You are on page 1of 28

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan dunia terutama di negara yang sedang berkembang. Berdasarkan laporan Penanggulangan TB Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2007, angka insidensi TB mencapai 555.000 kasus dan 46% diantaranya merupakan kasus baru. Asia termasuk dalam kawasan dengan penyebaran TB tertinggi didunia sebesar 33%. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi TB ketiga tertinggi di dunia setelah Cina dan India dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia.(1,2,3,4) Penelitian melaporkan bahwa sekitar 1-3% dari semua wanita hamil menderita TB. Di Indonesia, kasus TB baru hampir separuhnya adalah wanita, dan menyerang sebagian besar wanita pada usia produktif. TB perlu diperhatikan dalam kehamilan, karena penyakit ini dapat menimbulkan masalah pada wanita itu sendiri dan janin.(5,6) Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan TB, sehingga banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Pengaruh TB paru pada wanita yang sedang hamil bila diobati dengan baik tidak berbeda dengan wanita tidak hamil. Pada janin jarang dijumpai TB kongenital, janin baru tertular penyakit setelah lahir, karena dirawat atau disusui oleh ibunya.(6)

BAB II TINJUAN PUSTAKA


2.1 Epidemiologi
Prevalensi TB bervariasi diberbagai Negara, prevalensi TB dalam kehamilan di Indonesia menurut WHO tahun 2007 angka insiden TB mencapai 555.000 dan dalam kehamilan prevalensi tuberculosis bervariasi antara 0,37-1,6%. Asia termasuk dalam kawsan dengan penyebaran TB tertinggi di dunia sebesar 33%. Indonesia, kasus baru tuberkulosis hampir separuhnya adalah wanita dan menyerang sebagian besar wanita pada usia produktif. Kira-kira 1-3% dari semua wanita hamil menderita tuberkulosis.(3,13) Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia, demikian juga tuberkulosis pada kehamilan. Penelitian di London tahun 1997-2001, menunjukkan 32 wanita hamil menderita TB, dengan insidens 252/100.000 kelahiran. 53% didiagnosis sebagai TB ekstrapulmonal, 38% TB pulmonal dan 9% TBC ekstra dan intra pulmonal.(3)

2.2

Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis. (13)

2.3

Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh inhalasi Mycobacterium tuberculosis yang

menyebabkan reaksi granuloma paru. Sebanyak 90% infeksi bersifat laten dan pada penurunan status imunologik akan menjadi aktif.(13) Tuberkulosis pada kehamilan insidensinya semakin meningkat. Pengaruh TB pada kehamilan tergantung dari beberapa faktor antara lain: (7) lokasi penyakit (intra atau ekstrapulmonal) usia kehamilan

status gizi ibu dan ada tidaknya penyakit penyerta

2.4

Patogenesis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena

ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.(2,15) Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).(2,15) Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.(2,15)

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.(15) Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.(15) Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.(15)
4

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.(15) Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.(15) Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.(15) Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi

karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.(15) Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.(15) Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.(15)

Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis (12)

Gambar 2. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan Penyembuhannya (8)

2.4.1

PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP TUBERKULOSIS Pada kehamilan terdapat perubahan-perubahan pada sistem hormonal,

imunologis, peredaran darah, sistem pernafasan, seperti terdesaknya diafragma ke atas sehingga paru-paru terdorong ke atas oleh uterus yang gravid menyebabkan volume residu pernafasan berkurang. Pemakaian oksigen dalam kehamilan akan bertambah kira-kira 25% dibandingkan diluar kehamilan, apabila penyakitnya berat atau prosesnya luas dapat menyebabkan hipoksia sehingga hasil konsepsi juga ikut menderita. Dapat terjadi partus prematur atau kematian janin. Proses kehamilan, persalinan, masa nifas dan laktasi mempunyai pengaruh kurang menguntungkan terhadap jalannya penyakit. Hal ini disebabkan oleh karena perubahan-perubahan dalam kehamilan dan daya tahan tubuh yang turun akibat kehamilan.(1) Kehamilan tidak menyebabkan tuberkulosis yang aktif menjadi membaik atau memburuk. Tetapi kehamilan bisa meningkatkan risiko tuberkulosis inaktif menjadi aktif terutama pada post partum. Reaktifasi tuberkulosis paru yang inaktif juga tidak mengalami peningkatan selama kehamilan. Angka reaktifasi tuberkulosis kira-kira 510% tidak ada perbedaan antara mereka yang hamil maupun tidak hamil.(1)

