional menerapkan standart acuan terhadap berbagai hal terhadap industri seperti kualitas, manajemen kualitas, manajemen lingkungan, serta keselamatan dan kesehatan kerja. Apabila saat ini industri pengekspor telah dituntut untuk menerapkan Manajemen Kualitas (ISO-9000, QS-9000) serta Manajemen Lingkungan (ISO-14000) maka bukan tidak mungkin tuntutan terhadap penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja juga menjadi tuntutan pasar internasional. Untuk menjawab tantangan tersebut Pemerintah yang diwakili oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menetapkan sebuah peraturan perundangan mengenai Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER.05/MEN/1996.

Definisi SMK3 Secara normatif sebagaimana terdapat pada PER.05/MEN/1996 pasal 1, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggungjaeab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan Keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.5

Tujuan dan Sasaran Tujuan dan sasaran sistem Manajemen K3 adalah terciptanya sistem K3 di tempat kerja yang melibatkan segala pihak sehingga dapat mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.

Alasan Penerapan SMK3 Karena SMK3 bukan hanya tuntutan pemerintah, masyarakat, pasar, atau dunia internasional saja tetapi juga tanggung jawab pengusaha untuk menyediakan tempat kerja yang aman bagi pekerjanya. Selain itu penerapan SMK3 juga mempunyai banyak manfaat bagi industri kita antara lain :

Manfaat Langsung : Mengurangi jam kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja. Menghindari kerugian material dan jiwa akibat kecelakaan kerja Menciptakan tempat kerja yang efisien dan produktif karena tenaga kerja merasa aman dalam bekerja.

Manfaat tidak langsung : Meningkatkan image market terhadap perusahaan. Menciptakan hubungan yang harmonis bagi karyawan dan perusahaan. Perawatan terhadap mesin dan peralatan semakin baik, sehingga membuat umur alat semakin lama.6

OHSAS OHSAS 18001 adalah suatu standar internasional untuk Sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Yang terbaru adalah OHSAS 18001:2007 menggantikan OHSAS 18001:1999 dan dimaksudkan untuk mengelola aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3). OHSAS 18001 menyediakan kerangka bagi efektifitas manajemen K3 termasuk kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang diterapkan pada aktifitas anda dan mengenali adanya bahaya yang timbul. Secara umum, OHSAS 18001 dapat diterapkan kepada setiap organinsasi yang berkeinginan: Mengembangkan system manajemen K3 untuk menghilangkan atau mengurangi resiko terhadap individu atau pihak terkait lainnya yang kemungkinan bersentuhan langsung dengan kecelakaan. Menerapkan, memelihara, atau meningkatkan system manajemen K3. Memastikan bahwa kebijakan K3 telah terpenuhi. Menunjukkan kesesuaian organisasi dengan SMK3 dengan cara: o Pernyataan sendiri bahwa organisasi telah memenuhi standar SMK3, o Memperoleh konfirmasi kesesuaian SMK3 oleh pihak ketiga yang memiliki kepentingan dengan organisasi, pelanggan dan pemasok. o Mendapatkan konfirmasi tentang pernyataan sendiri oleh pihak eksternal organisasi. o Memperoleh sertifikasi/registrasi SMK3 oleh badan sertifikasi.

Organisasi yang mengimplementasikan OHSAS 18001 memiliki struktur manajemen yang terorganisir dengan wewenang dan tanggung jawab yang tegas, sasaran perbaikan yang jelas, hasil pencapaian yang dapat diukur dan pendekatan yang terstruktur untuk penilaian resiko. Keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan OHSAS 18001 adalah: Kepuasan pelanggan melalui pengiriman produk yang secara konsisten memenuhi persyaratan pelanggan disertai perlindungan terhadap kesehatan dan property para pelanggan. Mengurangi ongkos-ongkos operasional dengan mengurangi kehilangan waktu kerja karena kecelakaan dan penurunan kesehatan dan pengurangan ongkos-ongkos berkenaan dengan biaya dan kompensasi hokum. Meningkatkan hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perlindungan pada kesehatan dan property karyawan, para pelanggan dan rekanan. Persyaratan kepatuhan hukum dengan pemahaman bagaimana persyaratan suatu peraturan dan perundang-undangan tersebut mempunyai pengaruh tertentu pada suatu organisasi dan para pelanggan anda. Peningkatan terhadap pengendalian manajemen resiko melalui pengenalan secara jelas pada kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penerapan pada pengendalian dan pengukuran. Tercapainya kepercayaan masyarakat terhadap bisnis yang dijalankan. Kemampuan untuk mendapatkan lebih banyak bisnis khususnya spesifikasi pengadaan yang memerlukan sertifikasi sebagai suatu persyaratan sebagai rekanan.

Pada intinya, penerapan sistem manajemen apapun sama. Dimulai dari komitmen top level managemen, perencanaan, penerapan, pemeriksaan sampai pada tindak lanjut. Bedanya tentu pada fokus. Untuk sistem manajemen K3, fokusnya adalah keselamatan dan kesehatan kerja. Berikut adalah 25 tahap yang yang perlu dilakukan dalam penerapan sistem manajemen K3, lengkap dengan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari persyaratan-persyaratan yang terkandung dalam OHSAS-18001. 7

25 Tahap Penerapan OHSAS-18001

a. Membuat kebijakan K3 Tiga komitmen yang harus ada dalam kebijakan K3 dalam OHSAS-18001 adalah komitmen untuk mencegah cidera dan gangguan kesehatan, peningkatan berkelanjutan dan mencapai kesesuaian dengan persyaratan yang berlaku terkait K3.

