You are on page 1of 27

PRESENTASI KASUS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) EKSASERBASI DENGAN COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)

Disusun oleh : Akhmad Ikhsan Prafita Putra Yuni Hanifah G4A013052 G4A013056

Pembimbing : dr. Indah Rahmawati, Sp.P

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2013

LEMBAR PENGESAHAN Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus ini dengan judul:

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) EKSASERBASI DENGAN COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP) Pada tanggal: Desember 2013

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mengikuti Program Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh : Akhmad Ikhsan Prafita Putra Yuni Hanifah G4A013052 G4A013056

Mengetahui, Pembimbing

dr. Indah Rahmawati, Sp.P NIP 19670316.200604.2.001

BAB I LAPORAN KASUS

A.

IDENTITAS PENDERITA Nama Usia Jenis kelamin Status Agama Pekerjaan Alamat Tanggal masuk Tanggal periksa No. CM : Ny. K : 71 tahun : Perempuan : menikah : Islam : Ibu Rumah Tangga : Tonjong : 5 Desember 2013 : 6 Desember 2013 : 115499

B.

SUBJEKTIF 1. Keluhan Utama Batuk berdahak 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSMS pada hari Rabu, 5 Desember 2013 dengan keluhan utama batuk berdajak sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk dengan dahak berwarna putih kekuningan, dirasakan paling berat dan sering saat malam hari sampai mengganggu tidurnya. Keluhan ini dirasakan sangat mengganggu aktifitas pasien. Pasien merasa batuk dan sesaknya juga akan muncul dan semakin berat kalau mencium asap rokok. Semakin hari keluhan dirasakan menjadi semakin berat karena jika batuk terus menerus pasien merasa sangat sesak, sehingga semakin hari pasien juga merasa semakin sesak. Pasien sudah mencoba mengatasi batuk berdahak dan sesaknya dengan berobat ke dokter di dekat rumahnya namun keluhan dirasakan tidak kunjung membaik.

Selain batuk berdahak dan sesak, pasien juga mengeluhkan dada sering berdebar, mual, keringat yang muncul berlebih, dan menjadi mudah lelah dalam beberapa hari terakhir. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSMS karena kondisinya yang semakin buruk akibat batuk dan sesaknya. 3. Riwayat Penyakit Dahulu a. Riwayat keluhan serupa b. Riwayat mondok c. Riwayat OAT d. Riwayat hipertensi e. Riwayat kencing manis f. Riwayat asma g. Riwayat alergi 4. Riwayat Penyakit Keluarga a. b. c. d. e. f. 5. Riwayat keluhan serupa Riwayat mondok Riwayat hipertensi Riwayat kencing manis Riwayat asma Riwayat alergi : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : (+) : (+) : (-) : (+) : disangkal : disangkal : disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi a. Community Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk dan di pinggi jalan raya yang sering dilewati mobil-mobil besar. Jarak antara rumah dengan rumah yang lainnya sangat berdekatan. b. Home Pasien tinggal bersama dengan suaminya, hanya berdua karena anak-anaknya sudah bekerja ke luar kota. Suami pasien tidak merokok. Dahulu, saat masih belum ada program kompor gas dari pemerintah, pasien memasak menggunakan kayu bakar.

c. Occupational Pasien saat masih muda tidak bekerja, aktivitasnya dihabiskan di rumah menurus rumah. d. Personal habit Diet makanan sehari-hari baik. Akhir-akhir ini pasien merasa sering haus dan sering buang air kecil.

C.

OBJEKTIF 1. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum b. Kesadaran c. BB d. TB e. Vital sign - Tekanan Darah : 140/90 - Nadi - RR - Suhu : 96 : 24 : 36 mmHg x/menit x/menit
o

: sedang : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5 : 65 kg : 150 cm

d. Status Generalis 1) Kepala a) Bentuk b) Rambut : mesochepal, simetris : warna sebagian hitam, sebagian

beruban, tidak mudah dicabut, distribusi merata, tidak rontok. 2) Mata a) Palpebra b) Konjungtiva c) Sclera d) Pupil e) Exopthalmus f) Lapang pandang : edema (-/-) ptosis (-/-) : anemis (+/+) : ikterik (-/-) : reflek cahaya (+/+), isokor : (-/-) : tidak ada kelainan

g) Lensa h) Gerak mata i) Tekanan bola mata j) Nistagmus 3) Telinga a) Otore b) Deformitas c) Nyeri tekan 4) Hidung

