You are on page 1of 20

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel gaya pengasuhan authoritarian (X1) yang diterima oleh remaja sehari-hari di rumah dengan kemandirian emosional remaja (X2) di SMA Negeri I Punggaluku Sulawesi Tenggara. Tujuan-tujuan tersebut seperti terumus dalam hipotesis penelitian seperti tertera di Bab II. Selanjutnya untuk melihat hasil hubungan dari kedua variabel penelitian, maka peneliti menggunakan perhitungan dengan statistik nonparametric, yakni korelasi Rank Spearman. Seluruh perhitungan tersebut dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 13. 4.1. Gambaran Subyek Penelitian Dalam penelitian ini subyek penelitian adalah siswa SMA Negeri I Punggaluku Kabupaten Konawe Selatan. Adapun karakteristik dari responden sebagaimana berikut : a. Siswa tersebut terdaftar sebagai siswa SMA Negeri I Punggaluku Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. b. Duduk di kelas II c. Remaja tersebut tinggal bersama orang tua mereka sejak kecil sampai memasuki SMA Negeri tersebut, dengan asumsi bahwa kontinuitas pola pengasuhan orang tua dapat mempengaruhi otonomi remaja. d. Usia 15 18 tahun, dengan pertimbangan untuk membatasi secara tegas dari segi rentang usia mengenai remaja pertengahan yang diteliti.

49

50 Tabel 4.4. Karakterisitk Responden Berdasarkan Usia. Usia Remaja F 15 thn 65 16 thn 5 17 thn 20 18 thn 10 Jumlah 100 Sumber : Data Diolah % 65 5 20 10 100

Berdasarkan tabel 4.1, karakteristik responden berdasarkan usia dapat diketahui bahwa sebanyak 65 responden (65%) berusia 15 tahun, kemudian diikuti oleh responden yang berumur 17 tahun sebanyak 20 orang (20%), dan responden yang berusia 18 tahun sebanyak 10 responden serta yang paling sedikit adalah 5 responden yang berusia 16 tahun. Dari sini dapat dilihat bahwa responden dengan usia remaja awal lebih mendominasi dari seluruh total responden yang terjaring. Sedangkan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin seperti tertera dalam tabel berikut : Tabel 4.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Sumber : olah data F 55 45 100 % 55 45 100

Tabel 4.2 memberikan gambaran dengan jelas bahwa karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin hanya berbeda sedikit antara jenis kelamin peremuan dengan laki-laki yakni sebesar 55% (55 responden) berjenis kelamin laki-laki sedangkan jenis kelamin perempuan 45% (45 responden).

51 Tabel 4.6. Karakterisitk Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua. Pekerjaan Orang tua Petani Guru Pegawai Negeri Jumlah Sumber : olah data F 75 10 15 100 % 75 10 15 100

Berdasarkan tabel 4.3, karakteristik responden berdasarkan pekerjaan orangtuanya dapat diketahui bahwa sebanyak 75 orang (75%) orang tua bekerja sebagai petani, orang tua bekerja sebagai guru sbanyak 10 orang (10%) dan orang tuanya bekerja sebagai Pegawai Negeri 15 orang (15 %). 4.2. Hasil Pengujian Hipotesis Hiptesis dalam penelitian ini diuji dengan uji statistik nonparametrik, yakni korelasi Rank Spearman untuk melihat hubungan antara variable gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan kemandirian emosional remaja. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa dengan menggunakan jasa komputer SPSS versi 13. Adapun hasil uji hipotesis tersebut terdapat pada tabel 4.4. di bawah ini : Tabel 4.7. Hasil pengujian hipotesis penelitian. Hipotesis penelitian (H1) Rs t hitung 14,9045 t tabel dua arah 1,99 Kesimpulan

Terdapat hubungan 0,833 antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan kemandirian emosional remaja Sumber : olah data

Terdapat hubungan yang signifikan antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan ke mandirian emosional re maja

Dari tabel di atas dapat digambarkan dengan jelas hasil perhitungan statistik dengan menggunakan rank spearman bahwa diperoleh hasil berupa angka koefisien