2.4.2

PENGARUH TUBERKULOSIS TERHADAP KEHAMILAN Beberapa studi menyatakan terdapat hubungan antara TB dan meningkatnya

risiko berat badan lahir rendah, kelahiran preterm, IUGR, kehidupan perinatal sampai pada kematianbayi. Keadaan ini terjadi baik akibat diagnosis yang terlambat, pengobatan yang tidak teratur dan derajat keparahan lesi di paru, maupun infeksi ekstrapulmoner. Jika pemberian OAT dimulai pada awal kehamilan akan memberikan hasil yang sama seperti pasien yang tidak hamil, tetapi bila diagnosis dan penanganan terlambat terjadi peningkatan angka morbiditas bayi 4 kali lipat dan peningkatan kelahiran preterm sebesar 9 kali lipat.(5) Selama kehamilan dapat terjadi transmisi basil TB ke janin. Transmisi biasanya terjadi secara limfatik, hematogen atau secara langsung. Janin dapat terinfeksi melalui darah yang berasal dari infeksi plasenta melalui vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion. Komplikasi seperti ini jarang terjadi. TB yang terjadi disebut sebagai TB kongenital. TB kongenital harus dibedakan dengan TB postnatal.
(5)

2.4.3

PENGARUH TUBERKULOSIS TERHADAP PERSALINAN Setengah dari jumlah kasus yang dilaporkan selama proses persalinan terjadi

infeksi pada bayi yang disebabkan karena teraspirasi secret vagina yang terinfeksi kuman tuberculosis ( TB postnatal ). (5)

2.4.4

PENGARUH TUBERKULOSIS TERHADAP BAYI Cantwell et al mengemukakan tentang kriteria diagnosis TBC pada bayi

dengan salah satu kriteria berikut yaitu adanya lesi, kompleks primer di hati, infeksi TB pada plasenta atau endometrium pada minggu pertama kehidupan serta dapat disingkirkannya transmisi postnatal. Gejala mungkin terlihat saat lahir tetapi biasanya pada minggu kedua dan ketiga. Pada pemeriksaan fisis didapatkan hepatomegali (76%), gangguan pernafasan (72%), demam (48%) dan limfadenopati (38%).(1) Gambaran foto toraks mungkin normal segera setelah lahir tetapi berjalan progresif dengan cepat disertai pembentukan kavitas.Apabila memungkinkan dilakukan biakan tuberkel basil pada plasenta. Uji tuberkulin tidak banyak membantu

karena hasil negatif pada awalnya dan menjadi positif dalam waktu 1-2 bulan. Pemeriksaan lain seperti basil tahan asam (BTA) dan biakan pada jaringan atau cairan lambung .Deteksi TB pada ibu merupakan hal penting untuk pemberian pengobatan adekuat sehingga risiko serius yang terjadi pada janin dan bayi baru lahir dapat dikurangi.Tuberkulosis kongenital jarang terjadi bila ibu mendapat pengobatan yang efektif pada saat kehamilan.(1)

Masa Persalinan Pasien yang sudah cukup mendapat pengobatan selama kehamilan biasanya masuk kedalam persalinan dengan proses tuberkulosis yang sudah tenang. Persalinan pada wanita yang tidak mendapat pengobatan dan tidak aktif lagi, dapat berlangsung seperti biasa, akan tetapi pada mereka yang masih aktif, penderita ditempatkan dikamar bersalin tertentu ( tidak banyak digunakan penderita lain). Persalinan ditolong dengan kala II dipercepat misalnya dengan tindakan ekstraksi vakum atau forsep, dan sedapat mungkin penderita tidak mengedan, diberi masker untuk menutupi mulut dan hidungnya agar tidak terjadi penyebaran kuman ke sekitarnya. Sedapat mungkin persalinan berlangsung pervaginam. Sedangkan sectio caesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik dan tidak atas indikasi tuberkulosis paru.(3,13,14)

Masa Nifas Penelitian terdahulu menyatakan bahwa pengaruh kehamilan terhadap tuberkulosis paru justru menonjol pada masa nifas. Hal tersebut mungkin karena faktor hormonal, trauma waktu melahirkan, kesibukan ibu dengan bayinya dll. Tetapi masa nifas saat ini tidak selalu berpengaruh asal persalinan berjalan lancar, tanpa perdarahan banyak dan infeksi. Cegah terjadinya perdarahan pospartum seperti pada pasien-pasien lain pada umumnya. Setelah penderita melahirkan, penderita dirawat diruang observasi selama 6-8 jam, kemudian penderita dapat dipulangkan langsung. Diberi obat uterotonika, dan obat TB paru diteruskan, serta nasihat perawatan masa nifas yang harus mereka lakukan. Penderita yang tidak mungkin dipulangkan, harus dirawat di ruang isolasi.(3,13,14)

2.5

Gejala Klinis

Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan ubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.(13) Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk

radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdpat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dpat juga terjadi padaa ulkus dinding bronkus.(13) Sesak nafas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.(13) Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul karena infiltrasi radang sudah sampai ke pleura, sehingga menimbulkan pleuritis.(13) Malaise. Penyakit tuberkulossis bersifat radang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam.(13)

10

2.6

Diagnosis TB Paru
Kelompok Risiko Tinggi yang Dianjurkan menjalani Penampisan
(2)

Tuberkulosis oleh Advisory Committee for Elimination of Tuberculosis: 1. Orang yang terinfeksi oleh virus imunodefisiensi manusia.