Tentu, kebijakan harus sesuai dengan sifat dan skala resiko keselamatan dan kesehatan kerja di organisasi yang tentu berbeda-beda.

b. Membentuk team Ada banyak pekerjaan dalam pengembangan sistem manajemen keselamatan yang perlu dilakukan bersama-sama. Misalnya, dalam mengidentifikasi proses-proses yang dilakukan organisasi, dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi resiko bahaya, menentukan pengendalian dan sebagainya. Aktifitas-aktifitas tersebut membutuhkan pengetahuan dan pertimbangan dari beberapa pihak. Itulah perlunya team. Anggota team paling tidak merepresentasikan semua fungsi dalam organisasi, perwakilan pihak manajemen dan juga perwakilan dari karyawan . Baik sekali bila juga melibatkan serikat pekerja.

c. Pelatihan dasar Pelatihan dasar perlu diberikan pada team untuk membekali mereka dalam tugas-tugas selanjutnya terkait pengembangan sistem manajemen K3. Paling tidak, team harus dibekali dengan pemahaman yang baik tentang persyaratan-persyaratan yang terkandung dalam OHSAS18001, metoda-metoda dalam identifikasi dan penilaian resiko bahaya, aspek-aspek keselamatan yang relevan dengan aktifitas organisasi.

d. Mengidentifikasi dan menilai resiko bahaya Bahaya keselamatan bisa datang dari berbagai aktifitas yang dilakukan organisasi, penggunaan peralatan, ataupun elemen-elemen yang datang dari luar organisasi. Semuanya harus dinilai untuk menentukan tingkat resikonya terhadap pekerja. 1) Tahap pertama adalah identifikasi bahaya.

Untuk organisasi yang sudah menerapkan ISO-9001 dan/atau 14001, akan lebih mudah bila identifikasi bahaya dilakukan dengan melihat proses-proses yang dilakukan. Ini tentunya ada dalam manual mutu. Hanya langkah awal, untuk selanjutnya akan ada pengembanganpengembangan karena biasanya tidak semua proses dalam organisasi dicantumkan dalam manual mutu. Selanjutnya, masih dalam tahap identifikasi bahaya, perlu dilakukan penggalian secara lebih mendalam dari proses-proses, bisa dengan aktifitas semacam safety tour, melihat proses dari dekat: alat yang digunakan, bagaimana melakukan, dalam kondisi apa dilakukan dan sebagainya. Selain itu, perlu juga dilihat catatan-catatan kecelakaan yang pernah terjadi, catatancatatan nyaris celaka (near miss) dan masukan-masukan dari karyawan terkait. 2) Tahap kedua, dilakukan penilaian resiko dari setiap bahaya. Cara yang paling sederhana adalah memberi skala kuantitatif untuk 2 parameter: tingkat bahaya (severity): dari 'tidak mengakibatkan apa-apa' sampai 'mengancam hilangnya nyawa' dan tingkat kemungkinan (probability): dari 'tidak mungkin terjadi' sampai 'hampir pasti terjadi'. Kedua parameter tersebut lalu dikalikan untuk membentuk angka resiko. Gambar berikut adalah contoh form untuk penilaian resiko bahaya. Metoda-metoda lain yang dapat digunakan dalam menilai resiko suatu bahaya: What-if Analysis HAZOP (Hazard and Operability Study) FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) FTA (Fault Tree Analysis) ETA (Event Tree Analysis dan sebagainya.

e. Menetapkan pengendalian operasional Setelah mengetahui tingkat resiko dari setiap bahaya yang teridentifikasi, selanjutnya adalah menetapkan bagaimana cara pengendalian resiko.Tentu, prioritas harus diberikan kepada bahaya dengan tingkat resiko tinggi. Itulah gunalah penilaian resiko: menentukan prioritas. Sejauh memungkinkan, cara pengendalian yang harus dipilih adalah menghilangkan resiko. Pilihan terakhir adalah penggunaan peralatan-peralatan pengaman. Perlu diingat bahwa pilihan 'menghilangkan resiko' selalu terkait dengan perubahan suatu aktifitas, entah cara kerja, entah

disain mesin / peralatan, entah material. Pilihan ini tentu wajib melibatkan pihak-pihak yang berkompeten dalam perancangan proses.

f. Menetapkan dan menerapkan prosedur untuk mengidentifikasi persyaratan-persyaratan K3 Pertama organisasi harus menentukan cara bagaimana mengakses/memperolah persyaratanpersyaratan legal terkait K3. Kedua organisasi harus memilah mana persyaratan-persyaratan yang harus diberlakukan. Ada puluhan persyaratan K3 yang dikeluarkan pemerintah, dari yang bersifat umum untuk semua organisasi sampai yang membahas suatu pekerjaan dan hal-hal yang spesifik yang relevan hanya bila organisasi mempunyai suatu aktifitas tertentu saja.