52 korelasi Rank Spearman (rs) sebesar 0,833, t hitung sebesar 14,90 dan t tabel (dua arah) 0,05 = 1,99. Ini berarti bahwa pada taraf signifikansi 0,05, maka Ho yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan kemandirian emosional remaja dinyatakan ditolak dan H1 yang menyatakan terdapat hubungan antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan kemandirian emosional remaja dinyatakan diterima. Dengan nilai rs sebesar 0,833, maka menurut aturan Guilford berarti korelasi tinggi dan hubungan tersebut dapat diandalkan. Hubungan yang terjadi bersifat positif artinya dengan meningkatnya gaya pengasuhan authoritarian yang diterima oleh remaja (siswa) maka hal ini akan berhubungan dengan meningkatnya tingkat kemandirian emosional remaja (siswa) khususnya siswa kelas II SMA Negeri I Punggaluku. 4.3. Gambaran tentang gaya pengasuhan orang tua authoritarian Untuk mengetahui gambaran yang riil tentang keberadaan gaya pengasuhan authoritarian yang diterima oleh responden di SMA Negeri 1 Punggaluku, maka dalam penelitian ini gaya pengasuhan tersebut dibagi menjadi dua rentang yakni rendah dan tinggi. Untuk menentukan kategori tinggi dan kategori rendah peneliti menggunakan standar ideal median yang dihitung berdasarkan skor minimal ideal dan skor maksimal ideal dari kuesioner. Skor minimal ideal kuesioner gaya pengasuhan orang tua authoritarian tersebut adalah 114 dan skor maksimal ideal adalah 200, sehingga diperoleh median = 0,5 x (114 + 200) = 157. Responden yang memperoleh skor <157 dikategorikan memiliki tingkat gaya pengasuhan orang tua authoritarian yang rendah

53 dan responden yang memperoleh skor 157 dikategorikan memiliki tingkat gaya pengasuhan orang tua authoritarian yang tinggi. Berdasarkan hasil olah data yang berasal dari nilai kuesioner diperoleh tingkat gaya pengasuhan authoritarian responden seperti tertuang dalam grafik berikut Responden yang memiliki tingkat gaya pengasuhan orang tua authoritarian tinggi sebanyak 66 orang, sedangkan yang memiliki tingkat gaya pengasuhan orang tua authoritarian rendah sebanyak 34 orang.

Tabel 4.5 Gambaran tentang Gaya Pengasuhan Authoritarian Responden Rendah 34% Tinggi 66% Tinggi
Sumber : olah data Dari grafik di atas dapat dijelaskan bahwa 66 % dari orang tua responden mempraktekkan gaya pengasuhan yang authoritarian terhadap responden. Sehingga dapat digarisbawahi kecenderungan dasar dari orang tua siswa di Konawe Selatan adalah authoritarian. Kecenderungan ini bisa dimengerti karena para orang tua di Konawe Selatan menganggap anak merupakan amanah dari yang maha kuasa. Salah satu caranya adalah mengasuhnya dengan perlakuan yang ketat. Perlakuan ini kemudian didukung dengan adanya budaya tolaki yang memberikan inspirasi bahwa bila anak tidak patuh

Rendah

54 terhadap orang tua maka akan mendapatkan kualat/mara bahaya. Sebaliknya kecenderungan perilaku pengasuhan authoritarian yang rendah hanya berkisar pada 34 persen. Perlakuan authoritarian yang rendah ini barang kali merupakan salah satu wujud kemoderatan para orang tua. Dari latar belakang pendidikan mereka bisa dikatakan sudah mengenyam pengalaman-pengalaman yang membuka cakrawala, khususnya dalam hal pengasuhan. Walaupun indikator perlakuan authoritarian masih terlihat. Hal ini merupakan manifestasi budaya tolaki yang sudah menjadi interen di dalam setiap individu orang tua di Konawe. Hasil ini perlu mendapat perhatian lebih lanjut atau penelitian yang lebih dalam. Sebab tidak menutup kemungkinan justru orang-orang yang berlatar pendidikan tinggi bisa berpotensi berperilaku authoriatian yang tinggi. 4.4. Gambaran Tentang Kemandirian Emosional Remaja Kemandirian merupakan salah satu aspek yang gigih diperjuangkan oleh setiap remaja sebagaimana sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Fasick dalam Rice (1996) one goal of every adolescent is to be accepted as an autonomous adult Banyak ahli berpandangan bahwa pada usia remaja, seiring dengan berlangsung dan memuncaknya proses perubahan fisik, kognisi, afeksi, sosial, moral dan mulai matangnya pribadi dalam memasuki dewasa awal, maka tuntutan terhadap separasi (separation) atau self-detachment dari orang tua/keluarga berlangsung sedemikian tingginya sejalan dengan tingginya kebutuhan akan kemandirian (autonomy) dan pengaturan diri sendiri (self directed) (Featherman, 1994, Steinberg, 1993, Rice, 1996). Sebagaimana gaya pengasuhan orang tua, dalam penelitian ini kemandirian emosional remaja juga dikategorikan menjadi dua yakni kategori kemandirian