2. Kontak erat dari orang yang diketahui atau di curigai mengidap tuberculosis, tinggal dirumah yang sama atau lingkungan erat lainnya. 3. Orang dengan factor risiko medis yang diketahui meningkatkan risiko penyakit apabila sudah terjadi infeksi. 4. Orang asing yang lahir di negeri dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi. 5. Populasi berpenghasilan rendah yang kurang mendapat perlindungan medis, termasuk populasi minoritas etnik atau ras berisiko tinggi. 6. Pecandu alcohol dan obat terlarang intravena. 7. Penghuni panti asuhan, penjara, rumah sakit jiwa, panti jompo, dan fasilitas rawat inap jangka panjang lainnya.

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -sewaktu (SPS).(13) Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).(13) S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA).

11

Anamnesis : Pernah kontak dengan pasien TB Batuk kronis, batuk darah Nyeri dada Keringat malam Berat badan menurun Demam

Laboratorium : pemeriksaan BTA dan kultur, LED sangat tinggi PPD (Purified Protein Derivative ), dengan interpretasi sebagai berikut : Pada wanita berisiko tinggi dilakukan uji kulit, antigen yang dianjurkan purified protein derivative (PPD) dengan kekuatan sedang yaitu 5 unit tuberkulin. Apabila uji intrakutan negative, tidak diperlukan lagi evaluasi lebih lanjut. Uji kulit yang positif diinterpretasikan sesuai faktor resiko.(2,13)

Pada kelompok risiko sangat tinggi yaitu : pasien HIV positif, pasien dengan gambaran thorax foto abnormal, atau pasien yang kontak erat dengan pasien TB aktif, dikatakan positif bila terjadi indurasi dengan ukuran > 5 mm.

Pada kelompok risiko tinggi yaitu : orang yang berasal dari negara miskin atau negara endemis TB, pemakai narkoba yang HIV negatif, sosial ekonomi rendah, pasien penyakit kronis yang mempunyai risiko tinggi mengidap TB, dikatakan positif bila indurasi > 10 mm.

Foto thorax : tidak rutin dikerjakan pada kehamilan. Jika diperlukan bila usia kehamilan < 7 bulan harus menggunakan pelindung perut. Pada pemeriksaan foto toraks ditemukan gambaran infiltrate, kavitas, dan limfadenopati mediastinum. Pemeriksaan radiologic harus memakai

pelindung timah pada abdomen, sehingga bahaya radiasi dapat diminimalisasi. Pada trimester 1 hindari pemeriksaan foto toraks karena efek radiasi yang sedikitpun masih berdampak negative pada sel-sel muda janin.

12

Gambar 3 : Alur Diagnosis TB Paru (5)

Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel. Pemeriksaan dahak mikroskopis - Sewaktu, Pagi, Sewak

2.7
Umum

Penatalaksanaan TB pada kehamilan

Masa kehamilan trimester I Kurangi aktivitas fisik (bedrest) Terpenuhinya kebutuhan nutrisi (tinggi kalori tinggi protein) Pemberian vitamin dan Fe Dukungan keluarga & kontrol teratur. Dianjurkan penderita datang sebagai pasien permulaan atau terakhir dan segera diperiksa agar tidak terjadi penularan pada orang-orang disekitarnya.

13

Dahulu pasien tuberkulosis paru dengan kehamilan harus dirawat dirumah sakit, tetapi sekarang dapat berobat jalan dengan pertimbangan istirahat yang cukup, makanan bergizi, mencegah penularan pada keluarga dan lain-lain. Pasien sejak sebelum kehamilan telah menderita TB paru maka obat diteruskan tetapi penggunaan rifampisin di stop. Bila pada pemeriksaan antenatal ditemukan gejala klinis tuberkulosis paru (batuk-batuk/batuk berdarah, demam, keringat malam, nafsu makan menurun, nyeri dada,dan lain-lain) maka sebaiknya diperiksakan PPD (Purified Protein Derivate), bila hasilnya positif maka dilakukan pemeriksaan foto dada dengan pelindung pada perut, bila tersangka tuberkulosis maka dilakukan pemeriksaan sputum BTA. Diagnosis ditegakkan dengan adanya gejala klinis dan kelainan bakteriologis, tetapi diagnosis dapat juga dengan gejala klinis ditambah kelainan radiologis paru.

