You are on page 1of 2

MBM TEMPO › Print Article 8/29/09 12:08 PM

22/XXXVIII 20 Juli 2009

Giliran Rakyat Mengasuh Hutan


Yayasan Kaliandra memperkenalkan model hutan asuh dengan masyarakat sebagai perawat tanaman. Cara lain memulihkan hutan gundul.

KERINGAT membanjiri tubuh Jamaali, yang disiram panasnya sinar matahari siang itu. Sudah sejak pagi buruh tani 58 tahun itu mencangkuli
sepetak lahan di sebuah hutan lindung di lereng Gunung Arjuno, Jawa Timur. Ketika waktu jeda tiba, warga Desa Dayurejo, Kecamatan
Prigen, Kabupaten Pasuruan, itu meletakkan cangkulnya dan berteduh di bawah sebatang pohon dan rerimbunan ilalang. Dia membuka
bekal makan siang dari rantang kaleng yang berisi nasi jagung, tempe, sayur lodeh, dan sambal.

Lahan yang dicangkuli Jamaali adalah petak 36A Resor Pemangkuan Hutan Lawang Barat milik Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan
Pasuruan. Tahun lalu hutan di kawasan itu hampir gundul. Hanya beberapa pohon yang tegak, sisa-sisa milik penduduk yang dulu tinggal di
kawasan ini. Selebihnya padang rumput dan ilalang.

Kini di sana-sini terlihat bibit beragam jenis pohon telah tumbuh setinggi sekitar 30 sentimeter. Bibit itu ditanam Jamaali dan tiga temannya
sesama anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan Ngudi Lestari Dayurejo, sejak Januari lalu.

Mereka bekerja sebagai perawat tanaman dan bertanggung jawab atas pertumbuhan lebih dari 6.000 tanaman berbagai jenis di atas lahan
seluas 10 hektare itu. ”Kami juga bertugas mengantisipasi kebakaran,” kata Jamaali, Sabtu dua pekan lalu.

Sebelum menjadi perawat tanaman, mereka berempat bekerja sebagai pembuat arang. Pekerjaan itu mereka tinggalkan setelah lembaga
desa menawarkan pekerjaan baru ini dengan imbalan masing-masing Rp 500 ribu per bulan untuk tahun pertama dan seekor sapi sebagai
upah pada tahun kedua hingga kelima.

Masa kontrak mereka memang cuma lima tahun, karena diperkirakan saat itu bibit tanaman telah tegak menjadi pohon. Meski demikian,
”Tahun berikutnya kami boleh mengambil hasil hutan itu, seperti buah-buahan, kecuali kayunya,” ujar Jamaali.

Jamaali dan kawan-kawannya bisa bekerja di hutan lindung itu berkat program hutan asuh. Program yang diperkenalkan pada 21 April lalu itu
adalah hasil kerja sama Yayasan Kaliandra Sedjati Prigen, Lembaga Masyarakat Desa Hutan Ngudi Lestari, Perhutani Kesatuan Pemangkuan
Hutan Pasuruan, dan PT Tirta Investama Pabrik Pandaan, Pasuruan.

Peran pihak yang terlibat dalam kerja sama itu berbeda-beda. Yayasan Kaliandra menjadi fasilitator, lembaga desa Ngudi Lestari sebagai
penanam dan perawat tanaman, dan Perhutani kebagian tugas menyediakan lahan dan memberikan bimbingan teknis penanaman.
Perusahaan air minum kemasan PT Tirta Investama menyediakan dana Rp 100 juta untuk masa lima tahun. Dana itu untuk pembelian bibit,
pupuk, upah pekerja, biaya perawatan, dan ongkos operasional di lapangan.

Hutan asuh ini digagas oleh Yayasan Kaliandra sejak Oktober 2008. Lembaga swadaya masyarakat di bidang pelestarian alam dan budaya
itu prihatin terhadap kerusakan hutan lindung di lereng Gunung Arjuno. Luas hutan di Kabupaten Pasuruan itu 15.663 hektare, mencakup
5.894 hektare hutan lindung yang dikelola Balai Taman Hutan Raya R. Soerjo dan 9.769 hektare yang dikelola oleh Perhutani. ”Setidaknya
ada 5.000 hektare hutan lindung yang kritis,” kata Agus Wiyono, ketua harian yayasan itu.

Kerusakan hutan lindung itu terjadi karena penjarahan, kegiatan pertanian, perburuan, dan kebakaran, baik karena faktor alam maupun
karena aktivitas pembuatan arang—salah satu jenis mata pencaharian warga setempat. Menurut Agus, kegiatan masyarakat yang
menyebabkan kerusakan hutan ini tak bisa dihindari karena ketergantungan ekonomi mereka terhadap hutan sangat tinggi.

Kerusakan hutan jelas mengancam kelestarian ekosistem dan penurunan ketersediaan air. Padahal kawasan hutan Gunung Arjuna
merupakan hulu dari sejumlah subdaerah aliran sungai, seperti Brantas, Konto, Brangkal, dan Rejoso. Daerah aliran sungai inilah yang
menjadi penyangga kehidupan dan sumber air bagi 14 kabupaten dan kota di Jawa Timur, mulai dari Batu, Malang, Blitar, Tulungagung,
Kediri, Jombang, Mojokerto, Pasuruan, Sidoarjo, hingga Surabaya. Di sepanjang Sungai Brantas ini bermukim sekitar 22 juta jiwa atau
sekitar 60 persen penduduk di Provinsi Jawa Timur.

