You are on page 1of 3

Kebijakan Reformasi Pelayanan Kesehatan

Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan menggulirkan 7 Reformasi Pembangunan Kesehatan yaitu: 1. Revitalisasi pelayanan kesehatan, 2. Ketersediaan, distribusi, retensi dan mutu sumberdaya manusia, 3. mengupayakan ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektifitas, keterjangkauan obat, vaksin dan alkes, 4. Jaminan kesehatan, 5. keberpihakan kepada daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), 6. reformasi birokrasi dan 7. world class health care. Sebagai salah satu kebijakan kabinet, reformasi pembangunan kesehatan di atas merupakan kebijakan yang perlu dimonitor terus menerus. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan akan melakukan monitoring ini dengan melakukan pendekatan pada peran pelaku dalam sistem tata kelola (good governance) di sektor pelayanan kesehatan. Para pelaku tersebut adalah: 1. Penyusun kebijakan dan pemegang fungsi regulasi dalam sistem kesehatan; 2. Pemberi pelayanan kesehatan yang berupa RS pemerintah dan swasta, serta lembagalembaga pelayanan kesehatan lainnya; 3. Pemberi pendanaan untuk sektor kesehatan; dan 4. LSM dan ikatan profesi di sektor kesehatan. Pendekatan untuk memberikan masukan dalam Tujuh reformasi pembangunan kesehatan tersebut di atas dirinci dengan berbagai kegiatan sebagai berikut: 1. Penguatan Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan sebagai penyusun kebijakan dan pemegang fungsi regulasi sistem kesehatan, termasuk cara melakukan surveilans. Penguatan organisasi pelayanan kesehatan yang mencakup: (1) Penguatan RS pemerintah melalui penggunaan Badan Layanan Umum; dan (2) penguatan lembaga pelayanan kesehatan swasta. 2. Penguatan ikatan profesi, termasuk hubungan profesi dengan lembaga pelayanan kesehatan dan pemerintah. Penguatan ikatan profesi ini berhubungan dengan program

ketersediaan SDM dan untuk mencapai world class health care untuk pelayanan bagi seluruh lapisan masyarakat. 3. Penguatan sistem dan cara pembayaran pada tenaga kesehatan. Penguatan ini terkait erat dengan keberpihakan kepada daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK).

Analisis kebijakan: Dari analisis saya terkait dengan kebijakan pemerintah tentang keberpihakan kepada daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK),hal ini terkesan sebuah kebijakan yang hanya ditulis tanpa ada peninjauan atau monitoring pada lapangan. Misalnya saja provinsi papua, seakan dianak tirikan oleh pemerintah karena luasnya daerah dan sulitnya akses ke beberapa wilayah di papua di bandingkan di provinsi jawa. Buruknya tingkat kesehatan di Papua, mulai dari rendahnya status kesehatan ibu dan anak dan gizi masyarakat, juga tingginya angka kesakitan penyakit menular terutama malaria, TB dan HIV-Aids yang tinggi membuat keprihatinan. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, cakupan imunisasi HB0 di Propinsi Papua sebesar 69%. Sedangkan cakupan imunisasi BCG, Polio, DPT HB dan campak berturut turut adalah sebesar 53,6%, 40,5%, 36,5% dan 47,1% merupakan cakupan yang terendah dibandingkan dengan propinsi lainnya. Menurut hasil survey GAVI HSS Direktorat Jendral Bina Gizi dan Anak Provinsi papua menunjukkan bahwa: a. Ada beberapa Puskesmas yang tidak mempunyai tenaga kesehatan (dokter, perawat dan bidan) khusus untuk memberikan pelayanan imunisasi. Di Kabupaten Supiori ada 1 Puskesmas, Kabupaten Biak Numfor ada 2 Puskesmas dan Kota Jayapura ada 7 Puskesmas tidak mempunyai tenaga kesehatan yang khusus memberikan pelayanan imunisasi. b. Masih banyak Puskesmas yang belum memiliki satupun tenaga kesehatan yang telah dilatih injection/vaksinator. Kabupaten Biak Numfor ada 8 Puskesmas, Kabupaten Supiori ada 4 Puskesmas dan Kota Jayapura ada 5 Puskesmas. c. Puskesmas yang belum memiliki satupun tenaga kesehatan yang telah dilatih pengelola imunisasi di Kabupaten Biak Numfor ada 2 Puskesmas, Kabupaten Supiori ada 2 Puskesmas dan Kota Jayapura ada 3 Puskesmas.

d. Peralatan yang paling banyak tidak dimiliki oleh Puskesmas adalah Refrigerator. Kabupaten Supiori dimana seluruh Puskesmasnya tidak dialiri listrik namun hanya 1 Puskesmas yang mempunyai genset yang berfungsi baik. Oleh karena itu pemerinta harus melakuakan peninjauan ulang tentang aplikasi di lapangan terkait dengan kebijakan keberpihakan kepada daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), jangan sampai dengan keteledoran pemerintah terhadap kebijakan itu membuat peluang baik bagi tenaga kesehatan dari luar negeri untuk masuk ke Indonesia seperti isu pasar globalisasi pada tahun 2015, sehingga berdampak buruk terhadap kesejateraan tenaga kesehatan di dalam negeri. Dari analisis saya, sebagai upaya dalam menanggapi kebijakan pemerintah terkait dengan keberpihakan kepada daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), maka ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah Indonesia diantaranya adalah: a. Karena menurunnya minat tenaga kesehatan untuk bekerja di daerah tertinggal, untuk itu perlu trobosan baru untuk penggangkatan enaga kesehatan dari asal daerah tersebut ataubekerjasama dengan pihak suwasta dalam mengisi kekosongan tenaga kesehatan b. Perlu adanya kebujakan khusus untuk pengadaan insentif di daerah sulit agar distribusi tenaga kesehatan merata di seluruh daerah di Indonesia c. Pemerataan tenaga terlatih di setiap Puskesmas/rumah sakit, termasuk dalam pemilihan tenaga kesehatan yang akan dilatih, sebaiknya bukan tenaga yang akan dimutasi

You might also like