Pada penderita dengan proses yang masih aktif, kadang-kadang diperlukan perawatan, untuk membuat diagnosis serta untuk memberikan pendidikan. Perlu diterangkan pada penderita bahwa mereka memerlukan pengobatan yang cukup lama dan ketekunan serta ada kemauan untuk berobat secara teratur. Penyakit akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita. Penderita dididik untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin dan tertawa. TB paru tidak merupakan indikasi untuk abortus buatan dan terminasi kehamilan.(3,7,13,14)

Masa kehamilan trimester II dan III Pada penderita TB paru yang tidak aktif, selama kehamilan tidak perlu dapat pengobatan. Sedangkan pada yang aktif, hendaknya jangan dicampurkan dengan wanita hamil lainnya pada pemeriksaan antenatal dan ketika mendekati persalinan sebaiknya dirawat di rumah sakit; dalam kamar isolasi. Gunanya untuk mencegah penularan, untuk menjamin istirahat dan makanan yang cukup serta pengobatan yang intensif dan teratur. Dianjurkan untuk menggunakan obat dua macam atau lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Untuk diagnosis pasti dan pengobatan selalu bekerja sama dengan ahli paru-paru. Penatalaksanaan sama dengan masa kehamilan

14

trimester pertama tetapi pada trimester kedua diperbolehkan menggunakan rifampisin sebagai terapi.(2,3,13)

Medikamentosa : (Dilakukan atas konsultasi dengan Internest) PPD (+) tanpa kelainan radiologis maupun gejala klinis : INH 400 mg selama 1 tahun. Rekomendasi Centre for Disease Control (1993) adalah sebagai berikut : 1. Isoniazid 5 mg/kg/hari, maksimal 300 mg/hari bersama piridoksin 50 mg/hari. 2. Rifampisin 10 mg/kg/hari, maksimal 600 mg/hari 3. Etambutol 5-25 mg/kg/hari, maksimal 2,5 gram/hari (biasanya 25 mg/kg/hari selama 6 minggu kemudian diturunkan menjadi 15 mg/kg/hari). Terapi diberikan minimum 9 bulan. Jika resisten terhadap obat ini dapat dipertimbangkan pengobatan dengan pirazinamid. Selain itu piridoksin 50 mg/hari harus diberikan untuk mencegah neuritis perifer yang disebabkan oleh isoniazid. Catatan : Terapi pada trimester pertama harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakitnya. Pasien yang tidak sakit berat dianjurkan untuk terapi dengan INH dan etambutol saja hingga selesai trimester I, kemudian mulai terapi 6 bulan penuh dengan pirazinamid, rifampisin dan INH. Penatalaksanaan pasien TB pada kehamilan tidak berbeda dengan TB tanpa kehamilan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah pemberian OAT yang bisa menimbulkan efek teratogenik terhadap janin. Penatalaksanaan secara umum terbagi atas penderita dengan TB aktif dan TB laten. Wanita hamil dengan TB aktif biasanya diterapi dengan tidak mempertimbangkan trisemester kehamilan. OAT yang digunakan tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Golongan utama OAT seperti isoniazid, rifampisin, etambutol digunakan secara luas pada wanita hamil. Obat-obat tersebut dapat melalui plasenta dalam dosis rendah dan tidak menimbulkan efek teratogenik pada janin. Pada pemberian isoniazid sebaiknya diberikan piridoksin 50 mg/hari untuk mencegah terjadinya neuropati
15

perifer. Pemeriksaan fungsi hati sebaiknya dilakukan saat pemberian isonizid dan rifampisin. Pemberian vitamin K dilakukan pada akhir trismester ketiga kehamilan dan bayi yang baru lahir. Pada kasus multidrug resistant (MDR) digunakan pirazinamid, akan tetapi pirazinamid tidak digunakan secara rutin pada wanita hamil karena terdapat efek teratogenik. Paraamino salisilat (PAS) telah digunakan secara aman pada wanita hamil akan tetapi obat tersebut ditoleransi tubuh secara buruk. Tuberkulosis laten adalah pasien dengan uji tuberkulin positif dan secara klinis tidak ada tanda-tanda terjadi tuberkulosis aktif. Terapi pada TB laten tergantung faktor risiko dan hasil konversi uji tuberkulin. Pemberian terapi pada TB laten biasanya ditunda sampai 2-3 bulan setelah kelahiran. Pada pasien yang mempunyai risiko kontak dengan individu BTA positif dan infeksi HIV, terapi diberikan setelah trisemester pertama pada kehamilan dengan konversi uji tuberkulin positif dalam 2 tahun terakhir. Sedangkan pada wanita hamil dengan TB laten yang sebelumnya telah diterapi secara adekuat tidak memerlukan terapi profilaksis isoniazid (300 mg selama 6-12 bulan). Penatalaksanaan TB pada wanita hamil harus diberikan secara tepat dan adekuat, serta mencegah timbulnya efek samping teratogenik pada janin. Pasien TB aktif dengan sputum BTA positif diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol dan piridoksin selama 9 bulan pada populasi risiko TB rendah. Pada populasi dengan risiko TB tinggi dan adanya resisten obat anti TB tinggi perlu penambahan pirazinamid. Pasien dengan uji tuberkulin positif, sputum BTA negatif, biakan negatif dan foto toraks menunjukkan infiltrat atau adanya kavitas, diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol dan piridoksin selama 9 bulan. Sedangkan bila pada foto toraks terlihat proses penyakit yang telah menyembuh (terdapat kalsifikasi pada kelenjar getah bening dan lesi parenkim), dilakukan observasi pada pasien. Pengobatan diberikan secara tepat setelah melahirkan atau diberi pengobatan profilaksis dengan isoniazid dan piridoksin selama 9 bulan yang dimulai pada trisemester kedua kehamilan. Pasien dengan konversi uji tuberkulin terbaru positif, foto toraks normal serta pemeriksaan bakteriologis negatif, maka dilakukan observasi selama kehamilan, pengobatan diberikan setelah melahirkan atau dengan pemberian