Upaya perbaikan kawasan sudah dilakukan dengan penanaman kembali dan pencegahan kebakaran. Namun upaya ini belum maksimal
karena hanya bisa memulihkan sekitar 300 hektare hutan. Agus menilai kegagalan ini akibat belum adanya integrasi dalam pengelolaan
kawasan hutan antara masyarakat, pemerintah selaku pengelola hutan, dan pihak lain yang berkepentingan terhadap kawasan hutan.
”Pemangku kepentingan masih berjalan sendiri-sendiri,” ujar Agus.

Yayasan Kaliandra yang berpusat di Desa Dayurejo itu lantas menghubungi Perhutani, PT Tirta Investama, dan lembaga desa Ngudi Lestari
untuk memulihkan kondisi hutan. Semua pihak sepakat untuk mengelola hutan secara bersama-sama. ”Kunci kesepakatan ini adalah rasa
saling percaya,” tutur Agus.

Mereka kemudian melakukan survei untuk menentukan lokasi yang menjadi hutan asuh, yang akhirnya jatuh pada petak 36A yang berada di
koordinat 77 derajat Lintang Selatan dan 112 derajat Bujur Timur. Lembaga desa Ngudi Lestari kemudian menerjunkan 20 anggotanya.
Mereka diberi tugas membersihkan lahan, membuat ajir bambu setinggi 1 meter, dan melakukan penanaman dengan honor Rp 100 ribu per
orang per hari selama 12 hari.

Mereka menanam 5.000 bibit aneka jenis dengan jarak tanam 2 x 5 meter. Selain jenis kayu-kayuan seperti sengon, pinus, mahoni,
gembilina, kemiri, dan suren, mereka juga menanam pohon buah-buahan seperti nangka, salam, alpukat, petai, dan duwet. Ini dimaksudkan
agar kelak masyarakat bisa mengambil hasil hutan dengan tidak menebang kayunya.

Untuk memastikan tanaman tetap hidup, lembaga desa Ngudi Lestari menunjuk Jamaali dan tiga temannya sebagai perawat tanaman, yang

http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2009/07/20/LIN/mbm.20090720.LIN130868.id.html Page 1 of 2
MBM TEMPO › Print Article 8/29/09 12:08 PM

bekerja dua hari dalam seminggu. Perawatan dilakukan dengan membersihkan tanaman dari rumput liar dan mengganti tanaman yang mati.
Hingga Januari lalu tercatat ada 400 batang yang mati dan langsung dilakukan penyulaman tanaman.

Tanaman itu dipantau rutin sebulan sekali untuk melihat tingkat kesuburan tanaman. Caranya dengan memasang bambu pengukur pada 20
batang tanaman yang tersebar secara acak. Hasilnya, dalam pemantauan terakhir pada Juni lalu tercatat bahwa tinggi pohon rata-rata
mencapai 30 sentimeter.

Kaliandra, Perhutani, dan lembaga desa juga melakukan inventarisasi tanaman. Inventarisasi terakhir pada Mei lalu menemukan 1.794
batang pohon berbagai jenis dari penanaman 5.000 batang pohon. Tambahan ini merupakan hasil sulaman tanaman yang mati.

Pujianto, ketua lembaga desa Ngudi Lestari, mengatakan bahwa pengelolaan hutan model hutan asuh lebih efektif karena melibatkan
masyarakat. Selama ini masyarakat sering tidak dilibatkan, sehingga tidak punya rasa memiliki terhadap hutan. Padahal, ”Jika ada kerusakan,
masyarakat yang paling disalahkan,” kata dia.

Kepala Seksi Pengelolaan Sumber Daya Hutan Perhutani Pasuruan, Dedy Nurhadi, menyatakan bahwa hutan asuh bisa terwujud karena ada
kesamaan visi di antara pihak yang terlibat. Apalagi mereka pernah bekerja sama dalam mewujudkan hutan pendidikan di Prigen, Pasuruan.

Bagi Perhutani, hutan asuh adalah model lain dari pengelolaan hutan bersama masyarakat yang selama ini sering mereka lakukan. Perhutani
bersedia menyediakan hutan lindungnya sebagai hutan asuh karena pihak yang terlibat menjamin bahwa hutan tersebut tidak akan dikuasai
secara pribadi atau beralih kepemilikan. ”Pihak luar hanya membantu merehabilitasi. Yang mengelola tetap Perhutani,” ujar Dedy.

Model hutan asuh ini sejalan dengan paradigma baru Perhutani, yakni manajemen sumber daya hutan dan manajemen hutan berbasis
komunitas. Karena itulah, ”Model hutan asuh ini kini dipromosikan Perhutani pusat agar kalangan Perhutani di daerah lain menerapkan
program ini,” tutur Dedy.

PT Tirta Investama tertarik menjadi bapak asuh karena berkepentingan terhadap kelestarian hutan dan peningkatan kualitas hidup
masyarakat. Menurut Fafit Rahmat Aji, staf bidang tanggung jawab sosial perusahaan tersebut, lokasi pabriknya terletak lebih kurang 10
kilometer dari areal hutan itu.

Selama ini, perusahaan yang mengebor air bawah tanah di Pandaan itu memang tidak merasakan dampak langsung kerusakan hutan itu.
Namun, jika kerusakan hutan terus dibiarkan, lama-kelamaan akan mempengaruhi debit air tanah. ”Secara perlahan, kami akan terkena
dampaknya juga,” ujar Fafit.

Yayasan Kaliandra kini mencoba memperluas program ini ke kawasan hutan lain dengan melibatkan banyak pihak, termasuk Environmental
Service Program USAID. ”Ternyata banyak yang tertarik,” kata Agus.

Bibin Bintariadi (Malang)

http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2009/07/20/LIN/mbm.20090720.LIN130868.id.html Page 2 of 2

You might also like