55 emosional yang rendah dan kemandirian emosional yang tinggi. Kategorisasi ini menggunakan standar ideal median yang dihitung berdasarkan skor minimal ideal dan skor maksimal ideal kuesioner. Skor minimal ideal kuesioner kemandirian emosional remaja tersebut adalah 149 dan skor maksimal ideal adalah 270, sehingga diperoleh median = 0,5 X (149+270) = 209,5. Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa responden yang memperoleh skor <209,5 dikategorikan memiliki tingkat kemandirian emosional yang rendah dan responden yang memperoleh skor 209,5 dikategorikan memiliki tingkat kemandirian emosional yang tinggi. Dari hasil olah data dapat diketahui frekuensi atau jumlah dari masing-masing kategori sebagaimana tertuang dalam grafik berikut :

Tabe l 4.6 Gambaran te ntang Ke mandirian Emosional

Tinggi Rendah

39% 61%

Sumber : olah data


Dari tabel 4.6 di atas dapat dijelaskan bahwa prosentasi responden yang mempunyai kemandirian emosional tinggi adalah sebesar 61 % atau berjumlah 61 orang dari total responden yang terjaring. Sedangkan responden yang memiliki

56 kemandirian emosional yang rendah yakni sekitar 39 % dengan frekuensi sebesar 39 responden dari total responden yang terjaring. Dari data di atas dapat diketahui bahwa pada tingkat kemandirian emosional siswa-siswi SMA Negeri 1 Konawe Selatan cenderung mempunyai kemandirian emosional yang tinggi. Hal ini barangkali merupakan sebuah jawaban bahwa remaja atau siswa-siswa Konawe Selatan adalah remaja yang mandiri secara emosional. Seperti yang dikatakan oleh Fasick di atas bahwa kemandirian merupakan suatu hal yang penting, sebagai upaya untuk saparasi atau self detechment terhadap orang tuanya. Mereka merasa ingin di hargai sebagai individu yang mandiri, bukan seperti sebutan anak mama . sebutan anak mama ini merupakan stigma negatif bagi remaja Konawe Selatan. Hal ini seperti dikatakan oleh Harahap S. (1999), bahwa upaya untuk menunjukkan eksistensi dirinya sebagai bukan seorang anak kecil lagi, banyak remaja yang berusaha keras untuk bersikap mandiri. Mereka bergabung dengan peers group-nya melakukan sebuah kegiatan untuk menyalurkan bakat dan minatnya. Interaksi dengan peers group-nya ini yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi sikap yang mandiri terhadap remaja. Penggabungan diri individu pada teman sabayanya, merupakan salah satu proses detechment. Proses ini menunjukan bahwa remaja mulai mengembangkan interaksi sosialnya diluar lingkungan keluarga. Mereka justru lebih banyak berkegiatan di luar rumah. Mereka merasa lebih mantab bila keputusan-keputusan akan masalah yang dihadapinya didiskusikan dalam kelompoknya kemudian mendapatkan persetujuan dari kelompoknya. Secara psikologis sifat ini merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan dirinya dalam proses berkelompok (Hurlock, 1999) dan secara tidak langsung sang remaja sudah berupaya untuk melepaskan