16

profilaksis isoniazid dan piridoksin selama 9 bulan dimulai pada trisemester kedua kehamilan. (7)

Pasien dengan resistensi organisme maka diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid sesuai dengan uji sensitivitas. Pada pasien dengan ketidakmampuan mentoleransi isoniazid dan rifampisin, maka diberikan etambutol atau obat lain yang tersedia.

Obat antituberkulosis ( OAT ) pada kehamilan : Rifampisin melewati plasenta dengan kadar yang sama dengan ibu. Pada akhir trismester ke- 3 rasio konsentrasi pada tali pusat. Studi tidak menunjukkan

peningkatan kelainan kongenital dan pada ibu yang terpajan selama trismester pertama tidak terdapat peningkatan kelainan janin secara bermakna. Efek samping ringan sering terjadi pada pemberian rifampisin dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Efek samping pada bayi baru lahir juga didapatkan hemmorrhagic disease of the newborn sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K.(6)

Rifampisin merupakan obat lini pertama yang terutama bekerja pada sel yang sedang tumbuh, tetapi juga memperlihatkan efek pada sel yang sedang tidak aktif (resting cell). Bekerja dengan menghambat sintesa RNA M. tuberculosis sehingga menekan proses awal pembentukan rantai dalam sintesa RNA. Bekerja di intra dan ekstra sel. Pada konsentrasi 0,005 - 0,2 mg/l akan menghambat pertumbuhan M. tuberculosis secara in vitro. Obat ini juga menghambat beberapa Mycobacterium atipikal, bakteri gram negatif dan gram positif. Secara in vitro, rifampisin dapat meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M. tuberculosis dan juga mempunyai mekanisme post antibiotic effect terhadap bakteri gram negatif. Diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna, absorpsi rifampisin dapat berkurang bila diberikan bersama makanan. Absorpsi rifampisin akan berkurang 30% jika diberikan bersama dengan antasida. Pemberian antasida akan meningkatkan pH lambung dan akan mengurangi proses dissolution

17

rifampisin sehingga akan menghambat absorpsi. Rifampisin dengan mudah didistribusikan ke sebagian besar organ, jaringan, tulang, cairan serebrospinal dan cairan tubuh lainnya termasuk eksudat serta kavitas tuberkulosis paru. Obat ini menimbulkan warna orange sampai merah bata pada urin, saliva, feses, sputum, air mata dan keringat. Volume distribusi 1 L/kg BB, ikatan protein plasma 6080%, waktu paruh 1-6 jam dan akan memanjang bila terdapat gangguan fungsi hepar. Metabolisme terjadi melalui deasetilasi dan hidrolisis, sedangkan ekskresinya terutama melalui empedu. Dapat melewati barier plasenta dan dapat dijumpai konsentrasi rendah di ASI. Rifampisin melewati plasenta dengan kadar yang sama dengan ibu. Pada akhir trismester ke-3 rasio konsentrasi pada tali pusat dan ibu besarnya 0,12 - 0,33. Studi yang dilakukan pada tikus, hewan pengerat dan kelinci dengan pemberian dosis 2,5 - 10 kali dosis yang masuk ke uterus tidak menunjukkan peningkatan kelainan kongenital. Pada 442 perempuan hamil yang minum rifampisin, termasuk 119 perempuan yang terpajan selama trismester pertama tidak terdapat peningkatan kelainan janin secara bermakna. Beberapa studi yang menunjukkan insidens malformasi rata-rata 1,8 - 4,4% pada 204 kehamilan. Pada kelinci telah dilaporkan terjadi spina bifida dan cleft palates. Efek samping ringan dapat timbul pada pemberian rifampisin antara lain: sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan, sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri tulang dan sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah dan kadang-kadang diare. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah sindrom respirasi, purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Efek samping pada bayi baru lahir juga didapatkan hemmorrhagic disease of the newborn sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K.(6)

Sediaan dan posologi : Rifampisin di Indonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg, selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi yang mengandung 100 mg/5 ml rifampisin. Obat ini biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya satu jam sebelum makan atau dua jam setelah makan.