: keruh (-/-) : normal : nomal : (-/-)

: (-/-) : (-/-) : (-/-)

a) Nafas cuping hidung : (-/-) b) Deformitas c) Discharge 5) Mulut a) Bibir sianosis b) Bibir kering c) Lidah kotor 6) Leher a) Trakhea b) Kelenjar lymphoid c) Kelenjar thyroid d) JVP : deviasi trakhea (+) ke kanan : tidak membesar, nyeri (-) : tidak membesar : 5+2 cmH2O : (+) : (-) : (-) : (-/-) : (-/-)

7) Dada Paru a) Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),

retraksi (-), jejas (-) b) Palpasi : vocal fremitus Apex melemah dextra = sinistra Basal melemah dextra = sinistra c) Perkusi d) Auskultasi : suara hipersonor :

SD vesikuler (+/+) RBK parahiler (+/+)

RBH Wh Jantung

(+/+) (+/+)

a) Inspeksi b) Palpasi

: IC nampak pada SIC VI 2 LMCS : IC teraba di SIC VI, 2 jari lateral LMCS,

tidak kuat angkat c) Perkusi Batas jantung kanan atas Batas jantung kiri atas Batas jantung kanan bawah Batas jantung kiri bawah LMCS d) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-), takikardi 8) Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi : cembung : bising usus (+) normal : tympani,tes pekak sisi (-), pekak beralih (-) : hepar teraba 3 jari BACD, tepi tumpul, : SIC II LPSD : SIC II LPSS :SIC IV, lateral LPSD : SIC VI 2 jari lateral

permukaan halus, konsistensi kenyal, nyeri tekan (-); lien tidak teraba 9) Ekstrimitas Superior Inferior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-) : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)

2.

Pemeriksaan Penunjang a. Foto rontgen thoraks Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan di RSUD Prof. dr. Margono Soekardjo pada tanggal 5 November 2013. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Foto Thorak Ny. K Keterangan: foro toraks postero-anterior tanpa kontras

b. Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan darah lengkap dilakukan di RSUD Prof. dr. Margono Soekardjo pada tanggal 5 Desember 2013. Hasilnya adalah sebagai berikut: Darah Lengkap Hemoglobin Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit 10.8 17090 34 4.4 x106 442.000 g/dl /L % /L /L L H L

MCV MCH MCHC RDW MPV Hitung jenis Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit Kimia Klinik SGOT SGPT CK CKMB LDH Ureum darah Kreatinin darah GDS Natrium Kalium Klorida

74.2 24.2 36.8 17.2 9.3

fl pg % % fL L L H

0.5 0.6 0.7 81.9 7.5 6.9

% % % % % % L L H L

18 17 24 34 354 46.9 1.92 283 147 5.0 93

U/L U/L U/L U/L U/L mg/dl mg/dl mg/dl mmol/dl mmol/l /l L H H H H H L

D. ASSESSMENT 1. Diagnosis Klinis a. b. c. d. e. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) CAP (Community Acquired Pneumonia) CHF (Congestive Heart Failure) Hiperglikemia Anemia

2.

Diagnosis Banding CPC (Cor Pulmonal Chronic)

E. PLANNING 1. Terapi a. Farmakologi IVFD RL 20 tpm+aminofilin 1 amp/8 jam Nebulizer ventolin+Flexotide 3x / hari Inj. Ceftazidime 2x1 gr Inj. MPP 3x62.5 mg p.o. Fartolyn 3x1 cth p.o Vestein 2x300 mg

b.

Non Farmakologi 1) Bed rest 2) Diet rendah garam 3) Edukasi tentang PPOK, CAP, dan penyakit metabolik 4) Edukasi tentang zat-zat kimia seperti asap rokok, asap hasil pembakaran (sampah, kayu bakar, dll), dan polusi udara yang merupakan faktor resiko memperberat PPOK dan dapat mencetuskan infeksi saluran nafas.

2.

Usulan Pemeriksaan Penunjang a. b. Faal paru (spirometri) Elektrokardiogram

3.