57 dirinya dari keluarga atau dalam hal ini adalah orang tua sebagai figur sentral dalam keluarga. Siswa-siswi di SMA Negeri 1 Konawe Selatan terlihat sangat aktif untuk berkegiatan dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian siswa di sekolah tersebut. Terhitung ada beberapa kelompok kegiatan siswa seperti bidang olah raga terdapat Karate, Tae Kwondo, juga terdapat kelompok siswa PMR (palang merah remaja), ada juga kelompok kegiatan kepecinta alaman, serta kegiatan-kegiatan Pramuka dan seni lainnya. Berdasarkan pengamatan peneliti, siswa-siswi tersebut bersikap aktif mengikuti kegiatan, terlepas dari persoalan administratif bahwa setiap individu diharuskan untuk memilih kegiatan kesiswaan. Namun dari sisi psikologis dapat dijelaskan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut memberikan andil dan kontribusi yang sangat besar terhadap perubahan sikap siswa. Secara empiris seperti yang dikatakan oleh Andi Sahlul (2001) dalam penelitiannya bahwa kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler memberi sumbangan yang signifikan terhadap perubahan sikap siswa, terutama sikap mandiri, leadership, responsible dan disiplin. Proses-proses tersebut menurut Rice (1996) merupakan salah satu proses detechment individu, walaupun interaksi dengan orang tua berkaitan dengan keputusan-keputusan penting tidak serta merta dapat dipatahkan seperti kita mematahkan kayu bakar. Artinya proses tersebut akan berjalan gradual atau evolutif sangat tergantung dari lingkungan yang mendukungnya. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa hampir mayoritas dengan prosentase 61% dari total responden adalah siswa atau remaja yang mempunyai kemandirian emosional yang tinggi. Tentu ini menjadi kabar gembira bagi kalangan pendidik di

58 Konawe Selatan walaupun hasil-hasil ini akan menjadi lebih baik bila diteruskan pada penelitian yang lebih mendalam terkait dengan faktor pendukung dan penghambat terhadap kemandirian emosional itu sendiri. 4.5. Hubungan Gaya Pengasuhan Orang Tua Authoritarian dengan

Kemandirian Emosional Remaja Di Indonesia remaja dipandang sebagai generasi penerus nilai-nilai bangsa dan cita-cita pembangunan nasional, diharapkan memiliki sikap dan perilaku yang mandiri. Otonomi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan remaja, karena otonomi itu adalah suatu bagian dari tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai oleh remaja sebagai persiapan untuk melangkah ke masa dewasa. Steinberg (1993) menyatakan bahwa meskipun perkembangan kemandirian merupakan suatu isu penting psikososial sepanjang rentang kehidupan, namun perkembangan kemandirian yang menonjol adalah selama masa remaja, karena perubahan-

perubahan fisik, kognitif, dan sosial terjadi pada periode ini. Kemandirian remaja dipandang suatu hal pokok atau mendasar yang patut mendapat perhatian, agar para remaja dapat dengan mantap memasuki dunianya yang baru yaitu masa dewasa tanpa hambatan yang berarti. Dari hasil penelitian yang dihitung menggunakan program SPSS diketahui hubungan antara gaya pengasuhan authoriatan baik yang kategori tinggi maupun rendah dengan kemandirian emosional remaja baik yang tinggi dan rendah. Hasil perhitungan tersebut seperti tertera dalam tabel di bawah ini :

59 Tabel 4.10. Tabulasi Gaya Pengasuhan Orang Tua Dengan Kemandirian Emosional Remaja Kemandirian Emosional Remaja Rendah Tinggi 29 5 85.3 % 14.7 % 10 56 15.2 % 84.8 % 39 61 61 % 39 %

Gaya Pengasuhan Orang Tua

Rendah Tinggi Total

Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen

Total 34 100 % 66 100 % 100 100 %

Sumber : Olah data Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa gaya pengasuhan orang tua authoritarian yang berkategori rendah berhubungan dengan kemandirian emosional remaja yang berkategori rendah sebesar 29 responden atau sebesar 85.3 %, sedangkan kemandirian emosional remaja yang berkategori tinggi hanya berjumlah 5 responden atau sekitar 14.7 %. Pada gaya pengasuhan authoritarian yang berkategori tinggi berhubungan dengan kemandirian emosional remaja yang berkategori rendah dengan jumlah 10 responden atau sebesar 15.2 %, sedangkan kemandirian emosional yang berkategori tinggi berjumlah 56 responden atau sebesar 61 %. Dari data ini dapat diketahui bahwa kemandirian emosional remaja atau siswa yang tinggi justru ditunjukkan oleh gaya pengasuhan orang tua authoritarian yang tinggi. Artinya terdapat hubungan yang tinggi gaya pengasuhan authoritarian yang diterima oleh siswa sebagai responden akan berdampak terhadap meningkatknya kemandirian emosional remaja. Hasil ini tentu berlawanan dengan konsep dari Sternberg. Ia mengatakan bahwa gaya pengasuhan orang tua yang authoritarian akan berdampak terhadap menurunya kemandirian emosional remaja. Sebab perilaku-perilaku gaya pengasuhan