18

Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan < 50 kg ialah 450 mg/hari dan untuk berat badan > 50 kg ialah 60 mg/hari. (10) Isoniazid (INH) menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting dinding sel Mycobacterium. Menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari Mycobacterium. Hanya kuman yang peka yang menyerap obat ke dalam selnya dan proses ini merupakan proses aktif. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. INH mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kelarutan INH dalam lemak tinggi, berat molekul rendah 148 dan melalui plasenta serta mudah mencapai janin dengan kadar hampir sama dengan ibu. Pada penelitian, setelah pemberian INH dosis 100 mg jangka pendek sebelum kelahiran didapatkan rasio konsentrasi tali pusat dan ibu sebesar 0,73. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati, INH terutama mengalami asetilasi, dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik (asetilator cepat/lambat) yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya. Waktu paruh berkisar 1-3 jam. Mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Antara 75-95% diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. Isoniazid tidak bersifat teratogenik janin, meskipun konsentrasi yang melewati plasenta cukup besar. Pada studi yang dilakukan pada hewan tidak menunjukkan retardasi pertumbuhan serta peningkatan malformasi pada tikus dan kelinci dengan dosis 60 kali dosis manusia. Efek samping berat berupa hepatitis dapat timbul pada kurang lebih 0,5 % penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus hilang. Efek samping yang ringan dapat berupa: tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, nyeri otot atau gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (dengan dosis 5-10 mg per hari atau dengan vitamin B kompleks). Efek samping pada bayi baru lahir dilaporkan adanya perdarahan (hemmorrhagic disease of the newborn) sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K sebelum kelahiran.(10)

19

Sediaan dan posologi : isoniazid terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300 dan 400 mg serta sirup 10 mg/ml. Isoniazid biasanya diberikan pada dosis tunggal per hari. Dosis biasa 5 mg/kgbb, maksimum 300 mg/hari. Untuk tuberkulosis berat dapat diberikan 10 mg/kgbb, maksimum 600 mg/hari. (10) Etambutol (EMB) merupakan inhibitor arabinosyl transferases (I,II,III). Arabinosyl transferase terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglycan, yang merupakan unsur esensial dari dinding sel Mycobacterium. Afinitas terhadap arabinosyl transferase III lebih kuat dibandingkan lainnya. Arabinosyl transferase digunakan untuk menjadikan EMB-CAB operon. Hal ini

menyebabkan metabolisme sel terhambat dan sel mati. Gangguan sintesis arabinoglycan mengubah barier sel, lipofilik meningkatkan aktivitas obat yang bersifat seperti rifampisin dan ofloksasin.(19) Dinding sel Mycobacterium spp sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme di penjamu. Dinding sel Mycobacterium terdiri dari mycolic acid, arabinoglycan dan peptidoglycan. Dinding sel merupakan lapisan lipid bilayer dan asimetris. Hampir semua galur M. tuberculosis dan M. kansasii sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Etambutol ini tetap menekan pertumbuhan M.tuberculosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Etambutol dosis 15 mg/kg BB ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik, sedangkan pada dosis 25 mg/kg BB bersifat bakterisidal. Penggunaan etambutol tunggal, ditemukan sputum basil tahan asam (BTA) negatif dalam 3 bulan, tetapi ditemukan resistensi 35% dari kasus dan frekuensi relaps lebih tinggi. Resistensi bakteri terhadap etambutol terjadi akibat mutasi embB, embA dan embC, kode untuk arabinosyl transferase. Resistensi ini timbul bila etambutol diberikan tunggal. Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap di saluran cerna. Makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam dan dapat 149 memanjang sampai 8 jam pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Etambutol secara bebas melewati plasenta dengan cord to maternal serum ratio adalah 0,75. Rata-rata malformasi

20

yang dilaporkan pada 638 bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat etambutol selama kehamilan adalah 2,2%. kemungkinan toksisitas pada mata.
(10)

Secara

teori

etambutol

menyebabkan

Sediaan dan posologi : etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis biasanya 15 mg/kgbb, diberikan sekali sehari, ada pula yang menggunakan dosis 25 mg/kgbb selama 60 hari pertama, kemudian diturunkan menjadi 15 mg/kgbb. (10) Pirazinamid (PZA) adalah suatu prodruk, yang memerlukan konversi enzim pirazinamidase (dihasilkan oleh mikobakterial tertentu) menjadi bentuk aktif asam pirazinoat, masuk ke dalam sitoplasma M. Tuberculosis secara difusi pasif, mengalami konversi oleh enzim nikotinamidase/pirazinamidase menjadi bentuk aktif asam pirazinoat (POA). PZA lebih aktif terhadap basil tuberkel semidorman karena sistem pompa efluks yang lemah dibandingkan dengan basil sedang bertumbuh cepat, di mana pompa efluks lebih aktif. Peradangan akut akan menurunkan pH akibat produksi asam laktat oleh sel-sel inflamasi, hal ini menguntungkan aktivitas PZA. Berkurangnya peradangan akan meningkatkan pH lingkungan basil tuberkel yang berakibat pada peningkatan konsentrasi hambat minimal PZA. Kuman dalam keadaan dorman tidak dapat dipengaruhi karena pada saat itu ambilan PZA tidak terjadi. Efek bakteriostatik atau bakterisidal terhadap M. Tuberculosis tergantung dosis (konsentrasi PZA), serta lamanya paparan terhadap makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis. Pada berbagai studi dan laporan tidak ditemukan efek teratogenik yang bermakna pada hewan dan malformasi janin pada pasien yang telah diterapi. Penggunaan PZA pada wanita hamil telah direkomendasikan oleh International Union Against Tuberculosis and Lung Disease secara rutin, namun di Amerika dilarang karena tidak adanya data yang adekuat mengenai efek teratogeniknya. Efek samping utama dari penggunaan obat ini adalah hepatitis, juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Pemberian intermiten dapat

