You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Abad XXI ini dikenal dengan era globalisasi dan era informasi. Dalam era ini laju informasi berjalan dengan sangat cepat. Segala sesuatu yang terjadi di seantero dunia dapat diakses dan diketahui dalam hitungan detik. Begitu juga masalah-masalah budaya, ilmu pengetahuan, teknologi berkembang pesat, dan persaingan hampir dalam seluruh segmen kehidupan terjadi dan terbuka lebar. Dalam zaman atau era seperti ini dibutuhkan pribadi-pribadi yang tangguh dan mempunyai kemandirian tinggi dalam rangka mengarungi kehidupannya. Dari sinilah dibutuhkan sebuah keluarga yang mampu membimbing dan mendidik anak atau remaja yang mandiri dan bertanggungjawab atas masa depannya. Sebab keluarga sebagai unit terkecil merupakan entitas pertama dan utama dimana anak tersebut tumbuh, dan dibesarkan, dibimbing dan diajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan harapan sosial (social expectacy) dimana keluarga tersebut tinggal. Hingga nantinya sang anak atau remaja siap menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan mampu mengemban amanat besar sebagai penerus estafet perjuangan bangsa. Individu yang memasuki masa remaja merupakan individu yang terkategori hidup dalam masa transisi, yakni perpindahan dari masa anak menuju masa dewasa. Dalam masa ini banyak ahli psikologi seperti Hurlock (1980) memberikan label bagi remaja sebagai fase penuh konflik, fase penuh penentangan, dan menurut Dadang Hawari (dalam Syamsu Y. 2000) disebut sebagai fase pencarian jati diri.

2 Steinberg (1993) menyatakan bagi kaum remaja, menegakkan kemandirian adalah sama pentingnya seperti dalam artian usaha untuk menegakkan identitas. Menjadi pribadi yang mandiri, yakni pribadi yang menguasai dan mengatur diri sendiri, merupakan salah satu tugas perkembangan yang paling mendasar dalam tahun-tahun masa remaja. Pencapaian kemandiran bagi remaja merupakan sesuatu hal yang tidak mudah. Sebab pada masa remaja terjadi pergerakan perkembangan psikososial dari arah lingkungan keluarga menuju lingkungan luar keluarga. Mereka berusaha melakukan pelepasan-pelepasan atas keterikatan yang selama ini dialami pada masa kanak-kanak. Dimana segalanya serba diatur dan ditentukan oleh orang tua. Pemutusan ikatan infantil yang telah berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak-kanak seringkali menimbulkan reaksi yang sulit dipahami (misunderstood) bagi kedua belah pihak baik remaja maupun orang tua (Rice, 1996). Remaja sering tidak mampu memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kanak-kanaknya dengan orang tua secara logis dan objektif. Dalam usaha itu mereka kadang-kadang harus menentang, berdebat, bertarung pendapat dan mengkritik dengan pedas sikap-sikap orang tua (Thomburg, 1982). Meskipun hal ini sulit dilakukan namun dalam upaya pencapaian kemandirian yang optimal terhadap diri remaja maka upaya tersebut harus ditempuh. Hal ini sering terjadi terhadap kaum remaja di mana peneliti tinggal. Tidak sedikit anak remaja yang berupaya menentukan pilihan-pilihan kegiatannya atas dasar pertimbangan yang rasional, baik dari sisi kompetensi pribadi dan minatnya terhadap pilihan tersebut. Sebagai contoh bila di sekolah terdapat bermacam-macam program ekstra kurikuler, maka anak tersebut berupaya memilih salah satu ekstra kurikuler

3 yang diminatinya serta sesuai dengan kemampuan dirinya, tidak lagi atas dasar pilihan orang tua. Sebagai contoh lain adalah dalam hal memilih sekolah. Tidak sedikit remaja di Konawe Selatan yang memilih sekolah atas dasar pertimbangan halhal yang ada dalam pribadinya bukan karena pilihan ditentukan oleh orang tuanya, walaupun juga masih ada remaja yang menurut apa yang menjadi pilihan, apa yang menjadi ketentuan, serta apa yang menjadi harapan orang tua bagi dirinya. Fenomena ini menarik untuk dicermati, sebab perilaku anak remaja tersebut bila ditinjau dari perspektif psikologis merupakan upaya pelepasan dirinya dari keterikatan-keterikan orang tua yang dirasa terlalu membelenggu, ia berusaha mandiri secara emosi, dan tidak lagi menjadikan orang tua sebagai satu-satunya sandaran dalam pengambilan keputusan. Ia memutuskan sesuatu atas dasar kebutuhan dan kemampuan pribadi, walaupun pada suatu saat masih mempertimbangkan kepentingan dan harapan orang tua. Pada sisi lain orang tua sebagai orang yang merasa menjadi panutan keluarga, mereka harus dihormati, dipatuhi dan dituruti apapun yang dikatakan dan dikehendaki. Menurut orang tua, hal tersebut dilakukan agar anak-anaknya kelak menjadi orang yang berguna di masa depannya. Bila ditinjau secara sosiologis, perilaku orang tua seperti tersebut diatas, merupakan upaya orang tua untuk melestarikan nilai-nilai adat Konawe Selatan didalam hubungannya antara orang tua dengan anak, antara individu dengan tokoh masyarakat. Menurut Abdurrauf Tarimana (1989) ada beberapa nilai adat yang berjalan di masyarakat Konawe yang biasanya disebut dengan kebudayaan Tolaki. Dalam kebudayaan Tolaki adat istiadat yang disebut dengan metewatu (anak harus patuh kepada orang tua). Adat metewatu ini menekankan kepada anak, mereka harus patuh

