You are on page 1of 11

TUGAS PRESENTASI KASUS Abses Peritonsilar

Pembimbing : Dr. Susiana C., Sp.KO

Disusun oleh : Khoirur Rijal A. Gretta Ayudha Yessy D. Oktavia Intan Puspita H. G1A010106 G1A010107 G1A010108 G1A010109

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2013

I. PENDAHULUAN

Abses leher dalam terbentuk pada ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher, tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsil (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam, dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring dan abses submandibula (Fachrunddin, 2006). Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobik dan anaerobik di daerah peritonsil. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah di daerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriformis inferior dan palatum superior. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan ke salahsatu ruangan areolar yang longgar di sekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring (Tan, 2010). Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antiobiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsil. Di Amerika, insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampur 45.000 kasus setiap tahun (Tan, 2010).

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Abses peritonsillar merupakan akumulasi pus local pada jaringan peritonsillar yang terbentuk karena tonsillitis supuratif. Abses ini terbentuk pada ruangan diantara tonsil palatine dan kapsulnya (Steyer, 2002).

B. Etiologi dan Predisposisi Semua mikroorganisme yang menyebabkan tonsillitis akut dan kronik dapat merupakan bakteri penyebab abses peritonsillar. Umumnya yaitu bakteri anerob dan anaerob dari golongan gram positif. Biasanya ditemukan bakteri kelompok A streptokokus beta-hemolitikus, sedangkan penyebab lain yaitu stafilokokus, pneumokokus dan Haemophilus (Gosselin, 2012). Terjadinya abses ini pada orang yang telah menjalani tonsilektomi mendukung teori bahwa terdapat keterlibatan kelenjar weber. Variasi klinis lain yaitu pada perokok dan penyakit periodontal (Herzon & Martin, 2006).

C. Epidemiologi Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap tahun (Mehta, 2013).

D. Patomekanisme Patogenesis abses peritonsil (PTA) belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation) (Adams, 1994). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang (Adams, 1994). Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral (Adams, 1994). Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru (Adams, 1994). Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis) (Adams, 1994). Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan (Mehta, 2013). Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation) (Mehta, 2013).

Selain itu, ejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia yang menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. Masseter menekan tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi,, mulut berbau (foetor ex orae), suara sengau (rinolalia) karena oedem palatum molle yang terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Pernafasan terganggu biasanya akibat

pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis) (Efiaty, 2007; Kartosoediro, 2007).

E. Penegakan Diagnosis 1. Anamnesis Terlepas dari kewajiban untuk melakukan anamnesis secara menyeluruh, hal terpenting yang perlu ditanyakan yakni lokasi dari rasa sakit yang dirasakan pasien, karena dengan demikian pasien akan menunjukkan lokasi terjadinya abses dan pemeriksaan selanjutnya akan dapat lebih terfokus. Pada saat anamnesis perlu juga ditanyakan apakah pasien memiliki riwayat demam, kesulitan menelan dan kemungkinan pernah menelan benda asing, hal ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan adanya reaksi inflamasi akibat adanya infeksi serta mengetahui kemungkinan penyebab infeksi (Steyer, 2008). Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keleuar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau,muntah

sampai nyeri alih ke telinga. Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid (Soepardi, 2008).

2. Pemeriksaan Fisik Dalam pemeriksaan fisik terhadap pasien, dapat ditemukan beberapa ciri khas diantaranya; Pada saat inspeksi terdapat erythema atau warna kemerahan serta pembengkakan terjadi disekitar tonsil, hal ini diakibatkan adanya reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi. Terlihat adanya edema yang diakibatkan adanya cairan nanah yang terdapat di bawah kapsul dari tonsila palatina. Uvula atau anak tekak

akan menyamping menuju ke arah contralateral dari daerah terjadinya abses (Steyer, 2008). Selain itu, pada pemeriksaan didapatkan juga tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri servikal. Di saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena (Soepardi, 2008). Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkan atau tertutup oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorognya uvula ke sisi berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas (Soepardi, 2008). 3. Pemeriksaan Laboratorium a. Computerized Tomography (CT Scan) Pada pemeriksaan dengan Computerized Tomography (CT scan) pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens yangmenandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. CT scan sering digunakan untuk membedakan Peritonsillar Abscesses dengan Peritonsillar Cellulitis, dimana sebenarnya pada Peritonsillar Cellulitis tidak

terdapat abses di area tonsil, hal ini diperlukan agar dapat memastikan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut berupa aspirasi. Apabila pada pasien yang mengalami Peritonsillar Cellulitis dilakukan aspirasi dengan menggunakan jarum maka tidak akan diperoleh cairan nanah melainkan akan terjadi pendarahan akibat injeksi jarum ke jaringan (Galioto, 2008).