60 yang authoritarian cenderung kurang memberi kesempatan kepada individu untuk mengekspresikan dirinya terhadap aktualitas kehidupannya. Memang menjadi suatu hal yang menarik apa yang terjadi di SMA Negeri 1 Punggaluku Konawe Selatan ini. Dari beberapa data penunjang baik dari pengamatan lapangan atau kunjungan ke rumah beberapa wali murid, diperoleh informasi bahwa terdapat beberapa perilaku respondent yang menurut orang tua dianggap sebagai hal kurang wajar, namun juga ada beberapa orang tua yang sadar atas perilaku anaknya. Perilaku tersebut antara lain responden atau siswa sering berbeda pendapat dengan orang tua. Akibat dari perbedaan tersebut tidak jarang terjadi percekcokan kecil tentang suatu hal yang dialami oleh responden. Sebagai contoh berkait dengan pilihan kegiatan ekstra kurikuler yang diberikan oleh pihak sekolah. Dalam hal ini banyak responden yang menyandarkan keputusannya terhadap keputusan besar peers groupnya. Sehingga kadang pendapat-pendapat yang diberikan oleh orang tua di abaikan. Percekcokan ini secara sosial kadang berdampak terhadap stigmatisasi bahwa remaja sudah kurang ajar terhadap orang tua. Namun beberapa wali murid yang moderat menyadari akan proses pengambilan keputusan yang dilakukan anaknya. Dalam perspektif psikologis perilaku yang tunjukkan oleh siswa tersebut merupakan manifestasi kemandirian emosional. Remaja memandang mampu untuk mengambil keputusan sendiri tanpa harus menyadarkan secara penuh kepada orang tuanya. Mereka menganggap orang tua mereka sebagai patner dalam sharing informasi terhadap apa-apa yang diputuskan oleh dirinya. Dalam satu sisi ia mencoba menunjukkan bahwa dirinya individu yang dewasa dalam berpikir bukan seperti anak-anak lagi yang segalanya serba di atur. Pada dimensi lain remaja mengganggap

61 apa yang alami oleh remaja sekarang berbeda dengan apa yang dialami oleh orang tua mereka dahulu, sehingga pandangan-pandangan orang tua dahulu kurang signifikan, akibatnya remaja menganggap sudah sewajarnya bila ia berbeda dari orang tuanya. Pada sisi lain, penyandaran pengambilan keputusan yang didasarkan atas main stream yang terjadi dalam kelompok sebayanya adalah sebuah upaya ideal yang dilakukan oleh setiap individu untuk mempertahankan status dirinya dalam sebuah komunitas atau groupnya. Sebab dengan cara tersebut ia tetap dianggap sebagai remaja yang gaul dan mempunyai solidiritas yang tinggi terhadap teman. Perubahan-perubahan paradigma pemikiran diatas tentang pola hubungan antara orang tua dengan anak yang bermuara pada munculnya sikap-sikap baru yang dalam perspektif penelitian ini adalah kemandirian emosional remaja, tidak terlepas dari sumbangan arus-arus informasi baik dari media cetak maupun elektronik. Berdasarkan beberapa penelitian, mulai tahun 1999 jaringan komunikasi yang terjadi di wilayah Konawe Selatan mulai terbuka dan bergerak dengan cepat. Kemudahan untuk mengakses channel TV luar swasta maupun luar negeri terbuka lebar. Ditambah lagi dengan terbukanya jaringan internet serta tehnologi seluler. Semua itu pada gilirannya dengan secara gradual mampu mengubah kecenderungan struktur berpikir masyarakat dari yang primitif konvensional (berpegang teguh pada adat dengan sangat kukuh berubah menjadi moderat) khususnya anak muda yang dalam hal ini adalah siswa-siswi di SMA Negeri 1 Punggaluku. Sehingga dapat digarisbawahi bahwa tehnologi informasi atau suatu era dapat berkontribusi signifikan terhadap perkembangan kemandirian emosional remaja di Punggaluku. Untuk melihat lebih jauh tentang detail korelasi maupun kontribusi ini perlu dilakukan penelitian lebih mendalam.