4 terhadap aturan-aturan yang diterapkan oleh orang tua mereka. Kedua orang tua akan berupaya mengarahkan anaknya untuk mengikuti apa saja yang ditentukan oleh orang tuanya, sehingga bila anak tersebut tidak patuh maka akan dikategorikan anak yang tetutuara (kualat). Dalam ritmik kehidupan masyarakat konawe orang tua menjadi satu-satunya teladan bagi anak. Oleh karena itu orang tua harus mampu menjadi teladan atau model bagi anak. Budaya seperti ini disebut dengan moulungako (memberi contoh). Pada konteks budaya ini anak dianggap sebagai individu atau anak kecil yang belum mengetahui apa-apa dan tidak berhak menentukan apa-apa, oleh karena itu anak harus mencontoh apa yang dilakukan oleh orang tua mereka. Sebagai bagian dari masyarakat adat tolaki maka individu harus patuh terhadap tetua adat, hal ini disebut sebagai tonomotuo (kepatuhan terhadap tokoh adat). Dalam masyarakat etnik Tolaki, juga terdapat konsep adat Kalo Sara. Konsep ini mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, baik dalam hal-hal yang bersifat sosial maupun hal-hal yang mengatur sebuah keluarga termasuk dalam pola perkembangan anak mulai dari tahap kelahiran, anak-anak, remaja, pertunangan, perkawinan sampai kematian. Masyarakat harus patuh kepada Kalo Sara, karena bagi mereka yang tidak patuh akan memperoleh sanksi dari yang maha kuasa (kutukan). Sedangkan dalam masyarakat, terdapat seorang tokoh adat yang disebut dengan tonomutuo yang mengetahui seluk beluk adat, dan dapat dimintai pendapatnya dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Oleh karenanya masyarakat akan patuh kepadanya, karena kharisma, penghargaan dan kedudukannya sebagai tonomutuo. Dari pengamatan awal yang peneliti lakukan terhadap beberapa siswa di SMA Negeri 1 Punggaluku Kabupaten Konawe Selatan. Beberapa hal yang menjadi fokus

5 wawancara adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan remaja baik dalam lingkup keluarga maupun dalam lingkungan akademiknya. Hasil pengamatan awal tersebut menunjukkan bahwa, hampir 55 persen dari sampel pengamatan awal yakni sebanyak 35 siswa memberikan gambaran bahwa dalam lingkungan keluarganya terutama hubungan antara anak dan orang tua, ia harus mematuhi aturan-aturan yang diterapkan oleh orang tuanya, mulai dari mode berpakaian, penentuan masa depan, pilihan sekolah, waktu belajar, sampai pada pilihan teman bergaul. Pada sisi lain sang anak jarang atau hampir tidak pernah terlibat dalam pembicaraan mengenai segala aturan yang harus dijalankan oleh sang anak. Tuntutan pencapaian prestasi sangat tinggi, namun orang tua jarang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan anak. Bahkan orang tua sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Dari sini sebagian dari anak tersebut berlaku menurut saja dengan apa yang diperintahkan oleh orang tua, namun sebagian mengatakan ia berusaha memenuhi keinginannya walaupun dengan resiko sering terjadi konflik atau perbedaan pendapat antara dirinya dengan orang tuanya. Selanjutnya terdapat 30 persen dari siswa yang menjadi sampel dari pengamatan awal menunjukkan bahwa selama ini hubungan mereka dengan orang tuanya baik-baik dan wajar-wajar saja. Ia sering terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai masalah-masalah yang sering menimpa dirinya. Orang tua memperlakukan mereka dengan lembut walaupun tetap memberikan tuntutan pencapaian prestasi belajar yang tinggi. Pada sisi lain orang tua memenuhi kebutuhan yang mereka perlukan sebatas kemampuan ekonomi orang tua saat ini. Ia diberikan tanggungjawab atas perbuatan yang ia lakukan, dan orang tua akan memberikan sanksi yang sesuai dengan kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Dalam hal penentuan masa depan,