g. Menetapkan sasaran dan program Dasar dari penetapan sasaran adalah persyaratan-persyaratan K3 yang berlaku dan tingkat resiko dari bahaya yang ada. Sasaran kinerja bisa terkait lagging indicator (hasil akhir yang ingin dicapai) seperti penurunan tingkat kecelakaan karena bahan kimia, penurunan tingkat kecelakaan dalam proses produksi, Penurunan tingkat kecelakaan terkait listrik dan sebagainya, bisa juga terkait leading indicator, yaitu apa yang membuat suatu lagging indikator menurun seperti peningkatan kompetensi K3 karyawan, kesesuaian pemeliharaan peralatan listrik dengan jadwal dan sebagainya. Program adalah rencana kerja untuk mencapai sasaran mencakup apa harus dilakukan, siapa yang melakukan, kapan harus dilakukan dan diselesaikan. Program harus ditinjau secara berkala.

h. Menyediakan infrastruktur dan teknologi yang diperlukan untuk penerapan sistem manajemen K3. Fokus tentu saja harus diberikan pada sumber daya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan, berdasarkan tingkat resiko bahaya yang ada. Masalah keselamatan adalah tanggung jawab semua pihak. Top level management memberikan komitem dan sumber daya, tetapi yang menjalan sistem adalah karyawan di semua tingkatan. Tanggung jawab dan wewenang diperlukan agar setiap fungsi memahami dengan jelas apa yang menjadi tanggung

jawabnya terkait dengan K3.

i. Menunjuk Management Representative Tugas utama MR dalam sistem manajemen K3 sama saja dengan MR di sistem manajemen mutu maupun lingkungan: menjamin sistem diterapkan dan diperlihara dan melaporkan kinerja sistem kepada pihak menajemen. Tambahan yang menarik dalam OHSAS-18001 adalah bahwa identifitas dari MR ini harus tersedia bagi semua orang yang berkerja dibawah kontrol organisasi. Tentu persyaratan ini ada maksudnya, misalnya: Bila ada suatu masalah mendesak dan keterlibatan seseorang yang dapat mengambil suatu keputusan, maka setiap orang tahu siapa orang yang harus dihubungi.

j. Mengembangkan kompetensi yang diperlukan personil, baik lewat pelatihan ataupun cara lain Kompetensi yang dibutuhkan: Pengetahuan dasar tentang sistem manajemen K3, khususnya untuk team yang merancang sistem. Pengetahuan dan skill untuk mengidentifikasi dan menilai resiko dari bahaya, untuk team yang bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan ini. Pengetahuan tentang aspek-aspek keselamatan yang spesifik yang sesuai dengan aktifitas yang ada dalam organisasi. Misalanya, aktifitas yang melibatkan bahan-bahan berbahaya dan beracun, aktifitas transportasi, aktifitas di ketinggian (umumnya untuk organisasi jasa konstruksi) dan banyak lagi lainnya aktifitas yang spesifik. Pengetahuan dan skill untuk melakukan pekerjaan yang mempunyai resiko bahaya, sesuai dengan prosedur atau kontrol operasional yang ditetapkan, untuk personil yang melakukan pekerjaan tersebut. Pengetahuan dan skill untuk penanggulangan kondisi darurat. Pengetahuan tentang persyaratan-persyaratan K3 yang berlaku, untuk satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab untuk mengevaluasi pemenuhan persyaratan-persyaratan tersebut.

k. Menetapkan dan menerapkan prosedur untuk mengembangkan kesadaran K3 Persyaratan ini similar dengan ISO-14001 (terkait prosedur pengembangan kesadaran lingkungan). Dalam ISO-9001 juga ada persyaratan demikian tetapi tidak mencantumkan kebutuhan adanya prosedur. Membangun kesadaran selalu penting tapi bukanlah pekerjaan yang mudah. Membangun kesadaran berarti merubah apa yang ada dalam kepala orang. Tadinya orang percaya bahwa A adalah benar, kita ingin agar kepercayaannya berubah: B lah yang benar. Atau, tadinya orang tidak terlalu percaya bahwa B adalah penting, kita ingin mereka percaya bahwa B benar-benar penting. Kepercayaan atau belief inilah yang akhirnya akan melahirkan kecenderungan perilaku. Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk membangun kesadaran dan sebetulnya tidak dapat dicakup dalam sebuah prosedur. Yang bisa dilakukan oleh organisasi adalah menentukan berbagai upaya yang dapat menstimulir berkembangnya kesadaran tentang pentingnya K3. Poster, penyebaran informasi perlu untuk 'mengenalkan' dan mengingatkan. Pelatihan dan briefing-briefing perlu sebagai alat rational persuation. Keterlibatan karyawan dalam beberapa bagian pekerjaan perencanaan aturan juga perlu untuk membangkitkan rasa tanggung jawab yang muncul dari dalam diri sendiri. Dan yang tidak kalah penting, adalah keteladanan. Sangat tidak mungkin bila, misalnya, seorang manajer ingin membangun kepercayaan karyawan akan pentingnya K3 sementara dia sendiri tidak menganggapnya penting.