62 Dampak tersebut bila dirunut lebih jauh mempunyai benang merah dengan perlakuan orang tua terhadap anaknya. Perlakuan ini lebih khusus bersifat sebagai gaya pengasuhan. Para orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan yang authoritarian dengan pola yang menekan, menuntut, mengatur dengan dominan menekankan kepatuhan yang tinggi berharap akan dijalankan oleh anak-anaknya. Sehingga harapannya adalah anak-anaknya menjadi orang seperti yang ia cita-citakan. Namun dengan tidak disadari oleh orang tua, ternyata anak-anak berusaha melawan dengan tindakan-tindaka mulai dari yang bersifat eufimistis hingga yang bersifat agak radikal. Tindakan ini seperti misal hanya sekedar berbeda pendapat, cekcok kecil terhadap hal-hal yang kurang prinsip sampai pada perbedaan besar mengenai hal-hal yang prinsip. Salah satu hal yang prinsip menurut remaja adalah berkait dengan penyaluran bakat dan minatnya. hal ini dilakukan dengan alasan bahwa sang anaklah yang lebih mengetahui potensi dan kapasitas bakat serta minat yang dimilikinya. Orang tua dianggapnya hanya mengarahkan berdasarkan prospektus budaya saja. Oleh karena itu apa yang diperoleh oleh peneliti terkait dengan gaya pengasuhan orang tua yang authoritarian justru semakin menunjukkan kemandirian emosional remaja merupakan pengkayaan dari teori Sternberg. Hal ini barangkali berkait dengan keberadaan budaya di Tolaki di tambah dengan derasnya arus informasi dan tehnologi yang canggih yang pada akhirnya berdampak terhadap pola pikir dan dinamisasi kehidupan remaja. Selanjutnya untuk melihat lebih detail hubungan antara gaya pengasuhan orang tua auhtoritarian dengan dimensi-dimensi dari kemandirian emosional remaja seperti tertera dalam tabel berikut :

63 Tabel 4.11. Hubungan Antara Gaya Pengasuhan Orang Tua Dengan Dimensi Kemandirian Emosional Remaja Gaya Spearman's rho De Idealized Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)

.541(**) .000 .279(**) .005 .732(**) .000 .866(**) .000

Parent as People

Nondepedency

Individualized

Sumber : Olah Data Tabel 4.8 menggambarkan dengan jelas antara hubungan gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan dimensi dari kemandirian emosional remaja. Yang pertama adalah de-idealized. Nilai koefesien korelasi antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan dimensi de-idealized kemandirian emosional remaja adalah sebesar r = 0.541, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang cukup kuat. Karena nilai r korelasinya > 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif. Sehingga semakin besar nilai gaya pengasuhan orang tua authoritarian maka dimensi de-idealized kemandirian emosional remaja akan semakin tinggi. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (0,00<0,05) maka terdapat hubungan yang signifikan antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan dimensi de-idealized kemandirian emosional remaja. Yang kedua adalah parent as people. Nilai koefisien korelasi antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan dimensi parent as people kemandirian

64 emosional remaja r = 0,279, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang rendah. Karena nilai r korelasinya > 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif, semakin besar nilai gaya pengasuhan orang tua authoritarian maka dimensi parent as people kemandirian emosional remaja yang tinggi. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,005 lebih kecil dari 0,05 (0,005<0,05) maka terdapat hubungan yang signifikan antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan dimensi parent as people kemandirian emosional remaja. Yang ketiga adalah non dependency. Nilai koefisien korelasi antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan dimensi non depedency kemandirian emosional remaja adalah sebesar r = 0,732, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang kuat. Karena nilai r korelasinya > 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif, semakin besar nilai gaya pengasuhan orang tua authoritarian maka dimensi non depedency kemandirian emosional remaja yang tinggi. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (0,000<0,05) maka terdapat hubungan yang signifikan antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan dimensi non depedency kemandirian emosional remaja. Yang keempat adalah individualized. Nilai koefisien korelasi antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan dimensi individualized kemandirian emosional remaja adalah sebesar r = 0,866, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang kuat. Karena nilai r korelasinya > 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif, semakin besar nilai gaya pengasuhan orang tua authoritarian maka dimensi individualized kemandirian emosional remaja yang tinggi. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,000

