You are on page 1of 4

Oberkanakengeil karya Osman Engin:

Sindiran Pedas terhadap Orang Jerman

Avianti Agoesman
Universitas Indonesia

Oberkanakengeil tidak bisa begitu saja dicari padanannya dalam bahasa


Indonesia. Bahkan bahasa Jerman resmi pun tidak mengenal kata tersebut. Namun,
bila orang Jerman membaca kata kanake, maka mereka akan segera mereferensikan
kata tersebut dengan warga yang berasal dari Turki. Kanake bisa dikatakan sebagai
kata makian yang setara dengan kecoa atau kutu busuk. Kata ini dipakai untuk
mengejek dan merendahkan kaum imigran yang berasal dari Eropa Selatan (Italia,
Spanyol, Yunani, dan Turki) serta keturunan Arab. Sedangkan geil adalah bahasa gaul
anak muda Jerman untuk menyampaikan sesuatu yang hebat dan luar biasa. Ober
mengacu pada sesuatu hal yang utama, di atas, atau yang tertinggi.
Oberkanakengeil adalah salah satu satir yang termuat dalam kumpulan satir
berjudul sama. Istilah ini dipakai oleh Hatice, anak perempuan tokoh utama buku ini
(yang menyandang nama yang sama dengan pengarangnya), ketika ia baru saja pulang
dari hari pertamanya di sekolah dasar. Ayah Hatice, yang tercengang-cengang
mendengar kata tersebut, hanya bisa menarik napas lega, ketika anak perempuannya
itu menjelaskan bahwa Oberkanakengeil berarti keadaannya baik-baik saja,
sebaik-baiknya keadaan orang Turki di Jerman. Namun kelegaan ini tidak
berlangsung lama, karena Hatice--yang bercita-cita menjadi Kanselir Jerman
ini--tiba-tiba menendang kruk milik seorang pensiunan tua yang berjalan di hadapan
mereka. Ketika ayah Hatice memarahi putrinya ini, Hatice menjawab dengan lugas,
“Biar saja, itu upah untuk si tua bangka atas perbuatannya terhadap orang-orang
Yahudi.” Ayah Hatice berusaha menenangkan putrinya dan berkata, “Tapi anakku,
kejadian itu kan sudah lampau.” Hatice menjerit, “Namun, saya baru saja
mengalaminya hari ini di halaman sekolah.” Kisah ini kemudian diakhiri dengan
kalimat yang hanya diucapkan dalam hati oleh ayah Hatice, yang bunyinya,
“Mudah-mudahan tidak seorang pun bercerita kepada putriku, apa yang terjadi di
Jerman saat ini!”
Osman Engin adalah penulis satir yang karya-karyanya mulai digemari di
Jerman. Engin adalah seorang warga negara Jerman kelahiran Turki, yang baru
berimigrasi ke Jerman ketika berusia 12 tahun. Engin menulis satir di surat kabar
serta majalah Jerman, serta telah menerbitkan pula beberapa kumpulan satirnya.
Kumpulan satir yang telah dikupas di sini memiliki subjudul Geschichten aus dem
deutschen Alltag, kisah-kisah dari kehidupan sehari-hari di Jerman. Engin ingin
memaparkan, bahwa inilah yang sehari-hari dialami warga asing atau warga selain
bangsa Jerman di Jerman. Penggambaran tentang warga keturunan Turki yang selalu
dianggap sebagai warga kelas dua, tetap saja terjadi di Jerman sampai hari ini, bahkan
ketika mereka sudah secara resmi memiliki paspor dan kewarganegaraan Jerman.
Teror mental dan kadang-kadang fisik mewarnai kehidupan sehari-hari mereka di
sana. Tokoh utama dalam kumpulan satir ini adalah seorang pria Turki, yang juga
bernama Osman Engin, dengan keluarganya yang terdiri dari istrinya yang sangat
cerewet, Eminanim; putri-putrinya Hatice, Zeynep, dan Nermin dan putranya,
Mehmet. Dengan gaya bahasa yang penuh sindiran dan sangat kocak, Engin memotret
kehidupan warga keturunan Turki di Jerman, yang dipaksa berintegrasi dengan
bangsa Jerman.
Kira-kira sejak tiga tahun lalu proses “pemaksaan” berintegrasi ini dikenal
dengan istilah Deutsche Leitkultur, artinya negara Jerman memiliki rambu-rambu
tertentu untuk warga asingnya agar mereka mengikuti budaya dan cara hidup orang
Jerman dan diharapkan warga non Jerman menguasai bahasa Jerman dengan baik
seperti penutur aslinya. Leiten dalam bahasa Jerman berarti memimpin.
Deutsche Leitkultur ini diplesetkan Engin menjadi Deutsche Gleitkultur dalam
salah satu kisah satirnya di buku ini. Engin, yang telah menjadi warga negara Jerman