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic resonance Imaging (MRI) juga memiliki mekanisme kerja yang sama dengan CT scan namun pada penggunaan MRI dapat dilakukan pemeriksaan abses pada jaringan lunak tanpa disertai paparan radiasi, selain itu kelebihan MRI diantaranya juga dapat memeriksa komplikasi infeksi pada jaringan yang lebih dalam seperti internal jugular vein thrombosis, serta abses pada daerah disekitar arteri karotis. Kelemahan dari MRI yakni lamanya waktu scanning, harga yang mahal, terbatasnya alat, serta kemungkinan terjadinya claustrophobia pada pasien (Galioto, 2008).

c. Intraoral Ultrasonografi Intraoral Ultrasonografi, merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses, sama seperti CT scan hal ini akan mencegah terjadinya kesalahan dalam proses selanjutnya. Pemeriksaan ini juga bisa menunjukan secara pasti tempat terjadinya abses sehingga pada saat operasi atau aspirasi dengan menggunakan jarum dapat lebih terarah serta dapat melakukan drainase secara pasti. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukan alat USG oral ke mulutpasien sehingga akan diperoleh gambaran tentang lokasi abses, karena sering kali abses terjadi di banyak tempat dan aspirasi tidak akan dapat mengeluarkan cairan nanah apabila hanya dilakukan sekali di satu tempat saja (Lyon, 2005). d. Aspirasi Jarum Baku emas (Gold Standard) dari diagnosis Peritonsillar Abscesses adalah dengan mengambil sampel cairan nanah (pus) dari abses dengan cara aspirasi menggunakan jarum. Tempat aspirasi dibius atau dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas pada PTA, cairan yang diperoleh dikirim ke laboratorium untuk

pemeriksaan gram stain dan pembuatan kultur agar dapat menentukan pengobatan yang sesuai. Komplikasi yang sering terjadi pada aspirasi dengan jarum diantaranya bercampurnya nanah dengan darah, pendarahan, dan apabila abses terjadi pada region distal dari tonsil, dapat terjadi kesalahan dalam penusukan jarum, dimana artery karotis sering tertusuk pada proses ini (Steyer, 2008). e. Pemeriksaan Lain Selain beberapa pemeriksaan diatas, pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis dari Peritonsillar Abscesses diantaranya; 1. Hitung darah lengkap ( complete blood

count) yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan beberapa komponen dari limfosit yang merupakan penanda dari terjadinya infeksi. 2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,penderita memerlukan evaluasi/penilaian

hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.

F. Penatalaksanaan Pada stadium infiltrasi, diberikan antiobotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Diperlukan juga kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang bisa diberikan adalah Penisilin 600.0001.200.000 unit atau Ampisilin/Amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau Sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, Metronidazole 3-4 x 250-500 mg. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi adalah daerah yang paling menonjol dan lunak atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan

supratonsillar. Drainase atau aspirasi yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 23 minggu sesudah drainase abses (Soepardi, 2000). Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi

dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian peneliti menganjurkan tonsilektomi 6-8 minggu, kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera

(Hatmansjah, 2003. Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravena Dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit, nyeri tenggorokan, demam dan trismus dibangingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

G. Diagnosis Banding Diagnosis banding yang paling mendekati Peritonsillar Abscesses yakni Peritonsillar Cellulitis, karena pada Peritonsillar Cellulitis juga terjadi edema dan erithema pada jaringan diantara tonsil dan kapsulnya, perbedaannya pada selulitis belum ditemukan adanya nanah (pus). Selulitis sebenarnya dapat menjadi awal terjadinya abses, namun penanganannya agak sedikit berbeda karena pada selulitis tidak dapat dilakukan aspirasi jarum dan operasi pembedahan. Selain selulitis, terdapat beberapa penyakit yang gejalanya hampir mirip dengan Peritonsillar Abscesses Mononucleosis, Foreign body aspiration, Neoplasms (lymphoma, leukemia) Tonsillar abscess, Cervical adenitis, infeksi pada gigi, kelenjar ludah, Mastoid sertaAneurysm of internal carotid artery ( Galioto, 2008; Steyer, 2008).

H. Komplikasi Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat tertutupnya rima glotis atau glotis akibat proses perluasan radang ke bawah. Keadaan ini membahayakan karena bisa menyebabkan obstruksi jalan napas. Abses yang pecah secara spontan terutama saat tidur dapat mengakibatkan aspirasi pneumonia dan piema. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah dari pilar anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga

dapat terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. Komplikasi juga terjadi akibat insisi pada abses akibat perdarahan yang terjadi pada arteri supratonsilar (Fachruddin, 2006).

I.

Prognosis Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka ditunda sampa 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi (Fachruddin, 2006).

KESIMPULAN 1. Abses peritonsiler merupakan abses yang terbentuk karena tonsillitis supuratif. 2. Abses peritonsiler dapat disebabkan mikroorganisme yang menyebabkan tonsillitis, kebanyakan bakteri anaerob dan aerob, yang terbanyak yaitu streptokokus grup A beta hemolitikus. 3. Baku emas penegakan diagnosis pada penyakit ini yaitu kultur cairan (pus) dengan aspirasi jarum suntik. 4. Terapi untuk penyakit ini meliputi drainase abses, pemberian antibiotic, kortikosteroid dan juga pembedahan. 5. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi obstruksi jalan napas, pneumonia aspirasi, perdarahan saat insisi, meningitis dan thrombus. 6. Penyakit ini sering kambuh bila tidak dilakukan tonsilektomi.

You might also like