l. Menetapkan dan menerapkan prosedur komunikasi internal dan eksternal terkait K3 Persyaratan ini similar dengan apa yang ada dalam ISO-14001. Organisasi harus menentukan cara-cara untuk mengkomunikasikan hal-hal terkait K3 ke internal organisasi. Misalnya, penggunaan bulletion board, atau newsletter untuk menyebarkan informasi tentang kinerja sistem manajemen K3. Komunikasi dengan pihak eksternal terkait K3 juga perlu diatur. Misalnya, siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana menginformasikan aturan-aturan terkait K3 kepada kontraktor, siapa yang mewakili organisasi untuk berhubungan dengan instansi terkait K3, bagaimana melibatkan masyarakat sekitar dalam penanganan kondisi darurat.

m. Menetapkan prosedur untuk mengembangkan keterlibatan karyawan dan konsultasi Disini saya sengaja mengatakan hanya menetapkan, tanpa tambahan menerapkan karena sesunggunhyna prosedur ini adalah prosedur yang berisi aturan tambahan untuk prosedur yang

lain: Identifikasi dan penialaian resiko bahaya, perencanaan kontrol, perencanaan tanggap darurat dan lain-lain yang merupakan proses-proses inti dari sistem manajemen K3. Dalam prosedur ini harus disebutkan bagaimana keterlibatan karyawan dibangun. Misalnya, apakah dalam aktifitas-aktifitas tersebut diatas setiap karyawan yang terlibat langsung dengan pekerjaan yang mempunyai potensi bahaya diikutsertakan dalam pembahasan (direct involvment), ataukah hanya perwakilannya saja yang diundang (idirect involvement), apa peranan dari serikat kerja harus ditentukan dan sebagainya. Terkait konsultasi, intinya adalah pihak manajemen perlu berkonsultasi dengan pihak-pihak karyawan dalam mengambil keputusan-keputusan penting terkait K3. Tentu yang dimaksud konsultasi disini adalah pertukaran pandangan dan pertukaran gagasan. Mengapa OHSAS-18001 memunculkan persyaratan semacam ini? Jawaban yang sederhana adalah karena pihak manajemen cenderung berpikir apa yang baik bagi bisnis sedang karyawan di pihak lain memikirkan dalam tingkat yang lebih banyak aspek-aspek keselamatan dan kesehatan mereka dalam melakukan suatu pekerjaan. Persyaratan tentang keterlibatan dan konsultasi dimaksudkan agar kedua pihak saling memahami kedua kecenderungan tersebut.

n. Penyusunan manual K3 Sebetulnya OHSAS-18001 tidak secara eksplisit mensyaratkan adanya manual tetapi dokumen ini dapat digunakan untuk memuat kebijakan K3, lingkup sistem manajemen K3 dan juga elemen-elemen inti yang terdapat dalam sistem serta acuannya ke dokuman-dokumen lain.

o. Menetapkan dan menerapkan prosedur pengendalian dokumen Ini tentu mudah untuk organisasi yang sudah menerapkan ISO-9001 atau standar sistem manajemen lainnya. Yang diperlukan hanyalah merubah lingkup prosedur pengendalian dokumen yang sudah ada sehingga mencakup pula dokumen-dokumen yang diperlukan dalam sistem manajemen K3.

p. Menetapkan dan menerapkan prosedur untuk mengidentifikasi keadaan darurat Proses ini adalah kelanjutan dari proses identifikasi dan penilaian resiko bahaya. Bahaya apa saja yang dianggap beresiko dan dapat menimbulkan kondisi darurat? Dalam mengidentifikasi ini, organisasi juga perlu melihat kondisi yang pernah terjadi dan juga pengalaman-pengalaman dari organisasi yang similar. Kondisi darurat apa yang pernah mereka alami yang dapat diambil pelajaran.

q. Menetapkan dan menguji secara berkala prosedur-prosedur tanggap darurat. Setelah organisasi mengidentifikasi kondisi darurat apa saya yang mungkin terjadi, selanjutnya adalah merancang rencana tanggap darurat. Siapa harus melakukan apa pada saat kondisi darurat terjadi dan bagaimana melakukannya. Prosedur ini harus disimulasikan secara berkala untuk memelihara kesiapan setiap personil dalam menghadapi kondisi darurat sekaligus ntuk menguji apakah prosedur dapat berjalan dengan baik atau tidak, apakah prosedur perlu diperbaiki atau tidak, apakah perlu adanya perubahan dalam pengaturan peralatan yang diperlukan atau tidak dan sebagainya.

r. Menetapkan dan menerapkan prosedur pemantauan dan pengukuran kinerja K3. What you can't measure can't be improved. Itu kata pepatah mutu. Berlaku juga tentunya untuk masalah keselamatan. Organisasi perlu menetapkan apa saja yang diukur, seberapa sering dan bagaimana cara mengukurnya. Apa yang diukur bisa bersifat quantitatif, bisa juga qualitatif. Quantitatif misalnya, jumlah kecelakaan yang terjadi, termasuk near miss, parameter-parameter seperti tingkat kebisingan, getaran, jumlah pemakaian bahan berbahaya (bila ditentukan untuk diturunkan) dan sebagainya. Qualitatif misalnya penggunaan checklist-checklist untuk pemeriksaan kesesuaian dengan aturan K3, kepatuhan karyawan dalam penggunaan peralatan keselamatan dan sebagainya. Bila organisasi menggunakan peralatan tertentu (misalnya mempunyai alat sendiri untuk mengukur tingkat kebisingan atau peralatan untuk mengukur suatu parameter variable yang mempengaruhi keselamatan), organisasi harus mengkalibrasi dan memelihara alat tersebut untuk menjamin kemampuannya dalam mengukur. Ini bisa dimasukkan dalam prosedur kalibrasi yang biasanya sudah ada dalam sistem manajemen mutu.