65 (0,000<0,05) maka terdapat hubungan yang signifikan antara gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan dimensi individualized kemandirian emosional remaja. Dari table di atas dapat dilihat bahwa dimensi yang paling kuat hubungannya dengan gaya pengasuhan orang tua authoritarian adalah dimensi individualized. Hal ini menunjukkan bahwa responden merupakan sosok remaja yang berusaha menyatakan dirinya adalah berbeda dengan orang tuanya. Perbedaan ini antara lain terlihat dalam hal cara pandang remaja terhadap masalah-masalah prinsipil seperti penyaluran bakat dan minat, pilihat teman sepermainan, sampai pada pilihan pekerjaan maupun teman hidup. Dampak dari perbedaan ini satu sisi remaja merasa puas akan atualisasi dirinya namun disisi lain kadang berakibat terhadap percekcokan kecil dengan orang tuanya. Setelah dimensi individualized disusul dengan dimensi nondependency. Pada sisi ini remaja berusaha menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Keputusan-keputusan yang diambil disandarkan atas kesadaran terhadap resiko yang dipikirkannya sendiri atau kadang-kadang remaja justru lebih banyak meminta pertimbangan teman sebaya daripada orang tuanya. Ia berusaha mempertanggung jawabkan segala akibat dari pilihan keputusannya. Kemandirian sisi ini menjadi penopang pada kemandirian emosional dimensi individualized. Sebab dengan responsibility yang tinggi ia berusaha menunjukkan bahwa dirinya adalah individu yang bukan anak-anak lagi, tetapi individu remaja mandiri. Selanjutnya berturut-turut disusul dengan dimensi de idealized dan parent as people. Pada dimensi ini remaja berusaha memandang orang tuanya sebagaimana realitas yang ada, bukan satu-satunya figur sentral yang menjadi model kehidupannya. Untuk mengurangi konflik di dalam dirinya, maka remaja berusaha

66 memposisikan orang tuanya sebagai sharing partner (teman untuk berbagi), sebagai individu yang mempunyai hak yang sama dalam memberikan pendapat dan memberikan keputusan atas masalah yang dihadapi. Dampak dari dimensi ini kadang anak dianggap sebagai anak yang kurang menghormati orang tua. Tidak jarang muncul stigmatisasi bahwa anak dianggap sebagai anak yang kualat karena memandang remeh orang tua. Dalam perspektif psikologi, Albert Bandura sudah sejak lama memberikan gambaran tentang pola perkembangan imitasi individu. Pada masa-masa

perkembangan awal atau masa anak, orang tua khususnya bapak dan ibu sering menjadi figur utama atau model imitasi utama. Artinya anak sering mendambakan dirinya serta berkeinginan untuk menjadi seperti ayah dan ibunya. Hal ini dapat dimengerti sebab pada masa anak lingkungan keluarga sebagai lingkungan utama mempunyai nilai penting. Keluarga berfungsi sebagai pembentuk basic trust (kepercayaan dasar) individu, keluarga juga berfungsi sebagai lingkungan sosialisasi terhadap nilai-nilai dasar kehidupan. (Syamsu Yusuf, 2002). Namun seiring dengan rentang perkembangan hidupnya, individu mengalami ekspansi lingkungan sosialnya. Dari semula yang hanya berkutat dalam keluarga, individu bertambah lingkungannya yakni lingkungan sekolah, teman sebaya, dan masyarakat. Dalam lingkungan yang baru ini individu mendapatkan nilai-nilai baru, standard-standard keunggulan baru maupun model-model imitasi yang baru. Dari sini dapat dipahami bahwa bila lingkungan sosialnya khususnya peers groupnya dinamikanya bergerak cepat seiring dengan derasnya arus informasi dan kecanggihan tehnologi, maka dapat dimengerti jikalau kemudian pandangan figur sebagai model

67 imitasi mengalami pergeseran. Dari yang semula hanya orang tua sebagai figur model satu-satunya kemudian bertambah menjadi lebih dari satu. Oleh karena itu kemudian individu atau remaja berusaha memandang orang tuanya sebagaimana adanya tidak terlalu berlebihan serta memposisikan orang tuanya sebagai orang dewasa lainnya yang perlu di hormati namun tidak harus segalanya serta merta dituruti tanpa ada pembicaraan yang mendalam dan komprehensif terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh individu tersebut.

68

You might also like