Monitoring a. b. Keadaan umum dan kesadaran Tanda vital

c. Periksa GDI/GD II d. Periksa HbA1c 4. Prognosis Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam : dubia ad bonam : dubia ad malam : dubia ad malam

BAB II PEMBAHASAN

Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. PPOK merupakan penyakit paru kronis yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif irreversibel atau reversibel parsial, disebabkan oleh proses inflamasi paru karena pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruktif saluran napas kecil (obstruktif bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu (PDPI, 2011). Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan wanita 2% angka kematian 4%, umur di atas 45 tahun, (Barnes, 1997). Pada tahun 1976 ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan tahun 1977 jumlah kematian oleh karena PPOK sebanyak 45.000, termasuk penyebab kematian di urutan kelima (Tockman MS., 1985). Menurut National Health Interview Survey, didapatkan sebanyak 2,5 juta penderita emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih memerlukan rawat tinggal di rumah sakit. The Tecumseh Community Health Study menemukan 66.100 kematian oleh karena PPOK, merupakan 3% dari seluruh kematian, serta urutan kelima kematian di Amerika (Muray F.J.,1988). Peneliti lain menyatakan, PPOK merupakan penyebab kematian ke-5 di Amerika dengan angka kematian sebesar 3,6%, 90% terjadi pada usia di atas 55 tahun (Redline S, 1991 dikutip dari Amin 1966). Pada tahun 1992 Thoracic Society of the Republic of China (ROC) menemukan 16% penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun 1994 menemukan kasus kematian 16,6% per 100.000 populasi serta menduduki peringkat ke-6 kematian di Taiwan (Suradi, 2007).

Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari eksaserbasi PPOK. Namun, polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal, infeksi nonpulmonal, dan pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa setidaknya 80 % dari PPOK eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50% disebankan oleh bakteri, 30% oleh virus, dan 5-10% karena bakteri atipikal. Infeksi bersamaan oleh lebih dari satu patogen menular tampaknya terjadi dalam 10 sampai 20% pasien. Meskipun ada data epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan polusi yang berkaitan dengan peningkatan ringan pada eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah sakit, mekanisme yang terlibat sebagian besar tidak diketahui. Emboli pulmonal juga dapat menyebabkan eksaserbasi PPOK akut, dan, dalam satu penelitian terbaru, Emboli Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien rawat inap dengan eksaserbasi PPOK (Artika, 2011). Identifikasi faktor resiko merupakan langkah penting dalam pencegahann dan penatalaksanaan PPOK. Pemahaman interaksi dan hubungan antara faktorfaktor resiko dibutuhkan agar dapat dilakukan investigasi lebih lanjut. Beberapa faktor resiko PPOK di antaranya adalah: 1. Merokok Merokok sampai sekarang merupakan etiologi utama terjadinya PPOK. Hubungan ini pun berkaitan langsung dengan jumlah rokok yang dihisap. Studi menunjukkan adanya perbaikan fungsi respirasi pada perokok yang berhenti merokok. Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan intensitas merokok ini juga berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok dari tahun ke tahun (Macnee, 2000; PDPI, 2011). Hal yang dapat membantu penilaian faktor resiko merokok pada PPOK antara lain : a. Riwayat merokok, dibagi atas : 1) Perokok aktif

2) Perokok pasif 3) Bekas perokok b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : 1) Ringan : 0-200 2) Sedang : 200-600 3) Berat : > 600 2. Riwayat Pekerjaan Pada pekerja tambang, misalnya tambang batu bara, PPOK dapat terjadi disebabkan adanya inhalasi debu dari bahan tambang yang terakumulasi didalam paru dan dapat merusak jaringan paru. Respon inflamasi terhadap bahan asing inipun mengakibatkan terjadinya PPOK (Macnee, 2000). 3. Hiperresponsi Jalan Napas Meskipun dianggap faktor resiko, hal ini semakin jarang diadaptasi karena sulit membedakannya dengan asma. Faktor resiko ini pertama sekali diajukan oleh Orie pada 1961 yang menganggap bahwa adanya hiperresponsi dan eosinofilia merupakan faktor penyebab terjadinya PPOK sehingga adanya riwayat alergi dan asma menjadi faktor resiko PPOK (Macnee, 2000). 4. Riwayat Infeksi Saluran Napas Bawah Berulang Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk perkembangan dan progresifitas PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan PPOK. Hal ini pertama diungkapkan oleh Fletcher dalam studi selama 8 tahun di Inggris pada tahun 1976, yang menjelaskan bahwa infeksi akut bronkopulmonar dapat menyebabkan penurunan fungsi paru dalam jangka pendek dan merupakan faktor penting dalam terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. 5. Defisiensi Antitripsin Alfa 1