s. Menetapkan dan menerapkan prosedur untuk mengevaluasi pemenuhan persyaratanpersyaratan terkait K3. Persyaratan ini similar dengan persyaratan untuk mengevaluasi pemenuhan persyaratan lingkungan dalam ISO-14001. Tentu, acuan dalam OHSAS-18001 adalah persyaratan dan perundangan terkait K3.

t. Menetapkan dan menerapkan prosedur untuk investigasi insiden Kecelakaan kerja harus dihindari. Kalaupun terjadi, kecelakaan harus dijadikan pelajaran yang berharga untuk mengidentifikasi peluang perbaikan. Apa yang harus diatur dalam investagsi insiden? Beberapa contoh: Siapa yang melakukan investigasi, siapa yang harus diikut sertakan, informasi apa yang harus dikumpulkan (siapa yang menjadi korban, dimana, bagaimana terjadinya kecelakaan, kondisi site sebelum terjadinya kecelakaan), bagaimana mengumpulkan informasi tersebut, prosedur apa yang sudah ada, bagaimana pelaporan harus dilakukan dan sebagainya. Intinya, pengaturan investigasi kecelakaan dibuat agar investigasi kecelakaan dilakukan secara sistematis dan dapat menjadi masukan yang berguna bagi perbaikan sistem.

u. Menetapkan prosedur tindakan koreksi dan pencegahan Tahapan yang diperlukan dalam tindakan koreksi dan pencegahan sama saja, apapun masalahnya, baik terkait mutu, lingkungan ataupun K3. Yang berbeda tentunya adalah kejadiankejadian yang men-trigger diperlukannya tindakan koreksi dan pencegahan: Tahap identifikasi non-conformities. Prosedur ini dapat disatukan dengan prosedur yang sudah ada dalam sistem manajemen mutu, dengan pengubahan lingkup dan penambahan dalam tahap identifikasi masalah. Dalam tindakan koreksi terkait 'nonconformities' di sistem manajemen K3, salah satu identifikasi masalah adalah terkait dengan proses investigasi kecelakaan.

v. Menetapkan dan menerapkan prosedur pengendalian catatan Prosedur yang dibutuhkan sama saja dengan prosedur pengendalian catatan dalam ISO-9001. Organisasi hanya perlu menambah lingkup dari prosedur sehingga juga mencakup catatancatatan terkait sistem manajemen K3.

w. Menetapkan dan menerapkan prosedur audit internal K3 Prinsip-prinsip audit dalam OHSAS-18001 sama dengan ISO-9001 maupun ISO-14001. Organisasi tak perlu lagi membuat prosedur baru, cukup memperluas lingkup dari prosedur yang sudah ada.

x. Melakukan tinjauan manajemen Tinjauan manajemen dilakukan agar pihak manajemen mengetahui perkembangan dalam sistem manajemen K3 yang telah dibangun. Pihak manajemen harus tahu hasil audit yang telah dilakukan, kinerja sistem, kecelakaan-kecelakaan yang terjadi dan sebagainya. Persyaratan tentang tinjauan manajemen juga similar dengan persyaratan dengan judul yang sama dalam ISO-9001 dan ISO-14001. Yang menarik dalam OHSAS-18001 adalah bahwa pihak manajemen juga harus mengetahui bukti-bukti hasil dari partisipasi dan konsultasi. Ini semacam penegasan bahwa partisipasi dan konsultasi (pertukaran ide dan gagasan antar karyawan dan pihak manajemen) penting sekali dalam penerapan sistem manajemen K3.6,7

Penatalaksanaan Fraktur 1. Penatalaksanaan secara Umum Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.

2. Penatalaksanaan Kedaruratan Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk meng-imobilisasi bagian tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang. Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan di atas. Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.8,9

Diagnosis Okupasi Untuk mendiagnosis suatu Penyakit Akibat Kerja (PAK) dapat melalui 7 langkah berikut: 1. Tentukan diagnosis klinisnya. 2. Tentukan pajanan yang dialami tenaga kerja selama ini. 3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut. 4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat mengakibatkan penyakit tersebut. 5. Tentukan apakah ada faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi. 6. Cari adanya kemungkinan lain yang mungkin dapat merupakan penyebab penyakit. 7. Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya.

1) Diagnosis Klinis

A. Anamnesis

Anamnesis merupakan kunci terpenting ditemukannya diagnosis penyakit akibat kerja, pertanyaan sederhana apakah pekerjaan pasien dan lebih rinci lagi, tugas apa yang dia lakukan sehari-hari, dapat memberi informasi awal untuk seorang dokter menelusuri lebih dalam hubungan penyakit yang diderita saat ini dengan pekerjaan yang dijalaninya sehari-hari. Yang penting untuk melengkapi anamnesis adalah riwayat penyakit sekarang, dahulu, riwayat penyakit keluarga dan riwayat pekerjaan sebelumnya.