dengan memperoleh paspor Jerman, tetap disapa dengan sebutan Kanake oleh Meister
Viehtreiber, atasannya di pabrik tempat ia bekerja. Viehtreiber terheran-heran dan
sangat tidak bisa menerima kenyataan bahwa Engin telah memiliki paspor Jerman,
sama seperti dirinya, yang sejak lahir dan “dari sononya” adalah orang Jerman asli.
Viehtreiber berkata kepada Engin, bahwa kalau ia ingin menjadi orang Jerman sejati,
maka ia harus menyesuaikan diri dengan Deutsche Gleitkulur. Di sini Engin
mengkritik dengan pedas, bahwa orang Jerman saja salah menggunakan istilah
Leitkultur. Gleiten berarti meluncur, sangat jauh maknanya dari leiten. Kritikan pedas
Engin dipaparkan dengan pemahamannya tentang kultur Jerman. Ia memahami
Leitkultur dengan kebiasaan seorang pria Jerman yang suka mabuk-mabukan dan lalu
membunuh istri dan anak-anaknya berdasarkan sebuah berita yang dibacanya. Minum
bir memang dianggap sebagai salah satu kultur Jerman. Viehtreiber tentu saja tidak
menerima begitu saja pendapat Engin di atas. Namun, ketika Engin bertanya lebih
lanjut, apa saja yang termasuk dalam kultur Jerman selain minum bir, Viehtreiber
tidak bisa menjawab. Ia pun tidak bisa mendefinisikan dengan jelas, apa yang
dimaksud dengan “Jerman” itu sendiri. Kisah ini menyindir dengan pedas para politisi
yang mengungkapkan istilah Deutsche Leitkultur di media massa. Melalui ucapan
Mehmet (putra Engin) ditegaskan, bahwa para politisi yang mempopulerkan istilah
itu bahkan tidak mampu mendefinisikan apa itu “kultur” dan tidak mengerti sama
sekali apa itu “Jerman”.
Kisah pertama dalam kumpulan satir ini berjudul Der Vaterlandsverräter
(secara harfiah berarti pengkhianat tanah air). Diceritakan di sini bahwa Engin
menjadi tamu salah satu acara talk show di sebuah stasiun televisi swasta Turki. Saat
itu Engin dan keluarganya sedang berlibur di Turki dan istrinya mendaftarkan
suaminya ke sebuah stasiun televisi swasta, dengan harapan akan mendapat honor
yang bisa dipakai untuk menutupi biaya liburan mereka. Engin diwawancarai sebagai
seorang Turki yang dianggap hidup berhasil di Jerman. Antara moderator talk show
dan Engin kemudian terjadi perdebatan seru yang mengulik-ulik apakah Engin
bangga menjadi orang Turki, meskipun dia telah lama tinggal di luar negaranya.
Engin berpendapat bahwa seseorang tidak perlu bangga atas sebuah negara, yang
terdiri dari bebatuan, pasir dan tanah, yang sudah eksis sejak jutaan tahun lalu. Engin
berargumen, bahwa kebetulan saja ia dilahirkan ibunya di Turki. Ia lalu bertanya
balik kepada moderator ”Apakah kalau saya dilahirkan di Kutub Utara, maka saya
harus bangga terhadap Kutub Utara? Saya paling-paling hanya bisa bangga, bahwa
ibu saya telah melahirkan orang hebat seperti saya.”
Dari karya-karya Engin dalam kumpulan satir Oberkanakengeil ini terbaca
dengan jelas kritik yang tajam terhadap sikap warga Jerman atas warga non Jerman,
yang jumlahnya kini makin banyak dan tidak sedikit dari mereka yang sudah
“menghasilkan” generasi ketiga. Sikap orang Jerman yang masih tidak mau menerima
warga keturunan asing ini, meskipun banyak juga yang sudah memegang paspor
Jerman dan memiliki kewarganegaraan Jerman, seakan menjadi duri dalam daging
dalam kehidupan multikulturalisme di Jerman. Osman Engin dengan gaya bahasanya
yang lugas dan sangat kocak mampu mendeskripsikan situasi di atas, yang mungkin
dianggap sebagai hal yang wajar saja oleh orang-orang Jerman. Mereka yang
menganggap dirinya sebagai “orang asli” Jerman sering tidak menyadari, bahwa
warga keturunan asing ini memperkaya kehidupan mereka. Orang Jerman seharusnya
mengakui bahwa negaranya adalah negara yang “multikulti” (istilah dari bahasa gaul
untuk multikulturalisme). Dan untuk menciptakan masyarakat yang “multikulti”
diperlukan sikap keterbukaan dan pemahaman atas segala perbedaan yang ada.

You might also like