6 penentuan pilihan sekolah, maupun pilihan teman bergaul orang tua lebih banyak memberikan peluang kepada anak untuk menentukannya sendiri walaupun tetap dalam pengawasan dan bimbingan orang tua. Dari perlakuan-perlakuan orang tua yang demikian sebagian besar mereka menyatakan ia merasakan ketenangan dengan kondisi lingkungan keluarga saat ini, namun juga ada yang menyatakan ia lebih senang menentukan aktivitas dirinya sebebas-bebasnya tanpa campur tangan dari orang tua sedikitpun. Sedangkan sisanya sebanyak 15 persen dari siswa dalam pengamatan awal dari total 35 siswa menyatakan bahwa selama ini orang tuanya tidak terlalu menggubris dirinya. Ia bebas menentukan apa yang dia mau. Orang tua tidak memberikan tuntutan apapun kepada mereka, bahkan ada yang menyatakan bahwa orang tuanya selalu memenuhi apapun yang ia minta tanpa melihat sejauh mana nilai kepentingannya terhadap kehidupan remaja. Rata-rata dari mereka orang tuanya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Orang tua bersikap pemaaf terhadap kesalahan yang diperbuat oleh mereka. Atau bahkan ada yang tidak peduli sama sekali dengan keberadaan dirinya. Mendapat perlakuan semacam ini ada sebagian yang menyatakan bahwa ia merasa menjadi anak yang tidak terperhatikan oleh orang tua, sehingga ia lebih sering berada di luar rumah menghabiskan waktunya dengan teman-teman sebayanya, ada yang menyatakan justru ia merasa bebas untuk menentukan apa yang ia kerjakan serta bebas menentukan masa depannya. Perilaku orang tua tersebut dipahami sebagai bagian dari kepatuhan masyarakat terhadap nilai-nilai adat yang dianutnya. Sebagai contoh, setelah tamat dari SMP untuk memasuki jenjang SLTA, pilihan sekolah ditentukan oleh orang tuanya. Bila sudah besar nanti kebiasaan calon pasangan hidup juga ditentukan oleh

7 orang tua. Begitu juga kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas khususnya di luar sekolah yang harus diikuti oleh remaja Konawe Selatan ditentukan pula oleh orang tua yang bersangkutan. Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa hampir mayoritas siswa-siswi yang menjadi sampel pengamatan awal menunjukkan mereka diasuh dengan gaya pengasuhan yang otoriter. Namun disisi lain sikap tanggungjawab siswa serta upaya untuk melepaskan diri dari orang tua dapat dilihat pada diri remaja tersebut, walaupun upaya dan perwujudan dari tanggungjawab tersebut masih sangat minim. Upayaupaya tersebut merupakan usaha remaja untuk mandiri secara emosional. Bagi remaja, tuntutan untuk memperoleh kemandirian secara emosional merupakan dorongan internal dalam mencari jati diri, bebas dari perintah-perintah dan kontrol orang tua. Remaja menginginkan kebebasan pribadi untuk dapat mengatur dirinya sendiri tanpa bergantung secara emosional pada orang tuanya. Bila remaja mengalami kekecewaan, kesedihan atau ketakutan, mereka ingin dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapinya. Meskipun remaja dapat mendiskusikan masalah-masalahnya dengan ayah atau ibunya, tetapi mereka ingin memperoleh kemandirian secara emosional dengan mengatasi sendiri masalahmasalahnya dan ingin memperoleh status yang menyatakan bahwa dirinya sudah dewasa (Olivia, 2000). Perkembangan kemandirian emosional remaja, tidak terlepas dari penerapan pengasuhan orang tua melalui interaksi antara ibu dan ayah dengan remajanya. Orang tua merupakan lingkungan pertama yang paling berperan dalam pengasuhan anak remajanya, sehingga mempunyai pengaruh yang paling besar pada pembentukan kemandirian emosional remaja. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan seperti