Informasi mengenai zat toksik yang digunakan di tempat kerja akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Keterangan tersebut disebut material safely data sheets, keterangan ini sangat penting bagi kesehatan, keselamatan dan toksistas pada individu yang terpapar secara erat.

Selain zat toksik yang harus pula diperhatikan oleh dokter perusahaan adalah lingkungan fisik seperti kebisingan, panas, penerangan yang baik, makanan dan minuman sehari-hari dikomsumsi karyawan, atau paparan bakteri, virus, jamur, parasit pada industri atau laboratorium

kesehatan atau paparan serangga, reptilia pada agro industri maupun industri yang beroperasi lapangan seperti hutan, gua dan lain-lain.

Riwayat pekerjaan harus ditanyakan kepada penderita dengan seteliti-telitinya dari pemrulaan sekali smapai dengan waktu terakhir bekerja. Jangan sekali-kali hanya mencurahkan perhatian pada pekerjaan yangg dilakukan waktu sekarang, namun harus dikumpulkan informasi tentang pekerjaan sebelumnya, sebab selalu mungkin bahwa penyakit akibat kerja yang diderita waktu ini penyebabnya adalah pekerjaan atau lingkungan kerja dari pekerjaan terdahulu. Hal ini lebih penting lagi jika tenaga kerja gemar pindah kerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Buatlah tabel yang secara kronologis memuat waktu, perusahaan, tempat bekerja, jenis pekerjaan, aktivitas pekerjaan, faktor dalam pekerjaan atau lingkungan kerja yang mungkin menyebabkan penyakit akibat kerja. Penggunaan kuestioner yang direncanakan dengan tepat sangat membantu.

Identitas pasien : Nama lengkap : Tn. B Alamat: Rawamangun, Pulo Gadung, Jaktim Status perkawinan : Menikah Pekerjaan : Cleaning Service Jenis kelamin : Laki-laki Usia : 40 tahun Suku bangsa : Jawa

Keluhan utama : Tungkai kanan tidak dapat digerakan sejak 6 jam SMRS Keluhan tambahan : Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan tidak dapat menggerakan tungkai kanan sejak 6 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan tersebut ditumbulkan karena pasien terjatuh dari lantai 4 saat bekerja membersihkan jendela kaca dari arah luar tanpa menggunakan alat pelindung diri.

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien pernah mengalami keluhan hal yang sama pada tahun 2010 sebanyak dua kali dan tahun 2011 sebanyak satu kali. Riwayat Pekerjaan : Pasien sudah bekerja sebagai Cleaning Service sejak 10 tahun. Pasien mengaku sehariharinya berangkat kerja dengan mengendarai motor. Riwayat Penyakit Keluarga : Alergi (-) Stroke (-) Asma (-) Jantung (-) Diabetes (-) Hipertensi (-)

B. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Tanda-tanda Vital : Tampak Sakit Sedang : Compos Mentis :TD 120/70 mmHg N 72x/menit Suhu 36,7C RR 16x/menit Status Gizi IMT 14,3 Bentuk badan atleticus Ekstremitas bawah Inspeksi : Luka ringan (memar) di Femur dextra 1/3 distal. Udem (-/-); Deformitas (-/-) Palpasi Move Kekuatan otot : Nyeri tekan (-/+) : Gerak (-/-); Nyeri (-/+) : (+5/-) : BB 30 kg TB 150 cm

Tanda fraktur Sensoris Varises Vaskularisasi Kelainan kuku dan jari

: (-/+) : (+/+) : (-/-) : (+/+) : (-/-)

Status Lokalis Regio Femur dextra Look Feel : Normal simetris : Nyeri tekan (+) krepitasi 1/3 distal (+)

Move : Gerak terbatas karena nyeri Tidak dilakukan Pemeriksaan Fisik patologis

2) Pajanan yang dialami Tabel 1. Pajanan dan resiko gangguan kesehatan


Pajanan Kegiatan Fisik Kimia Biologi Ergonomi Psikososial Resiko Penyakit dan Kecelakaan Kerja

Perjalanan pergi dan pulang kerja

Sinar UV, suhu panas, bising, getaran

Konjungtivitis, ISPA, heat fatigue, Polusi Bakteri, Posisi duduk di Stres dermatitis, lingkungan jamur, motor terlalu kemacetan, gangguan (debu, CO, virus lama kelelahan muskular, CO2) kecelakaan lalu lintas, parestesi Fraktur tulang, keracunan, ISPA, dermatitis, gangguan muskular, kecelakaan kerja

Bekerja sebagai Cleaning Service

Sinar UV

Bahan kimia pembersih ruangan, debu

Posisi Bakteri, membersihkan Stres jamur, kaca dari arah pekerjaan, virus luar yang tidak kelelahan aman