Alfa-1-antitripsin merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil elastase di paru. Jika konsentrasi plasma alfa-1-antitripsin dibawah dari 1g/liter maka resiko

berkemabangnya emfisema akan meningkat drastis dan menjadi PPOK. Defisiensi a1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk terjadinya PPOK. Hal ini pertama sekali dikemukakan oleh Laurell dan Eriksen pada 19633. 6. Polusi udara Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil industri dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK pada kaum wanita di beberapa negara (Macnee, 2000; PDPI, 2011).

A. DIAGNOSIS a. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) b. CAP (Community Acquired Pneumonia) c. CHF (Congestive Heart Failure) d. Hiperglikemia e. Anemia

B. PENEGAKAN DIAGNOSIS a. Anamnesis 1) Keluhan utama : Batuk berdahak sudah lama 2) Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSMS pada hari Rabu, 5 Desember 2013 dengan keluhan utama batuk berdajak sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk dengan dahak berwarna putih kekuningan, dirasakan paling berat dan sering saat malam hari sampai mengganggu tidurnya. Keluhan ini dirasakan sangat mengganggu

aktifitas pasien. Pasien merasa batuk dan sesaknya juga akan muncul dan semakin berat kalau mencium asap rokok. Semakin hari keluhan dirasakan menjadi semakin berat karena jika batuk terus menerus pasien merasa sangat sesak, sehingga semakin hari pasien juga merasa semakin sesak. Pasien sudah mencoba mengatasi batuk berdahak dan sesaknya dengan berobat ke dokter di dekat rumahnya namun keluhan dirasakan tidak kunjung membaik. Selain batuk berdahak dan sesak, pasien juga mengeluhkan dada sering berdebar, mual, keringat yang muncul berlebih, dan menjadi mudah lelah dalam beberapa hari terakhir. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSMS karena kondisinya yang semakin buruk akibat batuk dan sesaknya. b. Pemeriksaan Fisik Pulmo Inspeksi jejas (-) Palpasi : vocal fremitus : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-),

Apex melemah dextra = sinistra Basal melemah dextra = sinistra Perkusi Auskultasi : suara hipersonor :

SD vesikuler (+/+) RBK parahiler (+/+) RBH (+/+) Wh (+/+)

Hasil pemeriksaan fisik dalam status lokalis pulmo, suara tambahan wheezing terdengar karena adanya obstruksi pada saluran nafas. Suara ronkhi ditemukan karena adanya sekret di dalam saluran nafas Pemeriksaaan Penunjang 1) Pemeriksaan Hematologi Hb: 10.8 g/dl Kadar Hb normal pada wanita dewasa berkisar antara 12.016.0 g/dl. Karena kadar Hb < 12.0 g/dl dan masih berada

pada rentang 10-8 g/dl maka termasuk dalam anemia ringan. Leukosit 17.090 (H) dan segmen 81.9 (H) Leukositosis menunjukan adanya infeksi akut, dan segmen yang meningkat menunjukan infeksi disebabkan oleh bakteri. Sehingga pada pasien ini terdapat keadaan infeksi akut bakterial GDS: 283 Gula darah sewaktu 283 menunjukan status hiperglikemi dengan rentang normal GDS adalah kurang dari 200. Untuk penegakan diagnosis DM diperlukan adanya gejala klasik DM: polifagi, poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya gejala klasik ini sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk diagnosis DM 2) Pemeriksaan rontgen toraks Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan di RSUD Prof. dr. Margono Soekardjo pada tanggal 30 November 2013. Hasilnya adalah sebagai berikut: Pulmo: Corakan bronkovaskular di kedua paru meningkat,

mengarah pada adanya infeksi Cardiomegali mengarah pada CHF, dibuktikan dengan adanya tanda-tanda kongestif yang ditemukan pada pemeriksaan fisik. Jika ditemukan adanya RVH maka dapat ditegakan diagnosis CPC.