8 I Nyoman Karna (2002), Miftahul Jannah (2004), Risa Panti Ariani (2004) menunjukkan bahwa gaya pengasuhan orang tua yang harmonis, hangat, penuh kasih sayang (authoritative) menunjang perkembangan kemandirian emosional remaja, namun sebaliknya gaya pengasuhan yang penuh dengan tuntutan, orang tua tidak perhatian, penuh dengan sanksi, tidak pernah melibatkan anak dalam pengambilan keputusan (authoritarian) akan menghambat perkembangan kemandirian remaja khususnya kemandirian emosional artinya remaja tidak mampu melepaskan diri dari ketergantungan dan keterikatan secara emosional dengan orang tua.. Seperti dipaparkan di atas bahwa masyarakat Konawe Selatan adalah masyarakat yang menekankan kepatuhannya terhadap adat. Salah satu hal yang tampak dari penerapan nilai adat Konawe Selatan tersebut adalah terkait hubungan antara orang tua dengan anak. Sehingga gaya-gaya interaksi yang dilakukan adalah dengan gaya yang authoritarian. Padahal gaya pengasuhan yang authoritarian secara teoritis justru menghambat perkembangan kemandirian emosional remaja. Namun disisi lain dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa sikap-sikap yang ditunjukkan oleh remaja menggambarkan mereka mempunyai kemandirian emosional walaupun orang tua mereka cenderung authoritarian.. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka topik sentral yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini adalah hubungan gaya pengasuhan authoritarian orang tua dengan kemandirian emosional remaja.

1.2. Rumusan Masalah Hubungan antara remaja dan orang tua sebagai orang yang paling dekat dan berarti bagi remaja, sangat berperan dalam perkembangan kepribadian seorang remaja. Sejak awal kehidupannya, remaja mempersepsi bagaimana orang tua

9 bersikap dan memperlakukan dirinya. Sikap dan perlakuan orang tua terhadap remaja merupakan iklim psikologis yang timbul dalam bentuk interaksi antara orang tua dan remaja di lingkungan keluarga, dapat mempengaruhi perkembangan kemandirian remaja. Gaya-gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya dalam berinteraksi sehari-hari di rumah, merupakan suatu stimulasi yang berkaitan erat dengan perkembangan kemandirian remaja. Gaya-gaya yang diterapkan seperti orang tua yang terlalu menuntut tanpa memperhatikan kebutuhan anak, selalu memberikan sanksi tanpa melihat jenis kesalahannya, tidak pernah melibatkan anak dalam membicarakan masalah-masalah anak, serta tidak melibatkan dalam pengambilan keputusan merupakan bentuk interaksi yang otoriter, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan psikososial remaja. Persoalan-persoalan mendasar gaya pengasuhan orang tua dalam kaitannya dengan masalah-masalah kemandirian remaja sebagaimana telah diuraikan diatas merupakan hal yang menarik untuk diteliti, hal ini patut diteliti sebab perkembangan kemandirian emosional tersebut tidak muncul begitu saja, tetapi hal ini merupakan hasil interaksi antara individu satu dengan individu lainnya yang diawali dengan interaksi dengan individu yang ada dalam keluarganya serta dengan kelompokkelompok teman sebayanya. Selain itu kemandirian emosional juga merupakan perwujudan dari kemampuan seorang individu untuk menampilkan diri pada kehidupan sosialnya didalam lingkungan keluarganya, lingkungan sekolah atau teman-teman sebayanya serta lingkungan sosial lain yang lebih luas yakni masyarakat sekitar. Untuk membatasi penelitian ini, maka masalah yang akan diteliti mengenai hubungan gaya pengasuhan authoritarian orang tua yang berkaitan dengan kemandirian emosional remaja.

10 Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan kemandirian emosional remaja di SMA Negeri I Punggaluku Konawe Selatan

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, maksud dari penelitian ini adalah menghimpun bahan dan informasi secara sistematis dan terencana mengenai hubungan antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan

kemandirian emosional remaja. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang hubungan antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian

dengan kemandirian emosional remaja. Selain itu penelitian ini juga menganalisa secara deskriptif mengenai karakteristik dari gaya pengasuhan authoritarian orang tua dan kemandirian emosional remaja, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. 1.3.2. Manfaat Penelitian Penelitian ini menekankan pada area kajian psikologi perkembangan di harapkan dapat menggali informasi dan pengetahuan yang memberi manfaat bagi pengembangan ilmu dan guna laksana bagi praktisi di lapangan, sebagai berikut : 1. Kegunaan ilmiah : informasi dan pengetahuan tentang hubungan antara gaya pengasuhan orang tua dan kemandirian remaja yang dapat digali melalui penelitian ini, bisa sebagai bahan masukan empiris dan untuk menambah referensi dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian psikologi perkembangan yang menyangkut pembentukan dan perkembangan kemandirian emosional

11 remaja dalam kaitannya dengan gaya pengasuhan orang tua di masyarakat kabupaten Konawe Selatan. 2. Kegunaan praktis : sebagai bahan pertimbangan atau informasi tambahan yang bermanfaat, baik bagi para orang tua, para pendidik, maupun kalangan masyarakat umumnya, dalam pembinaan remaja.

You might also like