21

mengurangi kejadian tersebut. Efek samping lain adalah anoreksia, mual, muntah, disuri, demam dan reaksi hipersensitivitas.(10)

Sediaan dan posologi : pirazinamid terdapat dalam bentuk tabletn250 mg dan 500 mg. Dosis oral ialah 20-35 mg/kgbb sehari (maksimum 3 gram). (10) Streptomisin melewati plasenta dengan cepat sampai ke sirkulasi janin dan cairan amnion serta mencapai kadar kurang dari 50% dibandingkan kadar ibu. Efek samping yang dilaporkan dari berbagai studi pada hewan yaitu ototoksisiti. Tuli kongenital telah dilaporkan terjadi pada bayi yang terpajan selama dalam kandungan, walaupun tidak ada hubungan yang pasti tentang mekanisme ototoksisiti dengan pajanan selama kehamilan. Hasil penelitian menggunakan audiogram menunjukkan 50 anak tidak mengalami gangguan, 2 dari 33 anak dengan kehilangan pendengaran, sampai 4 dari 13 anak dengan tes kalorifik tidak normal. Hal ini merupakan kejadian ototoksisiti yang berasal dari pajanan selama dalam kandungan. Penelitian lain menyimpulkan streptomisin dapat

menyebabkan kerusakan sistem vestibular dan kerusakan nervus kranialis ke 8. Pada negara berkembang dianjurkan tidak menggunakan streptomisin selama kehamilan. Dosis streptomisin 0,75 - 1 g/hari selama 14-21 hari selanjutnya 1 gram 3 kali seminggu secara intramuskular.(10)

Sediaan dan posologi : streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 da 5 gram. Dosisnya 20 mg/kgbb secara IM, maksimum 1 gram/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu. (10) Penyebab kegagalan pengobatan pada kehamilan : (6) 1. Obat : Paduan obat tidak adekuat Dosis obat tidak cukup Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan

22

Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya Terjadinya resistensi obat.

2. Drop out : Kekurangan biaya pengobatan Merasa sudah sembuh Malas terlibat/kurang motivasi

3. Penyakit : Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti DM, alkoholisme dll Adanya gangguan imunologis pada kehamilan.

Penyebab kegagalan pengobatan yang terbanyak pada kehamilan adalah karena kekurangan biaya pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan pada kehamilan ini dapat mencapai 50% pada pengobatan jangka panjang, karena sebagian besar penderita tuberkulosis adalah golongan yang tidak mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu yang lama dan biaya yang banyak.Untuk mencegah kegagalan pengobatan pada kehamilan ini perlu adanya motivasi yang kuat dari penderita. PENCEGAHAN PADA BAYI (1) 1. Jangan pisahkan anak dari ibunya, kecuali ibu sakit sangat parah. 2. Apabila ibu dahak negatif, segera bayi diberikan BCG. 3. Apabila dahak sediaan langsung ibu positif selama kehamilan, atau tetap demikian saat melahirkan, maka : Bila bayi tampak sakit saat dilahirkan dan anda mencurigai adanya tuberkulosis kongenital berilah pengobatan anti TB yang lengkap. Bila anak tampak sehat, berikanlah isoniazid 5 mg/kgbb dalam dosis tunggal setiap hari selama 2 bulan. Kemudian lakukan tes tuberkulin. Jika negatif, hentikan isoniazid dan berikan BCG. Jika positif, lanjutkan isoniazid selama 4 bulan lagi. Jangan berikan BCG pada saat

23

diberikan isoniazid atau jangan lakukan tes tuberkulin dan berikan isoniazid selama 6 bulan. 4. Di banyak negara adalah paling aman bagi ibu untuk menyusui bayinya. Air Susu Ibu (ASI) merupakan gizi yang paling tinggi mutunya bagi bayi.

LAKTASI Kontak segera antara ibu dan anak diperbolehkan jika ibu telah mendapatkan pengobatan dan tidak terdapat reaktivasi penyakit. Ibu dengan tuberkulosis aktif baru dapat berhubungan dengan bayinya minimal 3 minggu pengobatan, dan bayinya juga mendapat isoniazid. Tidak ada kontraindikasi untuk menyusui pada ibu yang menderita tuberkulosis, walaupun obat antituberkulosis ditemukan pada air susu ibu tetapi jumlahnya sangat rendah dan resiko keracunan pada bayi sangat minimal. Anda perlu menginstruksikan pasien di rumah sakit untuk : Menutupi mulut di saat batuk dan saat sedang menyusui Bila batuk harus ke dalam tisu yang sekali pakai.