C. TINDAK LANJUT PENANGANAN PASIEN Tatalaksana permasalahan PPOK pada pasien ini dapat dilakukan dengan farmakologis dan nonfarmakologis sesuai dengan tujuan penatalaksanaan PPOK. Infeksi CAP yang menjadi pemicu eksaserbasi PPOK pada pasien ini juga perlu diatasi.

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dan meningkatkan kualiti hidup penderita. Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi (PDPI, 2011): 1. Edukasi 2. Obat obatan 3. Terapi oksigen 4. Ventilasi mekanik 5. Nutrisi 6. Rehabilitasi PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut. 1. Edukasi Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK : a) Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan b) Melaksanakan pengobatan yang maksimal c) Mencapai aktivitas optimal d) Meningkatkan kualiti hidup Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah.Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.Edukasi

yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi

penderita.Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah (PDPI, 2011) : a) Pengetahuan dasar tentang PPOK b) Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya c) Cara pencegahan perburukan penyakit d) Menghindari pencetus (berhenti merokok) e) Penyesuaian aktivitas Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan.Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit : Ringan 1) Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel 2) Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok 3) Segera berobat bila timbul gejala Sedang 1) 2) 3) Berat 1) 2) Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi Penyesuaian aktivitas dengan keterbatasan Menggunakan obat dengan tepat Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini Program latihan fisik dan pernapasan

3)

Penggunaan oksigen di rumah

2.Obat obatan a. Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit (lihat tabel 2). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).Macam - macam bronkodilator (Wedzicha, 2011): a) Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari). b) Golongan agonis beta -2 Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. d) Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi

akut.Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. b. Antiinflamasi Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg (Drummond, 2011). c. Antibiotika Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : Lini I (amoksisilin dan makrolid), Lini II (Amoksisilin dan asam klavulanat, Sefalosporin, Kuinolon dan Makrolid baru) d. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin e. Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. f. Antitusif : diberikan dengan hati hati Tabel 2.2. Penatalaksanaan PPOK (PDPI, 2010)

3. Rehabilitasi PPOK Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai (Rani, 2006): 1) 2) 3) Simptom pernapasan berat Beberapa kali masuk ruang gawat darurat Kualiti hidup yang menurun Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen

yaitu: latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.Tujuan rehabilitasi adalah untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan (Rani, 2006): 1) 2) 3) 4) 5) Peningkatan VO2 max Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik Peningkatan cardiac output dan stroke volume Peningkatan efisiensi distribusi darah Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery

Gambar 2.2. Algoritma PPOK (PDPI, 2011)

Sedangkan, untuk mengatasi infeksi CAP yang menjadi pencetus eksaserbasi PPOK pada pasien ini dapat diberikan sesuai dengan pedoman yang ada. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003), dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Jika baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah: a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin Umur lebih dari 65 tahun Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir Pecandu alkohol Penyakit gangguan kekebalan Penyakit penyerta yang multipel

b. Bakteri enterik Gram negatif Penghuni rumah jompo Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru Mempunyai kelainan penyakit yang multipel Riwayat pengobatan antibiotik

c. Pseudomonas aeruginosa Bronkiektasis Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir Gizi kurang

Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi: a. Penderita rawat jalan Pengobatan suportif / simptomatik Istirahat di tempat tidur Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas

Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa Pengobatan suportif / simptomatik Pemberian terapi oksigen Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif Pengobatan suportif / simptomatik Pemberian terapi oksigen Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian obatsimptomatik antara lain antipiretik, mukolitik Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA Artika, ND. 2011. Pseudomonas Aeruginosa pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Dan Hubungannya dengan Derajat Keparahan PPOK. FK USU Drummond MB, Dasenbrook EC, Pitz MW, et al. 2011. Inhaled Corticosteroids in Patients With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of American Medical Association, p. 2408-2416 Macnee W. 2000. Chronic Bronchitis and Emphysema. In Seaton A, Seaton D, Leitch AG editors. Crofton and Douglass Respiratory Disease. Vol 1. 5 th ed. London. Blackwell Science. Hal : 617-695 PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2003. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI Rani AA. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, p. 105-8 Suradi. 2007. Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Online. diunduh dari http://eprints.uns.ac.id/963/1/pengukuhan_suradi.pdf Wedzicha JA, 2011. Beonchodilator Therapy For COPD. New England Journal Medicine.

You might also like