3) Hubungan pajanan dengan penyakit Ergonomi, (YUNANI ERGO = KERJA, NOMOS = NORMA) adalah penerapan ilmu biologi manusia sejalan dengan ilmu rekayasa untuk mencapai penyesuaian bersama antara pekerjaan dan manusia secara optimum dengan tujuan agar bermanfaat demi efisiensi dan kesejahteraan. Postur berbahaya merupakan postur yang buruk yang dapat mengurangi efisiensi, kenyamanan, dan keamanan pekerja. Faal kerja Ilmu faal yang dikhususkan untuk manusia yang bekerja disebut ilmu faal kerja atau fisiologi kerja. Dalam faal kerja, perhatian utama difokuskan kepada kerja fisik atau otot. Selain itu jantung dan sistem peredaran darah, paru dan alat pernapasan lainnya, sistem gastro-intestinal (mulut, esophagus, usus, hati dan lainnya) juga memainkan fungsi masing-masing dalam mendukung dan menunjang kelancaran berlangsungnya aktivitas dan rangkaian kegiatan dilakukan pekerjaan. Untuk kelangsungan pelaksanaan pekerjaan, semua organ terkait dan seluruh sistem yang beroperasi dalam tubuh harus berada pada kondisi optimal. Untuk pekerjaan fisik, otot adalah bagian tubuh terpenting bagi pelaksanaan aktivitas kerja. Namun begitu, bekerjanya otot yang terus-menerus tanpa berhenti bekerja, selalu diikuti dengan terjadinya kelelahan, yang memerlukan istirahat untuk pemulihan. Kelelahan otot secara fisik antara lain merupakan akibat dari efek zat sisa metabolisme seperti asam laktat, CO2, atau lainnya. Selain itu kelelahan tidak hanya ditentukan oleh kondisi ototnya, tapi juga dipengaruhi oleh aspek mental-psikologis. Otot dan tulang merupakan dua bagian tubuh yang sangat utama perannya dalam mekanisme bekerja fisik. Karena itu dikenal biomekanik, yaitu ilmu dan pengetahuan tentang gerakan otot dan tulang, yang penerapannya oleh tenaga kerja dalam melaksanakan pekerjaannya diharapkan agar dengan tenaga minim dpat dicapai hasil yang optimal atau maksimal, sedangkan kesehatan tenaga kerja terpelihara dan tenaga kerja berada pada kondisi nyaman dalam bekerja. Biomekanik memberikan informasi tentang gerakan dan kekuatan pada pengguanaan leher dan kepala, tulang belakang, lengan, tangan, kaki, jari, dan sebagainya. Otot dan tulang merupakan faktor dominan dalam menentukan kekhususan seorang tenaga kerja dalam hal ukuran tinggi

badan dan ukuran tubuh atau pun segmennya. Ukuran-ukuran tubuh menentukan kemampuan fisik tenaga kerja untuk bekerja. Peralatan kerja dan mesin perlu diserasikan dengan ukuran tubuh tenaga kerja untuk tujuan meraih hasil kerja yang secara kualitatif dan kuantitatif memuaskan serta tenaga kerja merasakan kemudahan dalam melakukan pekerjaannya. Karena itu berkembang ilmu antropometri, yaitu ilmu tentang ukuran tubuh dan segmen-segmennya, baik dalam keadaan statis maupun dinamis yang sangat besar manfaatnya bagi keperluan pelaksanaan pekerjaan dengan tujuan agar tenaga kerja sehat dan produktif bekerja. Ukuran tubuh demikian antara lain: 1. Berdiri: tinggi badan, tinggi bahu, tinggi siku, tinggi pinggul, panjang depa, dan panjang lengan. 2. Duduk: tinggi duduk, panjang lengan atas, panjang lengan bawah dan tangan, tinggi lutut, jarak lekuk lutut-garis punggung, jarak lekuk lutut-telapak kaki. Selain ukuran postur dan segmen tubuh demikian, masih banyak ukuran antropometris segmen tubuh yang perlu diketahui dengan pengukuran untuk digunakan untuk digunakan dalam upaya penyesuian faktor manusia dengan mesin dan peralatan serta perlengkapan kerja dan juga guna menetapkan cara kerja yang serasi dengan faktor manusia. Di bawah ini dikemukakan beberapa pedoman penerapan ergonomi sebagai pegangan: 1. Sikap tubuh dalam melakukan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, susunan dan penempatan mesin dan peralatan serta perlengkapan kerja, cara kerja mengoperasikan mesin dan peralatan yang merinci macam gerak, arah dan kekuatannya yang harus dilakukan. 2. Untuk standarisasi bentuk dan ukuran mesin dan peralatan kerja, harus diambil ukuran terbesar sebagai dasar serta diatur suatu cara, sehingga dengan ukuran tersebut mesin dan peralatan kerja dapat dioperasikn oleh tenaga kerja yang ukuran antropometrisnya kurang dari standar. Sebagai contoh kursi yang tingginya dapat dinaik turunkan sesuai angka antropometris tenaga kerja yang duduk di kursi tersebut. 3. Ukuran antropometris statis terpenting sebagai dasar desain dan pengoperasian mesin dan peralatan kerja. 4. Standar ukuran meja kerja bagi pekerjaan yang dilakukan dengan berdiri:

a. pada pekerjaan tangan (manual) yang dilakukan dengan cara berdiri, tinggi meja kerja sebaiknya 5-10 cm di bawah tinggi siku. b. apabila bekerja dilakukan dengan berdiri dan pekerjaan dikerjakan diatas meja dan jika dataran tinggi siku dinyatakan sebagai dataran 0 maka bidang kerja: i. ii. iii. untuk pekerjaan memerlukan ketelitian 0 + (5-10) cm; untuk pekerjaan ringan 0 (5-10) cm; untuk bekerja berat yang perlu mengangkat barang berat dan memerlukan bekerjanya otot punggung 0 (10-20) cm 5. Dari segi otot, posisi duduk yang paling baik adalah sedikit membungkuk, sedangkan dari aspek tulang, terbaik adalah duduk yang tegak, agar punggung tidak bungkuk dan otot perut tidak berada pada keadaan yang lemas. Sebagai jalan keluar, dianjurkan agar digunakan posisi duduk yang tegak dengan diselingi istirahat dalam bentuk sedikit membungkuk. 6. Tempat duduk yang baik memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tinggi dataran duduk dapat diatur dengan papan injakan kaki sehingga sesuai dengan tinggi lutut, sedangkan paha berada dalam keadaan datar. b. tinggi papan sandaran punggung dapat diatur dan menekan dengan baik kepada punggung c. lebar alas duduk tidak kurang dari lebar terbesar ukuran antropometris pinggul 7. Pekerjaan berdiri sedapat mungkin diubah menjadi pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk. Bagi tenaga kerja, disediakan tempat duduk dan diberi kesempatan untuk duduk. 8. Arah penglihatan untuk berdiri adalah 23-370 ke bawah, sedangkan untuk duduk 32-440 ke bawah sesuai posisi kepala yang pada keadaan istirahat. 9. Kemampuan seseorang bekerja seharian adalah 8-10 jam, lebih dari itu efisiensi dan kulitas kerja akan menurun. 10. Pemeliharaan penglihtan dilakukan sebaik-baiknya terutama penyelenggaraan pencahayaan dan penerangan yang baik terutama berkaitan dengan kepentingan pelaksanaan pekerjaan. 11. Batas kemampuan atau kesanggupan bekerja sudah tercapai, apabila bilangan nadi kerja mencapai angka 30/menit di atas bilangan nadi istirahat, dan kembali normal setelah istirahat sesudah 15 menit.

4) Pajanan yang dialami cukup besar untuk menyebabkan penyakit Tn. B sudah bekerja selama 10 tahun di perusahaan tersebut, resiko kecelakaan kerja yang dia alami cukup besar. Selain itu, Tn. B saat bekerja dalam hal yang beresiko, seperti membersihkan jendela dari arah luar tidak menggunakan alat pelindung diri. Hal ini meningkatkan resiko kecelakaan kerja. Melalui anamnesis riwayat penyakit dahulu, Tn. B mengaku pernah mengalami hal yang sama sebanyak tiga kali, hal ini membuktikan bahwa pajanan yang Tn. B alami cukup besar karena menyebabkan kejadian yang berulang.

5) Peranan faktor individu Tingkat pengetahuan mengenai K3 yang kurang, kurangnya perhatian akan keselamatan dalam bekerja dan lingkungan kerja, dan kesadaran gizi pekerja yang rendah, serta kesadaran akan perlunya pemakaian APD (Alat Pelindung Diri) yang kurang, sangat meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan kerja.

6) Faktor lain diluar pekerjaan Kebiasaan merokok, pajanan yag ada di rumah, dan pekerjaan lain yang dilakukan selain Cleaning Service.

7) Diagnosis okupasi Fraktur femur dextra 1/3 distal yang dialami Tn. B ialah disebabkan oleh Penyakit Akibat Kerja. Hal ini diakibatkan oleh posisi ergonomi Tn. B yang tidak efisien terhadap pekerjaannya yang beresiko. Tn. B berdiri dari arah luar jendela untuk membersihkan kaca tanpa memperhatikan keselamatannya, Tn. B tidak menggunakan alat pelindung diri dan berdiri dalam posisi yang berbahaya. Oleh karena itu, hal ini mengakibatkan Tn. B terjatuh dan mengalami kecelakaan kerja yang membuat femur dextra 1/3 distalnya mengalami fraktur.10

Daftar Pustaka

1. P.K. Suma'mur. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: P.T Toko Gunung Agung. 2009.h:292-301. 2. LaDou J. Current occupational and environmental medicine. Edisi 4. USA: McGrawHill Companies;2007.h.310-32. 3. Baratwidjaja GK, Harjono KT. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II, Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2001.h.94-6. 4. R.K, Sumamur. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (Hiperkes). Jakarta: CV Sagung Seto; 2009. h. 272-579. 5. Jeyaratnam J., Koh D. Buku ajar praktik kedokteran kerja. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010. h. 351-66. 6. Suardi R. Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja: manajemen risiko. Jakarta: Penerbit PPM; 2007. H. 1,8, 88-90. 7. Ridley, John. Kesehatan dan keselamatan kerja. Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga; 2008.h.39-144. 8. Kurniawidjaja LM. Teori dan aplikasi kesehatan kerja. Jakarta: UI Press;2010.h.67-9.

You might also like