Hal terpenting adalah pendidikan pada penderita dan keluarganya tentang keadaan penyakit TB paru yang sedang diidap serta bahaya penularan penyakit TBC ini pada anaknya, sehingga penderita dan keluarganya menyadari sepenuhnya bagaimana cara melakukan perawatan bayinya dengan baik.(15)

EVALUASI PENDERITA YANG TELAH SEMBUH Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun setelah sembuh untuk mengetahui adanya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah sputum BTA mikroskopik dan foto thorax. Sputum BTA mikroskopis saat 3, 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto thoraks saat 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.(12)

2.8

Prognosis
Sangatlah penting untuk dapat mendiagnosis adanya infeksi TBC secara dini

pada wanita hamil. TBC pada wanita hamil dan tidak hamil menimbulkan prognosis

24

yang tidak jauh berbeda bahkan sama. Hasil yang lebih baik didapatkan jika wanita itu diketahui menderita TBC sebelum masa kehamilannya dan jika diobati secara baik. Hasil terburuk didapatkan pada pasien-pasien yang baru diketahui pertama kali menderita infeksi TBC pada masa puerperium, dikarenakan TBCnya tidak diobati selama kehamilan sehingga telah menyebar luas. Akan tetapi jika TBC didiagnosis dan diobati secara baik dan benar maka prognosis untuk ibu dan bayi sangat baik. (12) Jika tidak diobati, resiko terinfeksi penyakit pada bayi yang lahir dari wanita dengan infeksi yang aktif adalah 50% pada tahun pertama. Wanita hamil yang menderita tuberkulosis bila diobati dengan pengobatan antituberkulosis yang adekuat tidak akan menyebabkan efek samping yang berarti pada saat hamil, masa nifas ataupun bagi janin. Wanita hamil mempunyai prognosis yang sama dengan wanita tidak hamil. Tidak ada indikasi untuk melakukan tindakan pengguguran kehamilan pada penderita TB paru. (12)

25

BAB III KESIMPULAN


Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Insidens tuberkulosis pada kehamilan makin

meningkat. Tuberkulosis pada kehamilan mempunyai gejala klinis yang serupa dengan tuberkulosis pada wanita tidak hamil. Hubungan antara TBC pada kehamilan dimana dapat meningkatkan risiko berat badan lahir rendah, kelahiran preterm, IUGR, kehidupan perinatal sampai pada kematian bayi. Keadaan ini terjadi baik akibat diagnosis yang terlambat, pengobatan yang tidak teratur dan derajat keparahan lesi di paru, maupun infeksi ekstrapulmoner. Infeksi TBC dapat menginfeksi plasenta, biasanya dalam bentuk granuloma. Bentuk tuberkel jarang menginfeksi plasenta. Keadaan ini dapat menyebabkan infeksi pada janin yang menyebabkan tuberculosis congenital. Pemberian OAT dimulai pada awal kehamilan akan memberikan hasil yang sama seperti pasien yang tidak hamil, tetapi bila diagnosis dan penanganan terlambat terjadi peningkatan angka morbiditas bayi 4 kali lipat dan peningkatan kelahiran preterm sebesar 9 kali lipat. Penatalaksanaan TBC pada wanita hamil harus diberikan secara tepat dan adekuat, serta mencegah timbulnya efek samping teratogenik pada janin. Pasien TBC aktif diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol dan piridoksin selama 9 bulan pada populasi risiko TBC rendah.

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Cantwell, Shehab ZM, Cosello AM, et al. Brief report: congenital tuberculosis. N Engl J Med 1994; 330: 1051-4. 2. Cunningham et al. Penyakit Paru. Dalam: Obstetri Williams. Jakarta:EGC, 2004. 1387-1389 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan ke 8 4. Depkes RI.2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta 5. LS, Efferen.2007. Tuberculosis and pregnancy Curr Opin Pulm Med 6. Meiyanti.2007. Penatalaksanaan tuberkoulosis pada kehamilan, Universa Medicina 7. Mochtar, Rustam.1998. Tuberculosis paru-paru: Synopsis Obstetri EGC Jilid I edisi II.hal 154-6 8. PDPI.2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta 9. Prawiroharjo.1999. Tuberculosis Paru. FKUI 10. Sulistia, dkk.2007.Farmakologi dan Terapi Edisi 5.FKUI:Jakarta 11. Werdhani, Retno Asti.2002. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga. FKUI 12. Widodo, Eddy.2004. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. IPB: Bogor 13. Sudoyo, Aru W, dkk.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi ketiga.FKUI:Jakarta. 14. Yoga Aditama, Tjandra. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Edisi IV 15. Yoga Aditama, Tjandra.2002. Tuberculosis Diagnosis Terapi dan Masalahnya edisi:4.Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia

27

28

You might also like